PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

24 November 2016

CINTA TERLARANG

CINTA TERLARANG

Julia,
Selepas dialog tengah malam kemarin
Aku terus dipanggil kepada keheningan
Untuk mencintai kesendirianku,
kesendirian yang telah lama kuduakan
sejak aku mengenalmu:
Mungkin ini terlalu ego!

Kau tak perlu bersusah payah
Untuk mengajakku pergi, atau bahkan memaksaku pergi
Kau tak perlu diam-diam mencipta jarak
Karena aku tidak hanya mencintai tubuhmu, tapi juga kebijaksanaanmu
Jarak bagiku bukanlah dimensi yang rumit,
melainkan rindu yang terus tumpah mengalir di garis waktu,
apalagi ketika benih-benih cinta perlahan tumbuh di biara
dan kejujuran untuk saling mencintai hanya jatuh
pada ayat-ayat mazmur yang kita daraskan bersama madah pagi,
teteskan rindu pada cawan yang kita teguk di setiap ekaristi,
dan akhirnya membeku gigil pada pujian senja dan malam,
berharap leleh bersama senyummu yang terbit di setiap pagi

Julia, kamu benar,
bahwa kita tak boleh terus saling mencintai dalam diam dan doa
di tepian meditasi dan komtemplasi
cinta itu mesti disabdakan, didagingkan
Tapi bagiku, mencintaimu dalam diam dan doa
Adalah kisah terromatis yang pernah aku alami,
yang ingin selalu kukekalkan dalam larik-larik puisi.
Dan aku pun bersyukur, jika saja nanti yang abadi hanyalah nama
Dan goresan tentangmu di bait-bait puisi
Ada rasa bangga yang mencuat dari sarang kenangan,
bahwa meski kita tak pernah bersama, setidaknya masing-masing kita
pernah menjadi sesuatu yang mampu menunda galau dan sedih
yang selalu saja datang menerobos tembok biara, menjalar pada dinding-dinding kamar.

Jangan kita robohkan rumah kenangan yang telah lama kita bangun
Jangan kita rayu Tuhan untuk lumpuhkan ingatan akan wajah dan diri,
karena „ingatan memiliki mata. Sepadam apapun kau gelapkan kesepian,
kenangan selalu menyilaukan“.
Bersama kita lalui bentang musim, membilang skala waktu
Pada tanggal dan bulan yang kita gugurkan di kalender.
Jika kemarau tiba, mari kita keringkan luka,
ketika hawa dinging merunduk, mari kuburkan rindu di gunduk salju,
nikmati gigil jarak dan waktu di panggang api
Jika musim gugur tiba, mari kita belajar arti sebuah keterpisahan daun pada tangkai
dan kelak semi menjemput, kita rayakan cinta, kawinkan rindu-rindu purba
dengan pucuk-pucuk puisi yang terselip di sela-sela rusukmu
Dalam tudung gelap, biarlah harap menuntun hingga tiba di terbit pagi

Benar apa yang dirintikkan “Hujan di Bulan Juni”
„tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni“
selain kita yang terus disetubuhi rindu di balik dinding biara

Vianey Lein
Mülldorf, 23 November 2016

No comments:

Post a Comment