PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

15 October 2016

PENDIDIKAN: ANTARA MENCARI MAKAN DAN PEMBENTUKAN KARAKTER

PENDIDIKAN: ANTARA MENCARI MAKAN DAN PEMBENTUKAN KARAKTER

Vianey Lein

Alumnus STFT St. Augustin Jerman



Belum lama ini kita merayakan Hari Pendidikan Nasional yang mengusung tema „Nyalakan Pelita, Terangkan Cita-Cita“. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, dalam sambutannya pada Hardiknas 2 Mei 2016 lalu menegaskan, bahwa „pendidikan harus benar-benar berperan sebagai pelita bagi setiap anak Indonesia yang akan membuatnya bisa melihat peluang, mendorong kemajuan, menumbuhkan karakter, dan memberikan kejernihan dalam menata dan menyiapkan masa depannya.“

Sudah pasti bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menyiapkan suatu masa depan yang  cerah. Masa depan disini tidak bisa dimengerti hanya sebatas perubahan ekonomi dengan pencapaian suatu profesi atau jabatan tertentu, misalnya PNS atau polisi, yang memungkinkan seseorang menghasilan rupiah sebanyak mungkin. Atau, dalam bahasa sederhana, „sekolah supaya kelak bisa cari makan“. Ketika uang atau jabatan dilihat sebagai tujuan tunggal dari proses pendidikan, maka kita terjebak dalam bahaya pembunuhan karakter: siswa bisa menyontek saat ujian agar bisa lulus ujian dan cepat naik kelas, plagiasi skripsi atau tesis menjadi jalan pintas dan mudah untuk mahasiswa meraih gelar sarjana, dan uang sogok atau pemalsuan ijazah menjadi metode mutahkhir para pencari kerja lulusan akademik untuk meraih jabatan atau profesi.

Pentingnya Pendidikan Karakter
Prestasi pendidikan tidak bisa diidentikkan dengan kesuksesan meraih jabatan atau profesi tertentu. Realitas menunjukkan bahwa banyak orang yang dibilang „sukses“ dan „cerdas“ secara intelektual itu nyatanya gagal dalam praksis hidup mereka yang lahir dalam tindakan koruptif, manupulatif, dan eksploitatif. Pada titik ini kita harus berani katakan bahwa mereka gagal dalam proses pendidikan. Pendidikan pada hakekatnya membantu mendorong pertumbuhan anak didik menjadi pribadi yang otonom dan utuh secara emosional (afektif), pengetahuan (kognitif), ketrampilan (kreatif/skill), kehendak dan perilaku (konatif/psikomotorik); atau dalam bahasanya Anies Baswedan: kualitas karakter, kemampuan literasi, dan kompetensi. Pendidikan tidak hanya berarti kegiatan belajar mengajar yang terbatas pada ruang kelas agar bisa meraih prestasi numerik, atau pendiktean wacana tanpa kajian analitis dan kritis. Realitas kehidupan semestinya menjadi lahan kajian proses belajar, baik itu tentang sejarah bangsa di masa lamapau, maupun situasi aktual yang terjadi di masyarakat. Dengan itu, pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah tidak hanya sekadar aksi nostalgis mengenang-mengingat nama para tokoh, nama tempat dan tanggal-tanggal bersejarah, namun lebih jauh kenangan kolektiv itu menjadi proses refleksi kritis. Tempat-tempat sejarah dan semua catatan historis (Erinnerungsort) harus menjadi tempat belajar  (Lernort). Begitu pun halnya dengan realitas penindasan, eksploitasi, korupsi dan dominasi terhadap masyarakat kecil bisa menjadi dasar bagi sebuah proses transfer nilai, seperti: respek terhadap sesama, kejujuran, empati dan toleransi untuk membantu pembentukan karaketer seseorang. Melihat kenyataan dekadensi moral yang mencemari humanisme, pendidikan karakter moral menjadi sebuah kemendesakan dan perlu diterapkan secara serius.

Pahlawan Pendidikan
Sebagai orang yang pernah duduk di bangku pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi di universitas atas sekolah tinggi, kita patut berterima kasih kepada para pendidik, guru – pahlawan tanpa tanda jasa, yang telah mengambil bagian penting dalam proses pendidikan yang telah dan sedang kita tempuh. Apresiasi yang tinggi juga layaknya kita berikan kepada LSM-LSM atau relawan-relawan yang berusaha memajukan sektor pendidikan di daerah. Mungkin berlebihan dan terlalu dini, atau mungkin mereka tak menyetujuinya, izinkan saya „membaptis“ orang-orang itu sebagai pahlawan pendidikan. Salah satu contoh program yang hampir selalu diperjuangkan adalah budaya literasi, tidak hanya untuk para peserta didik, tetapi juga untuk para guru. Para pelajar dan mahasiswa dilatih untuk menulis atau menghasilkan suatu karya ilmiah, baik dalam bentuk opini, cerpen atau puisi. Untuk peningkatan profesionalisme guru, para tenaga didik juga mendapat pelatihan serupa. Semua kita berharap agar keterlibatan para „pahlawan pendidikan„ itu dilandasi prinsip independensi, bahwa gerakan keterlibatan „kemanusiaan“ ini tidak berafiliasi pada kepentingan kelompok atau menjadi corong institusi tertentu. Salah satu konsekuensi manajerial dari prinsip independensi adalah tidak menjadikan lembaga dana (funding agency) sebagai basis gerakan. Gerakan kemanusiaan ini harus termotivasi oleh keterlibatan tanpa pamrih. Bahaya ini sudah diberi lampu merah oleh Antonio Gramsci, Paulo Freire, John Dewey, Rabindranath Tagore dan Noam Chomsky, bahwa institusi pendiidikan cenderung hanya mencetak „comisars“ atau intekeltual yang mengabdi pada kepentingan status quo kekuasaan. Pendidikan lalu menjadi proses institusional yang didominasi oleh kekuasaan dan menjadi agen perpanjangan ideologi kekuasaan (bdk. Karyanto: 2005:49-59). Untuk mengatrol proses kenaikan pangkat dan gaji dalam balutan program “meningkatkan profesinalisme”, para guru pun tak segan-segan merogoh saku untuk meloloskan penerbitan suatu karya. Di sini saya tidak bermaksud meragukan kemampuan menulis para guru, tetapi hendak mengajak semua kita untuk merefleksi motivasi keterlibatan kita di sektor pendidikan.

Mengakhiri tulisan ini, saya mengutip adagium latin yang mungkin tidak asing lagi di telinga kita: “non scholae sed vitae discimus” – kita belajar bukan untuk sekolah, tetapi untuk hidup. Hidup yang dimaksudkan disini adalah hidup yang bermartabat dan berkarakter moral, bukan hanya sekadar “cari makan”. ***






No comments:

Post a Comment