PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

29 May 2016

MALU (AKU) JADI PEJABAT

MALU (AKU) JADI PEJABAT*
Vianey Lein
Alumnus STFT St. Augustin – Jerman
Tinggal di Bonn - Jerman

Pada tahun 1998 penyair dan sastrawan Indonesia, Taufiq Ismail, menulis sebuah puisi naratif yang berjudul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Syair yang terdiri dari empat bagian ini merupakan narasi kritis yang pedas terhadap pemegang tampuk pemerintahan bangsa saat itu. Strategi literer ini digunakan Taufik untuk memperlihatkan realitas secara lugas tanpa banyak basa-basi. Kegelisahan Taufik tentang situasi politik, ekonomi, sosial dan hukum pasca bergulirnya reformasi tahun 1998 ditorehkannya dalam pengungkapan rasa „Malu aku jadi orang Indonesia“. Sang penyair dengan jujur dan berani menelanjangi episode politik yang dipentaskan saat itu, meski harus mananggung malu. Bila membaca ulang Syair Taufiq yang ditulisnya delapan belas tahun silam, kita pun merasa malu, karena keprihatinan Taufik tentang situasi bangsa masih juga menjadi keprihatinan kita kini. Mungkin rasa malu itu kian kental. Hukum yang dikebiri, peradilan sesat, selingkuh birokrasi, sekongkol bisnis dan politik, praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme masih tetap menjadi bagian dari leksikon sejarah bangsa hingga kini. Malu (aku) jadi orang Indonesia; dan kali ini rasa malu itu menjadi sangat.


Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam hasil risetnya merilis, bahwa aktor korupsi yang paling banyak diadili selama tahun 2015 adalah pejabat atau pegawai kementerian dan pemerintah daerah (KOMPAS Selasa, 29 September 2015 ). Profesi pejabat dalam pemerintahan atau anggota dewan, yang adalah wakil rakyat, lalu dinilai sebagai akses atau peluang untuk sebuah tindakan korupsi. Lalu, untuk itukah seorang pejabat atau anggota dewan mencalonkan diri dan dipilih? Malu (aku) jadi pejabat! 

Fenomena korupsi sering dihubungkan dengan praktek kekuasaan atau otoritas untuk „mengurus“ sesuatu demi kepentingan banyak orang. Sehingga tidaklah mengeherankan jika koruptor terbanyak adalah orang-orang yang memiliki kuasa (pejabat). Namun hal ini tidak menjadi premis membenarkan para pejabat untuk korupsi. Ketika seorang pejabat melakukan tindakan korupsi, itu berarti ia menyalahgunakan wewenang atau kekuasaannya untuk kepentingan pribadi atau demi tujuan partai. Korupsi lalu berarti pelecehan terhadap tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikan rakyat. Menjadi pejabat atau pemimpin merupakan sebuah tugas mulia karena mengabdi untuk kepentingan banyak orang, untuk sebuah tujuan bonum commune; oleh karena itu seorang pejabat atau pemimpin mesti menghindari oportunisme machiavellian yang mengeksploitasi siapa saja dan apa saja untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Sekali lagi, „malu (aku) jadi pejabat“ ketika seorang pejabat atau pemimpin lupa akan rakyatnya, dan bahkan „mencuri“ uang rakyat jelata yang seharian membanting tulang di bawah terik mentari dan guyur hujan.

Budaya Malu
Saya masih ingat salah satu tulisan  tangan yang diberi bingkai bambu di sebuah Sekolah Dasar, tempat saya belajar. Tulisan yang dikenal dengan 5B (5 Budaya) itu dipajang pada dinding setiap kelas, dan „Budaya Malu“ masuk dalam satu butir penting penjabaran „5B“ di sekolah itu. Di sini „rasa malu“ dinilai sebagai satu budaya yang perlu dihidupi sejak dini, di bangku Sekolah Dasar. Rasa malu menjadi salah satu bagian penting dari pembentukan karakter yang berjalan harmonis dengan norma-norma peradaban sejak dimulainya sejarah kemanusiaan. Pengalaman kapan seseorang (mesti) merasa malu sedikit tidaknya bergantung pada status seseorang dalam kelompok tertentu, ruang hidup dan interaksi sosial; dan karena itu rasa malu (budaya malu) juga turut membentuk sebuah struktur masyarakat. Rasa atau budaya malu berhubungan erat dengan nilai-nilai etis dan norma yang berkembang dalam suatu masyarakat. Misalnya, seorang gadis akan merasa sangat malu dan ternoda secara moral ketika keperawanannya direnggut, sementara di lain kultur, seorang gadis akan merasa malu bila ia masih perawan (Zuk-Nae Lee: 1997:76). Lantas, bagaimana rasa malu itu dihidupi dalam dunia politik?

Budaya Malu dan Politik: Ajakan untuk „merasa malu“
Budaya malu merupakan sebuah pilar penting dalam bangunan politik. Plato dalam dialognya „Protagoras“ menulis, bahwa Dewa Zeus dalam terang kebijaksanaannya melimpahkan kepada manusia dua hadiah penting agar mereka bisa menjaga dan mengatur komunitas hidup bersama secara baik. Dua warisan bernilai itu adalah Hukum dan aidós, rasa malu. Mengapa Dewa Zeus menghendaki „rasa malu“ sebagai sebuah hadiah?
Rasa malu memiliki otoritas dalam diri manusia untuk mendamping dan menuntun. Ia adalah hakim yang tak bisa disogok, yang mengawasi setiap tindakan dan tutur kata. Rasa itu tahu apa yang menjadi hak dan miliknya, dan apa yang bukan menjadi bagian dari hak miliknya. Rasa itu paham, ia menjadi milik siapa dan kepada siapa ia mengabdi. Rasa itu terhubung dengan tubuh manusia, dan kemudian dari genangan emosi itu terkirim sinyal „infrared“ yang memancar di wajah, ketika seseorang melanggar batas-batas hukum yang telah ditentukan atau mencaplok apa yang sebenarnya bukan menjadi milik. Ketika seseorang kehilangan rasa malu, itu menjadi indikator bahwa ia terjebak dalam roh narsisme yang selama ini memata-matai. Ia hidup untuk diri sendiri.
Argumen di atas tidak lalu berarti, bahwa rasa malu itu muncul hanya jika perbuatan jahat dan keliru saya diketahui publik. Seorang pejabat seharusnya merasa malu dan berani menghakimi diri sebagai koruptor, bukan hanya ketika namanya menjadi ulasan media, melainkan berani malu pada diri sendiri dan rakyat ketika ada niat penyalahgunaan wewenangan untuk meloloskan kepentingan pribadi dan partai.
Tulisan yang dipajang di ruang kelas sebuah SD itu hendak mengajarkan kepada anak-anak untuk „sanggup“ dan „berani“ merasa malu. Untuk para pejabat, penting juga untuk belajar merasa malu. Di tengah praktek korupsi yang menjamur di kursi dan meja pejabat pemerintahan, budaya politik yang menjunjung tinggi budaya malu menjadi sebuah kemendesakan. Budaya malu tidak terlepas dari rasa bersalah dan penyesalan. Dalam rasa bersalah terjadi proses pembatinan atas kesalahan dan si Aku berani menghakimi diri sendiri. Budaya malu mengajarkan kita untuk sanggup malu pada diri sendiri, tanpa orang lain harus mengetahui perbuatan jahat kita. Dan kehilangan rasa malu akan terus memelihara manusia-manusia brutal dan praktek politik yang koruptif dan eksplotatif.
“Malu (aku) jadi pejabat” tidak hanya merupakan sebuah sinisme untuk para pejabat, melainkan juga sebuah undangan untuk sanggup dan berani malu.***



No comments:

Post a Comment