PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

15 February 2016

PELABUHAN LAUT LARANTUKA

PELABUHAN LAUT LARANTUKA
Antara Kebanggaan Wajah Baru dan Etika Pemanfaatan
Vianey Lein
Warga Flores Timur, tinggal di Sankt Augustin - Jerman
 
Masyarakat Flores Timur mungkin merasa senang dan bangga dengan wajah pelabuhan lautnya yang telah dibikin indah. Reklamasi pelabuhan laut yang menghabiskan dana sebesar Rp.8 Milyar itu, sebagaimana yang dikemukakan Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas III Larantuka, Rifai, S.Sos., diharapkan bisa mengembangkan rute transportasi laut dan membantu masyarakat dalam mendapatkan kebutuhan pokok secara murah dan mudah terjangkau berkat pelayaran tol kapal-kapal barang dari Surabaya (bdk. Pos Kupang, 26 Januari 2016). Sebagai salah satu kesuksesan dalam pembangunan infrastruktur, kita juga patut memberi apresiasi atas kerjasama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah Flotim. Kepada mereka kita juga berterima kasih.
Di sini pelabuhan laut secara tidak langsung didefiniskan sebagai simbol kekuatan dagang dan perekonomian masyarakat. Kita, masyarakat dan para pemimpin, menebar harap pada wajah baru pelabuhan agar bisa membantu menata tubuh perekonomian masyarakat yang lagi „sakit“ dan memperlancar arus transportasi laut yang mungkin lagi „pincang“. Tetapi, agar semua debar harapan itu tidak mati bersama janji politik yang telah ditabur di atas lahan bisnis dan kapitalisme, dari kita dituntut aksi. Kita mesti berbuat!
Ramah Lingkungan
Tidak pelak lagi, bahwa di tengah arus globalisasi dan industri isu lingkungan hampir selalu menjadi topik yang juga turut diperdebatkan. Itu tidak mustahil karena industri dalam model apapun bersinggungan langsung dengan lingkungan. Fasilitas pelabuhan laut yang telah dibenah menjadi „baru“ bukanlah menjadi skala atau modal „keindahan“ wajah pelabuhan Kota Reinha yang terkenal dengan prosesi baharinya itu. Modal terpenting untuk menjaga keindahan pelabuhan adalah hati setiap yang memandang dan cita rasa untuk  memiliki (sense of belonging). Di sini setiap orang ditantang untuk menggunakan segala fasilitas yang ada bukan hanya dengan dengan kerja otak dan anggota badan, melainkan juga dengan hati. Artinya, kesadaran untuk menjaga kebersihan lingkungan di sekitar pelabuhan harus ditanam dalam diri setiap orang. Jika dalam diri setiap orang yang keluar masuk pelabuhan memiliki kesadaran “cinta akan lingkungan pelabuhan”, maka kita tidak lagi melihat sampah-sampah plastik, kertas, kain bekas, pecahan botol, sisa makanan atau pun kotoran manusia yang berserakan di darat maupun di laut. Pola konsumsi dan produksi mesti diperhatikan agar sisa-sisa sampah dan limbah buangan tidak ditinggalkan begitu saja di lokasi pelabuhan. Karena itu perlu diadakan kotak-kotak sampah dan toilet umum di lokasi pelabuhan. Setiap orang mesti memberi per-HATI-an kepada wajah baru pelabuhan, dengan membuang sampah pada tempatnya. Mungkin ini butuh waktu dan proses belajar karena kebiasaan dan sistem pembuangan sampah belum menjadi kebudayaan yang mentradisi dari generasi ke generasi. Proses ini juga menjadi revolusi mental yang perlu mendapat perhatian serius.
Ramah dalam Pelayanan
Di samping lingkungan alam sekitar, sistem pengoperasian dan pemanfaatan sebuah hasil pembangunan harus memperhatikan juga masyarakat yang adalah tujuan dari pembangunan itu sendiri. Spiritualitas pelayanan  semestinya menjadi karakter yang menjiwai seluruh sistem manajemen di lokasi pelabuhan laut Larantuka. Masyarakat, baik penawar jasa seperti porter pelabuhan, juragan dan anak buah kapal, sopir angkot dan kondektur, serta ojek dan pemungut pajak dan karcis masuk pelabuhan, maupun pengguna jasa, dituntut untuk tidak hanya ramah terhadap lingkungan alam tetapi juga menaruh respek satu sama lain.
Sering kita mendengar berbagai aksi premanisme yang menggangu rasa nyaman setiap penumpang yang datang dan pergi dan pungutan yang melambung tinggi. Ada begitu banyak keluhan masyarakat tentang biaya porter dan tarif angkutan umum atau ojek untuk penumpang kapal. Sebuah pertanyaan: apakah ada klasifikasi tarif berdasarkan jenis penumpang dan waktu? Praktek ini (bisa jadi digolongkan dalam pengutan liar) terjadi juga di beberapa lokasi bandar udara di Flores. Tarif pembayaran transportasi untuk penumpang dari pelabuhan laut atau bandar udara (khususnya waktu malam) ditagih jauh lebih tinggi daripada penumpang biasa, padahal jarak tempuh hampir sama atau bahkan lebih kurang. Untuk menghindari aksi premanisme dan pungutan yang melambung tinggi serta untuk mengantisipasi terjadinya konflik atau perkelahian antara penumpang dan penawar jasa, Pemda Flotim perlu segera menyikapi hal ini. Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Perhubungan dan Lalu Lintas Angkutan Jalan, Dinas Perpajakan Daerah dan Pihak Keamanan, secara bersama perlu menetapkan ketentuan yang “adil” dan “tegas”  untuk mengatur aktivitas “pasar” dan arus lalu lintas di pelabuhan.
Keluhan dan kerasahan masyarakat tentang seluruh persoalan di atas mesti ditanggapi secara serius, agar wajah baru pelabuhan kota Larantuka tidak hanya memancarkan keindahan fisik bangunan atau fasilitas, melainkan juga menjadi “dermaga” yang tenang dan damai bagi siapa saja yang berlayar di tengah ombak kapitalisme dan arus globalisasi. Selamat “berlabuh” di dermaga Larantuka!!!
 
Pelabuhan Laut Larantuka
 
 
 
 
 

No comments:

Post a Comment