KONTESTASI POLITIK DAN INDEPENDENSI PERS*
Vianey Lein
Tak dipungkiri lagi bahwa dalam dunia dewasa ini pers menjadi
pilar penting dalam sebuah masyarakat demokrasi. Hal ini turut mengafirmasi
bahwa tanpa kebebasan pers, masyarakat demokrasi pun tidak ada. Pers atau media
yang terpercaya dengan jurnalis yang bebas dan bertanggung jawab menjadi asupan
nutrisi penting dalam merangsang tumbuh-kembangnya sebuah bangunan demokrasi. Para
jurnalis sesungguhnya adalah agen-agen perubahan sosial dalam memberi informasi
dan berani serta bertanggung jawab „menelanjangi“ segala „salah urus“ (politik)
dalam masyarakat. Fungsi kontrol ini menjadikan pers sebagai „Wachhund“ (watchdog) – anjing penjaga demokrasi. Di
samping Negara Hukum, Masyarakat madani (civil society) dan Infrastruktur
politik (partai politik), pers menjadi kekuatan ke-empat dalam menopang
tegaknya bangunan demokrasi sebuah negara. Itu artinya, perjuangan warga untuk
menegakan demokrasi menuntut dukungan dari media. Di sini para jurnalis
memiliki fungsi memberi informasi secara benar dan transparens berdasarkan kode
etik jurnalis yang telah digariskan. Pemberitaan-pemberitaan pers itu menjadi
bahan dan sumbangan untuk sebuah diskusi publik (dialektika), yang mana sangat
dibutuhkan dalam sebuah masyarakat demokrasi, karena dalam setiap liputan atau
reportase tersirat undangan sekaligus imperasi sosial bagi setiap pembaca untuk
berpikir dan berdiskusi. Melihat fungsi ini, para jurnalis sesungguhnya
memiliki „kuasa“ sekaligus „tanggung jawab“ besar dalam laju demokrasi.
Menengok bilik pers di Tanah Air suguhan media untuk publik
tak luput dari reportasi bertajuk kontestasi politik (Pilgub dan Pemilukada). Pemberitaan
tentang para calon, tim sukses dan relawan hampir selalu mengisi
halaman-halaman setiap edisi cetak maupun online. Meskipun (mungkin?) belum ada
penelitian (terpercaya) tentang redaksi berita dan (kecenderungan) pengorbitan
calon pasangan tertentu, ratio publik bisa menganalisa “keseringan” pemberitaan
tentang tokoh dari partai tertentu, yang mana bisa dinilai sebagai format baru
dalam politik pencitraan. Terlepas dari kebenaran analasis nalar publik,
kecurigaan ini bisa menjadi interupsi bagi pers untuk menguji kembali independensi
terhadap sumber berita. Kecurigaan publik bisa menjadi lensa dan lampu sorot
dalam meneropong kanal-kanal pemberitaan – yang pada dasarnya mesti
berorientasi populis dan bukan sektarian atau menjadi poros politik tertentu dan
kepentingan kaum elite. Perhatian dan minat pembaca pada pertarungan politik
menjadikan kontestasi politik sebagai lahan observasi yang atraktiv bagi
wartawan dan isu seksi untuk disuguhkan kepada publik. Sedangkan bagi para
kontestan politik, pers menjadi corong penting dalam mobilisasi massa dan
kampanye. Di hadapan gelanggang pertarungan seorang jurnalis mesti tampil
sebagai ahli pengamat bebas, tanpa terikat pada apa dan siapa. Idealnya
demikian! Tetapi para jurnalis kita per
se bukanlah makhluk yang tak
luput dari giringan kepada pencobaan atau malaikat yang kebal terhadap tawaran
seperti suap dan korupsi yang bisa meninabobokan „sikap skepsis kritis“ mereka
– apalagi mereka juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomis.
Bahaya Suap dan
Korupsi dalam Jurnalisme
Sikap tunduk media pada partai politik tertentu atau sikap
mudah jatuh dalam rayuan para elite politik bukanlah tidak mungkin mempersempit
ruang gerak bebas jurnalis dan menumpulkan taring sengat dalam misi profetis
untuk mewartakan kebenaran. Tawaran untuk jurnalis secara personal dari partai
politik atau elite tertentu seperti hadiah dalam bentuk barang atau uang dan
undangan untuk hajatan atau seremoni tertentu bisa menjadi bayang-bayang yang
menggelapkan profetisme jurnalis ketika pengamatan objektif dan rasio kritis
digodok dalam corong „prinsip balas budi“. Dalam kasus ini, bila seorang
jurnalis tidak kritis membedakan „profesi“ dari „relasi sosial“, maka ia akan
mudah didikte dalam meredaksikan sebuah berita tentang atau yang bersinggungan
dengan kelompok-kelompok tadi. Berbagai bentuk sogok, baik kepada jurnalis
secara pribadi maupun kepada pihak redaksi, hadir bagai „gunting dalam kepala“
yang siap „memotong“ kemampuan menulis berita secara kritis-komprehensif lalu
memodifikasinya dalam penggalan-penggalan yang mengaburkan data dan fakta. Ketika
seorang jurnalis atau pers secara gegabah menerima „uang tutup mulut“ atau suap,
mereka telah terlibat dalam sebuah praktek korupsi sistematis dalam dunia
jurnalisme. Sebuah publikasi yang diterbitkan dalam bayang-bayang suap dan
dipengaruhi oleh prinsip „balas budi“ adalah bentuk korupsi jurnalisme yang
melumpuhkan misi bersama untuk memberantas korupsi itu sendiri. Dan sebagai
konsekuensi lanjut media itu akan kehilangan kepercayaan dari publik karena
telah memperjual-belikan „kuasa“ yang diberikan publik.
Itulah (tantangan) jurnalisme: menulis hal-hal positif akan
dipuja-puji dan sebaliknya memberitakan yang negatif – meskipun itu benar –
akan dihakimi. Tetapi itu tidak mengharuskan sorang jurnalis atau pers untuk
mengkhianati publik dan melenceng dari
komitmen mengabdi kebenaran demi menjaga nama baik atas prinsip balas budi dan
untuk tujuan komersial semata: agar cepat laku terjual. Berbagai reaksi dan
tanggapan dari publik pembaca tentang keberpihakan pers pada nilai-nilai
kebenaran semestinya menjadi undangan untuk mengevaluasi kembali independensi
pers, yang mana menuntut budaya „terbuka terhadap kritik“ dan keberanian
mengakui kesalahan serta memperbaikinya (autokritik). Pers diajak untuk
mengoreksi berbagai paradoks dan parodi yang mewarnai pemberitaan seputar
Pilgub dan Pemilukada. Maraknya kontestasi politik adalah peluang bagi pers
untuk menjadi „pejuang demokrasi“ dalam mengasah kepekaan publik dan bukannya
membiarkan diri digiring kepada industri politik yang dikontrol oleh elite
politik dan konglomerat. Distingsi tegas antara „promosi iklan“ dan „redaksi
berita“ mesti dipahami secara baik sehingga pers tidak terjebak dalam lumpur
“mencampur-adukan” keduanya. Apalagi tidak semua publik pembaca berpikir dan
bersikap kritis terhadap sebuah berita yang disuguhkan. Sikap profetis-kritis
pers akan mampu meredam gelegar angkuh penguasa sekaligus menggongong para
koruptor. Independensi pers menjadikannya berani menghindar dari suguhan atau
suapan yang melumpukan demokrasi***
*Diterbitkan di Kolom Opini Harian FLORES POS, 04 November 2016
No comments:
Post a Comment