CINTA TERLARANG
Julia,
Aku terus dipanggil kepada
keheningan
Untuk mencintai kesendirianku,
kesendirian yang telah lama
kuduakan
sejak aku mengenalmu:
Mungkin ini terlalu ego!
Kau tak perlu bersusah payah
Untuk mengajakku pergi, atau bahkan
memaksaku pergi
Kau tak perlu diam-diam mencipta
jarak
Karena aku tidak hanya mencintai
tubuhmu, tapi juga kebijaksanaanmu
Jarak bagiku bukanlah dimensi
yang rumit,
melainkan rindu yang terus tumpah
mengalir di garis waktu,
apalagi ketika benih-benih cinta
perlahan tumbuh di biara
dan kejujuran untuk saling mencintai hanya
jatuh
pada ayat-ayat mazmur yang kita daraskan
bersama madah pagi,
teteskan rindu pada cawan yang kita teguk di
setiap ekaristi,
dan akhirnya membeku gigil pada pujian senja
dan malam,
berharap leleh bersama senyummu yang
terbit di setiap pagi
Julia, kamu benar,
bahwa kita tak boleh terus saling mencintai
dalam diam dan doa
di tepian meditasi dan
komtemplasi
cinta itu mesti disabdakan,
didagingkan
Tapi bagiku, mencintaimu dalam
diam dan doa
Adalah kisah terromatis yang
pernah aku alami,
yang ingin selalu kukekalkan
dalam larik-larik puisi.
Dan aku pun bersyukur, jika saja
nanti yang abadi hanyalah nama
Dan goresan tentangmu di bait-bait puisi
Ada rasa bangga yang mencuat dari
sarang kenangan,
bahwa meski kita tak pernah
bersama, setidaknya masing-masing kita
pernah menjadi sesuatu yang mampu
menunda galau dan sedih
yang selalu saja datang menerobos
tembok biara, menjalar pada dinding-dinding kamar.
Jangan kita robohkan rumah
kenangan yang telah lama kita bangun
Jangan kita rayu Tuhan untuk
lumpuhkan ingatan akan wajah dan diri,
karena „ingatan memiliki mata. Sepadam
apapun kau gelapkan kesepian,
kenangan selalu menyilaukan“.
Bersama kita lalui bentang musim,
membilang skala waktu
Pada tanggal dan bulan yang kita
gugurkan di kalender.
Jika kemarau tiba, mari kita
keringkan luka,
ketika hawa dinging merunduk,
mari kuburkan rindu di gunduk salju,
nikmati gigil jarak dan waktu di panggang
api
Jika musim gugur tiba, mari kita
belajar arti sebuah keterpisahan daun pada tangkai
dan kelak semi menjemput, kita rayakan cinta, kawinkan
rindu-rindu purba
dengan pucuk-pucuk puisi yang terselip di
sela-sela rusukmu
Dalam tudung gelap, biarlah harap
menuntun hingga tiba di terbit pagi
Benar apa yang dirintikkan “Hujan
di Bulan Juni”
„tak ada yang lebih tabah dari
hujan bulan juni“
selain kita yang terus disetubuhi
rindu di balik dinding biara
Vianey Lein
Mülldorf, 23 November 2016
No comments:
Post a Comment