MALU
(AKU) JADI PEJABAT*
Vianey
Lein
Alumnus
STFT St. Augustin – Jerman
Tinggal
di Bonn - Jerman
Pada
tahun 1998 penyair dan sastrawan Indonesia, Taufiq Ismail, menulis sebuah puisi
naratif yang berjudul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Syair yang terdiri
dari empat bagian ini merupakan narasi kritis yang pedas terhadap pemegang
tampuk pemerintahan bangsa saat itu. Strategi literer ini digunakan Taufik
untuk memperlihatkan realitas secara lugas tanpa banyak basa-basi. Kegelisahan
Taufik tentang situasi politik, ekonomi, sosial dan hukum pasca bergulirnya
reformasi tahun 1998 ditorehkannya dalam pengungkapan rasa „Malu aku jadi orang
Indonesia“. Sang penyair dengan jujur dan berani menelanjangi episode politik
yang dipentaskan saat itu, meski harus mananggung malu. Bila membaca ulang
Syair Taufiq yang ditulisnya delapan belas tahun silam, kita pun merasa malu,
karena keprihatinan Taufik tentang situasi bangsa masih juga menjadi
keprihatinan kita kini. Mungkin rasa malu itu kian kental. Hukum yang dikebiri,
peradilan sesat, selingkuh birokrasi, sekongkol bisnis dan politik, praktek
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme masih tetap menjadi bagian dari leksikon sejarah
bangsa hingga kini. Malu (aku) jadi orang
Indonesia; dan kali ini rasa malu itu menjadi sangat.
Indonesia Corruption Watch (ICW)
dalam hasil risetnya merilis, bahwa aktor korupsi yang paling banyak diadili
selama tahun 2015 adalah pejabat atau pegawai kementerian dan pemerintah daerah
(KOMPAS Selasa, 29 September 2015 ). Profesi pejabat dalam pemerintahan atau
anggota dewan, yang adalah wakil rakyat, lalu dinilai sebagai akses atau
peluang untuk sebuah tindakan korupsi. Lalu, untuk itukah seorang pejabat atau
anggota dewan mencalonkan diri dan dipilih? Malu (aku) jadi pejabat!
Budaya Malu
Saya
masih ingat salah satu tulisan tangan
yang diberi bingkai bambu di sebuah Sekolah Dasar, tempat saya belajar. Tulisan
yang dikenal dengan 5B (5 Budaya) itu dipajang pada dinding setiap kelas, dan
„Budaya Malu“ masuk dalam satu butir penting penjabaran „5B“ di sekolah itu. Di
sini „rasa malu“ dinilai sebagai satu budaya yang perlu dihidupi sejak dini, di
bangku Sekolah Dasar. Rasa malu menjadi salah satu bagian penting dari
pembentukan karakter yang berjalan harmonis dengan norma-norma peradaban sejak
dimulainya sejarah kemanusiaan. Pengalaman kapan seseorang (mesti) merasa malu
sedikit tidaknya bergantung pada status seseorang dalam kelompok tertentu,
ruang hidup dan interaksi sosial; dan karena itu rasa malu (budaya malu) juga
turut membentuk sebuah struktur masyarakat. Rasa atau budaya malu berhubungan
erat dengan nilai-nilai etis dan norma yang berkembang dalam suatu masyarakat.
Misalnya, seorang gadis akan merasa sangat malu dan ternoda secara moral ketika
keperawanannya direnggut, sementara di lain kultur, seorang gadis akan merasa
malu bila ia masih perawan (Zuk-Nae Lee: 1997:76). Lantas, bagaimana rasa malu
itu dihidupi dalam dunia politik?
Budaya Malu dan Politik: Ajakan untuk „merasa
malu“
Budaya
malu merupakan sebuah pilar penting dalam bangunan politik. Plato dalam
dialognya „Protagoras“ menulis, bahwa Dewa Zeus dalam terang kebijaksanaannya
melimpahkan kepada manusia dua hadiah penting agar mereka bisa menjaga dan
mengatur komunitas hidup bersama secara baik. Dua warisan bernilai itu adalah
Hukum dan aidós, rasa malu. Mengapa
Dewa Zeus menghendaki „rasa malu“ sebagai sebuah hadiah?
Rasa
malu memiliki otoritas dalam diri manusia untuk mendamping dan menuntun. Ia adalah
hakim yang tak bisa disogok, yang mengawasi setiap tindakan dan tutur kata. Rasa
itu tahu apa yang menjadi hak dan miliknya, dan apa yang bukan menjadi bagian
dari hak miliknya. Rasa itu paham, ia menjadi milik siapa dan kepada siapa ia
mengabdi. Rasa itu terhubung dengan tubuh manusia, dan kemudian dari genangan
emosi itu terkirim sinyal „infrared“ yang memancar di wajah, ketika seseorang melanggar
batas-batas hukum yang telah ditentukan atau mencaplok apa yang sebenarnya
bukan menjadi milik. Ketika seseorang kehilangan rasa malu, itu menjadi
indikator bahwa ia terjebak dalam roh narsisme yang selama ini memata-matai. Ia
hidup untuk diri sendiri.
Argumen
di atas tidak lalu berarti, bahwa rasa malu itu muncul hanya jika perbuatan
jahat dan keliru saya diketahui publik. Seorang pejabat seharusnya merasa malu
dan berani menghakimi diri sebagai koruptor, bukan hanya ketika namanya menjadi
ulasan media, melainkan berani malu
pada diri sendiri dan rakyat ketika ada niat penyalahgunaan wewenangan untuk
meloloskan kepentingan pribadi dan partai.
Tulisan
yang dipajang di ruang kelas sebuah SD itu hendak mengajarkan kepada anak-anak
untuk „sanggup“ dan „berani“ merasa malu. Untuk para pejabat, penting juga
untuk belajar merasa malu. Di tengah praktek korupsi yang menjamur di kursi dan
meja pejabat pemerintahan, budaya politik yang menjunjung tinggi budaya malu
menjadi sebuah kemendesakan. Budaya malu tidak terlepas dari rasa bersalah dan
penyesalan. Dalam rasa bersalah terjadi proses pembatinan atas kesalahan dan si
Aku berani menghakimi diri sendiri. Budaya malu mengajarkan kita untuk sanggup malu pada diri sendiri, tanpa
orang lain harus mengetahui perbuatan jahat kita. Dan kehilangan rasa malu akan
terus memelihara manusia-manusia brutal dan praktek politik yang koruptif dan
eksplotatif.
“Malu
(aku) jadi pejabat” tidak hanya merupakan sebuah sinisme untuk para pejabat,
melainkan juga sebuah undangan untuk sanggup dan berani malu.***
Tulisan ini diterbitkan pada koran lokal Harian Flores Pos, 27 Mei 2016 - bisa juga dilihat di sini: https://aventsaur.wordpress.com/2016/05/27/malu-aku-jadi-pejabat/
Ilustrasi: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgK4QOYUqWdhlkR6V-tokCvaOB9a8HON4eILqfe2iXxmZdaR5CHEG1SCj6H-YZcZNJXjPBbRy29APXZeTH_hXALYcKSnGW0L20WT66HxUBY4pRmUHAYOyk9KIcsJlaICW5vKEX_cfDjrB2YyJ8/s1600/corruption.jpeg
Ilustrasi: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgK4QOYUqWdhlkR6V-tokCvaOB9a8HON4eILqfe2iXxmZdaR5CHEG1SCj6H-YZcZNJXjPBbRy29APXZeTH_hXALYcKSnGW0L20WT66HxUBY4pRmUHAYOyk9KIcsJlaICW5vKEX_cfDjrB2YyJ8/s1600/corruption.jpeg
No comments:
Post a Comment