Judul : Kisah Wato
Wele-Lia Nurat, dalam Tradisi Puisi Lisan Flores Timur
Penulis : Yoseph Yapi Taum
Penerbit : Yayasan
Obor Indonesia
Tahun Terbit : 1997
Tebal : 155
Masyarakat
Lamaholot Flores Timur mengenal sastra lisan sebagai bentuk tradisi sastra yang
paling dominan, karena penduduk di daerah-daerah NTT (Nusa Tenggara Timur)
tidak mengenal tulisan daerah. Wilayah flores timur di pulau-pulau di Indonesia
bagian timur umumnya merupakan wilayah puisi lisan yang terpelihara.
Terpeliharanya sastra lisan Flores Timur antara lain karena tradisi lisan dan
tradisi retorika menduduki posisi penting dalam komunikasi antar-komunitas.
Melalui sastra lisan itulah masyarakat berkomunikasi, mewariskan, dan
mengembangkan pengetahuan dan pola sikap tentang dan atas kehidupan. Sastra
lisan mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam kehidupan sosial-budaya
Flores Timur (hal. 2).
Sejarah
demografis penduduk Flores Timur menunjukkan bahwa masyarakat ini sangat
majemuk, dilihat dari segi asal-usul, bahasa (dialek), filsafat, dan pandangan
hidupnya. Dari berbagai cerita asal-usul dapat diketahui berbagai kecenderungan
umum, antara lain cerita yang totemistis, legendaris, mitologis dan historis.
Tidak jarang pluralitas dan heterogenitas masyarakatnya menimbulkan
konflik-konflik kepentingan bahkan pertentangan dan peperangan. Meskipun demikian,
masyarakat ini dapat membentuk sebuah komunitas sosial budaya dengan pranata-pranatanya
yang kiranya mampu memberikan jaminan bagi rasa aman dan menciptakan persatuan
dan kesatuan masyarakatnya. Pranata sosila-budaya itu mencakup unsur-unsur
narasi asal-usul (tutu maring usu-asa)
dan unsur-unsur ritual (nuba nara, korke
dan nama).
[Uraian
dalam buku ini ] menunjukkan bahwa cerita sejarah asal-usul memainkan peranan yang
sangat penting dalam rangka membina kohesi masyarakat dan mendapatkan
legitimasi sosial. Mengingat fungsi penting yang dimilikinya, cerita sejarah asal-usul
dituturkan dengan mengikuti kaidah-kaidah dan norma-norma tertentu secara ketat
dan teratur, baik dari segi struktur maupun isi naratifnya. Meskipun tidak terdapat
pola atau sistem pendidikan yang secara khusus mengajarkan kaidah-kaidah bahasa
sastra koda knalan dan koda lamaholot, penceritaan kisah
sejarah asal-usul itu sendiri secara struktural memiliki sejumlah kaidah yang
diikuti secara ketat karena penyimpangannya mendapat sanksi adat yang keras. Wadah
bahasa yang digunakan, yakni koda knalan ataupun
koda Lamaholot mengikuti prinsip penyepasangan
uo-matan (alas – penutup) yang
memudahkan penghafalan.
Cerita
Wato Wele-Lia Nurat merupakan salah satu cerita sejarah asal-usul (tutu mnaring usu-asa) yang relatif luas
daerah perseberannya. Sebagai sebuah cerita yang dikeramatkan, dapat
diasumsikan bahwa cerita ini diwariskan secara ketat. Namun demikian, ternyata
kisah Wato Wele-Lia Nurat ditemukan dalam berbagai versi yang berbeda-beda
bahkan bertentangan satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan versi yang tampak
dalam variasi-variasi teks saksi kiranya merupakan refleksi atau cerminan dari
keragaman struktur sosial masyarakat Flores Timur […]. (hal. 13-14).
Proses
perangkuman karya ini hingga akhirnya hadir ke tangan pembaca bukanlah suatu
jalan yang mudah sebagaimana kisah penulis:
„Cerita
Wato Wele-Lia Nurat merupakan jenis sejarah asal-usul (tutu maring usu-asa) yang
dikeramatkan, terutama oleh suku lle Jadi dan Larantuka. Keadaan ini mula-mula
menyulitkan peneliti dalam mendapatkan kisah itu secara utuh. Jalan keluar yang
ditempuh adalah meminta izin dan restu (tena
prat) kepada Lewotanah (nenek moyang) melalui tuan tanah setempat. Peneliti
dibawa ke batu pemujaan (nuba nara)
di Desa Waibalun untuk melakukan ritus tena
prat. Setelah ritus singkat itu dilaksanakan, peneliti secara leluasa mendapatkan
cerita sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Mendapatkan cerita Wato Wele-Lia
Nurat dari orang luar lle Jadi dan Larantuka menghadapi kesulitan tersendiri.
Ketika diminta mereka mengatakan bahwa cerita itu milik orang lain (tutu maring usu-asa pe-ma ata raE). Setelah
dijelaskan bahwa kepentingan penelitian ini semata-mata bersifat studi
kesusastraan, hilanglah rasa curiga mereka dan peneliti pun mendapatkan cerita yang
dibutuhkan. Kesulitan lainnya, jumlah tua-tua adat yang masih mampu menggunakan
bahasa sastra (koda knalan maupun koda Lamaholot) sudah sangat terbatas. Di
luar wilayah Kecamatan Tanjung Bunga, Larantuka, dan Wulang Gitang, cerita Wato
Wele-Lia Nurat tidak diketahui lagi“ (hal. 16-17).
No comments:
Post a Comment