PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

03 February 2017

OPINI PLURALITAS AGAMA


RAINBOW RELIGION atau RAMBO RELIGION*
Tentang Pluralitas Agama di Indonesia
Vianey Lein


Keanekaragaman etnis, suku, budaya dan agama menjadikan bangsa kita Indonesia sebagai sebuah masyarakat „modern“ yang bercorak pluralistis. Di samping kebanggaan toleransi yang telah dibina di beberapa wilayah, mesti pula kita akui secara jujur, bahwa suatu hidup bersama di negara yang majemuk ini bukan tanpa konflik dengan berbagai macam akar persoalan. Konflik antaragama adalah persoalan yang hampir sering kita dengar akhir-akhir ini: larangan pembangunan rumah ibadat, pembatasan kebebasan merayakan ibadah tanpa alasan yang jelas, pengharaman penggunaan „atribut-atribut keagamaan“ disertai intimidasi mulai dari busana seperti topi Sinterklas hingga kemasan makanan. Pertanyaan krusial yang syah dan patut kita ajukan berhadapan dengan persoalan-persoalan yang ada adalah: apa peran agama dalam sebuah masyarakat yang berciri plural? Apakah (perbedaan) agama dan kaum beriman memberi kontribusi untuk terciptanya suatu hidup bersama yang mendukung rajutan pluralisme? Atau (perbedaan) agama justru menjadi penghalang bahkan penyulut konflik? Apakah gugusan kebenaran-kebenaran atau dogma yang diyakini masing-masing agama memantik konflik dan permusuhan dengan agama lain?

Ketakutan Pluralisme dan Dilema Toleransi

Pluralitas agama merupakan realitas yang tak bisa ditolak dan pengakuan serta penghargaan akan yang „lain“ dengan „keberlainannya“ adalah sikap dasar untuk membangun dialog. Perjumpaan antara pemeluk agama yang kian intens kerapkali terjadi dalam kondisi penuh curiga dibarengi ketakutan, bahwa komunitas yang satu menjadi dominan dan pada akhirnbya menguasai dimensi-dimensi kehidupan bermasyarakat seperti pendidikan, ekonomi/pekerjaan dan politik. Cita-cita hidup bersama secara damai yang didasari sikap hormat akan keberagaman menjadi jalan panjang yang tak mudah dilalui ketika masing-masing kelompok (agama, suku, atau budaya) terkurung dalam tenda eksklusvisme dan fanatisme. Prasangka tentang dan ketakutan akan dikuasai „yang lain“ ketika membuka diri untuk memberi ruang bagi „yang lain“ adalah racikan senyawa dari ledakan suatu konflik. Justifikasi (hasutan) „perjuangan atas nama kebenaran dan membela Allah dan Kitab Suci“ dari pemimpin agama maupun politik turut menjadi pemantik dalam meledakan racikan bom SARA. Misinya jelas: siapa yang tidak terhitung dalam kelompok saya adalah musuh (yang secara naif diberi label „kafir“) yang mesti dibasmi, dan praktek yang berseberangan dengan apa yang saya yakini adalah haram atau berhala, dan karena itu mesti ditentang dan digagalkan. Pluralisme agama yang adalah paradigma tentang keberagaman tidak lagi mendapat nilai positif, bahwa masing-masing orang bisa menimba kebajikan-kebajikan ilahi dari kelompok agama lain yang berbeda. Gagasan tentang pluralisme agama justru dinilai membingungkan dan praktek tentangnya penuh dilema dan kecurigaan yang bisa jadi berorientasi fundamentalis. Pemahaman tentang nilai-nilai kebenaran agama sendiri yang bersifat absolut bukan tidak mungkin akan menggiring kepada sikap intoleransi dan anarkis. Tidak memberi ruang kebebasan kepada kelompok agama lain sebagai langkah protektif terhadap agama sendiri sesungguhnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama dan pancasila.

Membuka Diri, Menepis Prasangka

Membuka diri bagi yang lain – termasuk terbuka terhadap kritik – dan mengakui keberagaman adalah sikap fundamental dalam sebuah dialog. Itu berarti, setiap orang mesti keluar dari „klaim monopoli kebenaran“ bahwa agamanya sendirilah yang paling benar, serta mengakui bahwa nilai-nilai kebenaran yang mengajarkan jalan kepada keselamatan yang diyakini, juga ada pada komunitas agama lain. Sikap membuka diri dan pengakuan akan keberagaman agama menuntut sikap apa yang Juergen Habermas sebut sebagai „kesadaran religius“ (religioese Bewusstsein), „kesadaran akan solidaritas yang telah dilukai, kesadaran akan keterbatasan masing-masing“ (Habermas: 2008, 30).

Kondisi masyarakat (agama) yang tertutup ini juga menjadi kegelisahan Karl Popper yang ia refleksikan dalam karyanya „Die offene Gesellschaft und ihre Feinde“ (Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya: 1958). Dalam karyanya itu, Popper mengingatkan bahwa masyarakat tertutup yang berciri magis, tribal, kolektivis dan yang takut terhadap perubahan karena memiliki struktur yang kaku, akan menjadi dasar ideologi totaliter yang menghancurkan kemanusiaan. Kelompok masyarakat tertutup akan berusaha mengeliminasi kelompok lain yang berbeda atau berseberangan dengannya. Oleh karena itu ia menganjurkan model „masyarakat terbuka“ yang memiliki kemampuan dan kesediaan untuk berubah. Tuntutan untuk sebuah „masyarakat terbuka“ adalah kebebasan berpendapat dan kesanggupan diskusi publik (Popper: 2003).

Gagasan „masyarakat terbuka“ membuka horison yang lebih luas bagi sisi kemanusiaan, bahwa „yang lain“ dari aku tidak hanya mereka yang berbeda keyakinan, suku atau budaya, melainkan juga mereka yang menderita, kaum miskin dan tertindas, serta orang-orang yang dikorbankan atas rekayasa hukum. Kita lebih banyak menghabiskan waktu, tenaga dan pikiran untuk mempersoalkan perbedaan agama dengan segala tetek bengeknya seperti pelaksanaan hari raya, ucapan selamat serta penggunaan atribut-atribut keagamaan hingga lupa hal yang jauh lebih urgen. Tantangan terbesar komunitas beragama di Indonesia saat ini bukan lagi elemen-elemen perbedaan yang ada dalam tubuh masing-masing agama, melainkan persoalan-persoalan moral-kemanusiaan: praktik korupsi, korban gempa bumi di Aceh, kemiskinan, kurangnya persediaan air minum bersih, dll. Basis perjuangan untuk kemanusiaan ini adalah spirit mistik compassio; artinya tidak hanya sekedar ekspresi empati tetapi juga mengambil bagian dalam penderitaan orang lain secara nyata dan berjuang bersama mereka.
Berkaitan dengan berbagai konflik antaragama di Tanah Air, kita bisa menilai dan mengevaluasi peran dan fungsi agama: apakah agama yang saya anut merupakan „Rainbow Religion“ – agama yang siap berdampingan dengan yang lain membentuk „harmoni-damai pelangi“ karena didasari atas keyakinan bahwa keberagaman itu indah? Atau agama yang saya yakini menjadi „Rambo“ yang siap menghancurkan komunitas agama lain? Yang diperlukan bangsa kita adalah keberanian menghalau awan kelabu kecurigaan dan jiwa besar menepis angin prasangka agar bersama - dengan segala keberagaman - mampu memancarkan pelangi damai. Kita tak perlu takut terhadap adanya perbedaan!***
Artikel ini terbit di kolom Opini media cetak Pos Kupang, 23 Desember 2016.


No comments:

Post a Comment