MERAWAT KEJAHATAN DI PENJARA
Prahara Penjara Sang Koruptor
Vian Lein*
Episode Mata Najwa „Pura-pura Penjara“ yang ditayangkan pada Rabu, 25 Juli 2018 menjadi sorotan publik. Tidak hanya menghebohkan, bahwa para narapidana tindak pidana korupsi
itu menghuni bilik penjara dengan fasilitas yang boleh dikatakan mewah atau berlebihan – tidak seperti narapidana lainnya – setelah proses transaksi ilegal dengan bayaran yang besar dengan oknum dari pihak Lapas,
melainkan juga merupakan jenaka yang menggelikan: ada indikasi bahwa sel yang ditempati Setya Novanto dan Nazaruddin bukanlah sel mereka yang sesungguhnya. Dari video kunjungan eksklusif Najwa ke sel tahanan mereka di Lapas
Sukamiskin terlihat ada beberapa kejanggalan yang memperkuat kecurigaan Mata Najwa. Apa yang dilakukan oleh Setya Novanto dan Nazrudin adalah rekayasa.
Tuntutan pidana „mendekam dalam sel tahanan“ bukan saja merupakan konsekuensi logis dari sebuah kesalahan/kejahatan (Hegel) sebagaimana prinsip hukum umum „imperatif
kategoris-nya“ Kant „Bertindaklah selalu berdasarkan maksim yang bisa sekaligus kamu kehendaki sebagai hukum umum“ (Nulla poena sine culpa – tidak ada hukuman tanpa kesalahan), tetapi serentak merupakan suatu format pembinaan: „Nemo prudens punit, quia pecatum est, sed ne peccetur“, tidak seorang normal pun dipidana karena telah melakukan perbuatan jahat, tetapi supaya ia tidak lagi berbuat jahat di kemudian hari. Itu berarti, aspek-aspek seperti rasa bersalah dan pengakuan, budaya malu, penyesalan, tanggung jawab, dan niat untuk sebuah perubahan (pertobatan) mesti mendapat aksentuasi penuh dalam „rumah pembinaan“. Theodor
W. Adorno dalam pemikirannya tentang „Erziehung nach Auschwitz“ (Edukasi sesudah Auschwitz: 1966) menuntut adanya „permenungan“ (Besinnung) akan masalalu yang kelam di kamp konsentrasi untuk mencegah munculnya kembali tragedi Auschwitz karena kemungkinan untuk „terulang kembali“ (Wiederholung)
tetap ada (Adorno: 1977).
Bahwa seseorang memiliki kesalahan atau dinyatakan bersalah, hal itu merujuk pada apa yang telah ia lakukan, yang tidak baik (Tun: Perbuatan). Sementara rasa malu atau rasa bersalah menyiratkan bahwa orang itu tidak „baik“; ia mengacu pada „adanya“ (Sein) seseorang, pada gambaran diri yang bersangkutan. Rasa malu dan bersalah per se juga merupakan ekspresi penolakan akan ke-AKU-an (Ego), yang mana bisa menghalangi seseorang untuk mengakui kesalahannya dan malah meng-kambing-hitamkan orang lain – buruk rupa cermin dibelah. Yang bersangkutan tidak bertanggung jawab atas kesalahan yang telah ia lakukan. Dengan demikian, tujuan dan harapan akan sebuah perubahan adalah sesuatu yang mustahil.
Dalam alur „edukasi“ dan proses pembinaan ini, kita dapat mengevaluasi kasus Lapas Sukamiskin „Pura-Pura Penjara“. Sesungguhnya fungsi Lapas sebagai rumah binaan
sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 2 Undang-Undang nomor 12 tahun 1995 gagal. Justru yang terjadi dan kita saksikan di sana adalah pelestarian dan pengembangbiakan sel-sel kejahatan. Benih-benih kejahatanlah yang semestinya
dipenjarakan, bukan rasa bersalah, budaya malu, penyesalan yang jujur dan tulus serta pertobatan. Seyogianya nilai-nilai ini dikembangkan dan ditularkan di balik sel tahanan karena merupakan bagian dari proses peradaban. Selama
rasa bersalah dan penyesalan yang jujur tidak menjadi spiritualitas yang dijunjung tinggi dalam strategi pendampingan di Lapas, lingkaran setan seperti korupsi akan tetap bergerak dalam sebuah siklus kejahatan yang masif.
“ Prahara „Pura-pura penjara“ yang telah dihembuskan oleh para narapidana Tipikor dan oknum penegak hukum yang terlibat sudah tentu mengguncang wibawa hukum di tanah air, secara khusus bertalian dengan penanganan
kasus korupsi. Kasus ini menuntut penanganan yang serius dan tegas dari para penegak hukum.
*Mahasiswa Pasca Sarjana
Foto: Mata Najwa
No comments:
Post a Comment