PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

20 March 2019

PUSTKA LAMAHOLOT_Kisah Wato Wele-Lia Nurat, dalam Tradisi Puisi Lisan Flores Timur


Judul                     : Kisah Wato Wele-Lia Nurat, dalam Tradisi Puisi Lisan Flores Timur
Penulis                 : Yoseph Yapi Taum
Penerbit               : Yayasan Obor Indonesia
Tahun Terbit        : 1997
Tebal                    : 155


Masyarakat Lamaholot Flores Timur mengenal sastra lisan sebagai bentuk tradisi sastra yang paling dominan, karena penduduk di daerah-daerah NTT (Nusa Tenggara Timur) tidak mengenal tulisan daerah. Wilayah flores timur di pulau-pulau di Indonesia bagian timur umumnya merupakan wilayah puisi lisan yang terpelihara. Terpeliharanya sastra lisan Flores Timur antara lain karena tradisi lisan dan tradisi retorika menduduki posisi penting dalam komunikasi antar-komunitas. Melalui sastra lisan itulah masyarakat berkomunikasi, mewariskan, dan mengembangkan pengetahuan dan pola sikap tentang dan atas kehidupan. Sastra lisan mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam kehidupan sosial-budaya Flores Timur (hal. 2).

Sejarah demografis penduduk Flores Timur menunjukkan bahwa masyarakat ini sangat majemuk, dilihat dari segi asal-usul, bahasa (dialek), filsafat, dan pandangan hidupnya. Dari berbagai cerita asal-usul dapat diketahui berbagai kecenderungan umum, antara lain cerita yang totemistis, legendaris, mitologis dan historis. Tidak jarang pluralitas dan heterogenitas masyarakatnya menimbulkan konflik-konflik kepentingan bahkan pertentangan dan peperangan. Meskipun demikian, masyarakat ini dapat membentuk sebuah komunitas sosial budaya dengan pranata-pranatanya yang kiranya mampu memberikan jaminan bagi rasa aman dan menciptakan persatuan dan kesatuan masyarakatnya. Pranata sosila-budaya itu mencakup unsur-unsur narasi asal-usul (tutu maring usu-asa) dan unsur-unsur ritual (nuba nara, korke dan nama).

[Uraian dalam buku ini ] menunjukkan bahwa cerita sejarah asal-usul memainkan peranan yang sangat penting dalam rangka membina kohesi masyarakat dan mendapatkan legitimasi sosial. Mengingat fungsi penting yang dimilikinya, cerita sejarah asal-usul dituturkan dengan mengikuti kaidah-kaidah dan norma-norma tertentu secara ketat dan teratur, baik dari segi struktur maupun isi naratifnya. Meskipun tidak terdapat pola atau sistem pendidikan yang secara khusus mengajarkan kaidah-kaidah bahasa sastra koda knalan dan koda lamaholot, penceritaan kisah sejarah asal-usul itu sendiri secara struktural memiliki sejumlah kaidah yang diikuti secara ketat karena penyimpangannya mendapat sanksi adat yang keras. Wadah bahasa yang digunakan, yakni koda knalan ataupun koda Lamaholot mengikuti prinsip penyepasangan uo-matan (alas – penutup) yang memudahkan penghafalan.

Cerita Wato Wele-Lia Nurat merupakan salah satu cerita sejarah asal-usul (tutu mnaring usu-asa) yang relatif luas daerah perseberannya. Sebagai sebuah cerita yang dikeramatkan, dapat diasumsikan bahwa cerita ini diwariskan secara ketat. Namun demikian, ternyata kisah Wato Wele-Lia Nurat ditemukan dalam berbagai versi yang berbeda-beda bahkan bertentangan satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan versi yang tampak dalam variasi-variasi teks saksi kiranya merupakan refleksi atau cerminan dari keragaman struktur sosial masyarakat Flores Timur […]. (hal. 13-14).

Proses perangkuman karya ini hingga akhirnya hadir ke tangan pembaca bukanlah suatu jalan yang mudah sebagaimana kisah penulis:

„Cerita Wato Wele-Lia Nurat merupakan jenis sejarah asal-usul (tutu maring usu-asa) yang dikeramatkan, terutama oleh suku lle Jadi dan Larantuka. Keadaan ini mula-mula menyulitkan peneliti dalam mendapatkan kisah itu secara utuh. Jalan keluar yang ditempuh adalah meminta izin dan restu (tena prat) kepada Lewotanah (nenek moyang) melalui tuan tanah setempat. Peneliti dibawa ke batu pemujaan (nuba nara) di Desa Waibalun untuk melakukan ritus tena prat. Setelah ritus singkat itu dilaksanakan, peneliti secara leluasa mendapatkan cerita sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Mendapatkan cerita Wato Wele-Lia Nurat dari orang luar lle Jadi dan Larantuka menghadapi kesulitan tersendiri. Ketika diminta mereka mengatakan bahwa cerita itu milik orang lain (tutu maring usu-asa pe-ma ata raE). Setelah dijelaskan bahwa kepentingan penelitian ini semata-mata bersifat studi kesusastraan, hilanglah rasa curiga mereka dan peneliti pun mendapatkan cerita yang dibutuhkan. Kesulitan lainnya, jumlah tua-tua adat yang masih mampu menggunakan bahasa sastra (koda knalan maupun koda Lamaholot) sudah sangat terbatas. Di luar wilayah Kecamatan Tanjung Bunga, Larantuka, dan Wulang Gitang, cerita Wato Wele-Lia Nurat tidak diketahui lagi“ (hal. 16-17).


No comments:

Post a Comment