RAINBOW RELIGION atau RAMBO RELIGION*
Tentang Pluralitas Agama di Indonesia
Tentang Pluralitas Agama di Indonesia
Vianey Lein
Keanekaragaman etnis, suku, budaya
dan agama menjadikan bangsa kita Indonesia sebagai sebuah masyarakat „modern“
yang bercorak pluralistis. Di samping kebanggaan toleransi yang telah dibina di
beberapa wilayah, mesti pula kita akui secara jujur, bahwa suatu hidup bersama
di negara yang majemuk ini bukan tanpa konflik dengan berbagai macam akar
persoalan. Konflik antaragama adalah persoalan yang hampir sering kita dengar
akhir-akhir ini: larangan pembangunan rumah ibadat, pembatasan kebebasan
merayakan ibadah tanpa alasan yang jelas, pengharaman penggunaan
„atribut-atribut keagamaan“ disertai intimidasi mulai dari busana seperti topi
Sinterklas hingga kemasan makanan. Pertanyaan krusial yang syah dan patut kita
ajukan berhadapan dengan persoalan-persoalan yang ada adalah: apa peran agama
dalam sebuah masyarakat yang berciri plural? Apakah (perbedaan) agama dan kaum
beriman memberi kontribusi untuk terciptanya suatu hidup bersama yang mendukung
rajutan pluralisme? Atau (perbedaan) agama justru menjadi penghalang bahkan
penyulut konflik? Apakah gugusan kebenaran-kebenaran atau dogma yang diyakini
masing-masing agama memantik konflik dan permusuhan dengan agama lain?
Ketakutan Pluralisme dan Dilema
Toleransi
Pluralitas agama merupakan realitas
yang tak bisa ditolak dan pengakuan serta penghargaan akan yang „lain“ dengan
„keberlainannya“ adalah sikap dasar untuk membangun dialog. Perjumpaan antara
pemeluk agama yang kian intens kerapkali terjadi dalam kondisi penuh curiga dibarengi
ketakutan, bahwa komunitas yang satu menjadi dominan dan pada akhirnbya
menguasai dimensi-dimensi kehidupan bermasyarakat seperti pendidikan,
ekonomi/pekerjaan dan politik. Cita-cita hidup bersama secara damai yang
didasari sikap hormat akan keberagaman menjadi jalan panjang yang tak mudah
dilalui ketika masing-masing kelompok (agama, suku, atau budaya) terkurung
dalam tenda eksklusvisme dan fanatisme. Prasangka tentang dan ketakutan akan
dikuasai „yang lain“ ketika membuka diri untuk memberi ruang bagi „yang lain“
adalah racikan senyawa dari ledakan suatu konflik. Justifikasi (hasutan)
„perjuangan atas nama kebenaran dan membela Allah dan Kitab Suci“ dari pemimpin
agama maupun politik turut menjadi pemantik dalam meledakan racikan bom SARA.
Misinya jelas: siapa yang tidak terhitung dalam kelompok saya adalah musuh
(yang secara naif diberi label „kafir“) yang mesti dibasmi, dan praktek yang
berseberangan dengan apa yang saya yakini adalah haram atau berhala, dan karena
itu mesti ditentang dan digagalkan. Pluralisme agama yang adalah paradigma
tentang keberagaman tidak lagi mendapat nilai positif, bahwa masing-masing
orang bisa menimba kebajikan-kebajikan ilahi dari kelompok agama lain yang
berbeda. Gagasan tentang pluralisme agama justru dinilai membingungkan dan
praktek tentangnya penuh dilema dan kecurigaan yang bisa jadi berorientasi
fundamentalis. Pemahaman tentang nilai-nilai kebenaran agama sendiri yang
bersifat absolut bukan tidak mungkin akan menggiring kepada sikap intoleransi
dan anarkis. Tidak memberi ruang kebebasan kepada kelompok agama lain sebagai
langkah protektif terhadap agama sendiri sesungguhnya sangat bertentangan
dengan nilai-nilai agama dan pancasila.
Membuka Diri, Menepis Prasangka
Membuka diri bagi yang lain –
termasuk terbuka terhadap kritik – dan mengakui keberagaman adalah sikap
fundamental dalam sebuah dialog. Itu berarti, setiap orang mesti keluar dari
„klaim monopoli kebenaran“ bahwa agamanya sendirilah yang paling benar, serta
mengakui bahwa nilai-nilai kebenaran yang mengajarkan jalan kepada keselamatan
yang diyakini, juga ada pada komunitas agama lain. Sikap membuka diri dan
pengakuan akan keberagaman agama menuntut sikap apa yang Juergen Habermas sebut
sebagai „kesadaran religius“ (religioese Bewusstsein), „kesadaran akan
solidaritas yang telah dilukai, kesadaran akan keterbatasan masing-masing“
(Habermas: 2008, 30).
Kondisi masyarakat (agama) yang
tertutup ini juga menjadi kegelisahan Karl Popper yang ia refleksikan dalam
karyanya „Die offene Gesellschaft und ihre Feinde“ (Masyarakat Terbuka dan
Musuh-musuhnya: 1958). Dalam karyanya itu, Popper mengingatkan bahwa masyarakat
tertutup yang berciri magis, tribal, kolektivis dan yang takut terhadap
perubahan karena memiliki struktur yang kaku, akan menjadi dasar ideologi totaliter
yang menghancurkan kemanusiaan. Kelompok masyarakat tertutup akan berusaha
mengeliminasi kelompok lain yang berbeda atau berseberangan dengannya. Oleh
karena itu ia menganjurkan model „masyarakat terbuka“ yang memiliki kemampuan
dan kesediaan untuk berubah. Tuntutan untuk sebuah „masyarakat terbuka“ adalah
kebebasan berpendapat dan kesanggupan diskusi publik (Popper: 2003).
Gagasan „masyarakat terbuka“ membuka
horison yang lebih luas bagi sisi kemanusiaan, bahwa „yang lain“ dari aku tidak
hanya mereka yang berbeda keyakinan, suku atau budaya, melainkan juga mereka
yang menderita, kaum miskin dan tertindas, serta orang-orang yang dikorbankan
atas rekayasa hukum. Kita lebih banyak menghabiskan waktu, tenaga dan pikiran
untuk mempersoalkan perbedaan agama dengan segala tetek bengeknya seperti
pelaksanaan hari raya, ucapan selamat serta penggunaan atribut-atribut
keagamaan hingga lupa hal yang jauh lebih urgen. Tantangan terbesar komunitas
beragama di Indonesia saat ini bukan lagi elemen-elemen perbedaan yang ada
dalam tubuh masing-masing agama, melainkan persoalan-persoalan
moral-kemanusiaan: praktik korupsi, korban gempa bumi di Aceh, kemiskinan,
kurangnya persediaan air minum bersih, dll. Basis perjuangan untuk kemanusiaan
ini adalah spirit mistik compassio; artinya tidak hanya sekedar ekspresi empati
tetapi juga mengambil bagian dalam penderitaan orang lain secara nyata dan
berjuang bersama mereka.
Berkaitan dengan berbagai konflik antaragama di Tanah Air, kita bisa menilai dan mengevaluasi peran dan fungsi agama: apakah agama yang saya anut merupakan „Rainbow Religion“ – agama yang siap berdampingan dengan yang lain membentuk „harmoni-damai pelangi“ karena didasari atas keyakinan bahwa keberagaman itu indah? Atau agama yang saya yakini menjadi „Rambo“ yang siap menghancurkan komunitas agama lain? Yang diperlukan bangsa kita adalah keberanian menghalau awan kelabu kecurigaan dan jiwa besar menepis angin prasangka agar bersama - dengan segala keberagaman - mampu memancarkan pelangi damai. Kita tak perlu takut terhadap adanya perbedaan!***
Berkaitan dengan berbagai konflik antaragama di Tanah Air, kita bisa menilai dan mengevaluasi peran dan fungsi agama: apakah agama yang saya anut merupakan „Rainbow Religion“ – agama yang siap berdampingan dengan yang lain membentuk „harmoni-damai pelangi“ karena didasari atas keyakinan bahwa keberagaman itu indah? Atau agama yang saya yakini menjadi „Rambo“ yang siap menghancurkan komunitas agama lain? Yang diperlukan bangsa kita adalah keberanian menghalau awan kelabu kecurigaan dan jiwa besar menepis angin prasangka agar bersama - dengan segala keberagaman - mampu memancarkan pelangi damai. Kita tak perlu takut terhadap adanya perbedaan!***
Artikel ini terbit di kolom Opini media cetak Pos Kupang, 23 Desember 2016.
No comments:
Post a Comment