MAGI, MEDIS, DAN AGAMA
SEBUAH PERJUMPAAN DALAM TUBUH YANG
RAPUH
Vianey Lein
Alumnus STFT St. Augustin Jerman
Tinggal
di Jerman
Kesehatan dan penyakit menggambarkan
kategori dasariah yang mewakili eksistensi manusia sebagai insan yang rapuh,
tidak sempurna. Seperti halnya makan dan minum, tidur dan bangun, konsepsi
tentang kesehatan dan penyakit atau suatu pola hidup turut menentukan kelangsungan
hidup seseorang. Dalam formulasi yang amat sederhana sebagai pemahaman dasar,
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merumuskan: “Sehat berarti bebasnya segala
jenis penyakit, baik fisik, psikis (mental, intelektual), sosial dan spiritual.
Sedangkan sakit adalah kondisi cacat atau kelainan yang disebabkan oleh
gangguan penyakit, emosional, intelektual, dan sosial (Kasper: 1995, 605).
Pemahaman dan sikap seseorang
terhadap penyakit atau kesehatan merupakan kompleksitas pencerminan segala
aspek yang “bermain” dalam diri, entah secara personal maupun sosietal-komunal.
Sebagai misal, seorang yang sakit demam atau pilek merasa dan mengkondisikan
dirinya sedang menderita sakit parah, sementara seseorang yang patah tangannya
atau yang mengidap kanker merasa biasa-biasa saja. Desmond Tutu, uskup dan
teolog dari Afrika Selatan yang terdiagnosa mengidap kanker prostat misalnya,
pernah berujar: “saya merasa diri sehat-sehat saja hingga pada akhirnya hasil
diagnosa dokter menunjukkan bahwa saya sakit.” Di sini terlihat bahwa reaksi
seseorang terhadap penyakit (atau kesehatan) turut dibentuk oleh emosi,
tingkatan pemahaman akan penyakit dan kesehatan serta kondisi fisik atau
spiritual.
Setiap kelompok masyarakat atau
kultur juga memiliki bangunan ide tersendiri tentang kesehatan dan penyakit
serta format atau metode pencegahan dan penyembuhan yang ditawarkan dan
diterima, mulai dari pengobatan lewat dukun kampung (magi), pengobatan tradisional
hingga penanganan medis lewat dokter atau
bidan dan perawat, dan berbagai macam metode terapi modern.
Sejak zaman Mesir Kuno dan
Mesopotamia telah ada „diagnosis“ atau “prognosis” dan penanganan terhadap
penyakit, yang simptom-simptomnya diasosiasikan dengan mitologi dewa-dewi atau
roh jahat. Bagi orang Yunani, kesehatan dan penyakit dihubungkan dengan kosmos:
“kesehatan adalah kondisi dimana ada persesuaian antara tubuh dengan alam (kosmos: keteraruran), dan sebaliknya
penyakit adalah pertentangan antara keduanya (chaos: ketidakteraturan); dan karena itu proses pengobatannya dihubungkan
dengan peristiwa-peristiwa alam. Hipokrates, figur medis terkenal, yang
“dibaptis” sebagai “bapak kedokteran” berasumsi, bahwa akar segala penyakit ada
dalam tubuh manusia dan dipengaruhi oleh fenomena alam seperti dingin atau
panas, angin dan matahari, yang secara normatif dikembangkan lebih lanjut dalam
hubungan perilaku antara dokter dan pasien (dunia medis).
Penyakit: Sebuah Dilema
Dunia dewasa ini telah melahirkan
begitu banyak ilmuan di bidang kesehatan yang juga sukses menyabet prestasi
dalam penemuan-penemuan medis seperti obat-obatan. Berbagai terapi alternatif
dan metode penyembuhan sebagai salah satu model “penerjemahan” pemikiran
Esoterik dan gerakan Zaman Baru (New Age: pertengahan Abad ke- 20) juga menjadi
tawaran fenomenal yang berorientasi promotiv, preventif, kuratif, dan
rehablitatif. Namun serentak pula berbagai penyakit yang menggeroti tubuh
manusia pun kian kompleks. Pada titik ini masyarakat dihadapkan pada dilema:
atau memilih dukun kampung dan pengobatan tradisional, atau pengobatan medis,
atau hanya pasrah pada nasib karena itu sudah menjadi takdir atau kutukan dari
Tuhan (Agama). Ambivalensi ini merupakan produk
dari perkembangan budaya yang dihidupi oleh suatu masyarakat serta penafsiran
(yang keliru) atas nilai-nilai medis (yang mungkin jarang disosialisasikan) dan
ajaran agama.
Magi dan Agama merupakan dua konsep,
yang dalam prakteknya tidak mudah dipisahkan satu sama lainnya. Keduanya
berkiblat kepada sesuatu yang kudus, yang sakral, kepada kekuatan yang
melampaui manusia (transendental). Dalam Abad Pertengahan hampir kurang
terlihat perbedaan antara ritual magis atau sihir dan ritus-ritus resmi dalam
gereja. Pemahaman yang mencampur-adukan keduanya sering menimbulkan kebingungan
(Christa Habiger-Tuczay: 19992: 63). Hal
senada juga diungkapkan oleh Etnolog, Josef Franz Thiel, dalam karyanya
„Relegionsethnologie“: secara teoretis
magi dan agama dilihat terpisah satu sama lainnya, tetapi dalam praxis hal itu
(hampir) tidak mungkin. Seperti agama, dunia magi juga „berurusan“ dengan
kekuatan-kekuatan yang melampaui kategori kemanusiaan manusia (tetapi bukan merupakan sebuah keharusan)
(1984: 65). Tetapi lebih lanjut ia melihat ada distingsi yang tegas antara magi
dan agama. Apa yang menjadi prinsip dasar pada magi, tandas Thiel, merupakan
sikap batin yang berseberangan dengan agama. Dalam agama, orang-orang yang
percaya sadar dan tahu, bahwa mereka bergantung dan „tunduk“ pada suatu
kekuatan metafisis (Tuhan) sebai causa
prima, sementara dalam dunia magi orang-orang yang diyakini memiliki
kekuatan gaib mencari kekuatan yang mutlak diperlukan untuk tujuannya. Di sini
agama tampil mengambil jurusan yang berlawanan dengan dunia magi. Aktivitas
dukun adalah “kesibukan-kesibukan metafisis” yang berusaha mendapatkan kekuatan
gaib, sementara agama merupakan “pencaharian” reflektif suatu metafisika.
Namun tidak mengherankan lagi, bahwa
sebagian besar masyarakat masih mendatangi dukun dan paranormal bila terserang
suatu penyakit. (Bahkan dalam dunia perpolitikan Indonesia pun orang masih
mengandalkan kekuatan magi dengan menghadirkan dukun sebagaimana yang dilakukan
oleh Gerakan Tangkap Ahok. Tepuk Jidat).
Kesaksian banyak orang menunjukkan bahwa mereka berhasil disembuhkan (?), namun
banyak juga pasien yang tidak mengalami perubahan.
Sering dalam proses pengobatan magis
itu terjadi objektivisasi, baik kepada orang lain (yang diyakini sebagai biang
malapetaka: „suanggi), maupun terhadap diri pasien sendiri, bahwa ia telah
melanggar adat atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Sudah hampir pasti,
bahwa objektivisasi ini menggiring orang kepada alienasi diri dalam suatu
kelompok masyarakat, bahkan terjebak dalam „kriminalisasi teologis“ ketika
malapetaka penyakit dilihat sebagai kutukan dari Tuhan akibat dosa. Kebajikan kesabaran
dalam penderitaan, penghiburan serta harapan kesembuhan yang didengungkan agama pun bisa
menciptakan „konflik“ dalam diri orang-orang
yang menderita sakit pada situasi-situasi batas hidup mereka. Lalu, sejauh mana
peran agama dibutuhkan „sebagai salah satu bentuk terapi“ untuk orang-orang
yang sakit?
Usaha untuk memecahkan gundukan
dilema ini tidaklah mudah. Pertama-tama kita mesti mengenal tubuh sendiri
dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Tubuh kita bukannlah sebuah mesin yang
bekerja 24 jam tanpa henti. Tubuh juga memerlukan waktu untuk istirahat. Tentu
ini solusi klasik untuk menjaga kesehatan, namun terkadang kita lalai karena
larut dalam aneka kesibukan. Kesadaran ini bisa memberi kontribusi bagi
kesehatan tubuh. Epikuros pernah berujar demikian: „Permulaan dari kesembuhan
adalah pengenalan akan kesalahan-kesalahan atau kekeliruan“. Membebaskan diri
dari angapan-angapan magis tentang penyakit yang masih berkembang dalam dalam
suatu budaya menuntut kerjasama antara agama dan tenaga medis, seperti dokter,
perawat dan bidan. Di Jerman orang membedakan krankenpfelger, tenaga medis yang merawat orang sakit (pflegen: merawat) dan krankenseelsorger, orang yang mengurus
„jiwa“ orang sakit/pastoral orang sakit (seele:
jiwa). Bagi orang Kristen, pastoral orang sakit tidak sebatas membagikan
komunio melainkan juga kunjungan atau sharing dan pendampingan bagi para pasien.
Asupan nilai-nilai spiritual yang sehat dan tidak over dosis akan memberi kekuatan kepada orang sakit dalam
pergulatannya dengan penyakit yang diderita.
Seperti halnya
dunia medis, praktek dukun masih terus berkembang dalam masyarakat. Pilihan
untuk proses penyembuhan kembali pada pilihan masing-masing orang sebagai
pribadi yang berakal budi dan yang ber-Tuhan.
Salam Kesehatan: mens sana in corpore sano!
Gambar:
1. http://www.tribratanewsjogja.com/upload/7485_dukun-beraksi.jpg
2.http://cdn0-a.production.liputan6.static6.com/medias/742420/big/085344400_1411637269-dokter.jpg
No comments:
Post a Comment