PELABUHAN
LAUT LARANTUKA
Antara
Kebanggaan Wajah Baru dan Etika Pemanfaatan
Vianey Lein
Warga Flores Timur, tinggal di Sankt Augustin - Jerman
Masyarakat
Flores Timur mungkin merasa senang dan bangga dengan wajah pelabuhan lautnya
yang telah dibikin indah. Reklamasi pelabuhan laut yang menghabiskan dana
sebesar Rp.8 Milyar itu, sebagaimana yang dikemukakan Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas III Larantuka, Rifai, S.Sos., diharapkan bisa
mengembangkan rute transportasi laut dan membantu masyarakat dalam mendapatkan
kebutuhan pokok secara murah dan mudah terjangkau berkat pelayaran tol
kapal-kapal barang dari Surabaya (bdk. Pos Kupang, 26
Januari 2016). Sebagai salah satu kesuksesan dalam pembangunan infrastruktur,
kita juga patut memberi apresiasi atas kerjasama antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah Flotim. Kepada mereka kita juga berterima kasih.
Di
sini pelabuhan laut secara tidak langsung didefiniskan sebagai simbol kekuatan
dagang dan perekonomian masyarakat. Kita, masyarakat dan para pemimpin, menebar
harap pada wajah baru pelabuhan agar bisa membantu menata tubuh perekonomian
masyarakat yang lagi „sakit“ dan memperlancar arus transportasi laut yang
mungkin lagi „pincang“. Tetapi, agar semua debar harapan itu tidak mati bersama
janji politik yang telah ditabur di atas lahan bisnis dan kapitalisme, dari
kita dituntut aksi. Kita mesti berbuat!
Ramah Lingkungan
Tidak
pelak lagi, bahwa di tengah arus globalisasi dan industri isu lingkungan hampir
selalu menjadi topik yang juga turut diperdebatkan. Itu tidak mustahil karena
industri dalam model apapun bersinggungan langsung dengan lingkungan. Fasilitas
pelabuhan laut yang telah dibenah menjadi „baru“ bukanlah menjadi skala atau modal
„keindahan“ wajah pelabuhan Kota Reinha yang terkenal dengan prosesi baharinya
itu. Modal terpenting
untuk menjaga keindahan pelabuhan adalah hati setiap yang memandang dan cita
rasa untuk memiliki (sense of
belonging). Di sini setiap orang ditantang untuk menggunakan segala
fasilitas yang ada bukan hanya dengan dengan kerja otak dan anggota badan,
melainkan juga dengan hati. Artinya, kesadaran untuk menjaga kebersihan
lingkungan di sekitar pelabuhan harus ditanam dalam diri setiap orang. Jika
dalam diri setiap orang yang keluar masuk pelabuhan memiliki kesadaran “cinta
akan lingkungan pelabuhan”, maka kita tidak lagi melihat sampah-sampah plastik,
kertas, kain bekas, pecahan botol, sisa makanan atau pun kotoran manusia yang
berserakan di darat maupun di laut. Pola konsumsi dan produksi mesti
diperhatikan agar sisa-sisa sampah dan limbah buangan tidak ditinggalkan begitu
saja di lokasi pelabuhan. Karena itu perlu diadakan kotak-kotak sampah dan
toilet umum di lokasi pelabuhan. Setiap orang mesti memberi per-HATI-an kepada
wajah baru pelabuhan, dengan membuang sampah pada tempatnya. Mungkin ini butuh
waktu dan proses belajar karena kebiasaan dan sistem pembuangan sampah belum
menjadi kebudayaan yang mentradisi dari generasi ke generasi. Proses ini juga menjadi
revolusi mental yang perlu mendapat perhatian serius.
Ramah
dalam Pelayanan
Di samping lingkungan alam sekitar, sistem
pengoperasian dan pemanfaatan sebuah hasil pembangunan harus memperhatikan juga
masyarakat yang adalah tujuan dari pembangunan itu sendiri. Spiritualitas
pelayanan semestinya menjadi karakter
yang menjiwai seluruh sistem manajemen di lokasi pelabuhan laut Larantuka.
Masyarakat, baik penawar jasa seperti porter pelabuhan, juragan dan anak buah kapal,
sopir angkot dan kondektur, serta ojek dan pemungut pajak dan karcis masuk
pelabuhan, maupun pengguna jasa, dituntut untuk tidak hanya ramah terhadap
lingkungan alam tetapi juga menaruh respek satu sama lain.
Sering kita mendengar berbagai aksi premanisme yang
menggangu rasa nyaman setiap penumpang yang datang dan pergi dan pungutan yang
melambung tinggi. Ada begitu banyak keluhan masyarakat tentang biaya porter dan
tarif angkutan umum atau ojek untuk penumpang kapal. Sebuah pertanyaan: apakah
ada klasifikasi tarif berdasarkan jenis penumpang dan waktu? Praktek ini (bisa
jadi digolongkan dalam pengutan liar) terjadi juga di beberapa lokasi bandar
udara di Flores. Tarif pembayaran transportasi untuk penumpang dari pelabuhan
laut atau bandar udara (khususnya waktu malam) ditagih jauh lebih tinggi
daripada penumpang biasa, padahal jarak tempuh hampir sama atau bahkan lebih
kurang. Untuk menghindari aksi premanisme dan pungutan yang melambung tinggi
serta untuk mengantisipasi terjadinya konflik atau perkelahian antara penumpang
dan penawar jasa, Pemda Flotim perlu segera menyikapi hal ini. Pemerintah
Daerah, dalam hal ini Dinas Perhubungan dan Lalu Lintas Angkutan Jalan, Dinas
Perpajakan Daerah dan Pihak Keamanan, secara bersama perlu menetapkan ketentuan
yang “adil” dan “tegas” untuk mengatur aktivitas
“pasar” dan arus lalu lintas di pelabuhan.
Keluhan dan kerasahan masyarakat tentang seluruh
persoalan di atas mesti ditanggapi secara serius, agar wajah baru pelabuhan
kota Larantuka tidak hanya memancarkan keindahan fisik bangunan atau fasilitas,
melainkan juga menjadi “dermaga” yang tenang dan damai bagi siapa saja yang
berlayar di tengah ombak kapitalisme dan arus globalisasi. Selamat “berlabuh”
di dermaga Larantuka!!!
Pelabuhan Laut Larantuka |
No comments:
Post a Comment