PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

12 December 2018

FLORES DAN KASIH YANG MENDESAK: Oleh Elvin Sagala


FLORES DAN KASIH YANG MENDESAK
Elvin Sagala

Saya adalah seorang wanita kelahiran Medan – Sumatera Utara; dilahirkan dan dibesarkan dalam budaya batak. Orang tua saya berasal dari Samosir. Saya merupakan anak sulung dari 4 bersaudara (3 adik wanita). Sejak saya berusia 9 tahun kedua orang tua memilih bercerai. Tentu masa-masa itu merupakan masa sulit  buat kami semua – tidak hanya untuk kedua orang tua tetapi juga kami anak-anak, terlebih adik bungsu yang masih berumur 3 tahun. Berkat keluarga besar di Medan kami semua dapat melewati masa-masa sulit itu.

Mimpi Untuk Kuliah Jerman

Setelah menamatkan Strata 1 Pendidikan Bahasa Jerman di Universitas Negeri Mendan, saya memutuskan untuk „berhijrah“ ke Jerman sebagai Au-Pair Mädchen. Pendidikan bahasa Jerman selama di Universitas merupakan modal dan motivasi yang mendorong saya untuk datang ke Jerman dengan harapan agar kemudian dapat melanjutkan kuliah di Jerman. Kesulitan finansial merupakan tantangan terbesar dalam usaha mewujudkan mimpi dan cita-cita saya; apalagi ketika saya tidak memiliki peluang untuk mendapatkan beasiswa. Namun saya tetap yakin dan percaya, bahwa Tuhan memiliki rencana indah dan terbaik untuk saya; dan juga dengan keyakinan manusiawi saya bahwa, di mana ada niat dan kemauan, di situ pasti selalu ada jalan – dan Tuhan pasti membuka jalan untuk segala niat baik.
Bagi saya, program Au-Pair Mädchen merupakan batu loncatan dalam menggapai mimpi untuk kuliah di Jerman; program Au-Pair Mädchen merupakan pintu masuk dan start awal menuju langkah-langkah perjuanganku selanjutnya. Dengan keberanian dan keyakinan seperti itu saya memulai etape baru dalam sejarah kehidupan di Jerman terhitung sejak awal tahun 2011. Sebagaimana galibnya dalam kehidupan, bahwa tantangan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sebuah perjuangan, masa-masa awal kehidan saya di Jerman juga penuh dengan kesulitan dan tantangan: mulai dari gagal ijian DSH, mengganti program studi, gagal dalam ujian, kuliah sambil kerja sebagai Cleaning service, juga tantangan dalam beradaptasi dengan bahasa, budaya, lingkungan dan orang-orang yang baru. Semuanya itu tidak membuat saya patah semangat tetapi justru semakin menguatkan saya untuk terus berjuang karena cita-cita dan impian jauh lebih kuat mengental di kepala. Berulang kali saya mengalami pengalaman jatuh dan bangkit kembali dari kejatuhan untuk terus berjuang dan berjuang hingga akhirnya pada akhir tahun 2016 saya berhasil menyelesaikan kuliah magister pendidikan bahasa Jerman pada Universtitas Friedrich Schiler-Jena dengan indeks prestasi yang memuaskan.

Yang Asing Untuk Yang Asing: Menjadi Guru Bahasa Jerman di Jerman

Namun prestasi ini bukan merupakan akhir dari langkah perjuangan saya melainkan membuka tahap baru untuk perjuangan selanjutnya. Prestasi ini justru merupakan awal baru untuk ziarah hidupku selanjutnya untuk terjun ke dalam dunia profesi. Beberapa bulan setelah kelulusan itu saya diterima pada sebuah institusi bahasa untuk menjadi staf pengajar bahasa Jerman di sebuah kota kecil, Gera. Pengalaman bekerja sebagai guru bahasa Jerman tidak hanya menjadikan saya sebagai „pengajar“ untuk orang lain tetapi serentak pula saya belajar banyak hal dari setiap pengalaman di tempat kerja, di ruang kelas. Pengalaman perjumpaan dengan rekan-rekan pengajar dan juga para peserta kursus beserta segala dinamikanya adalah pelajaran yang amat berharga dalam hidup. Hidup sebagai sebuah perjumpaan menjadikan saya terbuka untuk menerima dan belajar dari orang lain termasuk lingkungan dan budaya mereka.

Flores: Cinta Yang (Terus) Mekar

Flores – Pulau Bunga – menjadi locus baru dalam perjalanan hidup saya dengan setiap perhentian-perhentian: Jakarta – Medan – Jerman – Flores – …? Perjumpaan dengan suami yang adalah seorang Flores (Desa Mokantarak – Larantuka) sudah tentu menjadikan Flores sebagai bagian dari hidup saya – tidak hanya oleh karena hukum adat perkawinan budaya yang patrilinieal tetapi tetapi semacam „kebutuhan“ dan kerinduan sosial untuk menjejaki Flores. Itulah pengalaman jatuh cinta saya pada (pemuda) Flores. 



Setelah sekian lama menjadi „peziarah“ di tanah Jerman (sejak 2012) kami akhrinya mengunjungi tanah air Indonesia pada Oktober 2018; dan kali ini dengan rute perjalanan ke Timur Indonesia, yakni Larantuka – Flores Timur. Ini merupakan pengalaman perdana perjumpaan dengan keluarga suami: lagi-lagi dengan orang dan lingkungan budaya yang baru. 
Seperti biasa pada saat perjumpaan pertama, saya senantiasa dihinggapi oleh anek pertanyaan: apa dan bagaimana Flores yang sesungguhnya, seperti apa orang-orang di sana dan apakah saya diterima oleh keluarga? Itulah risiko dari sebuah perjumpaan: apakah saya bisa diterima oleh orang lain dan apakah saya bisa menerima orang lain.

Pengalaman liburan dan perjumpaan langsung dengan realitas menjawab segala pertanyaan dan keraguan saya. Saya menjumpai orang-orang yang begitu sederhana – tidak hanya dari hidup yang berkecukupan – tetapi juga dari cara mereka hidup. Mereka adalah pribadi-pribadi yang polos dan jujur. Kesempatan liburan di Desa Mokantarak, Larantuka-Flores juga memungkinkan saya untuk masuk dan bersentuhan langsung dengan realitas kehidupan masyarakat: sebuah potret kehidupan yang semata bergantung pada alam. Kisah hidup mereka (para petani kecil) adalah potret kehidupan dunia yang sedang merangkak berjuang untuk menyambung hidup. Dalam benak mereka tidak muncul kekhwatiran: „besok makan APA“ melainkan kekhwatiran „apakah ADA SESUATU untuk dimakan besok“. Oleh karena kehidupan ekonomi yang tidak menunjang, maka aspek pendidikan pun berjalan mandek. Banyak anak-anak yang gagal atau tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang Universitas bahkan Sekolah Menengah Atas. Saya memahami persoalan dan kekhawatiran mereka karena pribadi dan kehidupan saya juga pernah ditempa dalam sulitnya perjuangan. 

Saya mengakui bahwa kesulitan dan persoalan yang pernah saya alami tidak sebanding dengan persoalan orang-orang kecil yang saya jumpai. Persoalan hidup mereka jauh lebih rumit dan berat. Pengalaman liburan ini mengajak saya untuk merefleksikan kembali seluruh perjalanan hidup saya. Kehidupan para petani kecil dan ibu-ibu rumah tangga coba saya hadirkan dalam refleksi saya tentang hidup, lebih tepatnya hidup bersama yang lain. Refleksi itu berujung pada sebuah niat untuk berbuat sesuatu: membagi kasih Tuhan yang telah saya terima selama hidup kepada orang-orang yang saya jumpai, terlebih mereka yang sangat membutuhkan uluran kasih tangan orang lain. 
Di Larantuka, di Flores, cinta itu terus mekar, cinta yang telah kusemaikan dan tumbuh antara relasi saya dengan suami. Dan mekar cinta itu juga saya temukan pada raut wajah orang-orang di Larantuka; wajah yang senantiasa senyum meski beban berat persoalan hidup. Perjumpaan dengan mereka dan realitas kehidupan mereka sekaligus merupakan momen panggilan buat saya untuk BERBAGI KASIH yang telah saya terima dengan cuma-cuma dalam hidup.


Perkenalan dengan „Abang“ Niko“:  Membuka Jaringan Kerjasama
Niat untuk „berbuat sesuatu“ bagi Kampung Mokantarak tetap akan menjadi mimpi yang tak terealisasikan jika itu tidak saya sharingkan dengan orang lain; dan saya akui bahwa untuk „perkara“ sebesar ini tidak bisa saya kerjakan sendiri. Saya mesti membutuhkan bantuan orang lain. Karena itu saya menceritakan secara terbuka kepada teman sekaligus memohon masukan dari mereka.
Bagai gayung bersambut, niat baik untuk berbuat sesuatu bagi Lewo Tana Desa Mokantarak perlahan terbuka jalannya ketika saya diperkenalkan oleh seorang teman dengan Abang Niko, seorang pejuang harkat dan martabat petani kopi di Manggarai, tepatnya di kampung Colol. Bersama istrinya, Abang Niko membuka jaringan kerjasama dengan para petani kopi di Desa Colol agar penjulan kopi tidak lagi diserahkan kepada para tengkulak yang biasanya dijual dengan harga yang murah. Para petani mesti menentukan harga sendiri, bukan sebaliknya para tengkulak. Kunjungan saya ke rumah Abang Niko dan melihat langsung Kaffee kostBAR yang dirintisnya bersama istri tentunya semakin memotivasi saya. Sharing pengalaman dengan Abang Niko tidak hanya menjadi masukan yang sangat berarti tetapi serentak menjadi tantangan bagi saya. Keterbukaan dan kesediaan Abang Niko bersama istri dalam menyambut baik maksud dan niat saya membuat saya semakin yakin, bahwa saya tidak berjalan sendirian. Kami pun segera membicarakan rencana ke depan berkaitan dengan maksud dan niat saya. Untuk langkah awal kami akan menyelenggarakan „Flores-Abend“ – Malam Flores – guna mempresentasikan rencana ini kepada teman-teman Abang Niko yang sudah tergabung dalam proyek yang telah dirintisnya. Refleksi tentang pengalaman perjumpaan dengan orang-orang sederhana di Desa Mokantarak kini perlahan menjadi aksi dalam sebuah „awal yang sederhana“: Flores-Abend pada tanggal 8 Desember 2018.
Semoga niat awal nan sederhana ini bisa menjadi berkat bagi orang-orang yang saya jumpai di Desa Mokantarak-Flores, dan juga berkat bagi saya dan siapa saja yang siap membantu.

Gera, 06. November 2018
















Salam Sejahterah – Semoga Tuhan memberkati kita semua!!!!

Elvin Septiani



Larantuka - Flores Timur dan Pencaharian akan Surga Nusa Bunga yang Hilang

LARANTUKA - OSTFLORES UND DIE SUCHE NACH DEM "VERLORENEN BLUMENINSEL"
Larantuka - Flores Timur dan Pencaharian akan Surga Nusa Bunga yang Hilang

Tim Penyelenggara dalam kerjasama dengan KAFFEEkostBAR
dari kiri ke kanan: Igor (Papua), Vian (Mokantarak-Flotim), Niko (Medan -Pendiri Kaffeekostbar, Maria (Ile Ape - Lembata), Ayu (Jakarta), Elvin (Medan)
Flores - Nusa Bunga, adalah surga yang tersembunyi sejak para pedagang dari Portugis mencari rempah-rempah di tahun 1600an. Mereka begitu terkesan dengan tanaman yang subur di bagian timur laut Pulau Flores sehingga mereka membaptisnya dengan nama „Cabo de flores“, Tanjung Bunga. Sejak itu pula, Flores menjadi „incaran“ dalam monopoli arus dagang dan kolonialisme. Pada masa itu, di dunia Barat, Flores (dan juga kepualauan rempah-rempah lainnya seperti Maluku)  menjadi tempat yang mitis. Mereka meyakini, bahwa kepulauan di negeri Timur itu terletak dekat Firdaus, di mana penuh dengan rempah-rempah yang harum semerbak. Rempah-rempah pada masa itu menjadi simbol prestise dan  kekuasaan di istana-istana raja Eropa. Oleh karena itu orang menyimpannya di atas dulang perak atau dalam kotak-kotak yang bertakhta permata dan dijadikan sebagai hadiah kenegaraan. Rempah-rempah itu juga menjadi harta warisan yang bernilai, bahkan menjadi alat  bayar pengganti emas (bdk. Karl-Heinz Kohl, Der Tod der Reisjungfrau, 1998: 20-24).
Dalam catatan sejarah, Flores perlahan hancur oleh sistem monopoli dagang, peperangan sebelum kemerdekaan hingga pada masa diktator Soeharto.

Foto bersama tamu
Bila melirik realitas perekonomian dan pendidikan di Nusa Tenggara Timur pada umumnya, dan Flores Timur pada khususnya, saya mengamini, bahwa generasi-generasi masa kini merindukan Nusa Bunga yang kaya akan rempah-rempah itu, merindukan surga yang hilang. Pada alur-alur cerita para petani yang „dijajah“ para tengkulak oleh harga pasar yang tidak „fair“, pada kisah tragik para TKI yang bekerja di Malaysia, Hongkong, Singapur, atau pun di negara lainnya yang mati oleh kekerasan majikan, para korban „human trafficking“ (perdagangan manusia) yang kebanyakan adalah anak (bdk. Vian Lein, „Exodus Kronis para Perantau NTT“ (artikel klik di sini_Opini Pos Kupang) dan di pada wajah polos anak-anak yang putus sekolah karena kemelut ekonomi, kita dapat membaca kerinduan itu. Ditambah lagi dengan budaya KKN, perekonomian kita semakin diperparah.

Sarapan Kopi dari Manggarai dan Jagung titi
Realitas perekonomian dan pendidikan inilah yang kami presentasikan pada kesempatan Malam Budaya di Döbeln, sebuah kota kecil di Jerman, pada tanggal 8 Desember 2018. Pada malam itu, aya bersama istri dan teman-teman mahasiswa memperkenalkan Larantuka kepada para tamu yang hadir. Dalam momen itu kami juga memperkenalkan produk-produk pertanian dan perkebunan seperti kacang mente, kemiri, asam, kakao, jagung titi, sorgum. Selain itu kami juga menyajikan kulinarik khas Larantuka, antara lain: nasi-beras merah, kuah ikan asam, jagung titi, serta bahan makanan yang diolah dari sorgum, yakni bakwan dan kue kering dari tepung sorgum.

Menghadirkan kembali produk-produk pangan lokal seperti ini adalah juga merupakan undangan buat seluruh penduduk Flores Timur untuk mengkonsumsi kembali pangan lokal. Kita mesti berani mengubur stereotip, bahwa mengkonsumsi jagung (nasi-jagung) berarti „miskin“. Dan kini sebagai alternatif baru telah dikampanyekan sorgum sebagai makanan pokok selain beras; apalagi nutrsi yang kaya (protein riboflavin, niacin, thiamin,  magnesium, mangan, tembaga,  fosforzat besi, kalsium, dan kalium) dan khasiat luar biasa yang terkandung dalam sorgum (anti tumor, mencegah kanker, mencegah anemia, baik untuk penderita diabetes dan kesehatan jantung, meningkatkan kemampuan kognitif, meningkatkan stamina, baik untuk kesehatan tulang, mencegah osteoporisis dan manfaat lainnya).

Kue kering dari tepung Sorgum yang dipresentasikan malam
Lebih lanjut, promosi dan kampanye pangan lokal menjadi daya tarik tersendiri bagi generasi muda untuk berani mengusahakan potensi-potensi alam pertanian yang ada di daerah kita. Jangan malu menjadi „petani milenial“; jangan malu untuk studi atau kuliah pertanian!!! Masa depan bukannlah bergantung sepenuhnya pada peluan tes CPNS, melainkan spirit wirausaha untuk membuat terobosan-terobosan baru di bidang pertanian (dan juga perikanan). Di sanalah surga kita sebagaimana kata para pedagang-misionaris pada zaman dahulu dan juga penyanyi kondang „Koes Plus“: Orang bilang tanah kita tanah surga ….

Mari kita temukan kembali Nusa Bunga, surga yang hilang itu!!!!












28 September 2018

DEMOKRASI: ANTARA OTONOMI RAKYAT DAN HASRAT PENGUASA


DEMOKRASI: ANTARA OTONOMI RAKYAT DAN HASRAT PENGUASA
Vian Lein, Warga Desa Mokantarak-Flotim
Tinggal di Jerman

Homeros (700 SM), salah satu penyair ternama Yunani Kuno, pernah menggunakan metafor „gembala“ dan „ternak“ (domba) untuk melukiskan karakter relasi antara rakyat dan negarawan (penguasa). Ia juga menyebut Raja Agammenon, pemimpin pasukan dalam perang Troya sebagai poimén, gembala domba (Heitsch, Ernst dan Müller, C.W., Platon Werke. Minos: 2009, 167). Sementara itu Aristoteles membandingkan sosok seorang raja dengan nomeús, gembala (Etika Nikomakea 1161, 10ff). Kata atau sosok ‚gembala‘ menghadirkan kesan dan pesan ‚yang memberi perhatian‘, ‚yang menuntun‘. Lalu, mengapa rakyat dimetaforakan sebagai „domba“ yang membutuhkan kehadiran seorang gembala? Bagaimana sesungguhnya peran „gembala“ itu dimainkan?

Plato sendiri sangsi dan menaruh curiga pada metafor ini dan karena itu memberi argumen yang berseberangan: apakah sang gembala yang menuntun kawanan domba ke padang rumput yang hijau sungguh menempatkan prioritas domba in se sebagai tujuan yang dicapai dalam pikirannya, atau justru keuntungan dari penjualan atau pesta pora untuk kepentingan sendiri. Bagi Plato, seorang gembala pada dasarnya memanfaatkan domba-domba untuk kepentingannya sendiri, entah itu susu, bulu yang dijadikan woll, bahkan daging (Politeia 343a f). Di sini terlihat, bahwa metafor ini telah menyibak suatu kebenaran yang disembunyikan, bahwa kehadiran gembala itu tidak untuk kepentingan kesejahteraan kawanan domba, melainkan kesejahteraan pemilik kawanan itu. Lantas, maksud apa yang hendak dikatakan dari metafor yang menembus filsafat politik barat ini?
Sejarah gagasan filsafat politik menunjukkan, bahwa metafor „gembala“ dimainkan untuk pembenaran status quo para elite penguasa. Ia menciptakan sebuah konstruksi ideologi „orang-orang kecil“ sekaligus menutup cadar kepentingan pribadi dari mereka yang mempromosikan dan menawarkan diri sebagai pemimpin dan penuntun. Di sana terbentuk sebuah pembedaan kategorial antara ‚rakyat‘ dan ‚elite politik‘ yang menjadi bangunan konsep tentang demokrasi. Sampai pada titik ini kita melihat ada ketegangan dalam demokrasi: usaha mencapai tujuan bonum commune atau pemuasan nafsu kuasa dan kepentingan sektarian. Dari dua kekuatan sentrifugal ini kita pun menterjemahkan konsep demokrasi dalam dua sudut pandang, yakni dari sudut pandang rakyat dan sudut pandang elite politik atau penguasa.

Pertama, dari sudut pandang rakyat: secara natural manusia dikuasai oleh ‚paksaan‘ atau ‚tekanan‘ dan ‚kebebasan‘. Sudah tentu manusia ingin menjadi pribadi yang otonom dan menolak jika ada orang lain mengendalikan ‚keinginan‘ pribadi. Kita tidak hanya memiliki kebebasan, tetapi juga mengaktualisasikan kebebasan itu dalam tindakan konkret. Hal inilah yang menjadi pendorong untuk memperjuangkan dan mempertahankan demokrasi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hans Keslen (1881-1973), seorang ahli hukum negara: di dalam demokrasi ada insting purba (Urinstikt) „pembebasan“ yang terus mendesak, sebuah protes melawan kehendak asing, melawan derita heteronomi, yakni penentuan asing dari luar diri (Keslen: 1920, 4). Kedua, dari sudut pandang penguasa, kita mengajukan pertanyaan: „apa yang menjadi roh penggerak dari demokrasi bagi para elite politik?“ Keslen memberi jawaban sederhana: tidak ada! Karena - secara sarkas - bagi para penguasa, demokrasi adalah bentuk pembatasan kehendak mereka untuk berkuasa dan keinginan akan kekayaan, dalamnya hasrat politik yang egois seolah menjadi rasionalitas politik publik. Untuk dapat „menenangkan“ (bukan memenuhi!) kerinduan dan kebutuhan warga akan kebebasan (akan demokrasi yang sesungguhnya), mereka lalu menyuntikkan candu „ilusi demokrasi“ ke dalam kepala warganya Berbarengan dengan itu metafor „Gembala-Domba“ juga dikhotbahkan. Metafor-metafor serupa bisa kita lihat dan alami dalam setiap suksesi Pemilu  (pemilihan kepala daerah, anggota legislatif, maupun presiden) yang menggema lewat janji-janji politik.

Dalam hal ini sangat dituntut sikap kritis dari setiap warga atau paling tidak „sadar“ dari ilusi demokrasi yang diciptakan oleh para penguasa. Selama warga terpenjara dalam kepuasan-kepuasan semu, para penguasa dan elite politik justru senantiasa candu akan kuasa, merasa tidak puas dengan dengan apa yang telah dicaplok dari bangsa ini, bahkan takut akan kehilangan jabatan tertentu, seperti yang dikhwatirkan oleh Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, bahwa kepala daerah dan pejabat negara akan habis menjadi tahanan KPK jika KPK terus menerus melakukan OTT. KPK sebagai representasi fungsi kontrol warga dipersalahkan secara gegabah tanpa sebuah penilaian rasional dan autokritik yang jujur dan berani.

Semoga di tahun politik ini para elite politik dan pejabat publik sanggup dan berani memperjuangkan demokrasi yang beradab, bukan barbar, demokrasi yang nyata, bukan utopi. Dan cita-cita ini akan terwujud jika kita terlebih dahulu sanggup menjadi „gembala untuk diri sendiri“, sebelum menjadi „gembala yang baik“ bagi orang lain, sebagaiamana Ada-nya kita sebagai „gembala Ada“ (Heidegger: Brief über den Humanismus an J. Beaufret: 1954). Itu berarti,  „menggembalakan“ adalah sebuah tugas pelayanan dalam „cara mengada“ yang otentik sebagai individu dan sebagai makhluk sosial.***

31 August 2018

HIDUP ANTARA DATANG DAN PERGI


HIDUP ANTARA DATANG DAN PERGI

Julia,
Rotasi kehidupan kita dalam sebuah pemahaman tentang waktu yang siklis adalah sebuah pengulangan fenomena transformatif yang selalu datang kembali sebagaimana yang terlihat pada kosmos; entah itu kita sadari atau tidak. Dan seperti alam, hidup (seyogianya) adalah sebuah proses penciptaan, sebuah siklus perubahan yang mengisyaratkan sekaligus menghubungkan gerak-gerak perubahan atau aksi seperti: kembali/berbalik, beralih, berlalu, kemenjadian, penghancuran dan membangun kembali, hembusan dan tarikan nafas, juga kelahiran dan kematian. Dan siklus perubahan itu adalah sebuah seruan atau „panggilan“ buat kita untuk berkata YA atas hidup dan kehidupan.

Julia,


Baru saja kamu mengakhiri sebuah episode kehidupan; dan kini hendak membuka lembaran baru yang mungkin belum saatnya kamu ingini. Mungkin kamu merasa seperti didesak untuk meninggalkan apa yang hingga saat ini masih melekat, tidak saja di tapak-tapak peziarahanmu, melainkan juga di kisi terdalam hidupmu – di hatimu; apalagi ketika dirimu tidak dimintai jawaban, apakah kamu mau menerimanya. Dalam ketegangan seperti ini, kita mesti menyadari, bahwa manusia sering mengurung diri dalam zona-zona nyaman kehidupan dan enggan keluar darinya untuk mencari sesuatu yang baru, masuk ke dalam ruang-ruang perubahan. Justru dalam sikap kesiap-sediaan atau pergerakan keluar dari zona nyaman yang terlampau kita cintai sehingga berat untuk ditinggalkan, kita justru memberi „kemungkinan“ untuk sebuah perkembangan. Siap untuk sebuah „perkembangan“  berarti berusaha menangkap peluang yang tidak bisa – atau mungkin enggan - dilihat oleh banyak orang.

Julia,
Perubahan atau perkembangan sebagai suatu awal yang baru juga senantiasa membahasakan aspek lain dari kehidupan, yakni perpisahan atau pergi meninggalkan. Dan perpisahan selalu menjadi drama kehidupan yang sulit untuk diterima dan kelak membuat kita lelah oleh beban rindu yang menumpuk di kepala. Sejak awal, sejarah kehidupan iman kita pun ditulis dalam alur cerita „awal yang baru“, „pergi-meninggalkan“, „perpisahan“. Abraham, Bapa Bangsa itu, oleh karena „panggilan“ Allah, rela meninggalkan Mesopotamia yang subur dan pergi ke negeri yang dijanjikan Allah, Kanaan. Dalam ketidakpastian manusiawinya akan „yang dijanjikan“, Abraham toh siap meninggalkan sanak keluarga oleh karena imannya akan Allah yang memanggil. Begitu pula dengan kisah Nabi Nuh yang atas „perintah“ Allah, rela meninggalkan bahtera yang dibangunnya bertahun-tahun. Lebih lanjut, juga dalam kisah Perjanjian Baru, Yesus tidak hanya meninggalkan Allah Bapa-Nya, Maria dan Yosef, sanak keluarganya, melainkan juga „menanggalkan“ ke-Allah-an-Nya untuk dekat dengan manusia yang sakit dan berdosa. Dan kini, kamu yang adalah pengikut-Nya, ditantang untuk „bergerak keluar“ dari „bahterah“ yang telah bertahun-tahun lamanya kamu bangun, untuk berlayar „ke tempat yang lebih dalam“. Hanya dengan „kerelaan meninggalkan“ itulah, kamu akan merasa bebas untuk berlayar ke samudera panggilan yang baru, menyelam ke dasarnya untuk menimba mutiara kehidupan yang tersembunyi bagi banyak orang, juga bagi aku. Kamu telah mengemas segala barang di kamarmu, menge-paknya dalam koper, tas maupun karton. Kiranya, momen itu juga menjadi tanda keberanian dan kesediaan dirimu untuk  melangkah ke pintu rumah baru „perubahan“ sambil tetap meneteng diri dan menggenggam tanggung jawab.

Julia,
Aku tahu, bahwa sebuah keputusan yang dibuat orang lain lalu diletakkan pada pundak kita untuk suatu yang baru, sering berbentur pada pilihan pribadi dan penolakan. Namun, jauh lebih dari itu, „keputusan terbesar dan terpenting dalam hidup adalah, bahwa kita SANGGUP mengubah hidup, dan dengan itu kita mengubah sikap hidup“, demikan Filsuf dan Teolog Albert Schweitzer (1875-1965).
Aku yakin, kamu memiliki kesanggupan itu, karena kamu telah berhasil „mecintai tanpa memilikinya“ dalam genggaman atau dekapanmu. Karena bagi kita, buah-buah dari cinta dan persahabat adalah mutiara paling berharga. Tempat, rumah, kamar, bahterah yang mesti kamu tinggalkan sekarang tidak lagi menjadi milikmu sebagai „pribadi“. Namun dalam memori hidup dan kehidupan, semuanya itu menjadi bagian dari dirimu. Segala apa yang pernah terjadi di sana adalah apa yang turut membentukmu menjadi sekarang ini, termasuk menjadikanmu SIAP untuk suatu yang baru.

Seperti musim gugur yang sebentar lagi datang, yang juga rela meranggaskan daun-daun agar kembang musim semi kelak mekar, kita mesti selalu siap untuk segala kemungkinan perubahan dalam siklus kehidupan.



Selamat berlayar ke samudera yang baru!
Semoga matamu tetap membiru
Memandang ombak dan gelombang menderu
Sambil tetap mendengar DIA yang berseru
Di antara harap doa dan cemas bertalu
Kita masih satu perahu


(Vian Lein-Akhir September 2018)

             ©magazin.mk

28 August 2018

BLIKOLOLONG: MANUSIA PEMULUNG MENJADI PEMULUNG MANUSIA


BLIKOLOLONG:
MANUSIA PEMULUNG MENJADI PEMULUNG MANUSIA
Vianey Lein*

Belum lama ini Metro TV dalam program talk shownya Kick Andy menampilkan seorang narasumber yang terkenal dengan kesederhanaan hidup namun kisah hidupnya kaya makna dan menjadi inspirasi bagi banyak orang. Ia adalah Yoseph Orem Blikololong, seorang pemulung asal NTT, sekaligus pendiri sekolah gratis. Televisi CNN Indonesia pun  mengeksplorasi biografi Blikololong dalam program featurenya Heroes. Sosok Blikololong dan kisah hidupnya lantas menjadi viral di media. Jauh sebelum itu, media Kompas pada November 2016 silam juga telah mengulas pria yang telah mendirikan PAUD Peduli Kasih dan SMP Surya Mandala ini. Tulisan ini tidak lagi mengisahkan kembali jalan panjang pengabdian seorang Blikololong dalam dunia pendidikan tetapi merupakan sebuah „pembacaan“ atas kisah hidup yang telah ditulisnya – tidak hanya dengan kata-kata, tetapi lebih dari itu dengan aksi nyata sebuah pelayanan dan pengorbanan.

Pemulung dan Sampah

Sudah hampir pasti bahwa kata „pemulung“ senantiasa diasosiasikan dengan sampah, yang terbuang karena tidak dibutuhkan lagi, yang kotor atau jorok. Asumsi ini lalu menempatkan pemulung sebagai profesi yang tidak diingini dan memulung sampah sebagai aksi kerja yang dipandang rendah dalam sosialitas manusia.

Dewasa ini tema sampah menjadi salah satu kajian penting dalam wacana ekologi, artinya mengacu pada pola produksi dan konsumsi manusia yang menghasilkan sampah; dan tentu habitus hidup yang tidak berkesadaran ekologis. Oleh karena itu, sejarah sampah adalah sejarah manusia; dan sebaliknya dalam berbagai fenomena pencemaran lingkungan dengan membuang sampah tidak pada tempatnya, boleh dikatakan, bahwa sejarah manusia adalah sejarah sampah. (Dan mesti juga diakui, bahwa para sejarahwan juga menggunakan sampah dalam penelitian historis mereka tentang suatu kelompok masyarakat, misalnya pecahan piring atau logam. Dengan demikian, perunutan sejarah manusia adalah sebuah ‚antropologi sampah‘. Spangenberg: 1994). Sebagai hasil buangan dari tindakan produksi dan konsumsi manusia, sampah bisa jadi membahayakan hidup manusia (kesehatan) dan menghancurkan lingkungan alam. Dalam pemahaman ini, pemulung – terlepas dari peran petugas kebersihan – sesungguhnya juga berperan penting dalam usaha menjaga kebersihan serta mengambil bagian dalam proses daur ulang sampah selama masyarakat kita belum sampai pada kesadaran dan kebiasaan memisahkan sampah, seperti sampah plastik, kertas, dan sampah organik.

Menjadi Pemulung Manusia

Pilihan untuk menjadi pemulung mengharuskan Blikololong turun ke jalan-jalan dan lorong-lorong kota Kupang, pertokoan dan pasar. Material sisa hasil produksi dan konsumsi adalah objek perjumpaan dalam dunia profesinya. Pada saat yang sama Blikololong juga berjumpa dengan anak-anak jalanan yang tidak ke sekolah dan menjadi kondektur mobil. Momen-momen perjumpaan itu menggerakan nuraninya untuk berbuat sesuatu bagi anak-anak, meski dengan segala keterbatasan yang ada. Keberanian untuk bermimpi dan tekad untuk berjuang menghantarnya sukses mendirikan dua sekolah sekolah gratis: PAUD Peduli Kasih dan SMP Surya Mandala.

Tingginya angka putus sekolah dan ketidaksanggupan orang tua untuk menyekolahkan anak karena biaya pendidikan yang tinggi adalah potret buram pendidikan di NTT. Per tahun terhitung 6.800 orang putus sekolah (ACDP Indonesia 2015). Mereka adalah anak-anak yang terbuang dari rumah pendidikan karena persoalan ekonomi yang melilit hidup. Anak-anak yang tidak sekolah secara tidak langsung merupakan produksi dari sistem kapitalisme yang memungkinkan penumpukan harta di pihak yang kuat dan pemiskinan pada pihak yang lemah karena kalah dalam persaingan pasar bebas. Sistem pemerintahan yang korup sesungguhnya juga turut mematikan gerak langkah anak-anak di dunia pendidikan. Bahkan dunia pendidikan pun menjadi lahan subur bagi para koruptor lewat penyelewengan anggaran DAK (Dana Alokasi Khusus) dan BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Meski korupsi tidak bisa langsung melahirkan kemiskinan, namun ia memiliki konsekuensi langsung terhadap faktor-faktor management pemerintahan, termasuk perekonomian dan pendidikan.

 Perjuangan Blikololong dalam mendirikan sekolah gratis mesti dilihat sebagai suatu kritik keras terhadap pemerintah, khususnya Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga. Selain sebagai aksi kemanusiaan, tindakannya juga merupakan sebuah provokasi di bidang pendidikan. Apresiasi yang terus mengalir belum cukup membayar nilai perjuangan dan pengorbanan seorang pemulung yang mendirikan sekolah gratis. Yang terpenting adalah ketergerakan hati untuk berjuang dan mengabdi secara jujur dan tulus bagi pendidikan di NTT, khususnya bagi anak-anak yang tidak mampu dan putus sekolah. Inilah gerakan literasi yang sesungguhnya yang akhir-akhir ini gemar digaungkan. Ia tak mengerus keuntungan finansial dari apa yang diperjuangkan; bahkan ia dan keluarga sendiri yang Blikololong bukanlah pemulung biasa. Ia tidak hanya manusia pemulung, tetapi lebih dari itu, ia adalah pemulung manusia, yakni anak-anak terlantar dan tidak bersekolah sebagai „tumpukan“ dari berbagai persoalan ekonomi dan sosial. Mereka dikumpulkannya, diberikan rumah pendidikan gratis sebelum masa depan mereka menjadi sampah dan hancur.

*Warga NTT, tinggal di Jena - Jerman
01 Agusutus 2017

Keterangan Foto: Yoseph Blikololong
Sumber: ©Netz.id dan gorontalo.antaranews.com


03 August 2018

MERAWAT KEJAHATAN DI PENJARA - Prahara Penjara Sang Koruptor

MERAWAT KEJAHATAN DI PENJARA
Prahara Penjara Sang Koruptor

Vian Lein*

Episode Mata Najwa „Pura-pura Penjara“ yang ditayangkan pada Rabu, 25 Juli 2018 menjadi sorotan publik. Tidak hanya menghebohkan, bahwa para narapidana tindak pidana korupsi itu menghuni bilik penjara dengan fasilitas yang boleh dikatakan mewah atau berlebihan – tidak seperti narapidana lainnya – setelah proses transaksi ilegal dengan bayaran yang besar dengan oknum dari pihak Lapas, melainkan juga merupakan jenaka yang menggelikan: ada indikasi bahwa sel yang ditempati Setya Novanto dan Nazaruddin bukanlah sel mereka yang sesungguhnya. Dari video kunjungan eksklusif Najwa ke sel tahanan mereka di Lapas Sukamiskin terlihat ada beberapa kejanggalan yang memperkuat kecurigaan Mata Najwa. Apa yang dilakukan oleh Setya Novanto dan Nazrudin adalah rekayasa.

Tuntutan pidana „mendekam dalam sel tahanan“ bukan saja merupakan konsekuensi logis dari sebuah kesalahan/kejahatan (Hegel) sebagaimana prinsip hukum umum „imperatif kategoris-nya“ Kant „Bertindaklah selalu berdasarkan maksim yang bisa sekaligus kamu kehendaki sebagai hukum umum“ (Nulla poena sine culpa – tidak ada hukuman tanpa kesalahan), tetapi serentak merupakan suatu format pembinaan: „Nemo prudens punit, quia pecatum est, sed ne peccetur“, tidak seorang normal pun dipidana karena telah melakukan perbuatan jahat, tetapi supaya ia tidak lagi berbuat jahat di kemudian hari. Itu berarti, aspek-aspek seperti rasa bersalah dan pengakuan, budaya malu, penyesalan, tanggung jawab, dan niat untuk sebuah perubahan (pertobatan) mesti mendapat aksentuasi penuh dalam „rumah pembinaan“. Theodor W. Adorno dalam pemikirannya tentang „Erziehung nach Auschwitz“ (Edukasi sesudah Auschwitz: 1966) menuntut adanya „permenungan“ (Besinnung) akan masalalu yang kelam di kamp konsentrasi untuk mencegah munculnya kembali tragedi Auschwitz karena kemungkinan untuk „terulang kembali“ (Wiederholung) tetap ada (Adorno: 1977).



Bahwa seseorang memiliki kesalahan atau dinyatakan bersalah, hal itu merujuk pada apa yang telah ia lakukan, yang tidak baik (Tun: Perbuatan). Sementara rasa malu atau rasa bersalah menyiratkan bahwa orang itu tidak „baik“; ia mengacu pada „adanya“ (Sein) seseorang, pada gambaran diri yang bersangkutan. Rasa malu dan bersalah per se juga merupakan ekspresi penolakan akan ke-AKU-an (Ego), yang mana bisa menghalangi seseorang untuk mengakui kesalahannya dan malah meng-kambing-hitamkan orang lain – buruk rupa cermin dibelah. Yang bersangkutan tidak bertanggung jawab atas kesalahan yang telah ia lakukan. Dengan demikian, tujuan dan harapan akan sebuah perubahan adalah sesuatu yang mustahil.

Dalam alur „edukasi“ dan proses pembinaan ini, kita dapat mengevaluasi kasus Lapas Sukamiskin „Pura-Pura Penjara“. Sesungguhnya fungsi Lapas sebagai rumah binaan sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 2 Undang-Undang nomor 12 tahun 1995 gagal. Justru yang terjadi dan kita saksikan di sana adalah pelestarian dan pengembangbiakan sel-sel kejahatan. Benih-benih kejahatanlah yang semestinya dipenjarakan, bukan rasa bersalah, budaya malu, penyesalan yang jujur dan tulus serta pertobatan. Seyogianya nilai-nilai ini dikembangkan dan ditularkan di balik sel tahanan karena merupakan bagian dari proses peradaban. Selama rasa bersalah dan penyesalan yang jujur tidak menjadi spiritualitas yang dijunjung tinggi dalam strategi pendampingan di Lapas, lingkaran setan seperti korupsi akan tetap bergerak dalam sebuah siklus kejahatan yang masif. “ Prahara „Pura-pura penjara“ yang telah dihembuskan oleh para narapidana Tipikor dan oknum penegak hukum yang terlibat sudah tentu mengguncang wibawa hukum di tanah air, secara khusus bertalian dengan penanganan kasus korupsi. Kasus ini menuntut penanganan yang serius dan tegas dari para penegak hukum.



*Mahasiswa Pasca Sarjana
Philosophisch- theologischen Hochschule SVD St. Augustin, Jerman

Foto: Mata Najwa





24 July 2018

DARI KAMAR KE KAMAR


DARI KAMAR KE KAMAR

I
Julia,
malam itu
saat petak-petak tubuh kita dirundung kemarau
yang sendiri
kita menanak bulir-bulir rindu di tungku asmara
Aku memintamu mencicip dari bibirku
Dan kita bertukar lapar

Lama sudah kita baringkan sepi di pondok tidur
sejak aku memilih melaut
dan engkau menabur di ladang
Kelak bertemu di sungai waktu

II
Lekas-lekas kita bangunkan sepi
karena rindu telah matang dipanggang jarak dan waktu
"Kecaplah, tak ada hidangan selain kita
yang sendiri-sendiri.
Teguklah, tak ada cawan yang diangkat
Selain sisa malam yang memabukkan“

VL, Sankt Augustin, 16 Juli 2018


03 July 2018

TOBA

TOBA


Di danau ini aku belajar memeluk gelombang
Digulungnya lembar- lembar rindu yang belum tuntas kau baca

Di danau ini aku belajar mencium bibir pantai
Ditinggalkan basah pada jantung karang

Di danau ini aku belajar memandang jejak-jejak ombak yang silam
Diciptanya jarak-jarak tanpa alamat
Kepadanya tanganku melambai lesu

Di danau ini aku belajar mendengar angin
Dihanyutkan nama dan salammu antara buih-buih mencengkeram

Di danau ini aku belajar menyusuri wajahmu berpasir
Tergores kenangan demi kenangan

Di danau ini aku belajar menggaram duka
Diiris pisau jarak menembus rusuk-rusuk karang

Di danau ini aku belajar menebar jala
Yang pernah kita sulam di Simarjarunjung
Menabur kembang yang kita tanam di Sapo Juma Tongging

Di danau ini aku belajar mencintai badai yang menyimpan tangis
Mengerang di dasar rumahmu abadi
Mengegenang di jalan samudera menuju sana
Menggetarkan batu-batu rindu
Melengking ayat-ayat doa yang tercecer di buritan hidup:

Requiem aeternam dona eis, Domine,
et lux perpetua luceat eis.


Sankt Augustin, 02 Juli 2018

Foto: FB_Birgaldo Sinaga

25 June 2018

MAAF


MAAF

Julia,
Maafkan aku
Jika sering kuungsikan kata-kata ke ruang-ruang klausur
Dan mereka menyerukan namamu bagai litani di lorong-lorong silentium
Membisikkan kecemasan demi kecemasan pada ruas-ruas kontemplasi

Maafkan aku
Jika bait-bait puisiku sering terdampar di biru matamu
Bersama buih-buih pesan merecik alismu yang terkadang lelah
Menafsir misteri panggilan

Padahal pada setiap larik-larik itu
aku hanya mau bilang:
Ada nafasku bersama angin yang mengibarkan layar setia
Menggiring bidukmu menuju pantai yang kaurindu
Menuju pulau orang-orang bernazar

Maafkan aku ...

Sankt Augustin, 25.06.2018



19 June 2018

WANITA DAN BULANNYA_Kepada Wanitaku


WANITA DAN BULANNYA
Kepada Wanitaku

Julia,

Setiap bulan
Kau kurung wajahmu di bilik luka paling intim
mengandung bulan yang menyabit-nyabit rahim
Membalut kuncup hidup akanan

Setiap bulan
Kau kunyah perih dengan matamu
Seakan rusuk itu baru ditanam dalam-dalam pada tubuhmu
Menjadikanmu ibu kehidupan

Setiap bulan
Kau rawat sakit di atas ranjang ketabahan
Memberinya pil setia yang menetes dari jantung
Mengobati bulan-bulan terluka
Hingga purnama

Dan bulan-bulan yang terluka
Adalah usia setiamu

V. Lein, Sankt Augustin, 18.06.2018
Foto: © Frank Lothar Lange/plainpicture - Zeit Online




05 June 2018

MENYEMBUHKAN FANATISME: BELAJAR DARI PAULUS


MENYEMBUHKAN FANATISME: BELAJAR DARI PAULUS

Amos Oz – seorang penulis Israel – dalam bukunya „Wie man Fanatiker kuriert“ (Bagaimana menyembuhkan orang fanatik) menyuguhkan sebuah kisah dari Yerusalem – kota yang tidak hanya terkenal dengan keberagaman agama, tetapi juga fanatismenya:

Seorang religius duduk dalam sebuah Caffee di pinggiran jalan ketika sosok seorang kakek menghampirinya. Lelaki tua itu mencoba memanfaatkan momen pertemuan itu dengan mengajukan deretan pertanyaan: Siapa yang memiliki iman yang paling benar? Katolik atau Protestan? Kaum Muslim atau Yahudi? „Untuk mengatakan ‚Kebenaran‘ kepadamu, Allah memberikan jawaban: ‚Saya bukanlah religius, dan saya tidak pernah seperti itu. Dan agama bukanlah hal yang menarik untukku“.

Paulus, sang misionaris agung dan pemikir, menaruh perhatian yang besar pada agama. Ada yang membaptisnya sebagai fundator kekristenan, namun ada pula yang meragukan, bahwa Paulus juga mengusung agama yang serupa diwartakan Kristus (Christentum). Teolog Alfred Loisy yang adalah juga penganut modernisme di Prancis menulis pada tahun 1914, bahwa Yesus – yang kepadaNya Paulus berbalik/bertobat – adalah bukan Pewarta Kerajaan Allah. Relativisme dogma kekristenan ini tentu „menggangu“ gereja, secara khusus para teolog dan tema ini sebagaimana juga pertanyaan-pertanyaan kritis tentang historisitas Yesus tetap menjadi persoalan historis-teologis yang tak tuntas dijawab.

Paulus dan Yesus memiliki latar belakang keluarga dan biografi yang tentu berbeda: Yesus adalah (anak) seorang tukang kayu, memiliki relasi sosial dengan orang-orang kecil dan yang dikucilkan dari lingkaran masyarakat, bahkan Ia disebut sebagai sahabat para pendosa. Berbeda dengan Yesus, Paulus adalah seorang intelek Yahudi diaspora. Ia datang dari metropolitan Tarsus – sebuah kota pelabuhan dan pusat dagang, serta menjadi kota ilmu pengetahuan karena di tempat ini terdapat banyak sekolah dan universitas. Oleh karena kemampuan intelektualnya Paulus terjun aktif dalam gerakan kaum farisi dan dengan demikian ia mendapatkan akses yang mudah untuk menjadi elit agama di kalangan Yahudi. Latar belakang kehidupannya yang kuat ditempa dalam dan berdasarkan hukum-hukum Yahudi pun menjadikan Paulus sebagai sosok yang taat hukum dan menolak iman kekristenan yang percaya pada Mesias yang disalibkan. Tidak hanya berhenti pada sikap penolakan ajaran kekristenan, Paulus bahkan mengejar dan membunuh para pengkikut Kristus dan ajaran-Nya.


Damaskus: Jalan Pulang Pertobatan

Dalam surat-suratnya, Paulus tidak secara gamblang atau detail mengulas salah satu episode kehidupannya ini, yang adalah bab penting dari narasi kehidpannya. Namun secara berani ia mengakui dengan menyebutkan dirinya sebagai „penganiaya jemaat“ (Fil. 3: 6), dan „tanpa batas“ mengejar dan menganiaya jemaat Allah dan membinasakannya (Gal. 1:13). Kisah Para Rasul tampaknya lebih lugas mengulas episode „pulangnya“ Paulus ke Damaskus: Paulus menangkap laki-laki dan perempuan, menjeblosklan mereka ke dalam penjara dan menyesah mereka (Kis. 22:4,19). Bahkan ia mengiyakan jika mereka dihukum mati dan mengejar mereka sampai ke kota-kota asing (Kis. 26:10-11). Apakah semuanya ini dilakukan Paulus atas perintah imam kepala  - meskipun dalam ayat 10 ditemukan „ […] aku memperoleh kuasa dari imam-imam kepala, […] - , hal ini masih menyisahkan diskusi dalam teologi. Namun pasti, bahwa orang-orang Kristen takut kepada Paulus, bahkan setelah Paulus sendiri mengakui  bahwa ia telah melihat Kristus, para pengikur Kristus itu masih juga menyimpan ketakutan dalam hati dan pikiran mereka. Para murid di  Yerusalem pun tidak yakin, bahwa Paulus adalah juga seorang murid saat ia ingin menggabungkan diri dengan mereka. (bdk. Kis. 9:26). Ini tentu bukanlah hal yang mengeherankan karena mereka berhadapan dengan seorang yang fanatik seperti Paulus yang  - bagi mereka - belum memberikan contoh konkrit dari pertobatannya selain dari pada mendengar dan berusaha memahami.

Paulus sendiri berbicara tentang panggilannya (Gal. 1:15), sementara Kisah Para Rasul melukiskan kisah pertobatannya.  Dalam perjalanannya ke Damaskus ia mendapat penglihatan yang mana meruntuhkan „kenisah ajaran religiosotas“ dalam dirinya. Damaskus, sebagaimana Ekseget asal Swiss, Daniel Marguerat, adalah pewahyuan sebuah pembungkaman; namun bukan Paulus yang membungkamnya, melainkan agama. Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, Paulus menegaskan, bahwa ia sama sekali tidak cacat dalam mentaati hukum taurat. Hukum ini sama sekali tidak dapat menggagalkan hukuman mati di salib yang dijatuhkan atas Yesus. Apa yang ditulis Paulus ini tidak ditujukan pekada kaum Yahudi, karena ia tahu hal itu berbahaya. Kaum Yahudi begitu pula Yunani telah sia-sia berusaha mengerti dan melukiskan Allah. Baik kesalehan-kesalehan yang termuat dalam kitab Tora maupun kebijaksanaan-kebijaksanaan Yunani, semuanya tampak tidak cukup menggambarkan atau memahami Tuhan. Paulus sendiri telah mengalami suatu peristiwa yang sangat personal dalam hidupnya, suatu peristiwa di luar dugaannya: Tuhan „menangkapnya“ dan menjadikannya „tumbang“. Dalam diri Paulus dan lewat peristiwa yang dialaminya, agama kaum pembenci dan orang saleh yang dengki diruntuhkan dan dilumpuhkan. Dan kisah pertobatannya ini pun menjadikan Paulus sebagai seorang pewarta Injil yang seditikit „fanatik“.

Dari kisah Paulus yang adalah seorang intelek atau ahli dalam hukum Taurat  kita melihat bahwa agama  - apalagi yang radikal - sama sekali tidak menyembuhkan seorang fanatik. Agama justru semakin memelihara subur benih-benih fanatisme dan radikalisme. Perjumpaan langsung dengan „yang lain“ di luar diri dan kelompok (agama) dengan segala „keberlainan“ mereka justru menjadi resep atau terapi mujarab penyembuhan fanatisme. Berkutat hanya pada hukum-hukum agama sendiri dan berusaha sekuat tenaga dan dengan segala cara menarik sebanyak mungkin orang masuk dalam lingkaran kita, akan menggiring kita kepada „misi kolonial“ atau terorisme. Pemahaman tentang misi baik dalam kristen atau agama lain (dakwa: Islam) bukanlah sekedar usaha memperbanyak pengikut ajaran tertentu, tetapi mesti melampaui nilai-nilai kuantitatif, yakni misi kemanusiaan. Itu berarti, setiap kita mesti memiliki keberanian untuk bangkit berdiri dari kursi sandaran dogmatisme yang kaku dan bergerak keluar menuju ruang-ruang asing keberbedaan, bergerak menuju ruang perjumpaan, bukan untuk mencari mana yang benar dan mana yang salah, melainkan mengakui keberbedaan itu, menerimanya dan menimba makna atau nilai-nilai baru dalam sebuah proses dialog.***

09.05.2018