PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

24 November 2016

KONTESTASI POLITIK DAN INDEPENDENSI PERS

KONTESTASI POLITIK DAN INDEPENDENSI PERS*

Vianey Lein


Tak dipungkiri lagi bahwa dalam dunia dewasa ini pers menjadi pilar penting dalam sebuah masyarakat demokrasi. Hal ini turut mengafirmasi bahwa tanpa kebebasan pers, masyarakat demokrasi pun tidak ada. Pers atau media yang terpercaya dengan jurnalis yang bebas dan bertanggung jawab menjadi asupan nutrisi penting dalam merangsang tumbuh-kembangnya sebuah bangunan demokrasi. Para jurnalis sesungguhnya adalah agen-agen perubahan sosial dalam memberi informasi dan berani serta bertanggung jawab „menelanjangi“ segala „salah urus“ (politik) dalam masyarakat. Fungsi kontrol ini menjadikan pers sebagai „Wachhund“ (watchdog) – anjing penjaga demokrasi. Di samping Negara Hukum, Masyarakat madani (civil society) dan Infrastruktur politik (partai politik), pers menjadi kekuatan ke-empat dalam menopang tegaknya bangunan demokrasi sebuah negara. Itu artinya, perjuangan warga untuk menegakan demokrasi menuntut dukungan dari media. Di sini para jurnalis memiliki fungsi memberi informasi secara benar dan transparens berdasarkan kode etik jurnalis yang telah digariskan. Pemberitaan-pemberitaan pers itu menjadi bahan dan sumbangan untuk sebuah diskusi publik (dialektika), yang mana sangat dibutuhkan dalam sebuah masyarakat demokrasi, karena dalam setiap liputan atau reportase tersirat undangan sekaligus imperasi sosial bagi setiap pembaca untuk berpikir dan berdiskusi. Melihat fungsi ini, para jurnalis sesungguhnya memiliki „kuasa“ sekaligus „tanggung jawab“ besar dalam laju demokrasi.

Menengok bilik pers di Tanah Air suguhan media untuk publik tak luput dari reportasi bertajuk kontestasi politik (Pilgub dan Pemilukada). Pemberitaan tentang para calon, tim sukses dan relawan hampir selalu mengisi halaman-halaman setiap edisi cetak maupun online. Meskipun (mungkin?) belum ada penelitian (terpercaya) tentang redaksi berita dan (kecenderungan) pengorbitan calon pasangan tertentu, ratio publik bisa menganalisa “keseringan” pemberitaan tentang tokoh dari partai tertentu, yang mana bisa dinilai sebagai format baru dalam politik pencitraan. Terlepas dari kebenaran analasis nalar publik, kecurigaan ini bisa menjadi interupsi bagi pers untuk menguji kembali independensi terhadap sumber berita. Kecurigaan publik bisa menjadi lensa dan lampu sorot dalam meneropong kanal-kanal pemberitaan – yang pada dasarnya mesti berorientasi populis dan bukan sektarian atau menjadi poros politik tertentu dan kepentingan kaum elite. Perhatian dan minat pembaca pada pertarungan politik menjadikan kontestasi politik sebagai lahan observasi yang atraktiv bagi wartawan dan isu seksi untuk disuguhkan kepada publik. Sedangkan bagi para kontestan politik, pers menjadi corong penting dalam mobilisasi massa dan kampanye. Di hadapan gelanggang pertarungan seorang jurnalis mesti tampil sebagai ahli pengamat bebas, tanpa terikat pada apa dan siapa. Idealnya demikian! Tetapi para jurnalis kita per se bukanlah makhluk yang tak luput dari giringan kepada pencobaan atau malaikat yang kebal terhadap tawaran seperti suap dan korupsi yang bisa meninabobokan „sikap skepsis kritis“ mereka – apalagi mereka juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomis.

Bahaya Suap dan Korupsi dalam Jurnalisme
Sikap tunduk media pada partai politik tertentu atau sikap mudah jatuh dalam rayuan para elite politik bukanlah tidak mungkin mempersempit ruang gerak bebas jurnalis dan menumpulkan taring sengat dalam misi profetis untuk mewartakan kebenaran. Tawaran untuk jurnalis secara personal dari partai politik atau elite tertentu seperti hadiah dalam bentuk barang atau uang dan undangan untuk hajatan atau seremoni tertentu bisa menjadi bayang-bayang yang menggelapkan profetisme jurnalis ketika pengamatan objektif dan rasio kritis digodok dalam corong „prinsip balas budi“. Dalam kasus ini, bila seorang jurnalis tidak kritis membedakan „profesi“ dari „relasi sosial“, maka ia akan mudah didikte dalam meredaksikan sebuah berita tentang atau yang bersinggungan dengan kelompok-kelompok tadi. Berbagai bentuk sogok, baik kepada jurnalis secara pribadi maupun kepada pihak redaksi, hadir bagai „gunting dalam kepala“ yang siap „memotong“ kemampuan menulis berita secara kritis-komprehensif lalu memodifikasinya dalam penggalan-penggalan yang mengaburkan data dan fakta. Ketika seorang jurnalis atau pers secara gegabah menerima „uang tutup mulut“ atau suap, mereka telah terlibat dalam sebuah praktek korupsi sistematis dalam dunia jurnalisme. Sebuah publikasi yang diterbitkan dalam bayang-bayang suap dan dipengaruhi oleh prinsip „balas budi“ adalah bentuk korupsi jurnalisme yang melumpuhkan misi bersama untuk memberantas korupsi itu sendiri. Dan sebagai konsekuensi lanjut media itu akan kehilangan kepercayaan dari publik karena telah memperjual-belikan „kuasa“ yang diberikan publik.

Itulah (tantangan) jurnalisme: menulis hal-hal positif akan dipuja-puji dan sebaliknya memberitakan yang negatif – meskipun itu benar – akan dihakimi. Tetapi itu tidak mengharuskan sorang jurnalis atau pers untuk mengkhianati publik dan  melenceng dari komitmen mengabdi kebenaran demi menjaga nama baik atas prinsip balas budi dan untuk tujuan komersial semata: agar cepat laku terjual. Berbagai reaksi dan tanggapan dari publik pembaca tentang keberpihakan pers pada nilai-nilai kebenaran semestinya menjadi undangan untuk mengevaluasi kembali independensi pers, yang mana menuntut budaya „terbuka terhadap kritik“ dan keberanian mengakui kesalahan serta memperbaikinya (autokritik). Pers diajak untuk mengoreksi berbagai paradoks dan parodi yang mewarnai pemberitaan seputar Pilgub dan Pemilukada. Maraknya kontestasi politik adalah peluang bagi pers untuk menjadi „pejuang demokrasi“ dalam mengasah kepekaan publik dan bukannya membiarkan diri digiring kepada industri politik yang dikontrol oleh elite politik dan konglomerat. Distingsi tegas antara „promosi iklan“ dan „redaksi berita“ mesti dipahami secara baik sehingga pers tidak terjebak dalam lumpur “mencampur-adukan” keduanya. Apalagi tidak semua publik pembaca berpikir dan bersikap kritis terhadap sebuah berita yang disuguhkan. Sikap profetis-kritis pers akan mampu meredam gelegar angkuh penguasa sekaligus menggongong para koruptor. Independensi pers menjadikannya berani menghindar dari suguhan atau suapan yang melumpukan demokrasi***  


*Diterbitkan di Kolom Opini Harian FLORES POS, 04 November 2016



No comments:

Post a Comment