PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

05 December 2016

SURAT UNTUK OPUNG SINTERKLAAS

SURAT UNTUK OPUNG SINTERKLAAS
(Persembahan untuk adik-adik korban Bom Gereja Oikumene Samarinda)

Opung yang kami rindukan,
Suratku ini mewakili teman-temanku korban bom Gereja Oikumene
Yang kini lagi terbaring dan dirawat rumah sakit.
Beberapa minggu kemarin aku membesuk mereka di rumah sakit
dan bersama kami menyanyikan lagu „Kingkong“ yang kami belajar di sekolah minggu
Aku lalu diminta teman-temanku untuk menulis surat untukmu
karena jemari mereka masih kaku dibalut perban tebal

Opung Sinterklaas,
Kami mendengar bahwa sebentar lagi Opung datang menjelajahi kota-kota dan desa-desa,
mengunjungi rumah-rumah dan menjumpai anak-anak.
Kami tak tahu, apakah Opung juga nanti datang ke Indonesia, ke rumah sakit untuk mengunjungi kami yang masih terbaring sakit
Lewat surat ini kami ingin meminta Opung untuk juga datang ke Tanah Air kami Indonesia
Mengunjungi teman-teman sebaya kami yang mungkin masih takut bermain bebas di halaman rumah.
Kami berharap agar Opung bisa mengunjungi kami di rumah sakit, tanpa harus mengetuk pintu
Atau meminta izin pada Om Satpam yang menjaga ketika kami sedang tidur
Opung tak perlu sibuk membawa banyak hadiah buat kami
Kali ini kami tak meminta hadiah pakaian untuk dikenakan pada hari ulang tahun sahabat kami Yesus,
karena sekujur tubuh kami terlanjur luka, sebelum hati ini kami koyakkan
Kami tak menginginkan permainan mahal dengan teknik yang modern,
karena itu justru merakit ego dalam diri
kami tak meminta Tipi (TV) baru karena mata dan telinga kami masih trauma
dan tidak kuat menyaksikan konflik antaragama dan peperangan
Opung cukup datang membawa malaikat kecilmu, Intan, yang adalah teman kami
Karena sudah rindu kali kami sama dia. Bagaimana kabar teman kami itu, Opung?
Pasti Intan sudah bahagia di sana!
Kami juga tak meminta permen coklat, karena bibir dan lidah kami masih melepuh mengunyah asap dan debu panas
Opung bawa saja kristal-kristal salju untuk sejukkan luka bakar di badan dan mulut kami,
bawa kesejukkan untuk agama-agama dan kedamaian untuk Tanah Air Kami Indonesia


Opung yang kami rindukan,
Semoga tahun depan kita bisa bermain bersama seperti dulu,
bersembunyi di balik mantel merahmu, mencari hadiah di sepatumu melengkung panjang,
sambil mengelus-elus jenggotmu tanpa ragu dan takut karena Opung bukannlah teroris

Sudah dulu ya Opung,
karena Pak Dokter dan Ibu Perawat sudah datang membawa jarum suntik dan obat
Doakan kami semoga lekas sembuh.
Mauliate Opung!


Salam Rindu
Cucu-cucumu



03 December 2016

PAYUNG PRESIDEN

PAYUNG PRESIDEN

Di luar sana bulir hujan menikam bumi
Rintik bersahut pada sholat-sembahyang melengking
Payung dikembang di ambang batas istana pertiwi
Di singgasana tak perlu lagi bergeming

Jalan dan lorong tak lagi kering
Digenang doa-doa yang tumpah dari hati bening
Meluap dari muara berlumut nista
Ditampung payung biru samudera
Quelle: http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-38178575

Angin menjentikkan orasi para ulama
Dan kami terus menghamba di kaki peradaban kian puntung
Bermunajat pada manusia setengah dewa
Sekawanan badai dihadang segera
Oleh ruas-ruas jarijari payung meregang

Payung biru masih di genggangmu
Sembari merapal ayat-ayat senandung doa
Bergetar dalam kabut nafsu kuasa penghulu
menghalau bayang-bayang makar pendahulu


Cinta pada pertiwilah yang membuat kita bertahan dalam germis


Vianey Lein
Sankt Augustin - Mülldorf, 03.12.2016

SANDAL JEPIT

SANDAL JEPIT

Sepasang sandal jepit hadiah ulang tahun
Putus kemarin di tikungan jalan
Berpuluh kilometer waktu telah ditempuh
Menjaga kaki tak melepuh

Kini harus tergantung sepi sendiri
Tanpa kaki membawa pergi
Di atas aspal jalan-jalan panas
Dan lorong hidup yang kadang ganas

Terima kasih sandal jepit
Kau tetap menjadi berarti
Meski kau tak lagi kujepit
Kau tetap selalu di hati


Ippendorf, 11 März 2016

RINDU KAMPUNG

RINDU KAMPUNG

Rinduku pada kampung
Adalah rindu pada kokok ayam dini hari ´
Dan lolong anjing di rimba senja

Rinduku pada kampung
Adalah rindu pada melodi dawai gambus
Dan alunan syair dolo-dolo
Pada tabu genderang kulit kambing buatan kakek
Dan hentakan kaki penari hedung

Rinduku pada kampung
Adalah rindu pada rumah dan bale bambu
Pada derit pohon asam dan asap tungku

Rinduku pada kampung 
Adalah rindu pada rinai hujan dan pelangi
Pada debu kemarau dan musim panen

Rinduku pada kampung
Adalah rindu pada buih ombak dan karang
Pada bibir pantai dan lumat gelombang
Pada nelayan dan ikan merah
Pada petani dan jagung bakar

Rinduku pada kampung
Adalah rindu pada Mokantarak 
Rindu pada Lewo Tanah



Vianey Lein
Sankt Augustin, Jerman, Penghujung Tahun 2015

RINDU TERTEBUS

RINDU TERTEBUS
(Kepada Gadis berkerudung biru tua)

Masih kusimpan fotomu memeluk rembulan
Pudar kupandang di gugur angan
Kau gadis berkerudung biru
Gaunmu membelit rindu

Mengapa kau simpan senyum
Pada lipatan kerudung biru tua
Sementara aku lama-lama menerka di luar gereja
Ayat-ayat mazmur yang kau daras setia
Bertahun musim tak legam-legam

Di lentik matamu kau getarkan sunyi paling agung
Di katupmu kau genggam semesta doa
Di tekuk manis litani paling sakral mengangkasa
Meminta tebus rindu-rindu purba

Kau gadis bergaun putih-putih, berkerudung biru
Di lipatan kerudungmu ingin kuselesaikan angan
Ijinkan aku mencium kesederhanaanmu
Dan biarlah sajakku menusuk rusuk-rusukmu


Ippendorf – Jerman, 08. Maret 2016

24 November 2016

PURNAMA CINTA

PURNAMA CINTA

Di bawah kibaran purnama  kita rayakan cinta  
Di atas taburan musim gugur membadai
Dari pohon-pohon rindu meranggas gigil cemburu kita
Dimabuk tumpah gerimis yang kita aduk bersama anggur merah dara
Dalam cawan dahaga perantau-pengungsi digadai

Quelle: https://www.allmystery.de/i/tcbd3ca_der-erste-kuss.jpg 
Jangan kau cium di lain tempat, cukup saja di bibir
Dari sana mengalir ke muara hati dalam
Jangan terlalu terpaksa, tapi juga jangan bebas liar
Jangan dengan lidah yang terus diam

Jangan sebentar saja, tapi juga jangan terlalu lama
Itu menggemaskan, itu membosankan
Berisik jangan kau bunyikan, hening kau gaduhkan jangan
Berteduh di aliran nafas, bernaung di dekap rasa

Jangan terlalu dekat, jangan terlalu jauh
Ini bikin gugup, bikin tersiksa
Jangan terlalu kering, jangan terlalu basah

Jangan terlalu kasar, jangan terlalu lembut
Kali ini tak lagi nyasar, tak lagi meleset
hingga gigil rindu kita jatuh ke dalam pagi
Yang menyimpan hangat dekap kita erat-lekat

Di luar sana,
purnama disayat kabut

Mülldorf, 17 November 2016

KONTESTASI POLITIK DAN INDEPENDENSI PERS

KONTESTASI POLITIK DAN INDEPENDENSI PERS*

Vianey Lein


Tak dipungkiri lagi bahwa dalam dunia dewasa ini pers menjadi pilar penting dalam sebuah masyarakat demokrasi. Hal ini turut mengafirmasi bahwa tanpa kebebasan pers, masyarakat demokrasi pun tidak ada. Pers atau media yang terpercaya dengan jurnalis yang bebas dan bertanggung jawab menjadi asupan nutrisi penting dalam merangsang tumbuh-kembangnya sebuah bangunan demokrasi. Para jurnalis sesungguhnya adalah agen-agen perubahan sosial dalam memberi informasi dan berani serta bertanggung jawab „menelanjangi“ segala „salah urus“ (politik) dalam masyarakat. Fungsi kontrol ini menjadikan pers sebagai „Wachhund“ (watchdog) – anjing penjaga demokrasi. Di samping Negara Hukum, Masyarakat madani (civil society) dan Infrastruktur politik (partai politik), pers menjadi kekuatan ke-empat dalam menopang tegaknya bangunan demokrasi sebuah negara. Itu artinya, perjuangan warga untuk menegakan demokrasi menuntut dukungan dari media. Di sini para jurnalis memiliki fungsi memberi informasi secara benar dan transparens berdasarkan kode etik jurnalis yang telah digariskan. Pemberitaan-pemberitaan pers itu menjadi bahan dan sumbangan untuk sebuah diskusi publik (dialektika), yang mana sangat dibutuhkan dalam sebuah masyarakat demokrasi, karena dalam setiap liputan atau reportase tersirat undangan sekaligus imperasi sosial bagi setiap pembaca untuk berpikir dan berdiskusi. Melihat fungsi ini, para jurnalis sesungguhnya memiliki „kuasa“ sekaligus „tanggung jawab“ besar dalam laju demokrasi.

Menengok bilik pers di Tanah Air suguhan media untuk publik tak luput dari reportasi bertajuk kontestasi politik (Pilgub dan Pemilukada). Pemberitaan tentang para calon, tim sukses dan relawan hampir selalu mengisi halaman-halaman setiap edisi cetak maupun online. Meskipun (mungkin?) belum ada penelitian (terpercaya) tentang redaksi berita dan (kecenderungan) pengorbitan calon pasangan tertentu, ratio publik bisa menganalisa “keseringan” pemberitaan tentang tokoh dari partai tertentu, yang mana bisa dinilai sebagai format baru dalam politik pencitraan. Terlepas dari kebenaran analasis nalar publik, kecurigaan ini bisa menjadi interupsi bagi pers untuk menguji kembali independensi terhadap sumber berita. Kecurigaan publik bisa menjadi lensa dan lampu sorot dalam meneropong kanal-kanal pemberitaan – yang pada dasarnya mesti berorientasi populis dan bukan sektarian atau menjadi poros politik tertentu dan kepentingan kaum elite. Perhatian dan minat pembaca pada pertarungan politik menjadikan kontestasi politik sebagai lahan observasi yang atraktiv bagi wartawan dan isu seksi untuk disuguhkan kepada publik. Sedangkan bagi para kontestan politik, pers menjadi corong penting dalam mobilisasi massa dan kampanye. Di hadapan gelanggang pertarungan seorang jurnalis mesti tampil sebagai ahli pengamat bebas, tanpa terikat pada apa dan siapa. Idealnya demikian! Tetapi para jurnalis kita per se bukanlah makhluk yang tak luput dari giringan kepada pencobaan atau malaikat yang kebal terhadap tawaran seperti suap dan korupsi yang bisa meninabobokan „sikap skepsis kritis“ mereka – apalagi mereka juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomis.

Bahaya Suap dan Korupsi dalam Jurnalisme
Sikap tunduk media pada partai politik tertentu atau sikap mudah jatuh dalam rayuan para elite politik bukanlah tidak mungkin mempersempit ruang gerak bebas jurnalis dan menumpulkan taring sengat dalam misi profetis untuk mewartakan kebenaran. Tawaran untuk jurnalis secara personal dari partai politik atau elite tertentu seperti hadiah dalam bentuk barang atau uang dan undangan untuk hajatan atau seremoni tertentu bisa menjadi bayang-bayang yang menggelapkan profetisme jurnalis ketika pengamatan objektif dan rasio kritis digodok dalam corong „prinsip balas budi“. Dalam kasus ini, bila seorang jurnalis tidak kritis membedakan „profesi“ dari „relasi sosial“, maka ia akan mudah didikte dalam meredaksikan sebuah berita tentang atau yang bersinggungan dengan kelompok-kelompok tadi. Berbagai bentuk sogok, baik kepada jurnalis secara pribadi maupun kepada pihak redaksi, hadir bagai „gunting dalam kepala“ yang siap „memotong“ kemampuan menulis berita secara kritis-komprehensif lalu memodifikasinya dalam penggalan-penggalan yang mengaburkan data dan fakta. Ketika seorang jurnalis atau pers secara gegabah menerima „uang tutup mulut“ atau suap, mereka telah terlibat dalam sebuah praktek korupsi sistematis dalam dunia jurnalisme. Sebuah publikasi yang diterbitkan dalam bayang-bayang suap dan dipengaruhi oleh prinsip „balas budi“ adalah bentuk korupsi jurnalisme yang melumpuhkan misi bersama untuk memberantas korupsi itu sendiri. Dan sebagai konsekuensi lanjut media itu akan kehilangan kepercayaan dari publik karena telah memperjual-belikan „kuasa“ yang diberikan publik.

Itulah (tantangan) jurnalisme: menulis hal-hal positif akan dipuja-puji dan sebaliknya memberitakan yang negatif – meskipun itu benar – akan dihakimi. Tetapi itu tidak mengharuskan sorang jurnalis atau pers untuk mengkhianati publik dan  melenceng dari komitmen mengabdi kebenaran demi menjaga nama baik atas prinsip balas budi dan untuk tujuan komersial semata: agar cepat laku terjual. Berbagai reaksi dan tanggapan dari publik pembaca tentang keberpihakan pers pada nilai-nilai kebenaran semestinya menjadi undangan untuk mengevaluasi kembali independensi pers, yang mana menuntut budaya „terbuka terhadap kritik“ dan keberanian mengakui kesalahan serta memperbaikinya (autokritik). Pers diajak untuk mengoreksi berbagai paradoks dan parodi yang mewarnai pemberitaan seputar Pilgub dan Pemilukada. Maraknya kontestasi politik adalah peluang bagi pers untuk menjadi „pejuang demokrasi“ dalam mengasah kepekaan publik dan bukannya membiarkan diri digiring kepada industri politik yang dikontrol oleh elite politik dan konglomerat. Distingsi tegas antara „promosi iklan“ dan „redaksi berita“ mesti dipahami secara baik sehingga pers tidak terjebak dalam lumpur “mencampur-adukan” keduanya. Apalagi tidak semua publik pembaca berpikir dan bersikap kritis terhadap sebuah berita yang disuguhkan. Sikap profetis-kritis pers akan mampu meredam gelegar angkuh penguasa sekaligus menggongong para koruptor. Independensi pers menjadikannya berani menghindar dari suguhan atau suapan yang melumpukan demokrasi***  


*Diterbitkan di Kolom Opini Harian FLORES POS, 04 November 2016



CINTA TERLARANG

CINTA TERLARANG

Julia,
Selepas dialog tengah malam kemarin
Aku terus dipanggil kepada keheningan
Untuk mencintai kesendirianku,
kesendirian yang telah lama kuduakan
sejak aku mengenalmu:
Mungkin ini terlalu ego!

Kau tak perlu bersusah payah
Untuk mengajakku pergi, atau bahkan memaksaku pergi
Kau tak perlu diam-diam mencipta jarak
Karena aku tidak hanya mencintai tubuhmu, tapi juga kebijaksanaanmu
Jarak bagiku bukanlah dimensi yang rumit,
melainkan rindu yang terus tumpah mengalir di garis waktu,
apalagi ketika benih-benih cinta perlahan tumbuh di biara
dan kejujuran untuk saling mencintai hanya jatuh
pada ayat-ayat mazmur yang kita daraskan bersama madah pagi,
teteskan rindu pada cawan yang kita teguk di setiap ekaristi,
dan akhirnya membeku gigil pada pujian senja dan malam,
berharap leleh bersama senyummu yang terbit di setiap pagi

Julia, kamu benar,
bahwa kita tak boleh terus saling mencintai dalam diam dan doa
di tepian meditasi dan komtemplasi
cinta itu mesti disabdakan, didagingkan
Tapi bagiku, mencintaimu dalam diam dan doa
Adalah kisah terromatis yang pernah aku alami,
yang ingin selalu kukekalkan dalam larik-larik puisi.
Dan aku pun bersyukur, jika saja nanti yang abadi hanyalah nama
Dan goresan tentangmu di bait-bait puisi
Ada rasa bangga yang mencuat dari sarang kenangan,
bahwa meski kita tak pernah bersama, setidaknya masing-masing kita
pernah menjadi sesuatu yang mampu menunda galau dan sedih
yang selalu saja datang menerobos tembok biara, menjalar pada dinding-dinding kamar.

Jangan kita robohkan rumah kenangan yang telah lama kita bangun
Jangan kita rayu Tuhan untuk lumpuhkan ingatan akan wajah dan diri,
karena „ingatan memiliki mata. Sepadam apapun kau gelapkan kesepian,
kenangan selalu menyilaukan“.
Bersama kita lalui bentang musim, membilang skala waktu
Pada tanggal dan bulan yang kita gugurkan di kalender.
Jika kemarau tiba, mari kita keringkan luka,
ketika hawa dinging merunduk, mari kuburkan rindu di gunduk salju,
nikmati gigil jarak dan waktu di panggang api
Jika musim gugur tiba, mari kita belajar arti sebuah keterpisahan daun pada tangkai
dan kelak semi menjemput, kita rayakan cinta, kawinkan rindu-rindu purba
dengan pucuk-pucuk puisi yang terselip di sela-sela rusukmu
Dalam tudung gelap, biarlah harap menuntun hingga tiba di terbit pagi

Benar apa yang dirintikkan “Hujan di Bulan Juni”
„tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni“
selain kita yang terus disetubuhi rindu di balik dinding biara

Vianey Lein
Mülldorf, 23 November 2016

15 October 2016

PENDIDIKAN: ANTARA MENCARI MAKAN DAN PEMBENTUKAN KARAKTER

PENDIDIKAN: ANTARA MENCARI MAKAN DAN PEMBENTUKAN KARAKTER

Vianey Lein

Alumnus STFT St. Augustin Jerman



Belum lama ini kita merayakan Hari Pendidikan Nasional yang mengusung tema „Nyalakan Pelita, Terangkan Cita-Cita“. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, dalam sambutannya pada Hardiknas 2 Mei 2016 lalu menegaskan, bahwa „pendidikan harus benar-benar berperan sebagai pelita bagi setiap anak Indonesia yang akan membuatnya bisa melihat peluang, mendorong kemajuan, menumbuhkan karakter, dan memberikan kejernihan dalam menata dan menyiapkan masa depannya.“

Sudah pasti bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menyiapkan suatu masa depan yang  cerah. Masa depan disini tidak bisa dimengerti hanya sebatas perubahan ekonomi dengan pencapaian suatu profesi atau jabatan tertentu, misalnya PNS atau polisi, yang memungkinkan seseorang menghasilan rupiah sebanyak mungkin. Atau, dalam bahasa sederhana, „sekolah supaya kelak bisa cari makan“. Ketika uang atau jabatan dilihat sebagai tujuan tunggal dari proses pendidikan, maka kita terjebak dalam bahaya pembunuhan karakter: siswa bisa menyontek saat ujian agar bisa lulus ujian dan cepat naik kelas, plagiasi skripsi atau tesis menjadi jalan pintas dan mudah untuk mahasiswa meraih gelar sarjana, dan uang sogok atau pemalsuan ijazah menjadi metode mutahkhir para pencari kerja lulusan akademik untuk meraih jabatan atau profesi.

Pentingnya Pendidikan Karakter
Prestasi pendidikan tidak bisa diidentikkan dengan kesuksesan meraih jabatan atau profesi tertentu. Realitas menunjukkan bahwa banyak orang yang dibilang „sukses“ dan „cerdas“ secara intelektual itu nyatanya gagal dalam praksis hidup mereka yang lahir dalam tindakan koruptif, manupulatif, dan eksploitatif. Pada titik ini kita harus berani katakan bahwa mereka gagal dalam proses pendidikan. Pendidikan pada hakekatnya membantu mendorong pertumbuhan anak didik menjadi pribadi yang otonom dan utuh secara emosional (afektif), pengetahuan (kognitif), ketrampilan (kreatif/skill), kehendak dan perilaku (konatif/psikomotorik); atau dalam bahasanya Anies Baswedan: kualitas karakter, kemampuan literasi, dan kompetensi. Pendidikan tidak hanya berarti kegiatan belajar mengajar yang terbatas pada ruang kelas agar bisa meraih prestasi numerik, atau pendiktean wacana tanpa kajian analitis dan kritis. Realitas kehidupan semestinya menjadi lahan kajian proses belajar, baik itu tentang sejarah bangsa di masa lamapau, maupun situasi aktual yang terjadi di masyarakat. Dengan itu, pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah tidak hanya sekadar aksi nostalgis mengenang-mengingat nama para tokoh, nama tempat dan tanggal-tanggal bersejarah, namun lebih jauh kenangan kolektiv itu menjadi proses refleksi kritis. Tempat-tempat sejarah dan semua catatan historis (Erinnerungsort) harus menjadi tempat belajar  (Lernort). Begitu pun halnya dengan realitas penindasan, eksploitasi, korupsi dan dominasi terhadap masyarakat kecil bisa menjadi dasar bagi sebuah proses transfer nilai, seperti: respek terhadap sesama, kejujuran, empati dan toleransi untuk membantu pembentukan karaketer seseorang. Melihat kenyataan dekadensi moral yang mencemari humanisme, pendidikan karakter moral menjadi sebuah kemendesakan dan perlu diterapkan secara serius.

Pahlawan Pendidikan
Sebagai orang yang pernah duduk di bangku pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi di universitas atas sekolah tinggi, kita patut berterima kasih kepada para pendidik, guru – pahlawan tanpa tanda jasa, yang telah mengambil bagian penting dalam proses pendidikan yang telah dan sedang kita tempuh. Apresiasi yang tinggi juga layaknya kita berikan kepada LSM-LSM atau relawan-relawan yang berusaha memajukan sektor pendidikan di daerah. Mungkin berlebihan dan terlalu dini, atau mungkin mereka tak menyetujuinya, izinkan saya „membaptis“ orang-orang itu sebagai pahlawan pendidikan. Salah satu contoh program yang hampir selalu diperjuangkan adalah budaya literasi, tidak hanya untuk para peserta didik, tetapi juga untuk para guru. Para pelajar dan mahasiswa dilatih untuk menulis atau menghasilkan suatu karya ilmiah, baik dalam bentuk opini, cerpen atau puisi. Untuk peningkatan profesionalisme guru, para tenaga didik juga mendapat pelatihan serupa. Semua kita berharap agar keterlibatan para „pahlawan pendidikan„ itu dilandasi prinsip independensi, bahwa gerakan keterlibatan „kemanusiaan“ ini tidak berafiliasi pada kepentingan kelompok atau menjadi corong institusi tertentu. Salah satu konsekuensi manajerial dari prinsip independensi adalah tidak menjadikan lembaga dana (funding agency) sebagai basis gerakan. Gerakan kemanusiaan ini harus termotivasi oleh keterlibatan tanpa pamrih. Bahaya ini sudah diberi lampu merah oleh Antonio Gramsci, Paulo Freire, John Dewey, Rabindranath Tagore dan Noam Chomsky, bahwa institusi pendiidikan cenderung hanya mencetak „comisars“ atau intekeltual yang mengabdi pada kepentingan status quo kekuasaan. Pendidikan lalu menjadi proses institusional yang didominasi oleh kekuasaan dan menjadi agen perpanjangan ideologi kekuasaan (bdk. Karyanto: 2005:49-59). Untuk mengatrol proses kenaikan pangkat dan gaji dalam balutan program “meningkatkan profesinalisme”, para guru pun tak segan-segan merogoh saku untuk meloloskan penerbitan suatu karya. Di sini saya tidak bermaksud meragukan kemampuan menulis para guru, tetapi hendak mengajak semua kita untuk merefleksi motivasi keterlibatan kita di sektor pendidikan.

Mengakhiri tulisan ini, saya mengutip adagium latin yang mungkin tidak asing lagi di telinga kita: “non scholae sed vitae discimus” – kita belajar bukan untuk sekolah, tetapi untuk hidup. Hidup yang dimaksudkan disini adalah hidup yang bermartabat dan berkarakter moral, bukan hanya sekadar “cari makan”. ***






MAGI, MEDIS, DAN AGAMA SEBUAH PERJUMPAAN DALAM TUBUH YANG RAPUH

MAGI, MEDIS, DAN AGAMA
SEBUAH PERJUMPAAN DALAM TUBUH YANG RAPUH
Vianey Lein
Alumnus STFT St. Augustin Jerman
                                                                   Tinggal di Jerman                 

Kesehatan dan penyakit menggambarkan kategori dasariah yang mewakili eksistensi manusia sebagai insan yang rapuh, tidak sempurna. Seperti halnya makan dan minum, tidur dan bangun, konsepsi tentang kesehatan dan penyakit atau suatu pola hidup turut menentukan kelangsungan hidup seseorang. Dalam formulasi yang amat sederhana sebagai pemahaman dasar, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merumuskan: “Sehat berarti bebasnya segala jenis penyakit, baik fisik, psikis (mental, intelektual), sosial dan spiritual. Sedangkan sakit adalah kondisi cacat atau kelainan yang disebabkan oleh gangguan penyakit, emosional, intelektual, dan sosial (Kasper: 1995, 605).

Pemahaman dan sikap seseorang terhadap penyakit atau kesehatan merupakan kompleksitas pencerminan segala aspek yang “bermain” dalam diri, entah secara personal maupun sosietal-komunal. Sebagai misal, seorang yang sakit demam atau pilek merasa dan mengkondisikan dirinya sedang menderita sakit parah, sementara seseorang yang patah tangannya atau yang mengidap kanker merasa biasa-biasa saja. Desmond Tutu, uskup dan teolog dari Afrika Selatan yang terdiagnosa mengidap kanker prostat misalnya, pernah berujar: “saya merasa diri sehat-sehat saja hingga pada akhirnya hasil diagnosa dokter menunjukkan bahwa saya sakit.” Di sini terlihat bahwa reaksi seseorang terhadap penyakit (atau kesehatan) turut dibentuk oleh emosi, tingkatan pemahaman akan penyakit dan kesehatan serta kondisi fisik atau spiritual.

Setiap kelompok masyarakat atau kultur juga memiliki bangunan ide tersendiri tentang kesehatan dan penyakit serta format atau metode pencegahan dan penyembuhan yang ditawarkan dan diterima, mulai dari pengobatan lewat dukun kampung (magi), pengobatan tradisional hingga penanganan medis lewat dokter atau  bidan dan perawat, dan berbagai macam metode terapi modern.

Sejak zaman Mesir Kuno dan Mesopotamia telah ada „diagnosis“ atau “prognosis” dan penanganan terhadap penyakit, yang simptom-simptomnya diasosiasikan dengan mitologi dewa-dewi atau roh jahat. Bagi orang Yunani, kesehatan dan penyakit dihubungkan dengan kosmos: “kesehatan adalah kondisi dimana ada persesuaian antara tubuh dengan alam (kosmos: keteraruran), dan sebaliknya penyakit adalah pertentangan antara keduanya (chaos: ketidakteraturan); dan karena itu proses pengobatannya dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa alam. Hipokrates, figur medis terkenal, yang “dibaptis” sebagai “bapak kedokteran” berasumsi, bahwa akar segala penyakit ada dalam tubuh manusia dan dipengaruhi oleh fenomena alam seperti dingin atau panas, angin dan matahari, yang secara normatif dikembangkan lebih lanjut dalam hubungan perilaku antara dokter dan pasien (dunia medis).

Penyakit: Sebuah Dilema
Dunia dewasa ini telah melahirkan begitu banyak ilmuan di bidang kesehatan yang juga sukses menyabet prestasi dalam penemuan-penemuan medis seperti obat-obatan. Berbagai terapi alternatif dan metode penyembuhan sebagai salah satu model “penerjemahan” pemikiran Esoterik dan gerakan Zaman Baru (New Age: pertengahan Abad ke- 20) juga menjadi tawaran fenomenal yang berorientasi promotiv, preventif, kuratif, dan rehablitatif. Namun serentak pula berbagai penyakit yang menggeroti tubuh manusia pun kian kompleks. Pada titik ini masyarakat dihadapkan pada dilema: atau memilih dukun kampung dan pengobatan tradisional, atau pengobatan medis, atau hanya pasrah pada nasib karena itu sudah menjadi takdir atau kutukan dari Tuhan (Agama). Ambivalensi ini merupakan produk  dari perkembangan budaya yang dihidupi oleh suatu masyarakat serta penafsiran (yang keliru) atas nilai-nilai medis (yang mungkin jarang disosialisasikan) dan ajaran agama.

Magi dan Agama merupakan dua konsep, yang dalam prakteknya tidak mudah dipisahkan satu sama lainnya. Keduanya berkiblat kepada sesuatu yang kudus, yang sakral, kepada kekuatan yang melampaui manusia (transendental). Dalam Abad Pertengahan hampir kurang terlihat perbedaan antara ritual magis atau sihir dan ritus-ritus resmi dalam gereja. Pemahaman yang mencampur-adukan keduanya sering menimbulkan kebingungan (Christa  Habiger-Tuczay: 19992: 63). Hal senada juga diungkapkan oleh Etnolog, Josef Franz Thiel, dalam karyanya „Relegionsethnologie“: secara teoretis magi dan agama dilihat terpisah satu sama lainnya, tetapi dalam praxis hal itu (hampir) tidak mungkin. Seperti agama, dunia magi juga „berurusan“ dengan kekuatan-kekuatan yang melampaui kategori kemanusiaan manusia (tetapi bukan merupakan sebuah keharusan) (1984: 65). Tetapi lebih lanjut ia melihat ada distingsi yang tegas antara magi dan agama. Apa yang menjadi prinsip dasar pada magi, tandas Thiel, merupakan sikap batin yang berseberangan dengan agama. Dalam agama, orang-orang yang percaya sadar dan tahu, bahwa mereka bergantung dan „tunduk“ pada suatu kekuatan metafisis (Tuhan) sebai causa prima, sementara dalam dunia magi orang-orang yang diyakini memiliki kekuatan gaib mencari kekuatan yang mutlak diperlukan untuk tujuannya. Di sini agama tampil mengambil jurusan yang berlawanan dengan dunia magi. Aktivitas dukun adalah “kesibukan-kesibukan metafisis” yang berusaha mendapatkan kekuatan gaib, sementara agama merupakan “pencaharian” reflektif suatu metafisika.

Namun tidak mengherankan lagi, bahwa sebagian besar masyarakat masih mendatangi dukun dan paranormal bila terserang suatu penyakit. (Bahkan dalam dunia perpolitikan Indonesia pun orang masih mengandalkan kekuatan magi dengan menghadirkan dukun sebagaimana yang dilakukan oleh Gerakan Tangkap Ahok. Tepuk Jidat). Kesaksian banyak orang menunjukkan bahwa mereka berhasil disembuhkan (?), namun banyak juga pasien yang tidak mengalami perubahan.

Sering dalam proses pengobatan magis itu terjadi objektivisasi, baik kepada orang lain (yang diyakini sebagai biang malapetaka: „suanggi), maupun terhadap diri pasien sendiri, bahwa ia telah melanggar adat atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Sudah hampir pasti, bahwa objektivisasi ini menggiring orang kepada alienasi diri dalam suatu kelompok masyarakat, bahkan terjebak dalam „kriminalisasi teologis“ ketika malapetaka penyakit dilihat sebagai kutukan dari Tuhan akibat dosa. Kebajikan kesabaran dalam penderitaan, penghiburan serta harapan  kesembuhan yang didengungkan agama pun bisa menciptakan „konflik“  dalam diri orang-orang yang menderita sakit pada situasi-situasi batas hidup mereka. Lalu, sejauh mana peran agama dibutuhkan „sebagai salah satu bentuk terapi“ untuk orang-orang yang sakit?

Usaha untuk memecahkan gundukan dilema ini tidaklah mudah. Pertama-tama kita mesti mengenal tubuh sendiri dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Tubuh kita bukannlah sebuah mesin yang bekerja 24 jam tanpa henti. Tubuh juga memerlukan waktu untuk istirahat. Tentu ini solusi klasik untuk menjaga kesehatan, namun terkadang kita lalai karena larut dalam aneka kesibukan. Kesadaran ini bisa memberi kontribusi bagi kesehatan tubuh. Epikuros pernah berujar demikian: „Permulaan dari kesembuhan adalah pengenalan akan kesalahan-kesalahan atau kekeliruan“. Membebaskan diri dari angapan-angapan magis tentang penyakit yang masih berkembang dalam dalam suatu budaya menuntut kerjasama antara agama dan tenaga medis, seperti dokter, perawat dan bidan. Di Jerman orang membedakan krankenpfelger, tenaga medis yang merawat orang sakit (pflegen: merawat) dan krankenseelsorger, orang yang mengurus „jiwa“ orang sakit/pastoral orang sakit (seele: jiwa). Bagi orang Kristen, pastoral orang sakit tidak sebatas membagikan komunio melainkan juga kunjungan atau sharing dan pendampingan bagi para pasien. Asupan nilai-nilai spiritual yang sehat dan tidak over dosis akan memberi kekuatan kepada orang sakit dalam pergulatannya dengan penyakit yang diderita.

Seperti halnya dunia medis, praktek dukun masih terus berkembang dalam masyarakat. Pilihan untuk proses penyembuhan kembali pada pilihan masing-masing orang sebagai pribadi yang berakal budi dan yang ber-Tuhan.

Salam Kesehatan: mens sana in corpore sano!

Gambar: 
1. http://www.tribratanewsjogja.com/upload/7485_dukun-beraksi.jpg  
2.http://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/742420/big/085344400_1411637269-dokter.jpg 




29 May 2016

MALU (AKU) JADI PEJABAT

MALU (AKU) JADI PEJABAT*
Vianey Lein
Alumnus STFT St. Augustin – Jerman
Tinggal di Bonn - Jerman

Pada tahun 1998 penyair dan sastrawan Indonesia, Taufiq Ismail, menulis sebuah puisi naratif yang berjudul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Syair yang terdiri dari empat bagian ini merupakan narasi kritis yang pedas terhadap pemegang tampuk pemerintahan bangsa saat itu. Strategi literer ini digunakan Taufik untuk memperlihatkan realitas secara lugas tanpa banyak basa-basi. Kegelisahan Taufik tentang situasi politik, ekonomi, sosial dan hukum pasca bergulirnya reformasi tahun 1998 ditorehkannya dalam pengungkapan rasa „Malu aku jadi orang Indonesia“. Sang penyair dengan jujur dan berani menelanjangi episode politik yang dipentaskan saat itu, meski harus mananggung malu. Bila membaca ulang Syair Taufiq yang ditulisnya delapan belas tahun silam, kita pun merasa malu, karena keprihatinan Taufik tentang situasi bangsa masih juga menjadi keprihatinan kita kini. Mungkin rasa malu itu kian kental. Hukum yang dikebiri, peradilan sesat, selingkuh birokrasi, sekongkol bisnis dan politik, praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme masih tetap menjadi bagian dari leksikon sejarah bangsa hingga kini. Malu (aku) jadi orang Indonesia; dan kali ini rasa malu itu menjadi sangat.


Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam hasil risetnya merilis, bahwa aktor korupsi yang paling banyak diadili selama tahun 2015 adalah pejabat atau pegawai kementerian dan pemerintah daerah (KOMPAS Selasa, 29 September 2015 ). Profesi pejabat dalam pemerintahan atau anggota dewan, yang adalah wakil rakyat, lalu dinilai sebagai akses atau peluang untuk sebuah tindakan korupsi. Lalu, untuk itukah seorang pejabat atau anggota dewan mencalonkan diri dan dipilih? Malu (aku) jadi pejabat! 

Fenomena korupsi sering dihubungkan dengan praktek kekuasaan atau otoritas untuk „mengurus“ sesuatu demi kepentingan banyak orang. Sehingga tidaklah mengeherankan jika koruptor terbanyak adalah orang-orang yang memiliki kuasa (pejabat). Namun hal ini tidak menjadi premis membenarkan para pejabat untuk korupsi. Ketika seorang pejabat melakukan tindakan korupsi, itu berarti ia menyalahgunakan wewenang atau kekuasaannya untuk kepentingan pribadi atau demi tujuan partai. Korupsi lalu berarti pelecehan terhadap tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikan rakyat. Menjadi pejabat atau pemimpin merupakan sebuah tugas mulia karena mengabdi untuk kepentingan banyak orang, untuk sebuah tujuan bonum commune; oleh karena itu seorang pejabat atau pemimpin mesti menghindari oportunisme machiavellian yang mengeksploitasi siapa saja dan apa saja untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Sekali lagi, „malu (aku) jadi pejabat“ ketika seorang pejabat atau pemimpin lupa akan rakyatnya, dan bahkan „mencuri“ uang rakyat jelata yang seharian membanting tulang di bawah terik mentari dan guyur hujan.

Budaya Malu
Saya masih ingat salah satu tulisan  tangan yang diberi bingkai bambu di sebuah Sekolah Dasar, tempat saya belajar. Tulisan yang dikenal dengan 5B (5 Budaya) itu dipajang pada dinding setiap kelas, dan „Budaya Malu“ masuk dalam satu butir penting penjabaran „5B“ di sekolah itu. Di sini „rasa malu“ dinilai sebagai satu budaya yang perlu dihidupi sejak dini, di bangku Sekolah Dasar. Rasa malu menjadi salah satu bagian penting dari pembentukan karakter yang berjalan harmonis dengan norma-norma peradaban sejak dimulainya sejarah kemanusiaan. Pengalaman kapan seseorang (mesti) merasa malu sedikit tidaknya bergantung pada status seseorang dalam kelompok tertentu, ruang hidup dan interaksi sosial; dan karena itu rasa malu (budaya malu) juga turut membentuk sebuah struktur masyarakat. Rasa atau budaya malu berhubungan erat dengan nilai-nilai etis dan norma yang berkembang dalam suatu masyarakat. Misalnya, seorang gadis akan merasa sangat malu dan ternoda secara moral ketika keperawanannya direnggut, sementara di lain kultur, seorang gadis akan merasa malu bila ia masih perawan (Zuk-Nae Lee: 1997:76). Lantas, bagaimana rasa malu itu dihidupi dalam dunia politik?

Budaya Malu dan Politik: Ajakan untuk „merasa malu“
Budaya malu merupakan sebuah pilar penting dalam bangunan politik. Plato dalam dialognya „Protagoras“ menulis, bahwa Dewa Zeus dalam terang kebijaksanaannya melimpahkan kepada manusia dua hadiah penting agar mereka bisa menjaga dan mengatur komunitas hidup bersama secara baik. Dua warisan bernilai itu adalah Hukum dan aidós, rasa malu. Mengapa Dewa Zeus menghendaki „rasa malu“ sebagai sebuah hadiah?
Rasa malu memiliki otoritas dalam diri manusia untuk mendamping dan menuntun. Ia adalah hakim yang tak bisa disogok, yang mengawasi setiap tindakan dan tutur kata. Rasa itu tahu apa yang menjadi hak dan miliknya, dan apa yang bukan menjadi bagian dari hak miliknya. Rasa itu paham, ia menjadi milik siapa dan kepada siapa ia mengabdi. Rasa itu terhubung dengan tubuh manusia, dan kemudian dari genangan emosi itu terkirim sinyal „infrared“ yang memancar di wajah, ketika seseorang melanggar batas-batas hukum yang telah ditentukan atau mencaplok apa yang sebenarnya bukan menjadi milik. Ketika seseorang kehilangan rasa malu, itu menjadi indikator bahwa ia terjebak dalam roh narsisme yang selama ini memata-matai. Ia hidup untuk diri sendiri.
Argumen di atas tidak lalu berarti, bahwa rasa malu itu muncul hanya jika perbuatan jahat dan keliru saya diketahui publik. Seorang pejabat seharusnya merasa malu dan berani menghakimi diri sebagai koruptor, bukan hanya ketika namanya menjadi ulasan media, melainkan berani malu pada diri sendiri dan rakyat ketika ada niat penyalahgunaan wewenangan untuk meloloskan kepentingan pribadi dan partai.
Tulisan yang dipajang di ruang kelas sebuah SD itu hendak mengajarkan kepada anak-anak untuk „sanggup“ dan „berani“ merasa malu. Untuk para pejabat, penting juga untuk belajar merasa malu. Di tengah praktek korupsi yang menjamur di kursi dan meja pejabat pemerintahan, budaya politik yang menjunjung tinggi budaya malu menjadi sebuah kemendesakan. Budaya malu tidak terlepas dari rasa bersalah dan penyesalan. Dalam rasa bersalah terjadi proses pembatinan atas kesalahan dan si Aku berani menghakimi diri sendiri. Budaya malu mengajarkan kita untuk sanggup malu pada diri sendiri, tanpa orang lain harus mengetahui perbuatan jahat kita. Dan kehilangan rasa malu akan terus memelihara manusia-manusia brutal dan praktek politik yang koruptif dan eksplotatif.
“Malu (aku) jadi pejabat” tidak hanya merupakan sebuah sinisme untuk para pejabat, melainkan juga sebuah undangan untuk sanggup dan berani malu.***



05 May 2016

SUMBANGAN DANA PENDIDIKAN dan KETIDAKADILAN SOSIAL di FLORES

SUMBANGAN DANA PENDIDIKAN dan KETIDAKADILAN SOSIAL di FLORES
(Kritik Untuk Konser Musik SEMINARI MATALOKO 2014 di Jakarta)

”Banyak kali saya berpikir, apakah yang dipikirkan rakyat tentang gereja beton, sedangkan mereka sendiri tinggal dalam gubuk-gubuk beratapkan alang-alang atau daun kelapa? Pondok-pondok mereka yang reot, mungkin karena memang miskin, kebanyakan tersembunyi di antara pohon-pohon belukar atau di bawah bayangan pohon-pohon kelapa. Apakah rakyat mungkin mengeluh atau menyesalkan berdirinya gereja yang megah, sedangkan rumah-rumah mereka tidak lebih dari sebuah gubug? Masalah ini memusingkan kepalaku (Sato & Tennien 1957, 1976: 126)”.

1. Pengantar
Kepala pusing Kapten Sato yang memimpin pasukan Jepang pada perang dunia ke II di Flores pada kutipan di awal tulisan ini melecutkan niatan saya merefleksikan Konser Musik Seminari Matoloko 2014 di Jakarta (KMSM) yang mendapat tanggapan positif dari hampir semua kalangan sejauh ini. Di forum Nagekeo Bersatu (NB), KMSM menjadi semacam berita menarik nan seksi yang saban hari dibangga-banggakan oleh hampir semua anggota NB. Peran presiden NB, abang Hans Obor, memperkenalkan KMSM saya menilai sangat dominan dan kadang-kadang agak hiperbolis. Karena itu, berita tentang KMSM begitu populer untuk beberapa pekan di NB. Puja dan puji datang dari berbagai arah di kolong langit ini, yakni dari Flores, kota-kota besar di Indonesia dan bahkan dari luar negeri, yang diberikan oleh semua kalangan mulai dari penganggur sampai petani, mahasiswa sampai dosen, wartawan lapangan sampai pemimpin redaktur, anak seminari sampai pastor jompo, dan PNS hingga politikus. Tentu saja semuanya respons positif ini membanggakan semua kalangan yang memiliki kepentingan dengan KMSM –baik kepentingan almamater, moral, ekonomis, dan politik- termasuk para alumni Seminari Mataloko yang tersebar di seluruh belahan dunia.
Namun, sayang sekali karena tidak banyak orang yang melihat kelemahan dan ketidakadilan KMSM, apalagi sambil melayangkan kritik seperti yang saya lakukan ini. Saya mensinyalir tiga hal yang membuat banyak pihak tidak melihat dampak destruktif baik janggka panjang maupun pendek dari KMSM. Pertama, kelompok sosial yang menempati kelas sosial tertinggi di Flores berhasil melakukan patronase dalam kehidupan sosial dan politik melalui penetrasi yang sistemik ke dalam tubuh birokrasi dan Gereja untuk melanggengkan kekuasaan dalam skema kekuasaan tuang-roeng (tuan-hamba sayahaya) seperti yang pernah disinyalir oleh Jalong (2011). Karena patronase ini, segala kebijakan dan inisiatif dari pihak Gereja cenderung tidak dilihat secara kritis-konstruktif, bahkan sejak awal Gereja menginjakkan kakinya di bumi Flores.
Kedua, media memiliki peran yang sangat penting dalam membungkam kekritisan masyarakat Flores terhadap KMSM. Tentunya, media, terutama media NB, memainkan peran sebagai intelektual organik bagi KMSM (Gereja) dalam menjalankan fungsi hegemonisasi seperti yang dimaksudkan oleh Antonio Gramsci. Hegemonisasi yang demikian membuat korbannya tidak sadar akan kekuasaan destruktif yang sedang dicangkokan dalam kesadaran dan kehidupan aktual mereka. Karena itu, yang menjadi korban menjadi tidak kritis dan cenderung secara sadar ikut melegitimasi segala bentuk kekuasaan yang merugikan dirinya.
Ketiga, beberapa orang mungkin saja kritis, tapi tidak berani melayangkan kritiknya karena takut pada jebolan seminari Matoloko yang katanya pintar-pintar dan hebat-hebat dalam membungkam setiap lawan bicaranya. Apalagi, berdasarkan pengakuan beberapa orang yang saya jumpai, ada kecenderungan dari jebolan seminari yang menganggap diri paling hebat dan kaum yang paling dekat dengan ‘logos’. Tapi, saya tidak percaya dan tidak terlalu peduli dengan hal-hal seperti ini. Di jaman digital seperti saat ini, ‘logos’ itu tersebar di mana-mana. Jika ingin buku bermutu, libgen.org dan libgen.info akan menyuplainya kapan dan dimana saja Anda berada. Atau seperti seruan posmodernisme: ‘metanarasi sudah runtuh!’. Tidak ada lagi keterpusatan tunggal, melainkan multi pusat yang kurang lebih independen dan mampu untuk membangun wacananya sendiri. Ilmu tidak saja terpusat pada Gereja, tidak juga terpusat pada anak seminari atau jebolan seminari, ilmu sudah tersebar ke mana-mana. Karena itu, tidak ada alasan untuk jebolan seminari menganggap diri paling hebat, dan tidak boleh ada pikiran dari yang non-seminari untuk inferior, apalagi tunduk pada jebolan seminari yang katanya paling dekat dengan ilmu.

2. Konser Musik Seminari Mataloko 2014 di Jakarta Untuk Siapa?
Saya mungkin menjadi salah satu orang yang terbebas dari ketiga hal yang bisa saja membuat mata hati saya tertutup atas dampak sosial destruktif dari KMSM. Mungkin dampak destruktif ini tidak terjadi secara simultan, melainkan secara gradual, tetapi dengan efek yang mematikan. Untuk mendeteksi dampak sosial destruktif yang potensial dari KMSM, maka saya mengutarakan beberapa pertanyaan berikut. Pertama, KMSM untuk kepentingan siapa? Golongan kelas mana saja yang menikmati dana KMSM? Kedua, apakah KMSM membawa kemajuan pendidikan dan keadilan sosial di tengah masyarat Flores yang miskin? Ketiga, apakah semangat KMSM sesuai dengan semangat ijil dan teladan misionaris awal membangun pendidikan di Flores?
Jika pertanyaan-pertanyaan di atas saya jawab, maka akan terbongkar selubung ketidakadilan sosial yang terbungkus dalam KMSM di Jakarta baru-baru ini. Namun, sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, saya ingin menjelaskan terlebih dahulu sejarah pendidikan Katolik di Flores secara garis besar. Tujuan saya menjelaskan hal ini adalah agar pembaca bisa memahami perbedaan antara sekolah Katolik dahulu dan sekarang serta memberikan penilaian kritis bersama saya terhadap kegiatan KMSM di Jakarta baru-baru ini.

3. Pendidikan Katolik di Flores: Pendidikan Bermutu Untuk Semua
Pendidikan modern di Indonesia dipelopori oleh penjajah Belanda dengan didirikan Bataviaasche School pada tahun 1617. Namun, karena beberapa alasan, sekolah ini ditutup pada tahun 1632. Karena dibawa oleh penjajah maka pendikan di Indonesia awalnya diperuntukan bagi anak-anak pegawai Belanda dan beberapa anak para penguasa lokal yang menjadi alat Belanda untuk menjajah Indonesia (Toer 1985).
Di Flores, pendidikan mula-mula dikembangkan oleh para misionaris Katolik. Tidak lama setelah kedatangan Pater Gaspar Hubertus Fransen di Larantuka pada tahun 1861, ia mendirikan sekolah. Inilah sekolah pertama di Flores. Sepertinya, pendirian sekolah pertama di Flores terjadi setelah Belanda secara formal menguasai Flores. Sebab, Flores baru benar-benar jatuh ke tangan Belanda di tahun 1859 berkat perjanjian Lisbon (Treaty of Lisbon) (Webb 1986). Namun, hingga awal abad 19, Belanda tidak memerintah Flores secara langsung. Menurut Bekkum (1946), sampai awal abad 20, Belanda hanya memerintah Flores dari Bima.
Pada tahun 1908, pegawai pemerintah Belanda datang ke Flores membangun kantor pemerintahannya di Ruteng, yang diikuti oleh misionaris Katolik Belanda pada tahun 1917. Kedatangan Belanda di Flores berimplikasi pada hilangnya perang saudara, meningkatkan produktivitas ekonomi, dan membaiknya kesehatan masyarakat (Gordon 1975). Hal ini diakui oleh pemerintah Jepang yang menduduki Flores selama perang dunia kedua (Erb 2010, Sato & Tennien 1957, 1976).
Dengan ‘politik etis’ yang dikeluarkan oleh Belanda pada awal abad 19, Gereka Katolik diijinkan ke Flores dan mengembangkan ajaran iman Katolik, membangun infrastruktur publik dan membuka berbagai insitutusi pendidikan (Metzner 1982, Nama 2012, Satu 2012). Dari tahun 1913 hingga akhir abad 20, kongregrasi religius Societas Verdi Divini (SVD) yang secara resmi melanjutkan misi para imam serikat Jesuit sejak tahun 1914 membangun Flores dengan sungguh-sungguh dalam bidang pembangunan dan pendidikan (Webb 1986). Pada tahun 1920, Pater Bernhard Glanemann, SVD membangun misi Katolik Manggarai perdana di Ruteng (Satu 2012). Pastor Frans Cornelissen pada tahun 1926 mendirikan seminari di Lela Maumere. Pada tahun 1929, sebuah seminari didirikan di Mataloko. Masih banyak lagi sekolah yang didirikan oleh misionaris Katolik di Flores. Oleh karena itu, tidak salah jika dikatakan bahwa misionaris Katoliklah yang menjadi peletak dasar pendidikan di Flores.
Namun, akibat ajaran Konsili Vatikan I yang menegaskan Gereja adalah societas perfecta, masyarakat sempurna yang melampaui dan berada di atas semua kebudayaan di dunia, kehadiran Gereja Katolik di Flores justru memicu lenyapnya kebudayaan dan adat istiadat setempat dan pengaruh insitusi tradisional. Tetapi, setelah Konsili Vatikan II, Gereja lokal kembali merestorasi dan menginkorporasi kebudayaan adat istiadat Flores melalui proses inkulturasi ke dalam liturgi Gereja, yang diinisiasi oleh beberapa uskup lokal, seperti uskup Wilhelmus van Bekkum, seorang misionaris Belanda yang menjadi uskup Manggarai pertama pada tahun 1951 (Erb 2010).
Pada mulanya, pendidikan yang dibangun oleh para misionaris bertujuan untuk menggolkan karya misinya. Para misionaris membutuhkan sejumlah guru pribumi untuk mengajarkan agama dan para tukang untuk memperlancar pembangunan gedung-gedung misi. Secara sepintas, terkesan bahwa para misionaris mengeksploitasi pendidikan demi kepentingannya semata. Menurut Maribeth Erb (2006), strategi mengembangkan misi Katolik di Flores adalah dengan membangun sekolah-sekolah, mendidik generasi muda dan membaptis mereka. Sampai pada tahun 1980-an, dengan bantuan katekis lokal dan pendirian sekolah, misi misionaris SVD berhasil karena kurang lebih 90 persen orang Flores memeluk agama Katolik. Tidak bisa disangkal bahwa masyarakat Flores diberdayakan dengan kehadiran sekolah-sekolah yang didirikan oleh para misionaris. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kemajuan pendidikan di Flores adalah karena jasa para misionaris Katolik.
Ketika sekolah Katolik dikelolah oleh para misionaris, sekolah katolik masih bersifat otonom dan tidak berpatok pada kurikulum yang kaku seperti saat ini. Sekolah Katolik dikelolah dengan kurikulum standar internasional model kolese, gimnasium di Eropa. Sampai era 1970-an, sekolah Katolik memiliki arah yang jelas dan sikap yang tegas. Oleh karena itu, sekolah Katolik sangat bermutu dan sungguh diterima masyarakat. Pendidikan Flores pernah menjadi yang terbaik di Indonesia. Inilah puncak kejayaan pendidikan di Flores. Pada tahun 1975 pemerintah Indonesia memberhentikan kedatangan para misionaris asing. Kucuran dana dari Eropa pun secara perlahan berkurang. Sebagai dampaknya, Gereja Katolik Flores mengalami masalah keuangan yang sebelumnya bergantung pada para misionaris. Oleh karena itu, tidak lama kemudian, sekitar awal tahun 1980-an, ide Gereja Mandiri mulai digulir dan cukup berhasil hingga saat ini (Erb 2006). Keterbatasan dana juga berdampak pada manajemen sekolah Katolik. Mutu sekolah Katolik perlahan merosot akibat dari keterbatasan finansial. Mutu sekolah Katolik akhirnya diperburuk dengan dominasi negara atas kurikulum sekolah. Sekolah Katolik yang sebelumnya otonom dan menjalankan pendidikan berdasarkan standar internasional dihambat oleh kebijakan negara melalui kurikulum yang pragmatis dan syarat akan kepentingan politis.
Walaupun keadaan sekolah Katolik di Flores tidak terlalu memuaskan saat ini, namun keberadaannya masih dibutuhkan baik oleh gereja maupun masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan tanggung jawab semua pihak baik pemerintah, Gereja maupun masyarakat itu sendiri. Tanggung jawab ini dibutuhkan untuk mengembalikan mutu dan keunggulan sekolah Katolik. Sekolah bermutu mampu merealisasikan tujuan pendidikan sebagaimana ditandaskan oleh Romo Mangunwijaya yakni kebebasan. Kebebasan menjadi persemaian yang tepat untuk jiwa yang merdeka untuk berkreativitas dan berinovasi. Sekolah bermutu akan mampu menghasilkan output yang cerdas, kreatif dan bertanggung jawab yang merupakan aset paling berharga bagi pembangunan bangsa.
Bila pada awal kedatangan misionaris sekolah Katolik memilik visi dan misi utama untuk “meng-Katolik-an” Flores, maka saat ini visi dan misi ini harus direvisi kembali. Misi awal misionaris itu boleh dikatakan sudah berhasil. Oleh karena itu, visi dan misi sekolah Katolik saat ini adalah untuk membebaskan masyarakat dari berbagai belenggu yang menindas seperti keterbelakangan dan kemiskinan sambil tetap berpegang pada tiga ciri Sekolah Katolik yakni (1) setia terhadap pecerdasan kehidupan bangsa, (2) setia terhadap ciri khas Katolik dan (3) setia terhadap spiritualitas pendiri. Gereja Katolik yang sudah seabad lebih lebih berada di Flores harus merasa bertanggung jawab untuk membebaskan Flores dari berbagai belenggu keterbelakangan dan kemiskinan. Gereja Katolik di Flores bisa memulainya dengan membangun kembali kualitas Sekolah Katolik. Dalam sejarah, sekolah selalu menjadi mesin memajukan peradaban suatu bangsa. Sekolah adalah aset pembangunan bangsa. Peradaban Eropa melaju lebih cepat dari peradaban lain karena mengembangkan pendidikan bangsanya. Oleh karena itu, Gereja Katolik di Flores bisa menjadikan sekolah Katolik sebagai basis untuk membebaskan Flores dari keterbelakangan dan kemiskinan.

4. Sumbangan Dana Pendidikan KMSM dan Ketidakadilan Sosial di Flores
Berdasarkan uraian tentang sejarah pendidikan Flores diketahui bahwa pendidikan Flores sejatinya dibangun oleh misionaris Katolik Belanda. Politik Etis memungkinkan kerja misionaris Katolik di Flores menjadi lebih mudah, dan bebas hambatan. Pendidikan yang dibangun oleh misionaris ini menggunakan dana dari Eropa dan diperuntukan bagi semua masyarakat Flores. Sekolah Katolik dibangun dengan dana yang sama kepada semua masyarakat Flores di hampir semua wilayah di Flores. Tidak ada diskriminasi: ini sekolah seminari, ini sekolah non-seminari. Semua dana dimanfaatkan untuk kepentingan sekolah Katolik, tidak ada dikotomi seminari dan non-seminari. Karena itu, tidak heran jika sekolah Katolik non-seminari di Flores bisa menghasilkan tokoh nasional yang disegani seperti Frans Seda dan Ben Mboy yang dua-duanya pernah belajar di Ndao, Ende.
Intisarinya adalah tidak ada diskriminasi dalam pemanfaatan dana pendidikan untuk kebaikan semua sekolah Katolik di Flores, bukan hanya untuk seminari. Tetapi, KMSM di Jakarta baru-baru ini perlu dikritisi sebab penggalangan dana melalui KMSM dapat berimplikasi negatif bagi keadilan sosial bagi masyarakat Flores di masa yang akan datang.
Kecemasan dan kekwatiran saya dengan fenomena KMSM adalah bahwa KMSM menggalang dana hanya untuk kepentingan seminari saja dapat berimplikasi bagi meningkatnya kesenjangan sosial di Flores. Ideal agar Gereja Katolik melalui pendirian pendidikan seminari menghilangkan kesenjangan dan kemiskinan di Flores tidak tercapai. Hal ini berdampak buruk, sebab dapat meningkatkan jurang ketidakadilan sosial di Flores. Menurut data BPS (2010), dari 1,8 juta jiwa penduduk Flores, terdapat 330.380 (17.33 %) penduduk miskin. Rata-rata kemiskinan di Flores berada sedikit lebih rendah dari propinsi NTT yakni 21.23 %. Itu berarti ada pulau atau daerah di NTT yang jauh lebih miskin dari Flores. Tetapi, rata-rata jumlah kemiskinan di Flores jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional yakni 13.33 %. Indeks Pembangunan Manusia (2008) di Flores adalah 66,21, sedikit lebih tinggi dari propinsi NTT 66,15, tetapi jauh lebih rendah dari tingkat nasional 71,17 (Tolo 2012).
Di tengah kemiskinan yang sedang melanda Flores saat ini, sayang sekali, pendidikan seminari di Flores menjadi konsumsi dari kalangan kelas sosial menengah ke atas. Apalagi, biaya pendidikan seminari mahal dan tidak terjangkau oleh golongan masyarakat bahwa yakni para petani dan buruh tani yang merupakan mayoritas masyarat Flores. Tentu hal ini berbeda dengan kenyataan pada tahun 1970an di mana seminari masih dipegang oleh para misionaris dan pendidikan di seminari menjadi konsumsi semua kelas sosial di Flores. Waktu itu biaya seminari begitu murah dan nyaris gratis.
Saya belum memiliki data pasti tentang kelas sosial menengah ke atas yang menduduki panti pendidikan seminari untuk memperkuat status sosial mereka sebagaimana telah disinyalir oleh Jalong (2011). Tetapi, dengan beredar di antara jebolan seminari selama ini, saya bisa mendeteksi latar ekonomi keluarga mereka. Kebanyakan anak seminari berasal dari keluarga guru, pengusaha, politisi, pedagang dan tuan tanah. Jadi, saat ini, seminari bukan saja menjadi tempat pendidikan calon imam, melainkan juga merupakan tempat pendidikan bagi kelas sosial yang menempati stratifikasi sosial menengah ke atas di Flores. Karena fasilitas seminari yang baik dan berkualitas dan berjarak agak jauh dari sekolah-sekolah yang lain, maka bukan tidak mungkin panti pendidikan seminari turut berkontribusi bagi meningkatnya kemiskinanan dan kesenjangan kelas sosial di masyarakat Flores.
Jika KMSM adalah kegiatan penggalangan dana bagi seminari, maka para pemberi dana bagi seminari, termasuk institusi seperti Berita Satu di Jakarta, telah memberikan subsidi bagi orang kaya Flores atau kelas sosial menengah ke atas di Flores yang sedang mengenyam pendidikan di seminari Mataloko. Subsidi yang demikian tak ubahnya subsidi BBM di Indonesia, sebesar 210 triliun rupiah dari total PDB 9.084 triliun rupiah di tahun 2013 (Kompas 24/10/2014), yakni untuk kepentingan orang kaya dan berduit, yang rencananya akan dipotong sebesar 46% pada tahap awal dan mungkin dihapus sepenuhnya oleh Jokowi. Subsidi dana pendidikan dalam KMSM, menurut saya, adalah salah sasaran. Saya melihat bahwa dalam jangka pendek memang sumbangan dana pendidikan yang demikian tidak akan meningkatkan mutu pendidikan dan menurunkan tingginya angka ketidaklulusan di Flores selama ini.
Bahkan dalam jangka pajang, saya melihat sumbangan dana pendidikan dalam KMSM bisa berpotensi menimbulkan ketidakadilan sosial di Flores. Ketidakadilan sosial yang ditimbulkan oleh kesenjangan ekonomi yang tinggi seperti ini dapat menimbulkan konflik sosial yang mematikan. Koefisien gini (2012) di NTT saat ini adalah 0,38. Secara ekonomi politik, koefisien gini di atas 0,40 berpotensi menimbulkan konflik sosial yang termanifestasi dalam gesekan sosial lainnya yang seolah-olah bukan akibat kesenjangan ekonomi, seperti masalah ras, etnis dan agama seperti yang terjadi di Indonesia saat ini (2011) yang mana koefisien gininya sudah mencapai 0, 41 [Menurut Prabowo (2014) malah 0,45]. Karena itu, sumbangan dana dalam KMSM harus dilawan dan diprotes, sebab di sana terkandung ketidakadilan sosial yang dapat membayahayakan masyarakat Flores ke depan.

5. Jika Kurang Dana, Seminari Kecil Dihapus Saja
Saya lebih setuju, jika KMSM 2014 di Jakarta dilakukan untuk menggalang dana bagi seluruh sekolah Katolik di Flores, atau untuk seluruh sekolah di Flores, baik swasta maupun negeri, yang mengalami keterbatasan dana untuk membangun infrastruktur pendidikannya. Dengan cara demikian, sumbangan dana pendidikan yang dimaksud dapat menciptakan perbaikan pendidikan yang menyeluruh dan lebih dari itu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Flores. Seminari sudah kaya, sudah mantap fasilitasnya –jika dibandingkan dengan sekolah yang lain di Flores, malah masih butuh dana. Sudah saatnya masyarakat Flores melek mata terhadap kebingungan kapten Sato di awal tahun1940an ketika melihat orang Flores berjuang mati-matian membangun Gereja yang megah tetapi mereka bersedia tinggal di gubuk-gubuk yang reok. Dengan pernyataan yang sama, sudah saatnya orang Flores yang miskin tidak harus pontang panting untuk membangun seminari yang merupakan sekolah anak-anak kaum berduit dan membiarkan anak-anaknya sendiri dan anak-anak keluarganya bersekolah di sekolah yang tidak bermutu karena miskin fasilitas. Apalagi saat ini, saya mendengar banyak konser-konser musik untuk menggalang dana pendidikan dari kalangan seminari, baik seminari kecil maupun seminari menengah yang melakukan konser musik di beberapa daerah di Flores seperti Boawae dan Mbay.
Berdasarkan argumentasi yang telah saya bangun di atas, maka jika seminari kecil (SMP dan SMA) kekurangan dana, sebaiknya coba dipikirkan oleh Gereja lokal di Flores untuk menghapus pantai pendidikan seminari kecil. Saya lebih sepakat jika masyarakat Flores tetap mendukung berdirinya seminari tinggi di Ledalero dan menghapus seminari kecil yang kekurangan dana. Ada beberapa alasan mendasar yang saya bisa utarakan di sini, selain apa yang saya telah tegaskan di muka.
Pertama, seminari kecil yang bermutu di Flores sudah menjadi domain pendidikan kaum elit di Flores. Hal ini disebabkan oleh biaya pendidikan yang mahal. Karena itu, seminari kecil menjadi semacam panti pendidikan yang mereproduksi ketimpangan kelas sosial di Flores di masa yang akan datang.
Kedua, seminari kecil saat ini tidak lagi menjadi panti pendidikan calon imam dalam arti yang sebenar, tetapi panti pendidikan calon orang pintar dari kalangan kelas sosial menengah ke atas. Dengan fasilitas yang memadai dan guru yang berkompeten jebolan seminari tentu memiliki akses lebih besar terhadap ilmu pengetahuan. Apalagi, masyarakat Flores umumnya belum melek terhadap peralatan komunikasi digital. Karena bukan menjadi panti pendidikan calon imam, maka seminari kecil hanya menjadi tempat untuk ‘curi ilmu’ dari kalangan kelas sosial menengah ke atas di Flores. Sebagai tempat untuk ‘curi ilmu’, maka jangan heran jika banyak orang kaya yang tidak rela anaknya menjadi imam, selepas tamat dari SMA seminari. Seperti kata Yesus, orang kaya sulit mengikuti Dia, karena kelekatan dengan kekayaannya. Kalau jadi imam, siapa lagi yang akan mengurusi kekayaan keluarga? Jika memang ada anak orang kaya yang bersekolah di seminari kecil dan menjadi imam karena didukung oleh keluarganya, maka dukungan itu bisa saja dalam rangka kepentingan patronase seperti yang tegaskan oleh Jalong (2011). Mungkin kecurigaan saya terlalu berlebihan, sebab ada beberapa orang dari keluarga kaya di Flores yang benar-benar menjadi imam karena panggilannya seperti kisah santu Fransiskus Asisi yang berasal dari keluarga kaya raya di Italia.
Ketiga, karena seminari kecil hanya menerapkan ‘merit system’ dalam perekrutan, maka hanya anak-anak pintar dari kalangan berduit yang masuk seminari. Anak-anak pintar itu biasanya berasal dari jebolan sekolah-sekolah di kota kecamatan dan kabupaten. Lagi-lagi, seminari kecil telah berpotensi meningkatkan kesenjangan ekonomi antara desa dan kota. Kesenjangan seperti ini tentu merugikan strategi pembangunan dan pengentasan kemiskinan di Flores.
Keempat, seminari kecil berpotensi mencerabut generasi muda Flores dari akar budaya dan kondisi hidup sosial masyarakatnya sendiri. Hal ini adalah tujuan utama misionaris awal pra-Konsili Vatikan II, yang melihat budaya lokal sebagai ancaman bagi iman Katolik. Karena itu, anak-anak dari kecil diisolasikan dari budayanya sendiri, yang kemudian kelak akan menjadi penghancur bagi budayanya sendiri. Selain itu, menurut saya, karena anak seminari terlalu dini masuk seminari (usia 11-12 tahun), jebolan seminari cenderung apolitis, mungkin juga asosial. Maksudnya, anak seminari cenderung tidak merasakan keadaan sosial, politik dan ekonomi masyarakatnya sendiri. Jadi, jangan heran jika ada jebolan seminari yang mengusulkan Gereja lokal di Flores masuk pasar saham yang jelas-jelas bertentangan semangat Katolik atau membangun Flores dengan kekerasan tambang. Mungkin jebolan seminari yang begini lupa baca ajaran sosial gereja setelah konsilivatikan II karena terlalu sibuk hafal ide-ide para pujangga dan Filsuf yang kelak bisa ditulis di dinding FB ketika sudah tidak lagi di seminari, biar kelihatan orang lain ‘agak’ pintar.
Sepertinya, anak seminaris dididik dalam ruang kepastian, segala-galanya disediakan. Hampir-hampir mereka tidak mengalami kesusahan yang dialami oleh keluarga dan masyarakatnya di kampungnya. Akibat jangka panjang adalah bahwa ketika menjadi imam atau menjadi orang sukses di kemudian hari, ada kemungkinan jebolan seminaris kecil apatis terhadap keadaan sosial, politik dan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakatnya sendiri. Selain itu, tidak terlalu sulit bagi jebolan seminari untuk mengikuti irama ekonomi neoliberalisme yang brengsek, walaupun waktu masih menjadi seminaris hafal seluruh isi ayat Kitab Suci dan konsep-konsep kunci Karl Marx. Sebab, sedari kecil, mereka terisolasi dari semua kesadaran sosial dan politik yang riil di masyarakat. Atau, malahan, ketika menjadi imam mereka cenderung untuk memproduksi kebijakan yang memberatkan masyarakatnya sendiri. Misalnya, karena sejak kecil hidup dengan kemewahan gedung-gedung seminari yang dibangun para misionaris, para imam jebolan seminari kecil, ketika di paroki, ingin membangun Gereja dan panti pastoral yang megah dan mewah menelan dana miliaran rupiah dengan memaksa umat membayar iuran yang tidak sedikit. Jika Anda tidak percaya, kalau ada waktu tengkoklah bangunan Gereja dan panti imam di kevikepan Bajawa, lalu jalan-jalan di perkampungan masyarakat sekitar dan bertanyalah kepada mereka: ‘apakah Anda bahagia dengan iuran paroki untuk membangun gedung Gereja?’
Karena keempat alasan di atas, maka, menurut saya, jika seminari kecil kekurangan dana, saya usulkan agar seminari kecil dihapuskan saja. Saat ini, di Flores, calon imam tidak saja dihasilkan oleh seminari kecil, tetapi juga SMA biasa yang tersebar di seluruh pulau Flores. Malahan, calon iman dari SMA lebih bertahan hingga ditahbiskan menjadi imam. Sekedar contoh, dari 13 orang siswa/i SMA St. Klaus Ruteng jurusan IPA (2003), 6 orang siswa masuk seminari, termasuk saya, 3 gagal dan 3 orang sudah kaul kekal dan akan ditahbiskan Iman tahun depan (2015), yakni Heribertus Mangkur CS (Filipina), Roby Dosom SVD (Filipina) dan Robertus Aula SVD (Maumere). Coba bandingkan jebolan seminari dari 100 siswa masuk SMP seminari, yang ditahbiskan jadi imam 10 orang, jika ada mujizat. Ketika saya ke Ledalero pada bulan Juli 2014, saya menemukan lebih banyak calon imam yang berasal dari SMA biasa dari pada yang dari seminari di Ledalero yang tersebar di sekitar 7-8 kongregrasi religius. Karena itu, tidak ada alasan lagi akan kekurangan calon imam, jika seminari kecil dihapus. Sebab, data di lapangan memang memang membuktikan bahwa calon imam tidak mati jika seminari kecil dihapus.
Menurut saya, tidak ada alasan yang lebih kuat untuk mempertahankan seminari kecil yang kekurangan dana untuk tetap melanjutkan eksistensinya.

Sudah saatnya, masyarakat Flores kritis dan melihat hal ini dengan cara pandang yang lebih rasional. Sapere Aude! Beranilah Berpikir! Dengan cara demikian, kita membantu perkembangan dan kemajuan Gereja lokal di Flores. Sebab, bagi saya, mencintai Gereja lokal dengan memberikan kritikan adalah cinta yang benar dan besar. Gereja juga bisa salah, juga bisa keliru. Misalkan, kritik Luther dengan menempelkan 95 tesis Wittenberg pada tanggal 31 Oktober 1517 sebagai protes terhadap ‘Curia Romana’ yang mengijinkan orang Katolik membeli semacam ‘letters of credits’ dengan membayar sejumlah uang untuk idulgensia telah membuat Gereja Katolik mereformasi diri dan menjadi lebih baik seperti saat ini (Dhakidae 2001). Bercermin dari pengalaman Luther, saya yakin hanya dengan kritik Gereja Katolik Flores akan menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.

6. Jika Saya Keliru, Silahkan Bantah
Saya yakin tulisan saya akan mendapat banyak kritikan dan bantahan. Mungkin saya akan ‘dikeroyok’ habis-habisan di forum ini oleh alumni seminari Matoloko dan para simpatisannya. Saya akan menerima itu dengan senang hati. Di jaman demokratis seperti saat ini, perbedaan pendapat adalah sebuah keutungan dan kemujuran. Sebab dari sanalah, yang saling berbeda pendapat bisa belajar banyak hal.
Namun, perlu diingat bahwa kritikan saya kali ini bukan atas dasar benci, tetapi cinta. Cinta terhadap Gereja lokal, juga cinta terhadap seminari. Saya tidak bisa memberikan sumbangan dana pendidikan seperti pak Primus Dorimulu, tetapi saya hanya bisa menyumbang kritikan. Saya yakin senyawa antara sumbangan dana pendidikan dan kritik atas praktek pendidikan akan membuat pendidikan Katolik di Flores, baik pendidikan seminaris maupun non-seminaris, akan menjadi lebih baik. Mungkin ada baiknya, jika kita mencitai seminari dan Gereja lokal dengan cara mengawasinya dengan hati yang penuh cinta. Sebab, dewasa ini, menurut Paus Fransiskus ketika diwawancarai oleh Scalfari (2013) menegaskan demikian: ‘…[the] head of the Church have often been narcissists, flattered and thrilled by their courtiers. The court is the leprosy of the papacy’. Atas pesan Paus Fransiskus ini, saya pikir catatan saya ini sama sekali tidak berkehendak untuk menggoyangkan Gereja, apalagi melawannya. Semuanya karena cinta.

Yogyakarta, 27 Oktober 2014

Referensi:
1. Bekkum, Wilhemus van (1946). M. Agus (Penerj, 1974). Sejarah Manggarai (Warloka-Todo-  Pongkor). Unpublished manuscript.
2. Dhakidae, Daniel (2001) “Memahami Rasa Kebangsaan dan Menyimak Bangsa Sebagai Komunitas-Komunitas Terbayang”, kata pengantar untuk buku edisi terjemahan bahasa Indonesia Anderson, Benedict (2001) Imagined Communities (Komunitas-Komunitas Terbayayang). Yogyakarta: Insist & Pustaka Pelajar.
3. Erb, Maribeth, 2006. Between Empowerment and Power: The Rise of the Self-Supporting Church in Western Flores, Eastern Indonesia 1, published in Journal of Social issues in Southeast Asia, Volume 21, Number 2.
4. Erb, Maribeth (2010). Kebangkitan Adat di Flores Barat: Budaya, Agama dan Tanah, dalam Davidson, James S., et. al. (2010). Adat dalam Politik Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
5. Gordon, Jhon Lambert (1975). The Manggarai: Economic and Social Transformation in An Eastern Indonesia Society. PhD Thesis at Harvard University Cambridge, Massachusetts.
6. Jalong, Fransiskus (2011) Kairos dan Developmentalisme: Politik Wacana Patronase di Manggarai. Thesis MA di Universitas Gadjah Mada.
7. Metzner, J.K. 1982 Agriculture and Population Pressure in Sikka, Isle of Flores: A contribution to the study of the stability of agricultural systems in the wet and dry tropics. Development Studies Centre Monograph no. 28, The Australian University.
8. Nama, Simon (2012). Kerasulan Sosial Ekonomi: Bagian Integral Pewartaan Injil, dalam Chen Martin & Suwendi, Charles (2012). Iman, Budaya dan Pergumulan Sosial.
9. Sato, Kapten Tasuku & Tennien, P. Mark (1957). Wignyanta, Thom (penerj, 1976). Aku Terkenang Flores (I Remember Flores). Ende: Nusa Indah.
10. Tolo, E.Y.S. (2012). ‘Land Grabbing dan Kemiskinan di Flores’, [Opini], Flores Pos, 9 Oktober.
11. Satu, Adam (2012). Karya Pastoral SVD di Manggarai: 1914-Sekarang dan Masa Mendatang, dalam Chen Martin & Suwendi, Charles (2012). Iman, Budaya dan Pergumulan Sosial., pp. 38-52.
12. Scalfari, Eugenio (2013). The Pope: How the Church will change. (online), diakses 19/9/104 darihttp://www.repubblica.it/cultura/2013/10/01/news/pope_s_conversation_with_scalfari_english-67643118/
13. Webb, R.A.F.P. (1986) Adat and Christianity in Nusa Tenggara Timur: Reaction and Counteraction, Philippine Quarterly of Culture and Society, 14: 339-365.



Copy Paste dari 
Emilianus Yakob Sese Tolo