Judul : Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat
Komunal. Kajian atas Konsep HAM dalam Teks- teks Adat Lamaholot dan
Releansinya terhadap HAM dalam UUD 1945
Penulis : Marianus Kleden
Penerbit : Lamalera
Tahun
Terbit : 2009
Tebal : 545
Abstraksi
Reformasi 1998 menghasilkan, antara
lain, amandemen UUD 1945. Salah satu bagian amendemen yang menonjol adalah
dimasukkannya BAB XA dengan 10 pasal yaitu pasal 28A-28J yang memuat hak-hak
asasi manusia. Kenyataan inilah yang memotivasi penulis untuk melakukan
penelitian dengan pertanyaan penelitian, apakah HAM yang dimasukkan ke dalam
UUD 1945 itu cocok dan selaras dengan pengertian HAM dalam masyarakat komunal.
Asumsinya adalah, HAM yang diadopsi dari Barat berwatak individualistik,
sedangkan HAM dalam masyarakat komunal masih meninggalkan pertanyaan: apakah
ada, dan kalau ada, apakah wataknya individualistik, atau kolektif dan
altruistik, dan kalau berbeda dari paham Barat bagaimana keduanya bisa
disinergikan. Dengan latar belakang ini menulis mendesain sebuah penelitian
dengan judul Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal. Kajian atas konsep HAM
dalam Teks-teks Adat Lamaholot dan Relevansinya dengan HAM dalam Bab XA UUD
1945.
Penelitian ini dibangun di atas paradigma sekaligus pendekatan sosial interpretif dengan sedikit sentuhan sosial kritis, dan bukan positivistik. Paham komunal tentang HAM dieksplorasi dengan melakukan wawancara terhadap ahli (bahasa) adat, yang direkam, ditranskripsi, ditabulasi dan diinterpretasi sambil menyandingkannya dengan HAM dalam UUD 1945 yang sesungguhnya diambil dari Universal Declaration of Human Rights. Kajian atas isi HAM yang direkam dari masyarakat komunal Lamaholot dengan tiga orang narasumber yang berperan sebagai informan sekaligus subjek, memperlihatkan bahwa (1) HAM sebagai klaim-klaim individual tidak ada dalam masyarakat komunal; (2) klaim atas hak dilakukan secara altruistik; (3) hak dialami sebagai hasil dari pengamalan kewajiban terhadap sesama. Pertanyaan kritis selanjutnya adalah, kalau watak HAM dalam masyarakat komunal berbeda dari watak HAM dalam UUD 1945, bagaimana keduanya bisa disinkronkan? Ternyata UUD 1945 sudah mempunyai kemampuan inheren untuk melakukan tugas ini. Pasal 28A – 28J bolehlah dipandang sebagai mekanisme untuk merespon dunia internasional yang gencar mengampanyekan HAM, sementara pasal 18B mengarahkan pandangannya ke dalam untuk melihat khazanah budaya lokal – yang, walaupun tidak disebut secara eksplisit, mencakup juga konsep asli tentang HAM.
Penelitian ini dibangun di atas paradigma sekaligus pendekatan sosial interpretif dengan sedikit sentuhan sosial kritis, dan bukan positivistik. Paham komunal tentang HAM dieksplorasi dengan melakukan wawancara terhadap ahli (bahasa) adat, yang direkam, ditranskripsi, ditabulasi dan diinterpretasi sambil menyandingkannya dengan HAM dalam UUD 1945 yang sesungguhnya diambil dari Universal Declaration of Human Rights. Kajian atas isi HAM yang direkam dari masyarakat komunal Lamaholot dengan tiga orang narasumber yang berperan sebagai informan sekaligus subjek, memperlihatkan bahwa (1) HAM sebagai klaim-klaim individual tidak ada dalam masyarakat komunal; (2) klaim atas hak dilakukan secara altruistik; (3) hak dialami sebagai hasil dari pengamalan kewajiban terhadap sesama. Pertanyaan kritis selanjutnya adalah, kalau watak HAM dalam masyarakat komunal berbeda dari watak HAM dalam UUD 1945, bagaimana keduanya bisa disinkronkan? Ternyata UUD 1945 sudah mempunyai kemampuan inheren untuk melakukan tugas ini. Pasal 28A – 28J bolehlah dipandang sebagai mekanisme untuk merespon dunia internasional yang gencar mengampanyekan HAM, sementara pasal 18B mengarahkan pandangannya ke dalam untuk melihat khazanah budaya lokal – yang, walaupun tidak disebut secara eksplisit, mencakup juga konsep asli tentang HAM.
Pandangan keluar dapat diidentifikasi sebagai pandangan substantif
tentang HAM sedangkan pandangan ke dalam bisa dideskripsi sebagai pandangan
utilitarian tenang HAM. Sebagai bagian dari masyarakat internasional Indonesia
berkewajiban memperbaiki semua kesalahan (berupa pelanggaran HAM berat) yang
berlangsung baik di masa Orde Lama, maupun [terutama] di masa Orde Baru, dan
memulihkan semua hak rakyat yang selama ini dipasung. Tetapi sebagai bangsa
dengan sekian banyak masyarakat komunal, yang semuanya mengajarkan pelaksanaan
kewajiban sebagai kebajikan, warga Indonesia khususnya masyarakat pelajar perlu
mendalami ajaran tentang kewajiban-kewajiban yang diemban demi mempertahankan
suku bangsa, dan selanjutnya, eksistensi bangsa.
Di bidang akademis pengajaran
ilmu hukum hendaknya tidak hanya terbatas pada hukum positif, melainkan juga
pada konsep-konsep komunal tentang hak dan kewajiban. Paradigma hukum yang
rigid dan serba positivistik, perlu diperkaya dengan pendekatan sosiologis,
antropologis, dan filosofis dari kubu sosial interpretif dan sosial kritis,
sehingga warga bangsa, khususnya masyarakat pelajar dapat memperkaya wawasannya
baik secara keluar ke konsep-konsep HAM internasional, maupun ke dalam ke
konsep-konsep dan terutama praktik-praktik yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban dalam masyarakat komuna
Pengalaman praktik perlindungan HAM
telah mendorong penulis buku ini untuk membangun sebuah asumsi bahwa
perlindungan dan advokasi terhadap HAM tidak akan efektif bila kita hanya mengadopsi
dan mengikorporasikan konsep HAM dari Barat ke dalam konstitusi. Perlindungan
dan advokasi HAM hanya bisa efektif bila seluruh produk perundang-undangan
merespon cara pikir bangsa Indonesia tentang hak dan kewajiban.
Buku ini merupakan upaya penulis
untuk membuktikan gagasan tersebut dengan melakukan penelitian terhadap
teks-teks adat masyarakat komunal, di mana teks adat Lamaholot dijadikan
sebagai contoh soal. Apabila teks-teks dari pasal 28A hingga 28J disandingkan
dengan paham-paham asli masyarakat komunal, maka akan terlihat dengan jelas
bahwa konsep hak dalam arti klaim individual atas sebuah barang atau hal yang
harus dimiliki secara individual tidak ditemukan dalam teks-teks adat. Apa yang
dimengerti sebagai hak dalam konteks nasional dan internasional, dalam konteks
komunal justru dimengerti sebagai kewajiban.
(Abstraski dan catatan tentang buku: Perpustakaan Universitas Airlangga
dan Toko Buku Daun Lontar)
No comments:
Post a Comment