POLITIK: PERANG KEBENARAN VERSUS
KEBOHONGAN?
Vianey Lein
Warga Desa
Mokantarak, tinggal di Thüringen - Jerman
Kegelisahan yang
kini membayangi publik adalah kebohongan. Hal ini dapat dilihat dalam polemik para
politisi tentang validitas sebuah isu yang digulirkan ke ruang publik serta
debat antar para pengikut atau simpatisan dari setiap kubu yang telah
terbentuk. Bahwa kebohongan juga menjalar ke ruang politik, itu bukan lagi
menjadi hal baru dalam sejarah hidup manusia. Sekitar 500 tahun silam Niccoló
Machiavelli dalam bukunya „Der Fürst“ (Sang Pangeran) menganjurkan para
penguasa untuk tidak serta merta menerima dan mengakui kebenaran jika hal itu
(menipu/berbohong) turut mempertahankan eksistensi kekuasaan. „Kebohongan“ lalu
menjadi piranti penting dalam komunikasi politik dan serentak „kebenaran“
menjadi lawan yang mesti dilumpuhkan, sebagaimana Hannah Arendt dalam Esay-nya
yang terkenal „Wahrheit und Politik“ (Kebenaran dan Politik), bahwa tidak ada
seorang manusia yang memandang politik sebagai kiblat kepada kebenaran. Profesi
seorang politisi bukanlah deskripsi atas kenyataan-kenyataan melainkan
perubahan-perubahan dari kenyataan yang telah dimanupulasi (post factum). Dan tidak ada yang
mengubah kenyataan seefisien kebohongan (Arendt: Wahrheit und Lüge in der
Politik – Zwei Essays: 1987, 44-92). Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa
usia kebohongan politik itu setua politik itu sendiri; dan fenomena kebohongan
ini mustahil lenyap dari ruang hidup bersama selama manusia masih digerogoti
nafsu untuk menguasai yang lain.
Kebohongan dan
juga konsep-konsep sepadan lainnya seperti „fake news“, „hoax“, „fakta
alternatif“ dan „post factum“ (pasca kebenaran) hinggi kini masih menjadi topik
diskusi di ruang publik dan menjadi taktik dan strategi legendaris dalam
percaturan politik di tanah air. Lalu, di mana nilai-nilai kebenaran
ditempatkan dalam ruang politik? Apa makna dan fungsI kebenaran dalam sebuah komunikasi
politik?
Kebenaran
versus Opini/Ide(ologi)
Sosiolog Max
Weber dalam teori perubahan sosialnya berpendapat, bahwa masyarakat tradisional
atau pra-modern ditandai oleh nilai-nilai persamaan. Sebagai masyarakat yang
homogen mereka memiliki nilai kebenaran tunggal dan meyakini, bahwa
kebenaran-kebenaran yang dinyatakan merupakan sesuatu yang terberi dan diterima
begitu saja sebagaimana yang kita lihat pada filsafat Yunani kuno sejak
Parmenides dan Plato (bdk. Arendt: 331). Sementara itu dunia modern dicirikan
oleh diferensiasi dan stratifikasi sosial dengan ruang lingkup otonomi masing-masing
seperti agama, seni, ekonomi, ilmu pengetahuan, hukum dan politik. Kelompok-kelompok ini, demikian Weber,
memiliki sistem nilai, logika dan spesifikasi etiknya masing-masing, begitu
pula definisi atau pemahaman mereka tentang kebenaran. Dalam agama-agama
moneteistis kebenaran diyakini sebagai apa yang diwahyuhkan dari Allah; dalam
seni pengejawantahan kebenaran itu nyata dalam penciptaan karya seni.
Hannah Arendt
melihat relasi antara kebenaran dan politik sebagai sebuah perlawanan. Arendt berpendapat,
bahwa para politisi cenderung memilih berselisih dengan kebenaran. Ia
membedakan „kebenaran rasional“ dari „kebenaran
faktual“, dan baginya, meskipun kebenaran-kebenaran yang paling relevan secara
politis adalah adalah kebenaran faktual, konflik antara kebenaran dan politik
pada mulanya ditemukan dan diartikulasikan dalam kaitannya dengan kebenaran
rasional (bdk. Arendt: 329-331). Merujuk pada Hobbes, Arendt memperlihatkan,
bahwa konflik purba antara kebenaran dan politik masih ditemukan pada masa awal
modernitas, di mana Hobbes mempertentangkan „penalaran ketat“ (soliden Raisonnement) yang didasarkan
pada prinsip kebenaran dengan „kefasihan bersilat lidah“ (machtvollen Beredsamkeit) yang didasarkan pada opini/ide, hasrat
dan kepentingan (Arendt: 332). Usaha pembentukan opini publik atas dasar
manipulasi fakta dan peristiwa dan kemudian merumuskannya ke dalam kerangka
sebuah ideologi adalah fenomena yang juga telah merambah masuk ke ruang politik
Indonesia.
Demokrasi versus Demagogi
Pemilu sebagai
representasi demokrasi tak terlepas dari proses komunikasi politik sebagai
usaha pembentukan opini publik (memengaruhi untuk tujuan tertentu: baik maupun
jahat) dan mobilisasi kekuatan dukungan (Politik
als Politics). Kita tentu mengamini, bahwa komunikasi politik juga
merupakan instrumen dalam pemecehan masalah-masalah politik (Politik als Policy) dan sebagai syarat
dan hasil, komunikasi politik merupakan momen keteraturan politik (Politik als Polity. Jarren, dkk.: 1998: 154-172).
Sejak lahirnya
masyarakat digital di abad ke-20 tindakan-tindakan para pelaku politik – entah
itu masyarakat, partai politik, ormas-ormas maupun barisan simpatisan – dikemas
dalam sistem komunikasi teknis-mekanis yang serba cepat. Di tengah kontestasi
politik bukan tidak mungkin realitas dan peristiwa dapat dengan mudah
dipelintir untuk kemudian melahirkan kebenaran-kebenaran baru demi kepentingan
politik (figur atau partai) yang bernaung di bawahnya (Demagog: penggerak politik yang secara licik menghasut rakyat demi
kepentingan kekuasaan). Dengan mesin kebohongan yang mereka cipta kaum demagog
bekerja di balik layar untuk memproduksi fakta semu (hoax) kemudian disebarkan
ke ruang publik. Mereka memandang dan menilai fakta (kebenaran) itu seperti ide/opini
yang dapat dimanipulasi. Berhadapan dengan setiap kebenaran yang dikomunikasikan
di ruang publik, sasaran pemahaman mereka bukan tentang apa (substansi pesan)
melainkan siapa (komunikator) dan media apa yang digunakan (surat
kabar/televisi). Logika pemahaman tidak lagi ditempatkan dalam rumus-rumus
kebenaran melainkan loyalitas pada figur/penguasa yang diorbitkan. Begitu pula
halnya di ruang publik, pertanyaan tentang mana yang benar dan mana yang
merupakan berita bohong tidak lagi menjadi acuan diskusi, melainkan „dengan
siapa saya berdebat“: kawan atau lawan politik.
Maka tidak
heran, bahwa Prabwo, calon presiden no urut 2, pernah menolak untuk memberikan
komentar pers ketika dimintai wartawan. Hal serupa juga dilakukan sebelumnya
oleh Presiden Donald Trump kepada jurnalis CNN: “I’m
not going to give you a question. You are fake news”. Penolakan Trump maupun
Prabowo pertama-tama bukan karena hilangnya kepercayaan mereka pada pers
tertentu melainkan karena kekecewaan, bahwa media terkesan tidak berpihak pada
mereka. Ketika media tunduk pada permainan politik tertentu, maka secara
perlahan demokrasi akan digiring kepada diktator.
Di tengah
padatnya arus informasi yang mengalir di ruang publik, di berbagai social media, di mana kita
dikonfrontasikan dengan berbagai berita atau pun isu, kita tidak boleh secara
mudah digiring dalam banalitas penilaian dan penghakiman terhadap orang atau
kelomopok tertentu. Kasus Eichmann di Jerusalem, seorang kepala eksekutor NAZI,
yang diangkat Arendt dalam analisisnya tentang banalitas kejahatan adalah contoh
kepatuhan warga pada otoritas kekuasaan yang didapat lewat propaganda. Dalam pledoynya,
Eichmann mengatakan, bahwa ia hanya melakukan perintah penguasa demi memenuhi
semua kewajibannya (Arendt: Eichmann in Jerusalem: 2009, 94). Hal ini
memperlihatkan kelumpuhan daya berpikir kritis Eichmann sehingga tidak bisa
berkomunikasi dengan diri sendiri maupun dengan yang lain.
Sebagaimana
kamar gas sebagai mesim pembunuh masal di zaman Holocaust, podium-podium
politik yang mewartakan kebohongan dan media elektronik produksi hoax adalah juga
mesin penghancur persatuan bangsa. Angin kebohongan disemburkan secara luar
biasa ke ruang publik dan itu semacam sudah menjadi biasa. Banalitas kejahatan verbal yang tengah melilit pilar-pilar
demokrasi ini akan dipatahkan jika semua kita bersatu untuk sama-sama mencari kebenaran dan bukannya antagonisme partai maupun agama. Ruang
publik – menyitir Arendt – bukanlah sekadar ruang politik melainkan ruang „penyingkapan“
aletheia (kebenaran).