PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

08 December 2019

HOMILI HARI RAYA KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM


HOMILI HARI RAYA KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM
2Sam 5:1-3/Mzm 122:1-9/Kol 1:22-20/Luk 23:35-43

Sebuah lagu Sikka berbunyi: O Kristus Au Ratu mau niang, o Kristus Au Raja tawa tana. Kristus dinamakan Ratu dan raja, bukan seperti ratu dan raja dalam bahasa Indonesia. Kristus itu Raja semesta alam.

Umat Allah dalam Kristus, kitab Samuel berceritera bahwa bangsa Israel sebenarnya tidak punya raja seperti bangsa-bangsa sekitar. Karena Allah adalah satu-satunya raja. Kalau ada raja, bahaya bahwa raja menganggap diri dan disembah sebagai Allah. Tetapi bangsa Israel memaksa Samuel untuk mengurapi Saul menjadi raja pertama. Lalu Daud sebagai raja kedua. Dan raja yang terbesar. Lalu anaknya Salomo. Kemudian kerajaan Israel terpecah dua. Selanjutnuya hanya ada banyak raja yang kecil dan tidak kuat. Maka raja-raja dan bangsa asing datang mengalahkan raja dan bangsa Israel. Akhirnya membawa mereka raja dan rakyat Israel ke pembuangan.

Kitab Samuel berceritera bahwa bangsa Israel memilih Daud menjadi raja. Tetapi sebenarnya Allah yang memilih Daud. Karena sesudah Samuel mengurapi Daud sebagai raja, Daud mengadakan perjanjian di hadapan Allah. Artinya Daud mau memerintah sebagai raja wakil Allah.
Yerusalem adalah tempat tinggal Allah, di dalam Bait yaitu di dalam Rumah Allah, Rumah Raja. Pemazmur mengajak seluruh umat berkumpul di hadapan Tuhan raja. Untuk berdoa dan bersyukur. Untuk menerima kesejahteraan dan damai yang datang dari Allah Raja satu-satunya. Diberikan oleh Daud sebagai raja, wakil Allah.

Di dalam injil Lukas, Yesus diolok-olok sebagai Mesias. Sebuah gelar dalam bahasa Ibrani. Kristus dalam bahasa Yunani. Artinya orang yang diurapi dengan minyak. Diangkat untuk menjadi raja. Raja diangkat untuk duduk di atas takhta. Yesus diangkat sebagai penghinaan yang paling besar ke atas salib. Yesus dihina sebagai raja di salib. Tetapi Yesus adalah raja.

Ini diakui oleh seorang dari dua penjahat yang disalibkan bersama Yesus. Orang itu minta Yesus sebagai raja untuk membawa dia masuk ke dalam Firdaus. Sepertinya hanya penjahat kedua ini yang selamat. Tetapi Yesus tidakmenyetujui kemarahan teman penjahat itu. Dengan diam saja. Lalu janji masuk ke dalam kerajaan itu pasti berlaku untuk penjahat yang lain itu. Juga semua yang menghina Yesus di bawah salib. Bahkan juga semua orang di dunia. Karena dari atas salib Yesus menjadi menjanjikan keselamatan. Janji itu dan didengar oleh semua. Dan Yesus mengharapkan agar diterima oleh semua orang.

Paulus mengajak umat Kolose untuk bersyukur kepada Bapa. Raja yang adalah Bapa memperkenankan umat untuk masuk ke dalam kerajaan Terang. Kerajaan Anak Allah Yesus Kristus. Dialah Raja yang menebus segala sesuatu dan semua manusia. Melalui salib dan kematian-Nya. Dengan itu Yesus menjadi kepala. Yesus menjadi Raja yang mengundang semua orang. Supaya swemua orang sampai membuat penuh kerajaan surga. Dan di dalam kerajaan Kristus itu semua orang mengalami kepenuhan keselamatan.

Umat Allah dalam Kristus. Allah adalah Bapa, Allah adalah Raja. Allah Bapa menyerahkan kerajaan. Yaitu seluruh alam semesta ke pada Yesus. Seluruh rakyat dan segala sesuatu dalam kerajaan itu adalah milik raja Kita adalah milik Kristus Raja . Dia mengumpulkan kita semua. Masuk ke dalam kerajaan Bapa yang kekal. Daud mengusahakan damai dan kesejahteraan seluruh rakyatnya. Dengan membuat perjanjian di hadapan Allah. Maka kita juga hendaknya tidak hanya menuntut dari pemerintah. Atau negara untuk mengusahakan kesejahteraan sandang, pangan, papan. Yaitu makan-minum, pakaian dan perumaha. Juga kesehatan daan pendidikan. Melainkan kita semua hendaknya mengusahakan semuanya. Sedapat mungkin.

Seluruh rakyat berziarah ke Bait. Yaitu Rumah Allah Raja di Yerusalem. Kita juga membantu supaya semua saudara-saudari kita. Mereka yang tidak bahkan tidak mau berkumpul bersama. Untuk bisa kembali bergabung dengan kita. Di rumah Tuhan. Kita menerima Santapan Sabda. Dan Santapan Tubuh-Darah Yesus. Lalu kita kembali ke rumah, keluarga kita. Kita sudah mampu hidup. Dan mengusahakan segala sesatu. Untuk kepentingan umum. Untuk kepentingan keluarga. Dan kepentingan kita masing-masing.

Kita juga melihat Yesus sebagai Raja di atas salib. Dengan dosa-dosa kita, hendaknya kita berseru kepada Raja di salib. Raja itu oleh penderitaan dan kematian-Nya menebus kita. Dan mengumpulkan kita ke dalam kerajaan Bapa di surga. SepertKita adalah orang yang disalibkan bersama Yesus. Kita bertobat dan menerima sakramen pengampunan dosa. Kita juga mengusahakan supaya sakramen orang sakit. Diterima oleh saudara-saudari yang membutuhkan.

Kita mengusahakan kehidupan yang rukun dan damai. Di dalam keluarga dan lingkungan hidup kita, di alam semesta. Kita mengusahakan agar kerajaan Allah bertumbuh. Dan berkembang di bawah pimpinan Yesus. Dia yang dulu hidup bersama orangtuanya di Nazaret. Dia berjalan ke seluruh Israel. Yesus raja memperhatikan kebun dan laut. Dia melihat gunug dan pohon-pohon. Yesus masuk dan keluar kampung dan kota. Yesus minta agar menjadi tempat tinggal yang layak. Bagi manusia dan seluruh ciptaan.

Kita juga berdoa untuk Gereja juga daerah yang tidak berkembang. Tempat yang menolak injil, kabar gembira. Dan penyebaran kerajaan Allah. Kita juga berdoa untuk negara-negara. Untuk bangsa yang mengaku diri ateis. Yaitu tidak punya Allah. Tidak punya agama. Dan tidak punya Gereja. Kerajaan Allah yan dipimpin oleh Yesus. Dialah Raja semesta alam. Hendaknya kerajaan Allah meliputi seluruh dunia. Dan semua orang. Roh Allah memenuhi seluruh alam semesta. Roh membuat kerajaan Allah bertumbuh. Terus berkembang di atas bumi. Untuk sampai pada kepenuhan kerajaan Allah. Kerajaan abadi di surga.



P. Simeon Bera Muda, SVD
Bild: © kath-zdw.ch


SEMINARI TINGGI SANTU PAULUS LEDALERO-PPKKS (PUSAT PELAYANAN KERASULAN KITAB SUCI ) PROVINSI SVD ENDE

HOMILI MINGGU I ADVENT


HOMILI MINGGU I ADVENT 
Yes 2:1-5 // Mzm 122: 1-9 // Roma 13:11-14a; Mat 24: 37-44

Kata bui yang dalam bahasa Indonesia berarti penjara, dalam bahasa Sikka berarti tunggu. Kita menggunakan kata Adventus dengan arti penantian. Tetapi Adventus itu kata Latin yang berarti kedatangan.

Umat Allah dalam Kristus. Di dalam Kitab Suci, khususnya yang disebut nabi Yesaya, umat tunggu Allah yang datang di Bait atau Rumah Allah di Yerusalem. Di dalam rumah-Nya itu Allah tunggu umat dari segala bangsa datang. Bangsa-bangsa itu pergi ke Yerusalem untuk tunggu Allah berikan torat yaitu pengajaran. Allah mengajar umat dengan Sabda-Nya. Umat tunggu bagaimana Allah tunjuk untuk hidup baik.
Umat juga tunggu Allah sebagai hakim yang mengadili umat. Allah akan tunjukkan salah dan benar. Terjadi bahwa umat saling buat susah, lakukan kekerasan, perang. Maka Allah ubah semua alat perang menjadi alat pertanian. Alat perang buat luka dan mati. Alat pertanian membawa hasil yang membuat hidup manusia senang seperti dialami petani-petani yang sedang siapkan kebun tunggu musim hujan.
Umat juga tunggu seperti disebut Pemazmur bahwa semua orang pergi ke Yerusalem. Umat tunggu sambil bersyukur kepada Tuhan. Umat juga terus berdoa dan tunggu sampai Allah beri damai dan kesentosaan yaitu hidup yang tidak saling ganggu antara manusia atau diganggu oleh sesuatu yang lain. Semua tunggu sebagai saudara dan sahabat yang mengharapkan kebahagiaan dari Allah yang akan dibagi di antara mereka.


Di dalam injil Matius, Yesus memberi dua contoh untuk tunggu secara baik. Bukan seperti orang-orang yang hidup bersama Nuh. Mereka tidak tunggu Allah tetapi hanya sibuk dengan urusan hidup di duia ini bahkan mungkin juga dalam dosa. Contoh kedua adalah: sebelum pembuangan, banyak orang Israel tidak tunggu Allah dalam hidup yang baik. Maka banyak yang dibawa untuk dibuang ke tanah air orang lain.

Dengan contoh itu Yesus meminta untuk berjaga. Untuk tunggu. Berjaga, tunggu di sini adalah berusaha supaya keadaan diri sungguh baik. Maka waktu musuh datang, ada yang dibawa pergi. Yaitu mereka yang tidak tunggu dengan baik. Seorang tuan rumah hanya tahu bahwa ada pencuri datang, tetapi tidak tahu kapan. Tuan rumah itu pasti menjaga miliknya supaya jangan dicuri. Tunggu itu sesuatu yang jelas karena yang datang itu pasti: pencuri atau Yesus. Tetapi sama sekali tidak jelas karena tidak tahu kapan.
Paulus menyebut kepada umat Roma bahwa tidur itu tunggu bangun lagi. Malam tunggu siang. Perbuatan kegelapan tunggu datangnya perbuatan terang. Perbuatan buruk tunggu datangnya perbuatan baik. Beberapa dosa disebut Paulus sebagai perbuatan kegelapan. Hanya merupakan sebagian kecil. Tetapi harus diganti karena tunggu datang perbuatan baik yang bisa juga disebut satu per satu. Kalau kenakan Tuhan Yesus maka Yesus menjadi senjata untuk melakukan perbuatan baik apa saja.

Umat Allah dalam Kristus. Kita mulai masa Adventus, masa penantian, waktu kita tunggu Yesus. Dulu bangsa Israel tunggu ribuan tahun. Kita menjalani masa penantian ini selama empat minggu. Allah meminta kita berkumpul sebagai Gereja. Kita datang dari tempat tinggal, tempat kerja kita masing-masing. Kita bertemu Tuhan. Tuhan mengajar kita torat yaitu segala yang baik yang membantu hidup kita. Allah wasit itu minta supaya kita hentikan segala yang mendatangkan perang. Kita mendapat Yesus sebagai perlengkapan senjata terang. Kita mendapat alat-alat untuk menghasilkan kebaikan seperti parang dan tombak sudah diubah menjadi pacul dan alat kerja kebun yang membawa hasil berlimpah.

Kita sebagai umat, saudara saudari hendaknya mengusahakan damai sejahtera untuk sesama kita. Musim kemarau berkepanjangan. Tentu ada yang susah. Perlu kita bantu. Mungkin ada keluarga atau kelompok yang tidak rukun. Kita bisa tunjukkan hidup yang rukun dan bantu merukunkan. Kita bisa seperti Nuh yang siapkan bahtera yaitu segala sesuatu yang membantu untuk kehidupan yang lebih baik. Kita tidak mengumpulkan titik-titik kejahatan yang menjadi banjir besar, air bah yang menghancurkan diri, keluarga, umat dan orang lain.

Kita juga tidak bisa membuang diri jauh dari Allah dan dari sesama, tetangga kita seperti disebut Yesus. Kita berjaga dan membantu supaya pencurian yang terjadi di mana-mana: di kampung, di kantor, di sekolah, di pasar, di kebun bisa berhenti. Dengan itu kita siap menyambut kedatangan Anak Manusia, manusia pertama yang meminta kita menunggu dengan memakai Dia, Yesus sendiri yang adalah perlengkapan senjata terang, alat untuk melakukan kebaikan.

Yesus memberi kita Santapan Sabda Allah dan Santapan Tubuh-Darah Yesus sendiri . Kita mendapat perlengkapan senjata terang. Kita kembali dan hidup di dalam keluarga dan masyarakat. Kita juga membantu saudara-saudari kita yang tidak berkumpul bersama kita, mereka yang tinggal dalam kegelapan, mereka yang tidak tunggu karena terus melakukan kejahatan seperti terjadi pada orang-orang jaman Nuh dan sebelum pembuangan. Kita mungkin alami situasi seperti dalam umat di Roma seperti disebut Paulus.

Kita mulai masa Adventus, masa penantian kedatangan Yesus yang kita rayakan waktu Natal sambil menantikan kedatangan Yesus pada parusia yaitu pada akhir jaman dalam semangat Santapan Sabda yang kita terima hari ini yang diteguhkan Yesus dalam Santapan Tubuh-Darah Yesus sendiri.


P. Simeon Bera Muda, SVD

SEMINARI TINGGI SANTU PAULUS LEDALERO-PPKKS (PUSAT PELAYANAN KERASULAN KITAB SUCI ) PROVINSI SVD ENDE

Bild: © https://www.u-t.de/ 

HOMILI MINGGU KE-2 ADVENT 2019 (IIA)

HOMILI MINGGU KE-2 ADVENT 2019 (IIA)
Jesaja 11,1-10
Mt 3,1-12.

I dalam bahasa Inggris artinya saya dalam bahasa Sikka artinya kayu. Tana Ai yaitu: wilayah timur kabupaten Sikka dengan hutan dan kayu, sedangkan bagian Sikka yang lain hampir penuh dengan kelapa.

Umat Allah dalam Kristus, Yesaya menyebut tunggul yaitu kayu yang sudah ditebang dan yang masih tinggal berdiri. Tunggul itu yang bertunas. Seperti tunas yang tumbuh dengan berbagai kebaikan, begitu juga Roh Tuhan yaitu hidup Allah membawa kebaikan yang lengkap mulai dari memulihkan alam yang rusak sejak dosa manusia pertama dan air bah. Roh Allah itu membuat binatang yang makan satu sama lain, sekarang jadi teman. Juga Roh Allah membuat manusia, semua kejahatan ditebang sehingga muncullah kebaikan yang tidak terhitung banyaknya.

Tunas itu adalah pemimpin yang menghakimi orang lemah dengan keadilan artinya orang lemah tidak lagi dibuat susah oleh orang yang kuat. Tunas itu membuat orang tertindas mengalami kejujuran artinya bukan orang salah menjadi benar sedangkan orang benar menjadi salah. Tunas itu juga menghancurkan orang fasik yaitu semua orang jahat. Maka terjadi pemulihan, pembaharuan, pertumbuhan kebaikan karena sudah ditebang semua kejahatan dan dosa alam semesta, semua binatang dan manusia.
Pemazmur menyebut bahwa raja yang adalah wakil Tuhan Allah menjadi pohon besar dari tunas itu hendaknya mengusahakan keadilan dan damai. Orang miskin, orang lemah, orang tertindas dan susah sekarang menglami pertolongan karena semua kejahatan sudah ditebang oleh Allah di bawah pimpinan wakil Allah yaitu raja.

Matius menceriterakan tentang Yohanes. Yohanes itu membaptis, mempermandikan dengan air. Yohanes menyerukan pertobatan. Pertobatan itu membiarkan Roh Allah mengubah, menebang semua yang buruk itu menjadi baik seperti di dalam Yesaya dan Mazmur. Semua orang datang minta dibersihkan dengan air. Tetapi perlu pertobatan yaitu dibersihkan dari dalam. Ada dua kelompok yang saleh dalam agama Yahudi yaitu orang Farisi dan ahli Taurat. Mereka tidak boleh tetap menjadi ular biludak. Yaitu selalu buat dosa dan kejahatan. Mereka bilang mereka itu anak yaitu ben dalam bahasa Ibrani dan tidak boleh tetap jadi batu yaitu eben dalam bahasa Ibrani. Semua kejaahatan sudah ditebang dan hanya tinggal kebaikan.

Tunas yang akan datang itu membaptis dengan Roh Kudus yaitu dengan hidup Allah sendiri. Sekaligus Tunas itu membaptis dengan api yaitu menebang lalu membakar semua kejahatan dan dosa. Dengan demikian dicapai pemulihan, semua menjadi baru dan semua jadi baik. Semua yang jahat sudah dibakar sedangkan semua yang baik sudah dipulihkan.

Paulus menyampaikan kepada umat di Roma bahwa Allah beri pelajaran ketekunan dan pengharapan, juga penghiburan supaya umat sehati dan sesuara memuliakan Allah karena Bapa memberi Yesus Anak Allah menjadi tunas yang menerima semua orang: Yesus sudah menghancurkan, menebang semua dosa dan kejahatan sehingga semua orang mengalami kebaikan.


Umat Allah dalam Kristus, tunas bertumbuh perlu waktu. Kita perlu tunggu. Sambil menunggu, tunas kebaikan kita hendaknya bertumbuh. Kita membiarkan Allah memulihkan, menebang kita semua seperti Allah memulihkan alam, binatang dan manusia di dalam Yesaya dan Mazmur sehingga tidak ada lagi kejahatan di dunia. Kita mengusahakan keadilan dan kebaikan dengan menebang kejahatan dan dosa. Roh hikmat dan pengertian, pengenalan akan Tuhan, juga Roh takut akan Tuhan membantu kita membakar kejahatan itu, menebang semua dosa dan membuat tunas keaikan bertumbuh.

Kita semua sudah dibaptis. Kita sudah menerima Roh Kudus yaitu hidup Allah sendiri yang membaharui kita dari dalam. Tunas memberi kita juga api untuk membakar semua kejahatan dan dosa. Kita melihat apakah kita masih tetap batu yaitu eben atau kita sudah ditebang menjadi anak yaitu ben Abraham. Kita terus berharap selama masa Adventus ini, selama masa kita menantikan kedatangan Tunas itu. Kita menjaga kerukunan, kita bersatu hati mulai dari dalam rumah tangga kita, komunitas basis Gerejani, tempat kerja, sekolah kita. Dengan itu kita menjalani hidup agama kita dengan memuliakan Allah. Bersama Yesus Tunas itu kita menjadi pelayan bagi siapa saja. Kita membantu saudara-saudari kita yang jauh dari Allah, yang masih seperti batu, yang hidup seperti ular biludak.

Kita bersatu hati menerima Roh yaitu hidup Allah itu dan kita bersungguh-sungguh menebang, membakar kejahatan dan dosa kita masing-masing dan dosa bersama, kita membunuh ular biludak yaitu usaha untuk saling buat susah bahkan saling membunuh. Dengan itu kita bertobat dan dengan hati gembira kita siapkan jalan, kita menjalani hidup yang sederhana seperti Yohanes Pembaptis.


Kita menerima Santapan Sabda Allah dan Santapan Tubuh-Darah Yesus Sang Tunas yang membantu kita dibaptis dengan Roh Kudus dan dengan api. Dengan itu kita menebang semua kejahatan sehingga mampu menanti kedatangan kerajaan Allah, tibanya Sang Tunas yang dirindukan oleh semua orang itu.


P. Simeon Bera Muda, SVD
SEMINARI TINGGI SANTU PAULUS LEDALERO-PPKKS (PUSAT PELAYANAN KERASULAN KITAB SUCI ) PROVINSI SVD ENDE

Bild: © https://www.u-t.de/ 

03 September 2019

Pater Karel: Sri Sumarah yang Soemarah


Pater Karel: Sri Sumarah yang Soemarah

Oleh: Steph Tupeng Witin


Merenungi kematian seorang pendidik adalah membaca ulang tulisan-tulisan nuraninya yang ia hadirkan dalam keterbatasan dan kerapuhan manusiawi, namun terlampau agung ketika dikenang dalam lautan dan gelombang bahasa kasih.

Tulisan ini saya dedikasikan untuk almarhum tercinta Pater Karel Kraeng, SVD, yang meninggal di RS Lela, Sikka, Selasa (13/7/2010) lalu. Sosoknya mungkin tidak terlalu banyak dikenal oleh publik bahasa dan sastra di NTT, namun anak-anak didiknya di lembah Seminari San Dominggo Hokeng yang kini tersebar di seluruh dunia telah merasakan. Banyak di antaranya yang menjadi pendidik, penulis dan jurnalis tidak akan pernah melupakan jasa-jasanya. Ia adalah guru bahasa dan sastra Indonesia yang mengenalkan apa itu sastra: dunia peradaban yang penuh nilai dan Bahasa Indonesia: jendela untuk membaca kekayaan panorama intelektual  dan khazanah budaya negeri ini.

Almarhum berkarya dalam diam dan sunyi. Jauh dari publikasi popularitas. Tetapi tetap tekun menjelajah lembaran Bahasa dan sastra Indonesia. Perjalanannya dalam ruang sastra telah menjadi ilham dan inspirasi bagi setiap seminaris untuk tidak semata berhenti pada nama sastrawan, judul buku/karya tetapi lebih mendalam: apa isi dari karya sastra itu. Hal ini rupanya telah lama hilang dari ruang pembelajaran Bahasa dan sastra Indonesia kita. Melalui sastra, almarhum telah mengajak anak didiknya untuk menemukan kemerdekaan dan kebebasan yang sempurna dalam karya-karya sastra melalui interpretasi, penarikan nilai dan kebebasan beropini.

Sebuah kritik terhadap pengajaran Bahasa dan sastra kita yang kehilangan 'rohnya' di tengah gemuruh romantisme pengagungan ilmu-ilmu eksakta yang menjadi argumen untuk mendegradasi, bahkan menghilangkan ruang humaniora dalam kerangka pencerahan dan pemberdayaan manusia. Kita sibuk mendidik para pembuat robot berteknologi tinggi, tetapi mengabaikan aspek kemanusiaan yang tertera dalam ilmu-ilmu humaniora, khususnya bahasa dan sastra. Kita bisa saksikan itu dalam kurikulum pendidikan kita di setiap jenjang.

Salah satu sastrawan Indonesia yang paling dikagumi adalah Umar Kayam. Karyanya-karyanya memperlihatkan kisah hidup dan budaya orang Jawa yang menampilkan perubahan sosial dengan melukiskan deep structure atau struktur dalam dari proses dislokasi sosial dan mobilitas sosial (Kleden, 2004: 49). Mungkin karena almarhum dulu belajar bahasa dan sastra di Yogya. Dari karya-karya Kayam, almarhum paling kerap menyebut cerpen Sri Sumarah dan Bawuk (1975) yang menampilkan kisah masa peralihan pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru yang ditandai peristiwa 30 September 21965 (Mellema, 2009: 2). Gaya bersastra almarhum mengingatkan saya akan cerpen Umar Kayam 'Sphinx' yang mengisahkan bagaimana seorang guru jebolan Pastor Katolik mengisahkan sejarah begitu hidup dan menarik sehingga murid-murid seakan sedang berjalan sebagai pelaku di dalam kisah itu (Kayam,2010: 53). Kami semua yang mendengar larut dalam ceritanya.

Nuansa Jawa yang kental terlihat dalam nama tokoh Sri Sumarah sebagaimana yang diajarkan neneknya yaitu Sri yang menyerah, terserah atau pasrah. Sri menerjemahkan itu sebagai ajakan neneknya dijodohkan dengan Mas Marto yang membuka lembaran hidup tragis: ditinggal mati suami, berjuang membesarkan Tun - anaknya - kemudian hamil di luar nikah-, kematian Yos - menantu - yang dibunuh dan Tun yang dipenjara karena terlibat PKI. Garis kehidupan Sumarah menggambarkan kepasrahan yang menggerakkan dia untuk berjuang, meski dengan keterbatasannya sebagai tukang pijit. Ia 'berkelana' dari satu lelaki ke lelaki lain tapi dengan sikap bakti pada suaminya yang sudah meninggal. Terkait hubungan antara peristiwa dan makna dalam sastra yang bersifat simbolik, maka Sri bisa menjdi simbol yang mewakili orang Jawa keseluruhan (Kleden: 69). Kayam menggambarkan itu dalam kutipan berikut

"Bukannya kebetulan nduk, namamu Sri Sumarah. Dari nama itu kau diharap berlaku dan bersikap sumarah, pasrah, menyerah. Lho, ini tidak berarti lantas kau diaaaaam saja, nduk. Menyerah di sini berarti mengerti dan terbuka tetapi tidak menolak, mengerti, nduk?" (Hlm 10). Sikap sumarah dapat diartikan sebagai sikap nrima yang artinya merasa puas dengan nasib, tidak memberontak serta menerima segala sesuatu dengan sikap terima kasih. 

Menurut Romo Magnis Suseno, nrima berarti bahwa orang dalam keadaan kecewa dan keadaan sulit apa pun bereaksi dengan rasional, tidak ambruk dan tidak menentang secara percuma (Suseno, 1993: 19). Hal ini dibuktikan oleh Sri Sumarah sepeninggal suaminya, saat kesulitan ekonomi melanda ketika rumah dan sawah digadaikan, perhiasan yang ludes untuk mengangsur hutang dan uang kian menipis: Sumarah akhirnya menjadi tukang pijit yang berkelana dari hotel ke hotel. Meski melakoni pekerjaan sebagai tukang pijit, Sri memiliki sikap bakti yang tulus dan ikhlas hati untuk patuh, hormat dan setia justru ketika ia kehilangan suami. Meski ia sering meraba-raba tubuh lelaki, malah kadang ada lelaki iseng yang meraba tubuhnya, ia tidak menjadikan tubuhnya sebagai sarana pemuas kebutuhan seksualnya, meski pada akhirnya ia goyah ketika mesti memijit tubuh seorang pelanggan pria muda yang tampan dan gagah.

Episode ketika Sri memijit pelanggan muda yang tampan dan gagah itu dibaca almarhum dengan penuh ekspresi dan berenergi. Gelora jiwa Sri Sumarah yang terombang-ambing di antara bakti kepada suami dan gelombang nafsu birahi sebagai manusia menjadi bagian yang menarik bagi para calon pastor yang menghabiskan masa remajanya di antara deretan gedung-gedung sunyi-sepi itu, yang hanya mampu mengirim salam melalui sepucuk surat yang balasannya bisa menunggu hingga sebulan meski itu hanya dari Larantuka. Apalagi surat-surat itu selalu melewati pemeriksaan para romo/pastor. Biasanya, kata dan kalimat dalam surat diusahakan sedemikian agar bernada 'positif' untuk keberlanjutan hidup di lembah itu.

Menurut saya, almarhum telah menghidupi ke-soemarah-annya dengan keterbatasan manusiawi tetapi agung dalam bahasa kasih Allah yang memanggil dan memilihnya untuk membagikan sabdaNya. Kesunyian dan kesendirian di hadapanNya telah menjadikan almarhum sosok yang setia dan tulus dalam mendidik calon-calon penulis dan sastrawan muda yang kemudian akan mengisi ruang intelektal dan humanisme negeri ini dalam beragam bidang hidup dan pelayanan.

Kematian adalah simbol 'Soemarah' yang total ketika jiwa terbang ke alam yang lain. Alam yang bebas dari derita gula dan penyakit lain. Persis sastra: ruang yang bebas bagi eksistensi opini dan argumen. Kita berbangga atas pengabdian. Kita bersyukur atas hidup yang telah dipecah dan dibagikan. Kita yakin bahwa almarhum telah memasuki keabadian itu. Ruang yang lebih indah dari sebuah karya sastra.

Beristirahatlah dalam damai,  pahlawan sejatiku.*


Mantan Murid di Sesado Hokeng


Artikel ini telah tayang di pos-kupang.com


28 August 2019

“MAAF!”: Mengapa Begitu Sulit?


“MAAF!”: Mengapa Begitu Sulit?

John Elton, seorang penyanyi berkebangsaan Inggris dan pelantun lagu Candle in the Wind pernah menggoreskan lirik lagu “sorry seems to be the hardest word” – Sepertinya “maaf” merupakan kata yang paling sulit. Kita bisa mengamini pengakuan John Elton ketika mengenang atau mengingat kembali masa kecil, bahwa kedua orang tua senantiasa membisikkan dua kata ini ke telinga: Terima Kasih dan Maaf. 

Dalam budaya timur Indonesia, lingkungan di mana saya dibesarkan dan dididik, anak-anak selalu diajarkan untuk tak lupa mengucapkan kata “Terima Kasih” jika mendapat atau menerima sesuatu (hadiah misalnya) dari orang lain – dan bahkan harus menerima (dan tentu memberi) dengan tangan kanan. Lebih lanjut, anak-anak diajarkan untuk harus meminta maaf jika berbuat salah, melukai atau menyinggung perasaan orang lain, baik dalam kata maupun tindakan. Meminta maaf dan mengucapkan terima kasih lantas menjadi habitus yang terus dihidupi dalam lingkungan sosial, dalam kebersamaan dengan yang lain. Hal ini bisa kita alami misalnya pada momen perpisahan, ketika orang menyampaikan kata pisah: syukur dan terima kasih untuk segala kebaikan dan maaf atas segala kekurangan; bahkan pada peristiwa kematian, keluarga dalam kesadaran budi dan keyakinan iman mewakili almahrum/ah untuk menyampaikan permohonan maaf. Begitu pula dalam politik maupun agama, para pemimpin negara dan tokoh agama dalam kerendahan hati mengungkapkan penyesalan dan permohonan maaf secara kolektif. Bill Clinton misalnya, menyampaikan permohonan maaf atas praktek perdangagan manusia dan perbudakan; atau Paus Fransiskus yang secara terbuka menyampaikan permohonan maaf kepada dunia atas skandal seksual yang dilakukan oleh para imam pada masa lampau.

Dalam negara hukum kata „maaf“ memang tidak (se)lalu menjadi air yang membasuh bersih segala noda kesalahan; ia menjadi perkara yang mesti diselesaikan dalam ranah hukum: Permohonan maaf Ahok sama sekali tidak membebaskan dia dari tuntutan hukum. Namun sebagai manusia yang berbudi – apalagi beiman – sepotong kata “maaf“ sudah menjadi air penyejuk yang memberi damai - tidak hanya buat para “korban”, tetapu juga pelaku sendiri – ia menjadi kekuatan yang mampu mengurai ketegangan dalam relasi.

Nyatanya, bahwa bukan hanya “memberi maaf”, melainkan juga “meminta maaf” menjadi perilaku yang tidak mudah, Permohonan maaf menuntut adanya suatu kesadaran penuh yang memampukan seseorang untuk melihat dan merasakan, bahwa ada orang atau kelompok lain yang terluka/tersinggung oleh perilaku saya (kata dan perbuatan), dengannya terjadi ketegangan bahkan konfik dalam ketersalingan. Kesadaran semacam ini mesti mampu melumpuhkan ego dalam diri serentak membangkitkan kekuatan dan jiwa besar, bahwa manusia bukanlah makluk yang sempurna tanpa luput dari kekeliruan dan kesalahan: manusia adalah bejana tanah liat yang mudah rapuh. Kesadaran dan penyesalan serta maaf atas luka ketersinggungan dan benturaran relasi yang terlanjur ada tentu menghembuskan angin segar perdamaian karena dalamnya dibahasakan juga rasa empati atas apa yang dialami korban atau pihak yang dirugikan (spirit compassio); dan di atas luka dan kesedihan mereka mampu menyulam kembali “kepercayaan” yang mungkin sobek oleh pisau kata dan tindakan. Sepotong kata “maaf” sama sekali tidak menurunkan harga diri dan status sosial; dengan „maaf“ seseorang akan semakin dihargai oleh karena kerendahan hati dan jiwa besarnya.

Bahwa banyak manusia tidak lagi memiliki jiwa besar untuk memohon maaf, seperti John Elton, kita mungkin berlirih miris dan sedih:

It's sad, so sad (so sad)
It's a sad, sad situation
And it's getting more and more absurd
It's sad, so sad (so sad)
Why can't we talk it over?
Oh it seems to me
That sorry seems to be the hardest word

V. Lein
Bild: Quelle: depositphotos

25 August 2019

PESAN PERSATUAN DAN SERUAN PELESTARIAN BUDAYA


PESAN PERSATUAN DAN SERUAN PELESTARIAN BUDAYA
Sebuah Permenungan Kembali atas Sapaan Bapak Kepala Desa Mokantarak,
Petrus Baga Maran pada Ritual Adat di Desa Mokantarak

Dari jauh saya mencoba mengikuti rangkaian upacara adat di Lewo Tana, meskipun itu hanyalah penggalan-penggalan dari keseluruhan ritual yang ditampilkan di media sosial Facebook. Untuk teman-teman, adik-adik, Opu-Pai, Kaka Ari wekae yang sudah menggunggah video atau foto pada dinding group Korke Mokantarak, saya hatrukan berganda terima kasih, karena dengan itu saya (dan mungkin anak lewo tanah di tempat perantauan) disadarkan akan identitas dan hakikat diri sebagai Ata Lamaholot, dan dengan itu serentak diiring rindu pada kampung: pada tabuh gendang dan gong, pada hentak kaki tarian hedung dan gawe alo, pada bahasa mitis dan alunan lirik adat.

Catatan ini merupakan sebuah permenungan kembali atas apa yang disampaikan Bapak Kepala Desa, Petrus Baga Maran, pada kesempatan seremoni adat. Saya tidak menangkap seluruh isi sapaan Bapak Desa, namun ada beberapa point penting yang sempat saya tangkap dan sungguh menggugah sekaligus menantang, yaitu pesan persatuan dan pelestarian budaya di Desa Mokantarak.

Pada awal sapaan, Bapak Desa menegaskan bahwa adat (istiadat) merupakan identitas sebuah bangsa, jati diri dan harga diri sebuah Lewo. Lebih lanjut, ia menggarisbawahi hakikat kemanusiaan anak tanah Lamaholot – dengan menyitir mantan Bupati Flotim Simon Hayon – yakni manusia yang „ata diken“ (sungguh-sungguh manusia), manusia yang „baik“ – atau boleh saya katakan „manusia yang manusiawi“ - sungguh-sungguh manusia. Dan identitas „Ata Diken“ ini bermakna universal sebagaimana subjek manusia sebagai „Homo Sapiens“ (dari bahasa Latin: Manusia yang bijaksana). Dengan demikian, penegasan kembali identitas “Ata Diken” menjadi begitu penting di tengah dunia dewasa ini, ketika manusia kehilangan jati diri dan nilai-nilai kebijaksanaan, sehingga ia tak lagi punya pegangan dalam berperilaku.  

Aktualisasi identitas Ata Lamaholot sebagai „Ata Diken“ mendapat pemenuhannya dalam setiap perjumpaan dengan sesama, dengan alam dan dengan Lera Wulan Tana Ekan. Dalam relasi dengan alam, eksistensi “Ata Diken” bukanlah subjek yang secara bebas menguasai dan memanfaatkan alam, namun menuntut tanggung jawab etis dalam merawat dan melestarikan alam sebagai bagian dari diri dan hidup manusia. Keterlibatan aktif dalam mendukung program pemerintah berkaitan dengan pelestarian lingkungan hidup adalah contoh sederhana yang bisa kita terapkan: tak perlu harus menunggu turun ke jalan untuk demonstrasi penolakan tambang atau aksi solidaritas lainnya.

Identitas “Ata Diken” bukanlah anasir tunggal yang berdiri sendiri melainkan berpasangan dengan yang lain dalam sosialitas kemajemukan. Pada level ini hubungan antar “Ata Diken” harus merasuki dunia hubungan inter-personal, sebagaimana postulat Filsuf asal Prancis, Gaberiel Marcel, di mana ada keinginan terdalam setiap orang untuk saling menaruh hormat dan cinta serta menerima yang lain sebagai “engkau” (tu-toi). Eksistensi diri „Ata Diken“ bukanlah eksistensi yang tertutup, melainkan terbuka. Artinya, saya akan berkembang sepenuhnya sebagai “Ata Diken” justru kalau saya semakin terlibat dalam perjumpaan dan kontak dengan orang lain dan bukannya mengurung diri dalam menara gading yang aku bangun. Dan bagi Marcel, pertemuan (la rencontre) bukanlah sekedar berpapasan (perjumpaan yang kebetulan dan aksidental), melainkan lebih dari itu sebuah kontak dan komunikasi dalam semangat ketersalingan, agar toi (engkau atau kamu) menjadi nous (kita) - sebuah kebersamaan atau persekutuan - communion (bdk. Hariyadi: 1994). Kehadiran suku-suku di Desa Mokantarak (budaya Lamaholot) adalah kepingan-kepingan mozaik atau puzzle sebuah kebersamaan dalam keberagaman; atau dalam bahasanya Marcel: ada berarti ada bersama yang lain – esse est co-esse. Status dan peran yang diambil dalam bingkai budaya Lamaholot bukanlah kategori identitas baru dan hierarki penguasa-bawahan. Pembagian tugas dan peran itu justru mengafirmasi prinsip kebersamaan, bahwa manusia membutuhkan yang lainnya, sebagaimana interupsi Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemat di Korintus atas perpecahan dalam jemaat: “Karena tubuh juga tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota. Jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita” (1 Korintus 12:14; 26). Itulah kekuatan kita sebagai Lewo, yakni: Persatuan.


Bukan mustahil, bahwa dalam hidup bersama yang lain sering terjadi persinggungan atau benturan, entah itu antar-pribadi, keluarga maupun suku. Sebagaimana Kurban Diri Yesus di Salib, ritus-ritus korban darah dalam setiap serimoni adat kiranya juga menjadi ritus pemulihan relasi antar “Ata Diken”, antara “Ata Diken” dengan alam, dan antara “Ata Diken” dengan Lera Wulan Tana Ekan. Di sana terjadi persatuan dinamis antara kekuatan Langit dan Bumi yang memungkinkan kelanjutan perjalanan dunia sekaligus menghadiahkan manusia sebuah ‘eksistensi baru’ yang sanggup melihat melampaui batas-batas kegelapan kemanusiaanya. “Ini hanya bisa terjadi karena Ina Tana Ekan (Ibu tana Ekan) tidak henti-hentinya membuka rahimnya bagi ‘benih’ yang turun dari Langit (Ama Tana Ekan), sehingga tiap saat selalu ada kehidupan baru yang terpancar dari dinamika ini” (Agan: 2006, 324). Lantas, pelaksanaan serimonial adat tidak merupakan tindakan “pengulangan ritual” semata, melainkan sebuah aktus anamnese, bahwa kita ditenun oleh ari-ari dan ketuban yang sama, dan lahir dari rahim yang satu, yakni Mokan Lewo Pulo, Tarak Lone Ribu – Rahim Lamaholot. Di sini, semua kita terpanggil untuk merawat tradisi dan menyelami kebijaksanaannya. Sanggar Budaya yang telah digaungkan oleh Bapak Kepala Desa dengan memberi alokasi dana khusus kiranya dapat menjadi ruang belajar dan pewartaan nilai-nilai peradaban budaya lokal dalam proses menjadi “Ata Diken”.

Salam Lewo Tana Mokantarak

Thueringen – Jerman, 22.08.2019
Vian Lein


Foto: Facebook Aurelia Anggun Teluma (Vin Kelen) mit eigener Bearbeitung

14 July 2019

AGAMA: ANTARA YANG KUDUS DAN NAJIS


AGAMA: ANTARA YANG KUDUS DAN NAJIS



Yesus Kristus berkata, bahwa Ia belum pernah menyaksikan pertandingan sepak bola. Maka kami, aku dan teman-temanku, mengajak-Nya menonton. Sebuah pertandingan sengit berlangsung antara kesebelasan Protestan dan kesebelasan Katolik.

Kesebelasan Katolik memasukkan bola terlebih dulu. Yesus bersorak gembira dan melemparkan topinya tinggi-tinggi. Lalu ganti kesebelasan Protestan yang mencetak gol. Dan Yesus bersorak gembira serta melemparkan topinya tinggi-tinggi lagi.
Hal ini rupanya membingungkan penonton lain yang duduk di belakang kami. Orang itu menepuk pundak Yesus dan bertanya,”Saudara berteriak untuk mendukung tim yang mana?”

“Saya?”, jawab Yesus, yang saat itu sedang terpesona oleh permainan- “Oh, saya bersorak bukan bagi satu tim saja; saya hanya senang menikmati permainan ini.”

Penanya itu berpaling kepada temannya dan mencemooh Yesus, “Dasar Atheis!”


Dalam perjalanan pulang kami menceritakan kepada Yesus tentang situasi agama di dunia dewasa ini. “Tuhan, orang-orang beragama itu aneh,“ kata kami. “Mereka selalu mengira bahwa Tuhan ada di pihak mereka dan menentang orang-orang yang ada di pihak lain.”
Yesus mengangguk setuju. “Itulah sebabnya Aku tidak mendukung agama, Aku mendukung orang-orangnya,” kata-Nya. “Orang lebih penting daripada agama. Manusia lebih penting daripada hari Sabat.”

“Tuhan, berhati-hatilah dengan kata-kata-Mu,” demikian seorang di antara kami mengingatkan Yesus. ”Engkau pernah disalibkan karena mengucapkan kata-kata serupa itu.”

“Ya,” Yesus mengangguk-angguk, “dan justru hal itu dilakukan oleh orang-orang beragama,” kata Yesus sambil tersenyum kecewa. (Anthony de Mello)


Di hadapan agama kita cenderung digiring kepada konsep determinasi dan pembedaan yang ekstrim antara AKU atau KITA dan YANG LAIN, antara yang KUDUS/SUCI dan KOTOR/NAJIS, antara yang KAFIR dan RELIGUS. Orang atau kelompok yang berada di luar lingkaran yang „dicipta“ oleh subjek AKU (atau mungkin yang terberi/diwariskan) lantas didakwa sebagai „musuh“ yang mesti dilawan bahkan dibasmi. 


Sang Lewi - dalam perumpamaan orang Samaria yang murah hati (bdk. Luk. 10:25-37) – yang memilih berlalu pergi dari situasi korban para penyamun lebih memilih berpegang teguh pada hukum agama (Yahudi) tentang kategori „yang kudus“ dan „yang najis“. (Dalam hal ini, „Yang Kudus“ adalah segala apa yang menuntun orang kepada kedekatan dengan ALLAH: Deines, R. 2003, Art, Rein und Unrein, 1126.) Dengan demikian, kategori „kekudusan“ menjadi syarat mutlak komunikasi dengan yang Ilahi – dan untuk seorang imam/Lewi, kekudusan menjadi simbol status.


Tentang (kehidupan) beragama, kita lebih mempersoalkan sistem-sistem simbol religius seperti kategori „kudus-najis“ atau„kafir-religus/atheis“ lalu melalaikan aspek-aspek kemanusiaan. Sakramen-sakramen, yang adalah tanda „pengudusan“ dan sarana keselamatan (mendekatkan kita pada ALLAH), kiranya juga diterangi oleh spirit pelayanan kemanusiaan dan bukan sekadar mewarisi tradisi. Bukankah jubah agama semestinya menjadikan nilai-nilai kemanusiaan semakin terpancar, juga hingga ke ruang-ruang yang gelap di mata kita? Ya, semestinya!

Selamat berhari Minggu! VL
Quelle: JW.org



26 May 2019

“Pada Masa Itu ...” In memoriam Paul Sabon Nama

“Pada Masa Itu ...”
Paul Sabon Nama
Dosen Kitab Suci Profesional 1967-1977
Pengawal Pembentukan STF(T)K Ledalero

John Mansford Prior


Sejak awal 1960an komunitas Ledalero tergoncang oleh pertentangan antara dosen yang berasal dari Belanda dan beberapa dosen muda dari Indonesia. Orang Belanda, yang masih memegang kekuasaan di Provinsi SVD Ende dan di Seminari Ledalero, mengambil langkah memindahkan dosen Indonesia dari seminari. Tahun 1963 Mige Raya (1928-2011), dosen teologi sejak tahun 1958 dipindahkan ke Papua. Puncaknya terjadi pada tahun 1966 ketika lagi tiga dosen dipindahkan dari Ledalero: Stefanus Kopong Keda (1924-2001) dosen liturgi praktis 1964-1966;1 Clemens Pareira (1926-1970) dosen filsafat 1963-1966, dipindahkan ke Maumere; dan Lambert Padji Seran (1930-2007) dosen sejarah Gereja 1964-1966, dipindahkan ke Lembata.2 Dalam seketika gerakan “indonesianisasi” yang diilhami pembaruan Konsili Vatikan II (1962-1965) dan yang dipelopori dosen-dosen muda ini dihentikan.3 Mengutip Sabon.

Selengkapnya: klik link di bawah ini!

LITERASI MATEMATIKA LAMAHOLOT (Dr. Wara Sabon Dominikus)

LITERASI MATEMATIKA LAMAHOLOT
Dr. Wara Sabon Dominikus, M.Sc

Pesatnya perkembangan teknologi dan derasnya arus globalisasi telah
berpengaruh pada perubahan pola hidup masyarakat. Demikian juga dampaknya
terhadap perubahan budaya bangsa dan budaya lokal pun tak terhindarkan. Nilai-nilai
budaya yang menjadi perekat kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
semakin luntur (Suwarsono, 2014). Sikap dan perilaku ramah, santun, kerjasama, saling
menolong, saling menghormati, dan saling menghargai semakin terkikis dan bahkan
lama-kelamaan bisa hilang. Perkelahian para pelajar, kekerasan terhadap siswa,
pemukulan guru oleh orangtua murid, perkelahian antar suku, konflik horizontal dalam
masyarakat sering terjadi di mana-mana baik di lingkungan desa maupun di kota.

Berbagai usaha dilakukan pemerintah Indonesia untuk mempertahankan dan
melestarikan budaya bangsa dan budaya lokal. Salah satu upaya yang dilakukan
pemerintah adalah melalui gerakan revolusi mental bagi seluruh komponen bangsa.
Disamping itu juga dilaksanakan pendidikan karakter bagi para siswa di jalur pendidikan
formal.

Pendidikan matematika sebagai bagian dari pendidikan formal turut berperan
dalam upaya pelesatarian budaya dan penanaman nilai-nilai budaya serta pembangunan
budaya bangsa (Suwarsono, 2014). Untuk itu kajian budaya dari aspek matematika sangat
dibutuhkan karena matematika merupakan konstruksi sosial-budaya, produk budaya, dan
terkandung dalam budaya (Ernest, 1993; Bishop, 1988; Dowling, 1998; Gerdes, 1997).
Hasil kajian matematika dalam budaya yang kemudian diintegrasikan dalam
pembelajaran matematika merupakan upaya sistematis melalui pendidikan (pendidikan
matematika) dalam pelestarian dan pewarisan budaya. Dalam hal ini matematika juga
memiliki kekuatan yang dapat digunakan untuk mempertahankan budaya dan memajukan
budaya karena matematika itu sendiri terkandung dalam budaya dan menyatu dengan
budaya.

Selengkapnya: klik link di bawah ini!

Literasi Matematika Lamaholot

Diakses dari ResearchGate

BANDING YOSIA - BANTING JOKOWI (Dr. John Mansford Prior)

Banding Yosia, Banting Jokowi: Alkitab Membangkir Reformasi dari Atas

John Mansford Prior


Sebetulnya, bagi orang beriman tidak ada opsi dalam PilPres 2014. Kita diminta memilih antara seorang papalele mebel dan seorang dari dunia militer yang pernah diberhentikan karena dililiti rupa-rupa persoalan menyangkut pelanggaran HAM, baik seputar insiden pembantaian di Timor Leste pada 1983, pun sekitar peristiwa penculikan mahasiswa di Jakarta pada 1998.2 Jelas, orang beriman tak ragu, tak bimbang. Tetapi, menjatuhkan pilihannya pada calon presiden yang belum pernah menculik atau membunuh, tak berarti negara pasti kembali pada alur reformasi semula (1998-2001). 

Di sini saya hendak membandingkan keadaan di Indonesia akhir-akhir ini dengan kondisi di Yudea pada abad ke-7 sebelum Maseh. Raja Hizkia (725-697 sM) pernah merintis sebuah reformasi di Yerusalem. Namun beliau disusul oleh putranya, Manasye (696-642 sM), yang dijuluki “penjelma kejahatan” dan yang harus bertanggungjawab atas penghancuran Yudea dan pembuangan kaum elit ke Babilonia seratus tahun kemudian –sekurang-kurangnya menurut penutur sejarah Deuteronomik (2 Raja 21:10-15). Yosia, cucu Manasye, mengganti kakeknya dan disanjung oleh pengisah sebagai raja yang “melakukan apa yang benar di mata Tuhan dan hidup sama seperti Daud, bapa leluhurnya, dan tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri.” (2 Raja 22:2) Sepertinya santo dan setan silih bergantian memimpin negara. Melihat rumitnya menggalakkan reformasi di Indonesia, mungkin saja kita dapat memetik sebutir-dua pelajaran dari sejarah Yudea yang kocar-kacir itu untuk menanggapi kericuhan yang kita alami di Indonesia sekarang ini.

Selengkapnya: klik link di bawah ini!
BANDING YOSIA, BANTING JOKOWO (John Prior)

Diakses dari: University of Divinity


30 March 2019

PUSTAKA LAMAHOLOT_Ata Lamaholot dalam Sorotan Budaya Dunia


Judul                        : Ata Lamaholot dalam Sorotan Budaya Dunia
Editor                       : Padre Yoseph Muda
Penerbit                   : Kanisius
Tahun Terbit           : 2016
Tebal                        : 681 halaman

Ilmu pengetahuan dewasa ini, khususnya dalam bidang arkeologi, telah memberikan sebuah perhatian khusus terhadap pentingnya mitos dan legenda. Cerita rakyat yang dulu dianggap sebagai hasil khayalan belaka dari sekelompok manusia purba yang tidak berpendidikan, ternyata kini disambut sebagai sumber mata air yang terus mengalirkan bermacam ragam ilmu pengetahuan. Bagi anak-anak budaya itu sendiri, mitos dan legenda diyakini bersifat keramat, karena justru diwariskan oleh para dewa atau para pahlawan mitis tertentu.
Penulis buku ini telah berusaha menelusuri arti dan pesan yang tertulis dalam cerita mitos, dan telah berupaya menggali makna yang tersirat dalam berbagai ungkapan baku yang bergayut pada dahan pohon kehidupan budayanya sendiri. Harapannya, semoga di sekolah-sekolah, para pengajar ilmu pengetahuan tidak lagi mengambil sikap negatif terhadap mitos, melainkan mempergunakannya sebagai bahan baku untuk melacak kebenaran hidup manusia di zaman purba. Hanya dengan demikian, maka dapat dipahami arti hidup dan perjuangannya, agar manusia dewasa ini mampu mengambil langkah-langkah yang lebih bijaksana untuk menghadapi masa depan, dengan menghindari tingkah laku yang pada akhirnya justru akan menghancurkan eksistensi dan sivilisasinya sendiri. (catatan pada cover belakang buku

28 March 2019

MERAWAT NUBA DARI PINGGIR (Sebuah „Laudatio“ untuk Para Pembersih Sampah di TPAS Nuba)


MERAWAT NUBA DARI PINGGIR
(Sebuah „Laudatio“ untuk Para Pembersih Sampah di TPAS Nuba)

Gretta Thunberg - Aktivis Cilik Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim -©Kleine Zeitung



Belum lama ini publik internasional, secara khusus lembaga jaringan kerja United Nation untuk perubahan iklim dihebohkan oleh berita tampilnya Greta Thunberg, seorang aktivis muda lingkungan hidup dan perubahan iklim. Greta yang baru berusia 16 tahun itu sering tampil bersama teman-teman sekelasnya serta para simpatisan lainnya pada program „Jumatan“ kampanye lingkungan hidup dan perubahan iklim. Tidak heran, gadis kecil asal Swedia ini pernah tampil di atas panggung UN dalam sebuah konferensi perubahan iklim. Dari balik mimbar Greta kecil lantang membawakan orasi di hadapan para tokoh politik internasional yang hadir dalam konferensi dunia tentang perubahan iklim di Kattowitz, Polandia, Desember 2018 silam.

Kemunculan dan gerak peruabahan aktivis muda ini tidak hanya mendapat dukungan atau sambutan positif dari banyak orang, tetapi juga menuai kritik yang tidak sedikit. Ada yang mengangkat „jempol“  melayangkan pujian dan menggangguk kagum, tapi juga ada sinisme dan suara pesimisime yang dialamatkan kepada Si Greta kecil, bahwa ia ditunggangi oleh kepentingan politik yang berada di baliknya, bahwa kampanye yang digalakannya hanyalah sebuah utopi, bahkan sampai pada mencurigai, bahwa gadis kecil itu mendereta kelainan psikis. Namun, semuanya itu tak mampu menghalangi langkah juang atau pun melumpuhkan taring keberaniannya untuk terus bersuara dan beraksi.“Anda hanya berbicara tentang pertumbuhan ekonomi yang terus berlanjut, karena Anda takut kehilangan popularitas. Bagi saya, apa yang saya lakukan bukanlah untuk mengejar popularitas. Yang terpenting bagiku adalah keadilan dalam seluruh diskursus tentang perubahan iklim serta nilai-nilai kehidupan dari plante-planet. Peradaban kita hanya dikorbankan untuk kepentingan segelintir orang yang hanya ingin memiliki lebih banyak uang. Itulah deretan penderitaan banyak orang untuk membayar glamour kehidupan segelintir orang“, demikian Gretta dalam pidatonya.

TPAS sebelum dibersihkan ©VoxNTT
Beberapa hari lalu Ison Kean memposting beberapa foto Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) milik pemerintah Kabupaten Flores Timur yang berlokasi di pinggiran pantai Nuba, Desa Mokantarak. Foto-foto itu menghadirkan suatu realitas yang lain dari yang sudah-sudah, sebagaimana yang saya baca di media atau melihatnya secara langsung saat liburan bulan Oktober tahun silam. Terus terang, bagi saya foto-foto itu memberi kesan kelegahan tersendiri karena ia mewartakan NUBA yang bersih dan asri seperti sediakala saat masih kecil. Oleh karena itu, saya pribadi dan tentu kita semua perlu merasa berterima kasih dan bangga atas inisiatif dan semangat gotong royong yang telah diwujudnyatakan dan membuahkan hasil ini. Aksi ini sesungguhnya merupakan sebuah interupsi bagi para pebisnis dan politisi yang kurang melihat lingkungan sebagai tema yang simpatik bagi publik. Dari pinggiran jalan mereka telah merawat NUBA. Dari pinggir kehidupan yang mungkin luput dari perhatian pemerintah, mereka rela dan bersedia datang ke NUBA, yang adalah juga pinggiran kota.

Pinggiran Pantai Nuba-Kini ©Ison Kean
Semoga aksi dari pinggiran ini dapat merambat sampai ke jantung kota, mampu membuka mata dan hati semua kita untuk mencintai lingkungan dan memberi perhatian serius baginya. Dengannya, mereka hendak mengetuk pintu hati Ribu Raut Lewo Tana untuk tetap merawat dan menjaga lingkungan alam. Jiwa yang „sadar lingkungan“ ini mesti ditenun sejak dini, baik di keluarga maupun di sekolah dan masyarakat.

Kita berharap, kiranya ke depan NUBA menjadi salah satu tempat wisata buat warga Desa Mokantarak dan tentu bagi seluruh masyarakat Flores Timur. Dan di atas segala harap, kita semua bersatu hati dan bergandeng tangan untuk MELAWAN segala aksi pencemaran lingkungan dan pengrusakan alam, tanpa mesti dibayar sepeser pun, tanpa peduli sinisme maupun pesimisme tentang utopi.


NUBA kini telah berubah
Pengap asap dan bau tengik sampah
jangan lagi jadi musibah
Ke sana jangan kau tumpuk wabah
Biarlah ini jadi amanah
Agar hidup bawa barokah

Salam ke Nuba
Vian Lein, Jerman 28.03.2019.

20 March 2019

PUSTKA LAMAHOLOT_Kisah Wato Wele-Lia Nurat, dalam Tradisi Puisi Lisan Flores Timur


Judul                     : Kisah Wato Wele-Lia Nurat, dalam Tradisi Puisi Lisan Flores Timur
Penulis                 : Yoseph Yapi Taum
Penerbit               : Yayasan Obor Indonesia
Tahun Terbit        : 1997
Tebal                    : 155


Masyarakat Lamaholot Flores Timur mengenal sastra lisan sebagai bentuk tradisi sastra yang paling dominan, karena penduduk di daerah-daerah NTT (Nusa Tenggara Timur) tidak mengenal tulisan daerah. Wilayah flores timur di pulau-pulau di Indonesia bagian timur umumnya merupakan wilayah puisi lisan yang terpelihara. Terpeliharanya sastra lisan Flores Timur antara lain karena tradisi lisan dan tradisi retorika menduduki posisi penting dalam komunikasi antar-komunitas. Melalui sastra lisan itulah masyarakat berkomunikasi, mewariskan, dan mengembangkan pengetahuan dan pola sikap tentang dan atas kehidupan. Sastra lisan mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam kehidupan sosial-budaya Flores Timur (hal. 2).

Sejarah demografis penduduk Flores Timur menunjukkan bahwa masyarakat ini sangat majemuk, dilihat dari segi asal-usul, bahasa (dialek), filsafat, dan pandangan hidupnya. Dari berbagai cerita asal-usul dapat diketahui berbagai kecenderungan umum, antara lain cerita yang totemistis, legendaris, mitologis dan historis. Tidak jarang pluralitas dan heterogenitas masyarakatnya menimbulkan konflik-konflik kepentingan bahkan pertentangan dan peperangan. Meskipun demikian, masyarakat ini dapat membentuk sebuah komunitas sosial budaya dengan pranata-pranatanya yang kiranya mampu memberikan jaminan bagi rasa aman dan menciptakan persatuan dan kesatuan masyarakatnya. Pranata sosila-budaya itu mencakup unsur-unsur narasi asal-usul (tutu maring usu-asa) dan unsur-unsur ritual (nuba nara, korke dan nama).

[Uraian dalam buku ini ] menunjukkan bahwa cerita sejarah asal-usul memainkan peranan yang sangat penting dalam rangka membina kohesi masyarakat dan mendapatkan legitimasi sosial. Mengingat fungsi penting yang dimilikinya, cerita sejarah asal-usul dituturkan dengan mengikuti kaidah-kaidah dan norma-norma tertentu secara ketat dan teratur, baik dari segi struktur maupun isi naratifnya. Meskipun tidak terdapat pola atau sistem pendidikan yang secara khusus mengajarkan kaidah-kaidah bahasa sastra koda knalan dan koda lamaholot, penceritaan kisah sejarah asal-usul itu sendiri secara struktural memiliki sejumlah kaidah yang diikuti secara ketat karena penyimpangannya mendapat sanksi adat yang keras. Wadah bahasa yang digunakan, yakni koda knalan ataupun koda Lamaholot mengikuti prinsip penyepasangan uo-matan (alas – penutup) yang memudahkan penghafalan.

Cerita Wato Wele-Lia Nurat merupakan salah satu cerita sejarah asal-usul (tutu mnaring usu-asa) yang relatif luas daerah perseberannya. Sebagai sebuah cerita yang dikeramatkan, dapat diasumsikan bahwa cerita ini diwariskan secara ketat. Namun demikian, ternyata kisah Wato Wele-Lia Nurat ditemukan dalam berbagai versi yang berbeda-beda bahkan bertentangan satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan versi yang tampak dalam variasi-variasi teks saksi kiranya merupakan refleksi atau cerminan dari keragaman struktur sosial masyarakat Flores Timur […]. (hal. 13-14).

Proses perangkuman karya ini hingga akhirnya hadir ke tangan pembaca bukanlah suatu jalan yang mudah sebagaimana kisah penulis:

„Cerita Wato Wele-Lia Nurat merupakan jenis sejarah asal-usul (tutu maring usu-asa) yang dikeramatkan, terutama oleh suku lle Jadi dan Larantuka. Keadaan ini mula-mula menyulitkan peneliti dalam mendapatkan kisah itu secara utuh. Jalan keluar yang ditempuh adalah meminta izin dan restu (tena prat) kepada Lewotanah (nenek moyang) melalui tuan tanah setempat. Peneliti dibawa ke batu pemujaan (nuba nara) di Desa Waibalun untuk melakukan ritus tena prat. Setelah ritus singkat itu dilaksanakan, peneliti secara leluasa mendapatkan cerita sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Mendapatkan cerita Wato Wele-Lia Nurat dari orang luar lle Jadi dan Larantuka menghadapi kesulitan tersendiri. Ketika diminta mereka mengatakan bahwa cerita itu milik orang lain (tutu maring usu-asa pe-ma ata raE). Setelah dijelaskan bahwa kepentingan penelitian ini semata-mata bersifat studi kesusastraan, hilanglah rasa curiga mereka dan peneliti pun mendapatkan cerita yang dibutuhkan. Kesulitan lainnya, jumlah tua-tua adat yang masih mampu menggunakan bahasa sastra (koda knalan maupun koda Lamaholot) sudah sangat terbatas. Di luar wilayah Kecamatan Tanjung Bunga, Larantuka, dan Wulang Gitang, cerita Wato Wele-Lia Nurat tidak diketahui lagi“ (hal. 16-17).