PESAN PERSATUAN DAN SERUAN PELESTARIAN BUDAYA
Sebuah Permenungan Kembali atas Sapaan Bapak Kepala
Desa Mokantarak,
Petrus Baga Maran pada Ritual Adat di Desa Mokantarak
Dari jauh saya mencoba mengikuti rangkaian upacara adat
di Lewo Tana, meskipun itu hanyalah penggalan-penggalan dari keseluruhan ritual
yang ditampilkan di media sosial Facebook.
Untuk teman-teman, adik-adik, Opu-Pai, Kaka Ari wekae yang sudah
menggunggah video atau foto pada dinding group Korke Mokantarak, saya
hatrukan berganda terima kasih, karena dengan itu saya (dan mungkin anak lewo
tanah di tempat perantauan) disadarkan akan identitas dan hakikat diri sebagai Ata
Lamaholot, dan dengan itu serentak diiring rindu pada kampung: pada tabuh gendang
dan gong, pada hentak kaki tarian hedung dan gawe alo, pada bahasa mitis dan
alunan lirik adat.
Catatan
ini merupakan sebuah permenungan kembali atas apa yang disampaikan Bapak Kepala
Desa, Petrus Baga Maran, pada kesempatan seremoni adat. Saya tidak
menangkap seluruh isi sapaan Bapak Desa, namun ada beberapa point penting yang sempat
saya tangkap dan sungguh menggugah sekaligus menantang, yaitu pesan persatuan
dan pelestarian budaya di Desa Mokantarak.
Pada
awal sapaan, Bapak Desa menegaskan bahwa adat (istiadat) merupakan identitas
sebuah bangsa, jati diri dan harga diri sebuah Lewo. Lebih lanjut, ia menggarisbawahi
hakikat kemanusiaan anak tanah Lamaholot – dengan menyitir mantan Bupati Flotim
Simon Hayon – yakni manusia yang „ata diken“ (sungguh-sungguh manusia), manusia
yang „baik“ – atau boleh saya katakan „manusia yang manusiawi“ - sungguh-sungguh
manusia. Dan identitas
„Ata Diken“ ini bermakna universal sebagaimana subjek manusia sebagai „Homo
Sapiens“ (dari bahasa Latin: Manusia yang bijaksana). Dengan demikian,
penegasan kembali identitas “Ata Diken” menjadi begitu penting di tengah dunia dewasa
ini, ketika manusia kehilangan jati diri dan nilai-nilai kebijaksanaan,
sehingga ia tak lagi punya pegangan dalam berperilaku.
Aktualisasi identitas Ata Lamaholot sebagai „Ata
Diken“ mendapat pemenuhannya dalam setiap perjumpaan dengan sesama, dengan alam
dan dengan Lera Wulan Tana Ekan. Dalam relasi dengan alam, eksistensi “Ata
Diken” bukanlah subjek yang secara bebas menguasai dan memanfaatkan alam, namun
menuntut tanggung jawab etis dalam merawat dan melestarikan alam sebagai bagian
dari diri dan hidup manusia. Keterlibatan aktif dalam mendukung program pemerintah
berkaitan dengan pelestarian lingkungan hidup adalah contoh sederhana yang bisa
kita terapkan: tak perlu harus menunggu turun ke jalan untuk demonstrasi penolakan
tambang atau aksi solidaritas lainnya.
Identitas “Ata Diken” bukanlah anasir tunggal yang
berdiri sendiri melainkan berpasangan dengan yang lain dalam sosialitas
kemajemukan. Pada level ini hubungan antar “Ata Diken” harus merasuki dunia
hubungan inter-personal, sebagaimana postulat Filsuf asal Prancis, Gaberiel
Marcel, di mana ada keinginan terdalam setiap orang untuk saling menaruh hormat
dan cinta serta menerima yang lain sebagai “engkau” (tu-toi). Eksistensi diri „Ata Diken“ bukanlah
eksistensi yang tertutup, melainkan terbuka. Artinya, saya akan berkembang
sepenuhnya sebagai “Ata Diken” justru kalau saya semakin terlibat dalam
perjumpaan dan kontak dengan orang lain dan bukannya mengurung diri dalam menara gading yang aku bangun. Dan bagi
Marcel, pertemuan (la
rencontre) bukanlah sekedar berpapasan (perjumpaan yang kebetulan
dan aksidental), melainkan lebih dari itu sebuah kontak dan komunikasi dalam semangat
ketersalingan, agar toi (engkau atau kamu) menjadi nous (kita)
- sebuah kebersamaan atau persekutuan - communion
(bdk. Hariyadi: 1994). Kehadiran suku-suku di Desa Mokantarak (budaya
Lamaholot) adalah kepingan-kepingan mozaik atau puzzle sebuah kebersamaan dalam
keberagaman; atau dalam bahasanya Marcel: ada berarti ada bersama yang lain – esse est co-esse. Status dan peran yang
diambil dalam bingkai budaya Lamaholot bukanlah kategori identitas baru dan hierarki
penguasa-bawahan. Pembagian tugas dan peran itu justru mengafirmasi prinsip
kebersamaan, bahwa manusia membutuhkan yang lainnya, sebagaimana interupsi
Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemat di Korintus atas perpecahan dalam jemaat:
“Karena tubuh juga tidak terdiri
dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota. Jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita;
jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita” (1 Korintus 12:14;
26). Itulah kekuatan kita sebagai Lewo, yakni: Persatuan.
Bukan mustahil, bahwa
dalam hidup bersama yang lain sering terjadi persinggungan atau benturan, entah
itu antar-pribadi, keluarga maupun suku. Sebagaimana Kurban Diri Yesus di
Salib, ritus-ritus korban darah dalam setiap serimoni adat kiranya juga menjadi
ritus pemulihan relasi antar “Ata Diken”, antara “Ata Diken” dengan alam, dan antara
“Ata Diken” dengan Lera Wulan Tana Ekan. Di sana terjadi persatuan dinamis
antara kekuatan Langit dan Bumi yang memungkinkan kelanjutan perjalanan dunia
sekaligus menghadiahkan manusia sebuah ‘eksistensi baru’ yang sanggup melihat melampaui
batas-batas kegelapan kemanusiaanya. “Ini hanya bisa terjadi karena Ina Tana Ekan (Ibu tana Ekan) tidak
henti-hentinya membuka rahimnya bagi ‘benih’ yang turun dari Langit (Ama Tana Ekan), sehingga tiap saat
selalu ada kehidupan baru yang terpancar dari dinamika ini” (Agan: 2006, 324). Lantas,
pelaksanaan
serimonial adat tidak merupakan tindakan “pengulangan ritual” semata, melainkan
sebuah aktus anamnese, bahwa
kita ditenun oleh ari-ari dan ketuban yang sama, dan lahir dari rahim yang satu,
yakni Mokan Lewo Pulo, Tarak Lone Ribu – Rahim Lamaholot. Di sini, semua kita
terpanggil untuk merawat tradisi dan menyelami kebijaksanaannya. Sanggar Budaya
yang telah digaungkan oleh Bapak Kepala Desa dengan memberi alokasi dana khusus
kiranya dapat menjadi ruang belajar dan pewartaan nilai-nilai peradaban budaya lokal
dalam proses menjadi “Ata Diken”.
Salam Lewo Tana Mokantarak
Thueringen – Jerman,
22.08.2019
Vian Lein
No comments:
Post a Comment