PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

11 March 2019

PUSTAKA LAMAHOLOT_Raran Tonu Wujo – Aspek-aspek Inti sebuah Budaya Lokal di Flores Timur


Judul                         : Raran Tonu Wujo – Aspek-aspek Inti sebuah Budaya Lokal di                                           Flores Timur
Penulis                     : Karl-Heinz Kohl
Penerjemah             : Paul Sabon Nama
Dari Edisi Jerman   : Der Tod der Reisjungfrau – Mythen, Kulte und Allianzen in einer                                       ostindonesischen Lokalkultur (Penerbit Kohlhammer: 1998)
Penerbit                   : Ledalero
Tahun Cetak            : 2009
Tebal                        : 500 halaman


„Tiga puluh dua tahun sudah berlalu sejak saya pertama kali mengunjungi Belogili. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu telah diterbitkan versi bahasa Jerman penelitian saya. Sebagaimana saya alami dalam beberapa kunjungan singkat ke Belogili, telah ada banyak perubahan, kebanyakannya ke arah yang lebih baik. Pada pertengahan tahun delapan puluhan para pegawai pemerintah yang berasal dari daerah lain dan dipindahkan ke Flores tidak tahu banyak bagaimana mesti berhadapan dengan tradisi lokal dan keyakinankeyakinan religius masyarakat setempat. Sebagian dari para pegawai itu meremehkan mereka dan memandang mereka hanya sebagai penghalang kemajuan. Pelaksanaan kolektif ritus-ritus yang diwariskan leluhur tidak suka dilihat. Dahulu ritus-ritus itu malah dilarang dengan kekerasan dari pihak pemerintah. Namun, sejak jatuhnya Soeharto dan proses demokratisasi di Indonesia semuanya ini sudah sungguh berubah. Orang-orang di Flores sekarang tahu menghargai warisan budaya mereka sendiri. Sebenarnya Gereja Katolik sudah jauh lebih dahulu melihat hal ini dan mengambil beberapa elemen serta berhasil mengintegrasikannya ke dalam ibadatnya. Saya sangat banyak mendapat bantuan dari pemahaman para pejabat Gereja Katolik mengenai makna adat. Tanpa bantuan besar dari Uskup Darius Nggawa SVD dan banyak anggota Gereja lainnya, maka niat penelitian saya tidak dapat diwujudkan“, demikian kenang Karl-Heinz tentang petualangan etnologisnya ke Nusa Bunga, tepatnya di Tanjung Bunga (Kohl: 2009: vi).

Buku ini tidak hanya memaparkan kisah Dewi Padi, Tonu Wujo, dalam versi orang Lewolema, tetapi juga mengupas sejarah „ditemukannya“ „Cabo de Flores“ - Nusa Bunga oleh pedagang Portugis dalam jejak pencaharian rempah-rempah seiring penyebaran misi katolik di pulau kecil yang kaya itu, berikut sejarah kolonialisme Belanda, Jepang, hingga situasi Flores setelah kemerdekaan, khususnya setelah tahun 1965.

Dalam teropong etnologis, Karl-Heinz menghadirkan sebuah urain ke hadapan para pembaca tentang khazanah budaya Lamaholot, seperti mitos-mitos tentang asal mula dunia, struktur sosial-mayarakat dan adat perkawinan, dan sistem agraria atau pengolahan ladang, di mana figur Tonu Wuju mendapat sorotan istimewah.

Mitos tentang asal mula dewi padI (dan sumber pangan lainnya) tersebar hampir di setiap daerah dengan versinya masing-masing. Bahkan di Flores Timur sendiri pun terdapat perbedaan „nama tokoh“ (Nogo Gunu Ema Hinga – Tonu Wujo) dalam kisah yang dituturkan dari generasi ke generasi (Di Jawa dikenal: Dewi Sri, di daerah Ende: Ine Pare). Demikian pula dalam mitologi Yunani juga dikisahkan „penokohan“ serupa, yakni Demeter (dewi Pertanian), sebagai dewi kesuburan, terlebih pelindung ladang jagung: Menurut mitologi Yunani, kebun jagung pertama adalah permulaan kehidupan, sebelum orang mengelan dan menanam anggur (Edyth Hamilton: 1942: 27).

Buku ini dapat menjadi „teman“ dan „terang“ bagi pembaca dalam melacak jejak peradaban manusia yang hidup berdampingan dengan alam. Lebih lanjut, kiranya buku ini menjadi sentilan buat kita semua, secara khusus masyarakat adat Lamaholot, untuk tetap merawat nilai-nilai budaya lokal serta berani „bertamasya“ ke masa lalu, membuat kajian reflektif-intelektual dari berbagai disiplin ilmu (etnologi, antropologi, teologi, ekologi, sastra, dll.) tentang khazanah budaya yang telah lama meresapi nadi kehidupan sosial dan relgius di Lewo Tana agar tetap hidup dalam detak jantung kedirian kita sebagai „ata diken“ (manusia) di bumi lokal Lamaholot, nasional dan mondial.

Vian Lein
Gera, 11 Maret 2019

2 comments:

  1. Terima kasih banyak untuk resensinya
    Kira-kira dimana bisa saya dapatkan buku ini?
    Sekali lagi terima kasih banyak
    Salve!

    ReplyDelete
  2. Kalau boleh tahu, di mana bisa saya dapatkan buku ini?
    Terima kasih banyak
    Salve!

    ReplyDelete