PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

30 March 2019

PUSTAKA LAMAHOLOT_Ata Lamaholot dalam Sorotan Budaya Dunia


Judul                        : Ata Lamaholot dalam Sorotan Budaya Dunia
Editor                       : Padre Yoseph Muda
Penerbit                   : Kanisius
Tahun Terbit           : 2016
Tebal                        : 681 halaman

Ilmu pengetahuan dewasa ini, khususnya dalam bidang arkeologi, telah memberikan sebuah perhatian khusus terhadap pentingnya mitos dan legenda. Cerita rakyat yang dulu dianggap sebagai hasil khayalan belaka dari sekelompok manusia purba yang tidak berpendidikan, ternyata kini disambut sebagai sumber mata air yang terus mengalirkan bermacam ragam ilmu pengetahuan. Bagi anak-anak budaya itu sendiri, mitos dan legenda diyakini bersifat keramat, karena justru diwariskan oleh para dewa atau para pahlawan mitis tertentu.
Penulis buku ini telah berusaha menelusuri arti dan pesan yang tertulis dalam cerita mitos, dan telah berupaya menggali makna yang tersirat dalam berbagai ungkapan baku yang bergayut pada dahan pohon kehidupan budayanya sendiri. Harapannya, semoga di sekolah-sekolah, para pengajar ilmu pengetahuan tidak lagi mengambil sikap negatif terhadap mitos, melainkan mempergunakannya sebagai bahan baku untuk melacak kebenaran hidup manusia di zaman purba. Hanya dengan demikian, maka dapat dipahami arti hidup dan perjuangannya, agar manusia dewasa ini mampu mengambil langkah-langkah yang lebih bijaksana untuk menghadapi masa depan, dengan menghindari tingkah laku yang pada akhirnya justru akan menghancurkan eksistensi dan sivilisasinya sendiri. (catatan pada cover belakang buku

28 March 2019

MERAWAT NUBA DARI PINGGIR (Sebuah „Laudatio“ untuk Para Pembersih Sampah di TPAS Nuba)


MERAWAT NUBA DARI PINGGIR
(Sebuah „Laudatio“ untuk Para Pembersih Sampah di TPAS Nuba)

Gretta Thunberg - Aktivis Cilik Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim -©Kleine Zeitung



Belum lama ini publik internasional, secara khusus lembaga jaringan kerja United Nation untuk perubahan iklim dihebohkan oleh berita tampilnya Greta Thunberg, seorang aktivis muda lingkungan hidup dan perubahan iklim. Greta yang baru berusia 16 tahun itu sering tampil bersama teman-teman sekelasnya serta para simpatisan lainnya pada program „Jumatan“ kampanye lingkungan hidup dan perubahan iklim. Tidak heran, gadis kecil asal Swedia ini pernah tampil di atas panggung UN dalam sebuah konferensi perubahan iklim. Dari balik mimbar Greta kecil lantang membawakan orasi di hadapan para tokoh politik internasional yang hadir dalam konferensi dunia tentang perubahan iklim di Kattowitz, Polandia, Desember 2018 silam.

Kemunculan dan gerak peruabahan aktivis muda ini tidak hanya mendapat dukungan atau sambutan positif dari banyak orang, tetapi juga menuai kritik yang tidak sedikit. Ada yang mengangkat „jempol“  melayangkan pujian dan menggangguk kagum, tapi juga ada sinisme dan suara pesimisime yang dialamatkan kepada Si Greta kecil, bahwa ia ditunggangi oleh kepentingan politik yang berada di baliknya, bahwa kampanye yang digalakannya hanyalah sebuah utopi, bahkan sampai pada mencurigai, bahwa gadis kecil itu mendereta kelainan psikis. Namun, semuanya itu tak mampu menghalangi langkah juang atau pun melumpuhkan taring keberaniannya untuk terus bersuara dan beraksi.“Anda hanya berbicara tentang pertumbuhan ekonomi yang terus berlanjut, karena Anda takut kehilangan popularitas. Bagi saya, apa yang saya lakukan bukanlah untuk mengejar popularitas. Yang terpenting bagiku adalah keadilan dalam seluruh diskursus tentang perubahan iklim serta nilai-nilai kehidupan dari plante-planet. Peradaban kita hanya dikorbankan untuk kepentingan segelintir orang yang hanya ingin memiliki lebih banyak uang. Itulah deretan penderitaan banyak orang untuk membayar glamour kehidupan segelintir orang“, demikian Gretta dalam pidatonya.

TPAS sebelum dibersihkan ©VoxNTT
Beberapa hari lalu Ison Kean memposting beberapa foto Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) milik pemerintah Kabupaten Flores Timur yang berlokasi di pinggiran pantai Nuba, Desa Mokantarak. Foto-foto itu menghadirkan suatu realitas yang lain dari yang sudah-sudah, sebagaimana yang saya baca di media atau melihatnya secara langsung saat liburan bulan Oktober tahun silam. Terus terang, bagi saya foto-foto itu memberi kesan kelegahan tersendiri karena ia mewartakan NUBA yang bersih dan asri seperti sediakala saat masih kecil. Oleh karena itu, saya pribadi dan tentu kita semua perlu merasa berterima kasih dan bangga atas inisiatif dan semangat gotong royong yang telah diwujudnyatakan dan membuahkan hasil ini. Aksi ini sesungguhnya merupakan sebuah interupsi bagi para pebisnis dan politisi yang kurang melihat lingkungan sebagai tema yang simpatik bagi publik. Dari pinggiran jalan mereka telah merawat NUBA. Dari pinggir kehidupan yang mungkin luput dari perhatian pemerintah, mereka rela dan bersedia datang ke NUBA, yang adalah juga pinggiran kota.

Pinggiran Pantai Nuba-Kini ©Ison Kean
Semoga aksi dari pinggiran ini dapat merambat sampai ke jantung kota, mampu membuka mata dan hati semua kita untuk mencintai lingkungan dan memberi perhatian serius baginya. Dengannya, mereka hendak mengetuk pintu hati Ribu Raut Lewo Tana untuk tetap merawat dan menjaga lingkungan alam. Jiwa yang „sadar lingkungan“ ini mesti ditenun sejak dini, baik di keluarga maupun di sekolah dan masyarakat.

Kita berharap, kiranya ke depan NUBA menjadi salah satu tempat wisata buat warga Desa Mokantarak dan tentu bagi seluruh masyarakat Flores Timur. Dan di atas segala harap, kita semua bersatu hati dan bergandeng tangan untuk MELAWAN segala aksi pencemaran lingkungan dan pengrusakan alam, tanpa mesti dibayar sepeser pun, tanpa peduli sinisme maupun pesimisme tentang utopi.


NUBA kini telah berubah
Pengap asap dan bau tengik sampah
jangan lagi jadi musibah
Ke sana jangan kau tumpuk wabah
Biarlah ini jadi amanah
Agar hidup bawa barokah

Salam ke Nuba
Vian Lein, Jerman 28.03.2019.

20 March 2019

PUSTKA LAMAHOLOT_Kisah Wato Wele-Lia Nurat, dalam Tradisi Puisi Lisan Flores Timur


Judul                     : Kisah Wato Wele-Lia Nurat, dalam Tradisi Puisi Lisan Flores Timur
Penulis                 : Yoseph Yapi Taum
Penerbit               : Yayasan Obor Indonesia
Tahun Terbit        : 1997
Tebal                    : 155


Masyarakat Lamaholot Flores Timur mengenal sastra lisan sebagai bentuk tradisi sastra yang paling dominan, karena penduduk di daerah-daerah NTT (Nusa Tenggara Timur) tidak mengenal tulisan daerah. Wilayah flores timur di pulau-pulau di Indonesia bagian timur umumnya merupakan wilayah puisi lisan yang terpelihara. Terpeliharanya sastra lisan Flores Timur antara lain karena tradisi lisan dan tradisi retorika menduduki posisi penting dalam komunikasi antar-komunitas. Melalui sastra lisan itulah masyarakat berkomunikasi, mewariskan, dan mengembangkan pengetahuan dan pola sikap tentang dan atas kehidupan. Sastra lisan mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam kehidupan sosial-budaya Flores Timur (hal. 2).

Sejarah demografis penduduk Flores Timur menunjukkan bahwa masyarakat ini sangat majemuk, dilihat dari segi asal-usul, bahasa (dialek), filsafat, dan pandangan hidupnya. Dari berbagai cerita asal-usul dapat diketahui berbagai kecenderungan umum, antara lain cerita yang totemistis, legendaris, mitologis dan historis. Tidak jarang pluralitas dan heterogenitas masyarakatnya menimbulkan konflik-konflik kepentingan bahkan pertentangan dan peperangan. Meskipun demikian, masyarakat ini dapat membentuk sebuah komunitas sosial budaya dengan pranata-pranatanya yang kiranya mampu memberikan jaminan bagi rasa aman dan menciptakan persatuan dan kesatuan masyarakatnya. Pranata sosila-budaya itu mencakup unsur-unsur narasi asal-usul (tutu maring usu-asa) dan unsur-unsur ritual (nuba nara, korke dan nama).

[Uraian dalam buku ini ] menunjukkan bahwa cerita sejarah asal-usul memainkan peranan yang sangat penting dalam rangka membina kohesi masyarakat dan mendapatkan legitimasi sosial. Mengingat fungsi penting yang dimilikinya, cerita sejarah asal-usul dituturkan dengan mengikuti kaidah-kaidah dan norma-norma tertentu secara ketat dan teratur, baik dari segi struktur maupun isi naratifnya. Meskipun tidak terdapat pola atau sistem pendidikan yang secara khusus mengajarkan kaidah-kaidah bahasa sastra koda knalan dan koda lamaholot, penceritaan kisah sejarah asal-usul itu sendiri secara struktural memiliki sejumlah kaidah yang diikuti secara ketat karena penyimpangannya mendapat sanksi adat yang keras. Wadah bahasa yang digunakan, yakni koda knalan ataupun koda Lamaholot mengikuti prinsip penyepasangan uo-matan (alas – penutup) yang memudahkan penghafalan.

Cerita Wato Wele-Lia Nurat merupakan salah satu cerita sejarah asal-usul (tutu mnaring usu-asa) yang relatif luas daerah perseberannya. Sebagai sebuah cerita yang dikeramatkan, dapat diasumsikan bahwa cerita ini diwariskan secara ketat. Namun demikian, ternyata kisah Wato Wele-Lia Nurat ditemukan dalam berbagai versi yang berbeda-beda bahkan bertentangan satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan versi yang tampak dalam variasi-variasi teks saksi kiranya merupakan refleksi atau cerminan dari keragaman struktur sosial masyarakat Flores Timur […]. (hal. 13-14).

Proses perangkuman karya ini hingga akhirnya hadir ke tangan pembaca bukanlah suatu jalan yang mudah sebagaimana kisah penulis:

„Cerita Wato Wele-Lia Nurat merupakan jenis sejarah asal-usul (tutu maring usu-asa) yang dikeramatkan, terutama oleh suku lle Jadi dan Larantuka. Keadaan ini mula-mula menyulitkan peneliti dalam mendapatkan kisah itu secara utuh. Jalan keluar yang ditempuh adalah meminta izin dan restu (tena prat) kepada Lewotanah (nenek moyang) melalui tuan tanah setempat. Peneliti dibawa ke batu pemujaan (nuba nara) di Desa Waibalun untuk melakukan ritus tena prat. Setelah ritus singkat itu dilaksanakan, peneliti secara leluasa mendapatkan cerita sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Mendapatkan cerita Wato Wele-Lia Nurat dari orang luar lle Jadi dan Larantuka menghadapi kesulitan tersendiri. Ketika diminta mereka mengatakan bahwa cerita itu milik orang lain (tutu maring usu-asa pe-ma ata raE). Setelah dijelaskan bahwa kepentingan penelitian ini semata-mata bersifat studi kesusastraan, hilanglah rasa curiga mereka dan peneliti pun mendapatkan cerita yang dibutuhkan. Kesulitan lainnya, jumlah tua-tua adat yang masih mampu menggunakan bahasa sastra (koda knalan maupun koda Lamaholot) sudah sangat terbatas. Di luar wilayah Kecamatan Tanjung Bunga, Larantuka, dan Wulang Gitang, cerita Wato Wele-Lia Nurat tidak diketahui lagi“ (hal. 16-17).


19 March 2019

PUSTAKA LAMAHOLOT_ATA KIWAN


 Judul                                 : Ata Kiwan
Penulis                               : Ernst Vatter
Penerbit                             : Nusa Indah
Terjemahan dari          : Ata Kiwan – Unbekannte Bergvölker im tropischen     Holland (Leipzig: 1932)

Ata Kiwan merupakan sapaan yang diberikan kepada masyarakat etnis Flores Timur dan Lembata sebelum masuknya pengaruh modernisasi. Etnis ini juga dikenal dengan sebutan Lamaholot. Ciri-ciri fisik anggota masyarakat etnis ini adalah berambut keriting dan berkulit gelap. Di samping itu, masyarakat ini sangat kental menjaga nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan yang terpadu dalam ikatan mesra melalui hubungan keagamaan dan pemerintahan. Fakta empiris ini memberi gambaran yang benderang bahwa pada zaman mondial ini, khazanah budaya masih menjadi sesuatu yang bernilai tinggi dan luhur sehingga sangat perlu dijaga, dirawat, dipelihara, dan dikenang dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Buku ini mengupas khazanah budaya dalam peradaban masyarakat Flores Timur (Lamaholot) yang pada zaman purbakala merupakan salah satu daerah Kepulauan Sunda Kecil yang kini ‘hampir tidak dikenal orang! Ata Kiwan memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembentukan cikal bakal nilai-nilai khazanah budaya yang sampai saat ini masih melekat erat dalam diri ‘Ata Kiwan Modern’ – masyarakat Flores Timur dan Lembata. Merebak dan meluasnya peradaban modern tidak serta merta mementahkan Ata Kiwan yang memegang teguh adat dan kebiasaan yang merupakan simbol keluhuran martabat Ata Kiwan. Hal ini dapat dilihat dari cara dan proses mengakui adanya yang ‘lebih tinggi’, menghidupi kehidupan hingga melepaskan kematian seseorang dan bagaimana memelihara dan mencintai alam yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Ata Kiwan.

Untuk membantu pembaca berkenalan lebih mendalam tentang Ata Kiwan – masyarakat Flores Timur dan Lembata, buku ini coba memaparkan berbagai gambaran transparan tentang ciri-ciri, adat, kebiasaan, hubungan masyarakat dengan agama, pemerintahan, dan alam serta nilai-nilai hidup lainnya dalam masyarakat Flores Timur dan Lembata yang ‘hampir tidak dikenal orang. Oleh karena itu, buku ini layak dijadikan referensi dalam mempelajari, mengenal dan memahami khazanah budaya dan peradaban bangsa Indonesia pada umumnya dan masyarakat Flores Timur khususnya. (Toko Buku Daun Lontar)

11 March 2019

PUSTAKA LAMAHOLOT_Raran Tonu Wujo – Aspek-aspek Inti sebuah Budaya Lokal di Flores Timur


Judul                         : Raran Tonu Wujo – Aspek-aspek Inti sebuah Budaya Lokal di                                           Flores Timur
Penulis                     : Karl-Heinz Kohl
Penerjemah             : Paul Sabon Nama
Dari Edisi Jerman   : Der Tod der Reisjungfrau – Mythen, Kulte und Allianzen in einer                                       ostindonesischen Lokalkultur (Penerbit Kohlhammer: 1998)
Penerbit                   : Ledalero
Tahun Cetak            : 2009
Tebal                        : 500 halaman


„Tiga puluh dua tahun sudah berlalu sejak saya pertama kali mengunjungi Belogili. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu telah diterbitkan versi bahasa Jerman penelitian saya. Sebagaimana saya alami dalam beberapa kunjungan singkat ke Belogili, telah ada banyak perubahan, kebanyakannya ke arah yang lebih baik. Pada pertengahan tahun delapan puluhan para pegawai pemerintah yang berasal dari daerah lain dan dipindahkan ke Flores tidak tahu banyak bagaimana mesti berhadapan dengan tradisi lokal dan keyakinankeyakinan religius masyarakat setempat. Sebagian dari para pegawai itu meremehkan mereka dan memandang mereka hanya sebagai penghalang kemajuan. Pelaksanaan kolektif ritus-ritus yang diwariskan leluhur tidak suka dilihat. Dahulu ritus-ritus itu malah dilarang dengan kekerasan dari pihak pemerintah. Namun, sejak jatuhnya Soeharto dan proses demokratisasi di Indonesia semuanya ini sudah sungguh berubah. Orang-orang di Flores sekarang tahu menghargai warisan budaya mereka sendiri. Sebenarnya Gereja Katolik sudah jauh lebih dahulu melihat hal ini dan mengambil beberapa elemen serta berhasil mengintegrasikannya ke dalam ibadatnya. Saya sangat banyak mendapat bantuan dari pemahaman para pejabat Gereja Katolik mengenai makna adat. Tanpa bantuan besar dari Uskup Darius Nggawa SVD dan banyak anggota Gereja lainnya, maka niat penelitian saya tidak dapat diwujudkan“, demikian kenang Karl-Heinz tentang petualangan etnologisnya ke Nusa Bunga, tepatnya di Tanjung Bunga (Kohl: 2009: vi).

Buku ini tidak hanya memaparkan kisah Dewi Padi, Tonu Wujo, dalam versi orang Lewolema, tetapi juga mengupas sejarah „ditemukannya“ „Cabo de Flores“ - Nusa Bunga oleh pedagang Portugis dalam jejak pencaharian rempah-rempah seiring penyebaran misi katolik di pulau kecil yang kaya itu, berikut sejarah kolonialisme Belanda, Jepang, hingga situasi Flores setelah kemerdekaan, khususnya setelah tahun 1965.

Dalam teropong etnologis, Karl-Heinz menghadirkan sebuah urain ke hadapan para pembaca tentang khazanah budaya Lamaholot, seperti mitos-mitos tentang asal mula dunia, struktur sosial-mayarakat dan adat perkawinan, dan sistem agraria atau pengolahan ladang, di mana figur Tonu Wuju mendapat sorotan istimewah.

Mitos tentang asal mula dewi padI (dan sumber pangan lainnya) tersebar hampir di setiap daerah dengan versinya masing-masing. Bahkan di Flores Timur sendiri pun terdapat perbedaan „nama tokoh“ (Nogo Gunu Ema Hinga – Tonu Wujo) dalam kisah yang dituturkan dari generasi ke generasi (Di Jawa dikenal: Dewi Sri, di daerah Ende: Ine Pare). Demikian pula dalam mitologi Yunani juga dikisahkan „penokohan“ serupa, yakni Demeter (dewi Pertanian), sebagai dewi kesuburan, terlebih pelindung ladang jagung: Menurut mitologi Yunani, kebun jagung pertama adalah permulaan kehidupan, sebelum orang mengelan dan menanam anggur (Edyth Hamilton: 1942: 27).

Buku ini dapat menjadi „teman“ dan „terang“ bagi pembaca dalam melacak jejak peradaban manusia yang hidup berdampingan dengan alam. Lebih lanjut, kiranya buku ini menjadi sentilan buat kita semua, secara khusus masyarakat adat Lamaholot, untuk tetap merawat nilai-nilai budaya lokal serta berani „bertamasya“ ke masa lalu, membuat kajian reflektif-intelektual dari berbagai disiplin ilmu (etnologi, antropologi, teologi, ekologi, sastra, dll.) tentang khazanah budaya yang telah lama meresapi nadi kehidupan sosial dan relgius di Lewo Tana agar tetap hidup dalam detak jantung kedirian kita sebagai „ata diken“ (manusia) di bumi lokal Lamaholot, nasional dan mondial.

Vian Lein
Gera, 11 Maret 2019

06 March 2019

AMA TUA PAJI


AMA TUA PAJI
LERA HELUT RAE ILE
KOWA BEKA LAU WATAN
HELUT RAE DOAN-DOAN       
BEKA LAU LEWA PAPA

GEGE DOPA ILE JADI
INA LEIN NA PELAU
PANA PEKEN MALA KAKA
GAWE HIANG MALA ARI

O AMA E, AMA TUA PAJI
NUBA PIA MENU NAWA
LETA NENA PUJI PLEWAN

O AMA E, AMA TUA PAJI
NARA WELI DEI NERA        
PUKEN MOE KODA PUKEN

GO TUTU KALA LETA PULO
MARING KALA HÉRÉNG LÉMA
LETA PULO WELI BAPA
HÉRÉN LEMA WELI EMA

Terjemahan:

Mentari terbenam di gunung sana
Awan berarak ke pantai        
Terbenam jauh di dasar bukit
Melayang jauh di balik samudera

Gege* mendaki ke ile jadi *
Ibu melangkah ke seberang
Pergi meninggalkan kakak
Berlalu membiarkan adik sendirian

O ama e; ama tua paji*
Nuba* telah penuh tumpah ruah
Oleh ujud dan puji sembahyang

            O ama e, ama tua paji*
Nara* terpasung bisu
Karena engkaulah empunya sabda

Akan kuceritakan kepada siapa saja
Dan bahkan banyak orang
Meriwayatkan semua kisah
Tentangmu bapa.

*Gege: Nama almahrum Rm. Piet Gege Lewar, Pr
*Ile jadi: dalam mitos disebut sebagai asal usul/keturunan orang Lamaholot (penduduk asli) yang dipertautkan dengan kelompok pendatang „sina jawa“.
*Ama tua paji: ama=sapaan untuk ayah atau laki-laki dalam budaya lamaholot. Tua Paji merupakan sebutan untuk imam dalam bahasa Nagi Larantuka.
* Nubanara: meja persembahan kurban dari batu dalam ritus adat Lamaholot. Nuba di sini mengacu kepada Altar dan Nara merujuk pada Mimbar.

Gera, Ende Februar 2019

Lagu di Youtube klik link di bawah ini:

POLITIK: PERANG KEBENARAN VERSUS KEBOHONGAN?

POLITIK: PERANG KEBENARAN VERSUS KEBOHONGAN?

Vianey Lein
Warga Desa Mokantarak, tinggal di Thüringen - Jerman

Kegelisahan yang kini membayangi publik adalah kebohongan. Hal ini dapat dilihat dalam polemik para politisi tentang validitas sebuah isu yang digulirkan ke ruang publik serta debat antar para pengikut atau simpatisan dari setiap kubu yang telah terbentuk. Bahwa kebohongan juga menjalar ke ruang politik, itu bukan lagi menjadi hal baru dalam sejarah hidup manusia. Sekitar 500 tahun silam Niccoló Machiavelli dalam bukunya „Der Fürst“ (Sang Pangeran) menganjurkan para penguasa untuk tidak serta merta menerima dan mengakui kebenaran jika hal itu (menipu/berbohong) turut mempertahankan eksistensi kekuasaan. „Kebohongan“ lalu menjadi piranti penting dalam komunikasi politik dan serentak „kebenaran“ menjadi lawan yang mesti dilumpuhkan, sebagaimana Hannah Arendt dalam Esay-nya yang terkenal „Wahrheit und Politik“ (Kebenaran dan Politik), bahwa tidak ada seorang manusia yang memandang politik sebagai kiblat kepada kebenaran. Profesi seorang politisi bukanlah deskripsi atas kenyataan-kenyataan melainkan perubahan-perubahan dari kenyataan yang telah dimanupulasi (post factum). Dan tidak ada yang mengubah kenyataan seefisien kebohongan (Arendt: Wahrheit und Lüge in der Politik – Zwei Essays: 1987, 44-92). Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa usia kebohongan politik itu setua politik itu sendiri; dan fenomena kebohongan ini mustahil lenyap dari ruang hidup bersama selama manusia masih digerogoti nafsu untuk menguasai yang lain.

Kebohongan dan juga konsep-konsep sepadan lainnya seperti „fake news“, „hoax“, „fakta alternatif“ dan „post factum“ (pasca kebenaran) hinggi kini masih menjadi topik diskusi di ruang publik dan menjadi taktik dan strategi legendaris dalam percaturan politik di tanah air. Lalu, di mana nilai-nilai kebenaran ditempatkan dalam ruang politik? Apa makna dan fungsI kebenaran dalam sebuah komunikasi politik?

Kebenaran versus Opini/Ide(ologi)

Sosiolog Max Weber dalam teori perubahan sosialnya berpendapat, bahwa masyarakat tradisional atau pra-modern ditandai oleh nilai-nilai persamaan. Sebagai masyarakat yang homogen mereka memiliki nilai kebenaran tunggal dan meyakini, bahwa kebenaran-kebenaran yang dinyatakan merupakan sesuatu yang terberi dan diterima begitu saja sebagaimana yang kita lihat pada filsafat Yunani kuno sejak Parmenides dan Plato (bdk. Arendt: 331). Sementara itu dunia modern dicirikan oleh diferensiasi dan stratifikasi sosial dengan ruang lingkup otonomi masing-masing seperti agama, seni, ekonomi, ilmu pengetahuan, hukum dan politik.  Kelompok-kelompok ini, demikian Weber, memiliki sistem nilai, logika dan spesifikasi etiknya masing-masing, begitu pula definisi atau pemahaman mereka tentang kebenaran. Dalam agama-agama moneteistis kebenaran diyakini sebagai apa yang diwahyuhkan dari Allah; dalam seni pengejawantahan kebenaran itu nyata dalam penciptaan karya seni.

Hannah Arendt melihat relasi antara kebenaran dan politik sebagai sebuah perlawanan. Arendt berpendapat, bahwa para politisi cenderung memilih berselisih dengan kebenaran. Ia membedakan „kebenaran rasional“ dari  „kebenaran faktual“, dan baginya, meskipun kebenaran-kebenaran yang paling relevan secara politis adalah adalah kebenaran faktual, konflik antara kebenaran dan politik pada mulanya ditemukan dan diartikulasikan dalam kaitannya dengan kebenaran rasional (bdk. Arendt: 329-331). Merujuk pada Hobbes, Arendt memperlihatkan, bahwa konflik purba antara kebenaran dan politik masih ditemukan pada masa awal modernitas, di mana Hobbes mempertentangkan „penalaran ketat“ (soliden Raisonnement) yang didasarkan pada prinsip kebenaran dengan „kefasihan bersilat lidah“ (machtvollen Beredsamkeit) yang didasarkan pada opini/ide, hasrat dan kepentingan (Arendt: 332). Usaha pembentukan opini publik atas dasar manipulasi fakta dan peristiwa dan kemudian merumuskannya ke dalam kerangka sebuah ideologi adalah fenomena yang juga telah merambah masuk ke ruang politik Indonesia.

Demokrasi versus Demagogi

Pemilu sebagai representasi demokrasi tak terlepas dari proses komunikasi politik sebagai usaha pembentukan opini publik (memengaruhi untuk tujuan tertentu: baik maupun jahat) dan mobilisasi kekuatan dukungan (Politik als Politics). Kita tentu mengamini, bahwa komunikasi politik juga merupakan instrumen dalam pemecehan masalah-masalah politik (Politik als Policy) dan sebagai syarat dan hasil, komunikasi politik merupakan momen keteraturan politik (Politik als Polity. Jarren, dkk.: 1998: 154-172).

Sejak lahirnya masyarakat digital di abad ke-20 tindakan-tindakan para pelaku politik – entah itu masyarakat, partai politik, ormas-ormas maupun barisan simpatisan – dikemas dalam sistem komunikasi teknis-mekanis yang serba cepat. Di tengah kontestasi politik bukan tidak mungkin realitas dan peristiwa dapat dengan mudah dipelintir untuk kemudian melahirkan kebenaran-kebenaran baru demi kepentingan politik (figur atau partai) yang bernaung di bawahnya (Demagog: penggerak politik yang secara licik menghasut rakyat demi kepentingan kekuasaan). Dengan mesin kebohongan yang mereka cipta kaum demagog bekerja di balik layar untuk memproduksi fakta semu (hoax) kemudian disebarkan ke ruang publik. Mereka memandang dan menilai fakta (kebenaran) itu seperti ide/opini yang dapat dimanipulasi. Berhadapan dengan setiap kebenaran yang dikomunikasikan di ruang publik, sasaran pemahaman mereka bukan tentang apa (substansi pesan) melainkan siapa (komunikator) dan media apa yang digunakan (surat kabar/televisi). Logika pemahaman tidak lagi ditempatkan dalam rumus-rumus kebenaran melainkan loyalitas pada figur/penguasa yang diorbitkan. Begitu pula halnya di ruang publik, pertanyaan tentang mana yang benar dan mana yang merupakan berita bohong tidak lagi menjadi acuan diskusi, melainkan „dengan siapa saya berdebat“: kawan atau lawan politik.  

Maka tidak heran, bahwa Prabwo, calon presiden no urut 2, pernah menolak untuk memberikan komentar pers ketika dimintai wartawan. Hal serupa juga dilakukan sebelumnya oleh Presiden Donald Trump kepada jurnalis CNN: “I’m not going to give you a question. You are fake news”. Penolakan Trump maupun Prabowo pertama-tama bukan karena hilangnya kepercayaan mereka pada pers tertentu melainkan karena kekecewaan, bahwa media terkesan tidak berpihak pada mereka. Ketika media tunduk pada permainan politik tertentu, maka secara perlahan demokrasi akan digiring kepada diktator.

Di tengah padatnya arus informasi yang mengalir di ruang publik, di berbagai social media, di mana kita dikonfrontasikan dengan berbagai berita atau pun isu, kita tidak boleh secara mudah digiring dalam banalitas penilaian dan penghakiman terhadap orang atau kelomopok tertentu. Kasus Eichmann di Jerusalem, seorang kepala eksekutor NAZI, yang diangkat Arendt dalam analisisnya tentang banalitas kejahatan adalah contoh kepatuhan warga pada otoritas kekuasaan yang didapat lewat propaganda. Dalam pledoynya, Eichmann mengatakan, bahwa ia hanya melakukan perintah penguasa demi memenuhi semua kewajibannya (Arendt: Eichmann in Jerusalem: 2009, 94). Hal ini memperlihatkan kelumpuhan daya berpikir kritis Eichmann sehingga tidak bisa berkomunikasi dengan diri sendiri maupun dengan yang lain.

Sebagaimana kamar gas sebagai mesim pembunuh masal di zaman Holocaust, podium-podium politik yang mewartakan kebohongan dan media elektronik produksi hoax adalah juga mesin penghancur persatuan bangsa. Angin kebohongan disemburkan secara luar biasa ke ruang publik dan itu semacam sudah menjadi biasa. Banalitas kejahatan verbal yang tengah melilit pilar-pilar demokrasi ini akan dipatahkan jika semua kita bersatu untuk sama-sama mencari kebenaran dan bukannya antagonisme partai maupun agama. Ruang publik – menyitir Arendt – bukanlah sekadar ruang politik melainkan ruang „penyingkapan“ aletheia (kebenaran).


02 March 2019

PUSTAKA LAMAHOLOT: Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal. Kajian atas Konsep HAM dalam Teks- teks Adat Lamaholot dan Releansinya terhadap HAM dalam UUD 1945


Judul               : Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal. Kajian atas Konsep   HAM dalam      Teks-     teks Adat Lamaholot dan Releansinya terhadap HAM dalam UUD 1945
Penulis               : Marianus Kleden

Penerbit             : Lamalera
Tahun Terbit       : 2009
Tebal                 : 545

Abstraksi

Reformasi 1998 menghasilkan, antara lain, amandemen UUD 1945. Salah satu bagian amendemen yang menonjol adalah dimasukkannya BAB XA dengan 10 pasal yaitu pasal 28A-28J yang memuat hak-hak asasi manusia. Kenyataan inilah yang memotivasi penulis untuk melakukan penelitian dengan pertanyaan penelitian, apakah HAM yang dimasukkan ke dalam UUD 1945 itu cocok dan selaras dengan pengertian HAM dalam masyarakat komunal. Asumsinya adalah, HAM yang diadopsi dari Barat berwatak individualistik, sedangkan HAM dalam masyarakat komunal masih meninggalkan pertanyaan: apakah ada, dan kalau ada, apakah wataknya individualistik, atau kolektif dan altruistik, dan kalau berbeda dari paham Barat bagaimana keduanya bisa disinergikan. Dengan latar belakang ini menulis mendesain sebuah penelitian dengan judul Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal. Kajian atas konsep HAM dalam Teks-teks Adat Lamaholot dan Relevansinya dengan HAM dalam Bab XA UUD 1945. 

Penelitian ini dibangun di atas paradigma sekaligus pendekatan sosial interpretif dengan sedikit sentuhan sosial kritis, dan bukan positivistik. Paham komunal tentang HAM dieksplorasi dengan melakukan wawancara terhadap ahli (bahasa) adat, yang direkam, ditranskripsi, ditabulasi dan diinterpretasi sambil menyandingkannya dengan HAM dalam UUD 1945 yang sesungguhnya diambil dari Universal Declaration of Human Rights. Kajian atas isi HAM yang direkam dari masyarakat komunal Lamaholot dengan tiga orang narasumber yang berperan sebagai informan sekaligus subjek, memperlihatkan bahwa (1) HAM sebagai klaim-klaim individual tidak ada dalam masyarakat komunal; (2) klaim atas hak dilakukan secara altruistik; (3) hak dialami sebagai hasil dari pengamalan kewajiban terhadap sesama. Pertanyaan kritis selanjutnya adalah, kalau watak HAM dalam masyarakat komunal berbeda dari watak HAM dalam UUD 1945, bagaimana keduanya bisa disinkronkan? Ternyata UUD 1945 sudah mempunyai kemampuan inheren untuk melakukan tugas ini. Pasal 28A – 28J bolehlah dipandang sebagai mekanisme untuk merespon dunia internasional yang gencar mengampanyekan HAM, sementara pasal 18B mengarahkan pandangannya ke dalam untuk melihat khazanah budaya lokal – yang, walaupun tidak disebut secara eksplisit, mencakup juga konsep asli tentang HAM. 

Pandangan keluar dapat diidentifikasi sebagai pandangan substantif tentang HAM sedangkan pandangan ke dalam bisa dideskripsi sebagai pandangan utilitarian tenang HAM. Sebagai bagian dari masyarakat internasional Indonesia berkewajiban memperbaiki semua kesalahan (berupa pelanggaran HAM berat) yang berlangsung baik di masa Orde Lama, maupun [terutama] di masa Orde Baru, dan memulihkan semua hak rakyat yang selama ini dipasung. Tetapi sebagai bangsa dengan sekian banyak masyarakat komunal, yang semuanya mengajarkan pelaksanaan kewajiban sebagai kebajikan, warga Indonesia khususnya masyarakat pelajar perlu mendalami ajaran tentang kewajiban-kewajiban yang diemban demi mempertahankan suku bangsa, dan selanjutnya, eksistensi bangsa. 

Di bidang akademis pengajaran ilmu hukum hendaknya tidak hanya terbatas pada hukum positif, melainkan juga pada konsep-konsep komunal tentang hak dan kewajiban. Paradigma hukum yang rigid dan serba positivistik, perlu diperkaya dengan pendekatan sosiologis, antropologis, dan filosofis dari kubu sosial interpretif dan sosial kritis, sehingga warga bangsa, khususnya masyarakat pelajar dapat memperkaya wawasannya baik secara keluar ke konsep-konsep HAM internasional, maupun ke dalam ke konsep-konsep dan terutama praktik-praktik yang berkaitan dengan hak dan kewajiban dalam masyarakat komuna

Pengalaman praktik perlindungan HAM telah mendorong penulis buku ini untuk membangun sebuah asumsi bahwa perlindungan dan advokasi terhadap HAM tidak akan efektif bila kita hanya mengadopsi dan mengikorporasikan konsep HAM dari Barat ke dalam konstitusi. Perlindungan dan advokasi HAM hanya bisa efektif bila seluruh produk perundang-undangan merespon cara pikir bangsa Indonesia tentang hak dan kewajiban.

Buku ini merupakan upaya penulis untuk membuktikan gagasan tersebut dengan melakukan penelitian terhadap teks-teks adat masyarakat komunal, di mana teks adat Lamaholot dijadikan sebagai contoh soal. Apabila teks-teks dari pasal 28A hingga 28J disandingkan dengan paham-paham asli masyarakat komunal, maka akan terlihat dengan jelas bahwa konsep hak dalam arti klaim individual atas sebuah barang atau hal yang harus dimiliki secara individual tidak ditemukan dalam teks-teks adat. Apa yang dimengerti sebagai hak dalam konteks nasional dan internasional, dalam konteks komunal justru dimengerti sebagai kewajiban.

(Abstraski dan catatan tentang buku: Perpustakaan Universitas Airlangga dan Toko Buku Daun Lontar)

01 March 2019

PUSTAKA LAMAHOLOT: AGAMA ASLI DI KEPULAUAN SOLOR


AGAMA ASLI DI KEPULAUAN SOLOR

Penulis               : Paul Arndt, SVD
Penerbit             : Puslit Candraditya Maumere
Tahun Terbit      : 2003
Halaman           : 228



Buku ini adalah sebuah deskripsi tentang sebuah „cara mengada“ yang sarat terbebani nilai-nilai religius. Kepekaan linguistik Arndt dan observasinya yang akurat dan detail sangat membantu pembaca untuk menemukan hakekat masyarakat ini dan jati dirinya. Juga, di tengah dunia yang menekankan pemikiran strategis, buku ini menghadirkan sebuah warisan psikologis masa silam: warisan yang telah menopang sebuah peradaban dan masih mengkondisikan pelbagai respons manusia masa kini terhadap lingkungannya. Oleh karena buku ini layak di baca oleh semua mereka yang berminat untuk memahami sepak terjang sosial secara lebih mendalam.

„Cara mengada“ inilah, yang telah menopang sebuah peradaban. Oleh karena itu, membaca buku ini bisa merupakan titip awal yang baik untuk studi-studi tentang pelbagai sepak-terang sosial lainnya; sebagai awal dari sebuah studi komparatif tentang sebuah isu sosial (Philipus Panda Koten, SVD – Pengantar Editor).
Buku ini merupakan terjemahal dari karya Paul Arndt, SVD – misionaris dan etnolog – yang lama berkarya di Flores sejak tahun 1923 hingga wafat pada tanggal 20 November 1962 di Todabelu, Mataloko. Karya etnologisnya ini diterbitkan pertama kali dalam bahasa Jerman pada tahun 1951 oleh Institut Antropos SVD St. Augustin dengan judul: „Religion auf Ostflores, Adonare und Solor“. Itu berarti, baru setelah 52 tahun karya Arndt dapat dipelajari dalam bahasa Indonesia.

Semoga karya Arndt ini menjadi api kecil yang membakar jiwa petualang kita untuk menggali nilai-nilai kearifan lokal yang terpendam di jalan sejarah, sebagaimana yang telah Arndt alami sendiri: „“Kemana pun saya pergi, etnah ke Flores Timur, entah di Solor atau Adonara, pada umumnya pemuka kampung yang menyampaikan segala HARTA KEBIJAKSANAAN kepada saya, entah langsung, atau dengan perantaraan para guru agama“ (hal. Xxvii)

Menarik bahwa – untuk konteks masyarakat desa Mokantarak – desa Mokantarak, yang dalam karya Arndt disebut „Lekung“ adalah juga ladang penelititian yang digarapnya, bahkan di Lekung ia mendapat bahan yang paling banyak dan baik. Demikian kenang Arndt:


„Narasumber saya yang pertama ilaha guru Roi, yang juga telah membantu Ernst Vatter dalam peran yang sama [untuk karya Vatter „Ata Kiwan“ 1932]. Tidak lama sesudah itu saya mendapat Suban dari Lekung. Saya sudah tidak tahu lagi, bagaimana saya telah memperolehnya. Pada suatu hari ia sendiri datang kepada saya dan menyampaikan, bahwa seandainya saya mau, saya dapat datang ke kampungnya, LEKUNG. Dia adalah penyanyo utama untuk tarian-tarian, dan bapanya yang tua (sekarang sudah meninggal), telah menceritakan kepadanya segala sesuatu yang diketahuinya mengenai masa lalu. Langsung pada keesokan harinya saya pergi ke kampung itu. Sesungguhnya dari dia telah saya peroleh bahan yang paling banyak dan juga yang paling baik mengenai ada kebiasaan penduduk setempat“ (hal. Xxvi-xxvii). ***