MENYEMBUHKAN FANATISME:
BELAJAR DARI PAULUS
Amos
Oz – seorang penulis Israel – dalam bukunya „Wie man Fanatiker kuriert“
(Bagaimana menyembuhkan orang fanatik) menyuguhkan sebuah kisah dari Yerusalem
– kota yang tidak hanya terkenal dengan keberagaman agama, tetapi juga fanatismenya:
Seorang
religius duduk dalam sebuah Caffee di pinggiran jalan ketika sosok seorang
kakek menghampirinya. Lelaki tua itu mencoba memanfaatkan momen pertemuan itu
dengan mengajukan deretan pertanyaan: Siapa yang memiliki iman yang paling
benar? Katolik atau Protestan? Kaum Muslim atau Yahudi? „Untuk mengatakan ‚Kebenaran‘
kepadamu, Allah memberikan jawaban: ‚Saya bukanlah religius, dan saya tidak
pernah seperti itu. Dan agama bukanlah hal yang menarik untukku“.
Paulus,
sang misionaris agung dan pemikir, menaruh perhatian yang besar pada agama. Ada
yang membaptisnya sebagai fundator kekristenan, namun ada pula yang meragukan,
bahwa Paulus juga mengusung agama yang serupa diwartakan Kristus (Christentum). Teolog Alfred Loisy yang
adalah juga penganut modernisme di Prancis menulis pada tahun 1914, bahwa Yesus
– yang kepadaNya Paulus berbalik/bertobat – adalah bukan Pewarta Kerajaan Allah.
Relativisme dogma kekristenan ini tentu „menggangu“ gereja, secara khusus para
teolog dan tema ini sebagaimana juga pertanyaan-pertanyaan kritis tentang
historisitas Yesus tetap menjadi persoalan historis-teologis yang tak tuntas
dijawab.
Paulus
dan Yesus memiliki latar belakang keluarga dan biografi yang tentu berbeda:
Yesus adalah (anak) seorang tukang kayu, memiliki relasi sosial dengan
orang-orang kecil dan yang dikucilkan dari lingkaran masyarakat, bahkan Ia disebut
sebagai sahabat para pendosa. Berbeda dengan Yesus, Paulus adalah seorang
intelek Yahudi diaspora. Ia datang dari metropolitan Tarsus – sebuah kota pelabuhan
dan pusat dagang, serta menjadi kota ilmu pengetahuan karena di tempat ini
terdapat banyak sekolah dan universitas. Oleh karena kemampuan intelektualnya
Paulus terjun aktif dalam gerakan kaum farisi dan dengan demikian ia mendapatkan
akses yang mudah untuk menjadi elit agama di kalangan Yahudi. Latar belakang
kehidupannya yang kuat ditempa dalam dan berdasarkan hukum-hukum Yahudi pun
menjadikan Paulus sebagai sosok yang taat hukum dan menolak iman kekristenan
yang percaya pada Mesias yang disalibkan. Tidak hanya berhenti pada sikap penolakan
ajaran kekristenan, Paulus bahkan mengejar dan membunuh para pengkikut Kristus dan
ajaran-Nya.
Damaskus: Jalan Pulang Pertobatan
Dalam
surat-suratnya, Paulus tidak secara gamblang atau detail mengulas salah satu
episode kehidupannya ini, yang adalah bab penting dari narasi kehidpannya. Namun
secara berani ia mengakui dengan menyebutkan dirinya sebagai „penganiaya jemaat“
(Fil. 3: 6), dan „tanpa batas“ mengejar dan menganiaya jemaat Allah dan
membinasakannya (Gal. 1:13). Kisah Para Rasul tampaknya lebih lugas mengulas
episode „pulangnya“ Paulus ke Damaskus: Paulus menangkap laki-laki dan
perempuan, menjeblosklan mereka ke dalam penjara dan menyesah mereka (Kis. 22:4,19).
Bahkan ia mengiyakan jika mereka dihukum mati dan mengejar mereka sampai ke
kota-kota asing (Kis. 26:10-11). Apakah semuanya ini dilakukan Paulus atas
perintah imam kepala - meskipun dalam
ayat 10 ditemukan „ […] aku memperoleh kuasa dari imam-imam kepala, […] - , hal
ini masih menyisahkan diskusi dalam teologi. Namun pasti, bahwa orang-orang
Kristen takut kepada Paulus, bahkan setelah Paulus sendiri mengakui bahwa ia telah melihat Kristus, para pengikur
Kristus itu masih juga menyimpan ketakutan dalam hati dan pikiran mereka. Para murid
di Yerusalem pun tidak yakin, bahwa
Paulus adalah juga seorang murid saat ia ingin menggabungkan diri dengan
mereka. (bdk. Kis. 9:26). Ini tentu bukanlah hal yang mengeherankan karena
mereka berhadapan dengan seorang yang fanatik seperti Paulus yang - bagi mereka - belum memberikan contoh
konkrit dari pertobatannya selain dari pada mendengar dan berusaha memahami.
Paulus
sendiri berbicara tentang panggilannya (Gal. 1:15), sementara Kisah Para Rasul
melukiskan kisah pertobatannya. Dalam
perjalanannya ke Damaskus ia mendapat penglihatan yang mana meruntuhkan „kenisah
ajaran religiosotas“ dalam dirinya. Damaskus, sebagaimana Ekseget asal Swiss,
Daniel Marguerat, adalah pewahyuan sebuah pembungkaman; namun bukan Paulus yang
membungkamnya, melainkan agama. Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, Paulus
menegaskan, bahwa ia sama sekali tidak cacat dalam mentaati hukum taurat. Hukum
ini sama sekali tidak dapat menggagalkan hukuman mati di salib yang dijatuhkan
atas Yesus. Apa yang ditulis Paulus ini tidak ditujukan pekada kaum Yahudi,
karena ia tahu hal itu berbahaya. Kaum Yahudi begitu pula Yunani telah sia-sia
berusaha mengerti dan melukiskan Allah. Baik kesalehan-kesalehan yang termuat
dalam kitab Tora maupun kebijaksanaan-kebijaksanaan Yunani, semuanya tampak
tidak cukup menggambarkan atau memahami Tuhan. Paulus sendiri telah mengalami
suatu peristiwa yang sangat personal dalam hidupnya, suatu peristiwa di luar
dugaannya: Tuhan „menangkapnya“ dan menjadikannya „tumbang“. Dalam diri Paulus
dan lewat peristiwa yang dialaminya, agama kaum pembenci dan orang saleh yang
dengki diruntuhkan dan dilumpuhkan. Dan kisah pertobatannya ini pun menjadikan
Paulus sebagai seorang pewarta Injil yang seditikit „fanatik“.
Dari
kisah Paulus yang adalah seorang intelek atau ahli dalam hukum Taurat kita melihat bahwa agama - apalagi yang radikal - sama sekali tidak menyembuhkan
seorang fanatik. Agama justru semakin memelihara subur benih-benih fanatisme
dan radikalisme. Perjumpaan langsung dengan „yang lain“ di luar diri dan kelompok
(agama) dengan segala „keberlainan“ mereka justru menjadi resep atau terapi mujarab
penyembuhan fanatisme. Berkutat hanya pada hukum-hukum agama sendiri dan berusaha
sekuat tenaga dan dengan segala cara menarik sebanyak mungkin orang masuk dalam
lingkaran kita, akan menggiring kita kepada „misi kolonial“ atau terorisme. Pemahaman
tentang misi baik dalam kristen atau agama lain (dakwa: Islam) bukanlah sekedar usaha memperbanyak pengikut ajaran
tertentu, tetapi mesti melampaui nilai-nilai kuantitatif, yakni misi
kemanusiaan. Itu berarti, setiap kita mesti memiliki keberanian untuk bangkit
berdiri dari kursi sandaran dogmatisme yang kaku dan bergerak keluar menuju ruang-ruang
asing keberbedaan, bergerak menuju ruang perjumpaan, bukan untuk mencari mana
yang benar dan mana yang salah, melainkan mengakui keberbedaan itu, menerimanya
dan menimba makna atau nilai-nilai baru dalam sebuah proses dialog.***
09.05.2018
No comments:
Post a Comment