PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

06 March 2019

POLITIK: PERANG KEBENARAN VERSUS KEBOHONGAN?

POLITIK: PERANG KEBENARAN VERSUS KEBOHONGAN?

Vianey Lein
Warga Desa Mokantarak, tinggal di Thüringen - Jerman

Kegelisahan yang kini membayangi publik adalah kebohongan. Hal ini dapat dilihat dalam polemik para politisi tentang validitas sebuah isu yang digulirkan ke ruang publik serta debat antar para pengikut atau simpatisan dari setiap kubu yang telah terbentuk. Bahwa kebohongan juga menjalar ke ruang politik, itu bukan lagi menjadi hal baru dalam sejarah hidup manusia. Sekitar 500 tahun silam Niccoló Machiavelli dalam bukunya „Der Fürst“ (Sang Pangeran) menganjurkan para penguasa untuk tidak serta merta menerima dan mengakui kebenaran jika hal itu (menipu/berbohong) turut mempertahankan eksistensi kekuasaan. „Kebohongan“ lalu menjadi piranti penting dalam komunikasi politik dan serentak „kebenaran“ menjadi lawan yang mesti dilumpuhkan, sebagaimana Hannah Arendt dalam Esay-nya yang terkenal „Wahrheit und Politik“ (Kebenaran dan Politik), bahwa tidak ada seorang manusia yang memandang politik sebagai kiblat kepada kebenaran. Profesi seorang politisi bukanlah deskripsi atas kenyataan-kenyataan melainkan perubahan-perubahan dari kenyataan yang telah dimanupulasi (post factum). Dan tidak ada yang mengubah kenyataan seefisien kebohongan (Arendt: Wahrheit und Lüge in der Politik – Zwei Essays: 1987, 44-92). Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa usia kebohongan politik itu setua politik itu sendiri; dan fenomena kebohongan ini mustahil lenyap dari ruang hidup bersama selama manusia masih digerogoti nafsu untuk menguasai yang lain.

Kebohongan dan juga konsep-konsep sepadan lainnya seperti „fake news“, „hoax“, „fakta alternatif“ dan „post factum“ (pasca kebenaran) hinggi kini masih menjadi topik diskusi di ruang publik dan menjadi taktik dan strategi legendaris dalam percaturan politik di tanah air. Lalu, di mana nilai-nilai kebenaran ditempatkan dalam ruang politik? Apa makna dan fungsI kebenaran dalam sebuah komunikasi politik?

Kebenaran versus Opini/Ide(ologi)

Sosiolog Max Weber dalam teori perubahan sosialnya berpendapat, bahwa masyarakat tradisional atau pra-modern ditandai oleh nilai-nilai persamaan. Sebagai masyarakat yang homogen mereka memiliki nilai kebenaran tunggal dan meyakini, bahwa kebenaran-kebenaran yang dinyatakan merupakan sesuatu yang terberi dan diterima begitu saja sebagaimana yang kita lihat pada filsafat Yunani kuno sejak Parmenides dan Plato (bdk. Arendt: 331). Sementara itu dunia modern dicirikan oleh diferensiasi dan stratifikasi sosial dengan ruang lingkup otonomi masing-masing seperti agama, seni, ekonomi, ilmu pengetahuan, hukum dan politik.  Kelompok-kelompok ini, demikian Weber, memiliki sistem nilai, logika dan spesifikasi etiknya masing-masing, begitu pula definisi atau pemahaman mereka tentang kebenaran. Dalam agama-agama moneteistis kebenaran diyakini sebagai apa yang diwahyuhkan dari Allah; dalam seni pengejawantahan kebenaran itu nyata dalam penciptaan karya seni.

Hannah Arendt melihat relasi antara kebenaran dan politik sebagai sebuah perlawanan. Arendt berpendapat, bahwa para politisi cenderung memilih berselisih dengan kebenaran. Ia membedakan „kebenaran rasional“ dari  „kebenaran faktual“, dan baginya, meskipun kebenaran-kebenaran yang paling relevan secara politis adalah adalah kebenaran faktual, konflik antara kebenaran dan politik pada mulanya ditemukan dan diartikulasikan dalam kaitannya dengan kebenaran rasional (bdk. Arendt: 329-331). Merujuk pada Hobbes, Arendt memperlihatkan, bahwa konflik purba antara kebenaran dan politik masih ditemukan pada masa awal modernitas, di mana Hobbes mempertentangkan „penalaran ketat“ (soliden Raisonnement) yang didasarkan pada prinsip kebenaran dengan „kefasihan bersilat lidah“ (machtvollen Beredsamkeit) yang didasarkan pada opini/ide, hasrat dan kepentingan (Arendt: 332). Usaha pembentukan opini publik atas dasar manipulasi fakta dan peristiwa dan kemudian merumuskannya ke dalam kerangka sebuah ideologi adalah fenomena yang juga telah merambah masuk ke ruang politik Indonesia.

Demokrasi versus Demagogi

Pemilu sebagai representasi demokrasi tak terlepas dari proses komunikasi politik sebagai usaha pembentukan opini publik (memengaruhi untuk tujuan tertentu: baik maupun jahat) dan mobilisasi kekuatan dukungan (Politik als Politics). Kita tentu mengamini, bahwa komunikasi politik juga merupakan instrumen dalam pemecehan masalah-masalah politik (Politik als Policy) dan sebagai syarat dan hasil, komunikasi politik merupakan momen keteraturan politik (Politik als Polity. Jarren, dkk.: 1998: 154-172).

Sejak lahirnya masyarakat digital di abad ke-20 tindakan-tindakan para pelaku politik – entah itu masyarakat, partai politik, ormas-ormas maupun barisan simpatisan – dikemas dalam sistem komunikasi teknis-mekanis yang serba cepat. Di tengah kontestasi politik bukan tidak mungkin realitas dan peristiwa dapat dengan mudah dipelintir untuk kemudian melahirkan kebenaran-kebenaran baru demi kepentingan politik (figur atau partai) yang bernaung di bawahnya (Demagog: penggerak politik yang secara licik menghasut rakyat demi kepentingan kekuasaan). Dengan mesin kebohongan yang mereka cipta kaum demagog bekerja di balik layar untuk memproduksi fakta semu (hoax) kemudian disebarkan ke ruang publik. Mereka memandang dan menilai fakta (kebenaran) itu seperti ide/opini yang dapat dimanipulasi. Berhadapan dengan setiap kebenaran yang dikomunikasikan di ruang publik, sasaran pemahaman mereka bukan tentang apa (substansi pesan) melainkan siapa (komunikator) dan media apa yang digunakan (surat kabar/televisi). Logika pemahaman tidak lagi ditempatkan dalam rumus-rumus kebenaran melainkan loyalitas pada figur/penguasa yang diorbitkan. Begitu pula halnya di ruang publik, pertanyaan tentang mana yang benar dan mana yang merupakan berita bohong tidak lagi menjadi acuan diskusi, melainkan „dengan siapa saya berdebat“: kawan atau lawan politik.  

Maka tidak heran, bahwa Prabwo, calon presiden no urut 2, pernah menolak untuk memberikan komentar pers ketika dimintai wartawan. Hal serupa juga dilakukan sebelumnya oleh Presiden Donald Trump kepada jurnalis CNN: “I’m not going to give you a question. You are fake news”. Penolakan Trump maupun Prabowo pertama-tama bukan karena hilangnya kepercayaan mereka pada pers tertentu melainkan karena kekecewaan, bahwa media terkesan tidak berpihak pada mereka. Ketika media tunduk pada permainan politik tertentu, maka secara perlahan demokrasi akan digiring kepada diktator.

Di tengah padatnya arus informasi yang mengalir di ruang publik, di berbagai social media, di mana kita dikonfrontasikan dengan berbagai berita atau pun isu, kita tidak boleh secara mudah digiring dalam banalitas penilaian dan penghakiman terhadap orang atau kelomopok tertentu. Kasus Eichmann di Jerusalem, seorang kepala eksekutor NAZI, yang diangkat Arendt dalam analisisnya tentang banalitas kejahatan adalah contoh kepatuhan warga pada otoritas kekuasaan yang didapat lewat propaganda. Dalam pledoynya, Eichmann mengatakan, bahwa ia hanya melakukan perintah penguasa demi memenuhi semua kewajibannya (Arendt: Eichmann in Jerusalem: 2009, 94). Hal ini memperlihatkan kelumpuhan daya berpikir kritis Eichmann sehingga tidak bisa berkomunikasi dengan diri sendiri maupun dengan yang lain.

Sebagaimana kamar gas sebagai mesim pembunuh masal di zaman Holocaust, podium-podium politik yang mewartakan kebohongan dan media elektronik produksi hoax adalah juga mesin penghancur persatuan bangsa. Angin kebohongan disemburkan secara luar biasa ke ruang publik dan itu semacam sudah menjadi biasa. Banalitas kejahatan verbal yang tengah melilit pilar-pilar demokrasi ini akan dipatahkan jika semua kita bersatu untuk sama-sama mencari kebenaran dan bukannya antagonisme partai maupun agama. Ruang publik – menyitir Arendt – bukanlah sekadar ruang politik melainkan ruang „penyingkapan“ aletheia (kebenaran).


No comments:

Post a Comment