FLORES DAN KASIH YANG MENDESAK
Elvin Sagala
Elvin Sagala
Saya
adalah seorang wanita kelahiran Medan – Sumatera Utara; dilahirkan dan
dibesarkan dalam budaya batak. Orang tua saya berasal dari Samosir. Saya
merupakan anak sulung dari 4 bersaudara (3 adik wanita). Sejak saya berusia 9
tahun kedua orang tua memilih bercerai. Tentu masa-masa itu merupakan masa
sulit buat kami semua – tidak hanya
untuk kedua orang tua tetapi juga kami anak-anak, terlebih adik bungsu yang
masih berumur 3 tahun. Berkat keluarga besar di Medan kami semua dapat melewati
masa-masa sulit itu.
Mimpi Untuk Kuliah Jerman
Setelah
menamatkan Strata 1 Pendidikan Bahasa Jerman di Universitas Negeri Mendan, saya
memutuskan untuk „berhijrah“ ke Jerman sebagai Au-Pair Mädchen. Pendidikan
bahasa Jerman selama di Universitas merupakan modal dan motivasi yang mendorong
saya untuk datang ke Jerman dengan harapan agar kemudian dapat melanjutkan
kuliah di Jerman. Kesulitan finansial merupakan tantangan terbesar dalam usaha
mewujudkan mimpi dan cita-cita saya; apalagi ketika saya tidak memiliki peluang
untuk mendapatkan beasiswa. Namun saya tetap yakin dan percaya, bahwa Tuhan
memiliki rencana indah dan terbaik untuk saya; dan juga dengan keyakinan
manusiawi saya bahwa, di mana ada niat dan kemauan, di situ pasti selalu ada
jalan – dan Tuhan pasti membuka jalan untuk segala niat baik.
Bagi
saya, program Au-Pair Mädchen merupakan batu loncatan dalam menggapai mimpi
untuk kuliah di Jerman; program Au-Pair Mädchen merupakan pintu masuk dan start
awal menuju langkah-langkah perjuanganku selanjutnya. Dengan keberanian dan
keyakinan seperti itu saya memulai etape baru dalam sejarah kehidupan di Jerman
terhitung sejak awal tahun 2011. Sebagaimana galibnya dalam kehidupan, bahwa
tantangan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sebuah perjuangan, masa-masa
awal kehidan saya di Jerman juga penuh dengan kesulitan dan tantangan: mulai
dari gagal ijian DSH, mengganti program studi, gagal dalam ujian, kuliah sambil
kerja sebagai Cleaning service, juga
tantangan dalam beradaptasi dengan bahasa, budaya, lingkungan dan orang-orang
yang baru. Semuanya itu tidak membuat saya patah semangat tetapi justru semakin
menguatkan saya untuk terus berjuang karena cita-cita dan impian jauh lebih
kuat mengental di kepala. Berulang kali saya mengalami pengalaman jatuh dan
bangkit kembali dari kejatuhan untuk terus berjuang dan berjuang hingga
akhirnya pada akhir tahun 2016 saya berhasil menyelesaikan kuliah magister
pendidikan bahasa Jerman pada Universtitas Friedrich Schiler-Jena dengan indeks
prestasi yang memuaskan.
Yang Asing Untuk Yang Asing: Menjadi Guru
Bahasa Jerman di Jerman
Namun
prestasi ini bukan merupakan akhir dari langkah perjuangan saya melainkan
membuka tahap baru untuk perjuangan selanjutnya. Prestasi ini justru merupakan
awal baru untuk ziarah hidupku selanjutnya untuk terjun ke dalam dunia profesi.
Beberapa bulan setelah kelulusan itu saya diterima pada sebuah institusi bahasa
untuk menjadi staf pengajar bahasa Jerman di sebuah kota kecil, Gera. Pengalaman
bekerja sebagai guru bahasa Jerman tidak hanya menjadikan saya sebagai
„pengajar“ untuk orang lain tetapi serentak pula saya belajar banyak hal dari
setiap pengalaman di tempat kerja, di ruang kelas. Pengalaman perjumpaan dengan
rekan-rekan pengajar dan juga para peserta kursus beserta segala dinamikanya
adalah pelajaran yang amat berharga dalam hidup. Hidup sebagai sebuah
perjumpaan menjadikan saya terbuka untuk menerima dan belajar dari orang lain
termasuk lingkungan dan budaya mereka.
Flores: Cinta Yang (Terus) Mekar
Flores
– Pulau Bunga – menjadi locus baru dalam perjalanan hidup saya dengan setiap
perhentian-perhentian: Jakarta – Medan – Jerman – Flores – …? Perjumpaan dengan
suami yang adalah seorang Flores (Desa Mokantarak – Larantuka) sudah tentu
menjadikan Flores sebagai bagian dari hidup saya – tidak hanya oleh karena hukum
adat perkawinan budaya yang patrilinieal tetapi tetapi semacam „kebutuhan“ dan
kerinduan sosial untuk menjejaki Flores. Itulah pengalaman jatuh cinta saya
pada (pemuda) Flores.
Setelah sekian lama menjadi „peziarah“ di tanah Jerman
(sejak 2012) kami akhrinya mengunjungi tanah air Indonesia pada Oktober 2018;
dan kali ini dengan rute perjalanan ke Timur Indonesia, yakni Larantuka –
Flores Timur. Ini merupakan pengalaman perdana perjumpaan dengan keluarga
suami: lagi-lagi dengan orang dan lingkungan budaya yang baru.
Seperti biasa
pada saat perjumpaan pertama, saya senantiasa dihinggapi oleh anek pertanyaan:
apa dan bagaimana Flores yang sesungguhnya, seperti apa orang-orang di sana dan
apakah saya diterima oleh keluarga? Itulah risiko dari sebuah perjumpaan:
apakah saya bisa diterima oleh orang lain dan apakah saya bisa menerima orang
lain.
Pengalaman
liburan dan perjumpaan langsung dengan realitas menjawab segala pertanyaan dan
keraguan saya. Saya menjumpai orang-orang yang begitu sederhana – tidak hanya
dari hidup yang berkecukupan – tetapi juga dari cara mereka hidup. Mereka
adalah pribadi-pribadi yang polos dan jujur. Kesempatan liburan di Desa
Mokantarak, Larantuka-Flores juga memungkinkan saya untuk masuk dan bersentuhan
langsung dengan realitas kehidupan masyarakat: sebuah potret kehidupan yang
semata bergantung pada alam. Kisah hidup mereka (para petani kecil) adalah
potret kehidupan dunia yang sedang merangkak berjuang untuk menyambung hidup.
Dalam benak mereka tidak muncul kekhwatiran: „besok makan APA“ melainkan
kekhwatiran „apakah ADA SESUATU untuk dimakan besok“. Oleh karena kehidupan
ekonomi yang tidak menunjang, maka aspek pendidikan pun berjalan mandek. Banyak
anak-anak yang gagal atau tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang
Universitas bahkan Sekolah Menengah Atas. Saya memahami persoalan dan
kekhawatiran mereka karena pribadi dan kehidupan saya juga pernah ditempa dalam
sulitnya perjuangan.
Saya mengakui bahwa kesulitan dan persoalan yang pernah
saya alami tidak sebanding dengan persoalan orang-orang kecil yang saya jumpai.
Persoalan hidup mereka jauh lebih rumit dan berat. Pengalaman liburan ini
mengajak saya untuk merefleksikan kembali seluruh perjalanan hidup saya.
Kehidupan para petani kecil dan ibu-ibu rumah tangga coba saya hadirkan dalam refleksi
saya tentang hidup, lebih tepatnya hidup bersama yang lain. Refleksi itu
berujung pada sebuah niat untuk berbuat sesuatu: membagi kasih Tuhan yang telah
saya terima selama hidup kepada orang-orang yang saya jumpai, terlebih mereka
yang sangat membutuhkan uluran kasih tangan orang lain.
Di Larantuka, di
Flores, cinta itu terus mekar, cinta yang telah kusemaikan dan tumbuh antara
relasi saya dengan suami. Dan mekar cinta itu juga saya temukan pada raut wajah
orang-orang di Larantuka; wajah yang senantiasa senyum meski beban berat
persoalan hidup. Perjumpaan dengan mereka dan realitas kehidupan mereka sekaligus
merupakan momen panggilan buat saya untuk BERBAGI KASIH yang telah saya terima
dengan cuma-cuma dalam hidup.
Perkenalan dengan „Abang“ Niko“: Membuka Jaringan Kerjasama
Niat
untuk „berbuat sesuatu“ bagi Kampung Mokantarak tetap akan menjadi mimpi yang
tak terealisasikan jika itu tidak saya sharingkan dengan orang lain; dan saya
akui bahwa untuk „perkara“ sebesar ini tidak bisa saya kerjakan sendiri. Saya
mesti membutuhkan bantuan orang lain. Karena itu saya menceritakan secara
terbuka kepada teman sekaligus memohon masukan dari mereka.
Bagai
gayung bersambut, niat baik untuk berbuat sesuatu bagi Lewo Tana Desa
Mokantarak perlahan terbuka jalannya ketika saya diperkenalkan oleh seorang
teman dengan Abang Niko, seorang pejuang harkat dan martabat petani kopi di
Manggarai, tepatnya di kampung Colol. Bersama istrinya, Abang Niko membuka
jaringan kerjasama dengan para petani kopi di Desa Colol agar penjulan kopi
tidak lagi diserahkan kepada para tengkulak yang biasanya dijual dengan harga
yang murah. Para petani mesti menentukan harga sendiri, bukan sebaliknya para
tengkulak. Kunjungan saya ke rumah Abang Niko dan melihat langsung Kaffee kostBAR yang dirintisnya bersama
istri tentunya semakin memotivasi saya. Sharing pengalaman dengan Abang Niko
tidak hanya menjadi masukan yang sangat berarti tetapi serentak menjadi
tantangan bagi saya. Keterbukaan dan kesediaan Abang Niko bersama istri dalam
menyambut baik maksud dan niat saya membuat saya semakin yakin, bahwa saya
tidak berjalan sendirian. Kami pun segera membicarakan rencana ke depan
berkaitan dengan maksud dan niat saya. Untuk langkah awal kami akan
menyelenggarakan „Flores-Abend“ – Malam Flores – guna mempresentasikan rencana
ini kepada teman-teman Abang Niko yang sudah tergabung dalam proyek yang telah
dirintisnya. Refleksi tentang pengalaman perjumpaan dengan orang-orang
sederhana di Desa Mokantarak kini perlahan menjadi aksi dalam sebuah „awal yang
sederhana“: Flores-Abend pada tanggal 8 Desember 2018.
Semoga
niat awal nan sederhana ini bisa menjadi berkat bagi orang-orang yang saya
jumpai di Desa Mokantarak-Flores, dan juga berkat bagi saya dan siapa saja yang
siap membantu.
Gera,
06. November 2018
Salam Sejahterah – Semoga Tuhan memberkati
kita semua!!!!
Elvin Septiani