PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

05 June 2018

MENYEMBUHKAN FANATISME: BELAJAR DARI PAULUS


MENYEMBUHKAN FANATISME: BELAJAR DARI PAULUS

Amos Oz – seorang penulis Israel – dalam bukunya „Wie man Fanatiker kuriert“ (Bagaimana menyembuhkan orang fanatik) menyuguhkan sebuah kisah dari Yerusalem – kota yang tidak hanya terkenal dengan keberagaman agama, tetapi juga fanatismenya:

Seorang religius duduk dalam sebuah Caffee di pinggiran jalan ketika sosok seorang kakek menghampirinya. Lelaki tua itu mencoba memanfaatkan momen pertemuan itu dengan mengajukan deretan pertanyaan: Siapa yang memiliki iman yang paling benar? Katolik atau Protestan? Kaum Muslim atau Yahudi? „Untuk mengatakan ‚Kebenaran‘ kepadamu, Allah memberikan jawaban: ‚Saya bukanlah religius, dan saya tidak pernah seperti itu. Dan agama bukanlah hal yang menarik untukku“.

Paulus, sang misionaris agung dan pemikir, menaruh perhatian yang besar pada agama. Ada yang membaptisnya sebagai fundator kekristenan, namun ada pula yang meragukan, bahwa Paulus juga mengusung agama yang serupa diwartakan Kristus (Christentum). Teolog Alfred Loisy yang adalah juga penganut modernisme di Prancis menulis pada tahun 1914, bahwa Yesus – yang kepadaNya Paulus berbalik/bertobat – adalah bukan Pewarta Kerajaan Allah. Relativisme dogma kekristenan ini tentu „menggangu“ gereja, secara khusus para teolog dan tema ini sebagaimana juga pertanyaan-pertanyaan kritis tentang historisitas Yesus tetap menjadi persoalan historis-teologis yang tak tuntas dijawab.

Paulus dan Yesus memiliki latar belakang keluarga dan biografi yang tentu berbeda: Yesus adalah (anak) seorang tukang kayu, memiliki relasi sosial dengan orang-orang kecil dan yang dikucilkan dari lingkaran masyarakat, bahkan Ia disebut sebagai sahabat para pendosa. Berbeda dengan Yesus, Paulus adalah seorang intelek Yahudi diaspora. Ia datang dari metropolitan Tarsus – sebuah kota pelabuhan dan pusat dagang, serta menjadi kota ilmu pengetahuan karena di tempat ini terdapat banyak sekolah dan universitas. Oleh karena kemampuan intelektualnya Paulus terjun aktif dalam gerakan kaum farisi dan dengan demikian ia mendapatkan akses yang mudah untuk menjadi elit agama di kalangan Yahudi. Latar belakang kehidupannya yang kuat ditempa dalam dan berdasarkan hukum-hukum Yahudi pun menjadikan Paulus sebagai sosok yang taat hukum dan menolak iman kekristenan yang percaya pada Mesias yang disalibkan. Tidak hanya berhenti pada sikap penolakan ajaran kekristenan, Paulus bahkan mengejar dan membunuh para pengkikut Kristus dan ajaran-Nya.


Damaskus: Jalan Pulang Pertobatan

Dalam surat-suratnya, Paulus tidak secara gamblang atau detail mengulas salah satu episode kehidupannya ini, yang adalah bab penting dari narasi kehidpannya. Namun secara berani ia mengakui dengan menyebutkan dirinya sebagai „penganiaya jemaat“ (Fil. 3: 6), dan „tanpa batas“ mengejar dan menganiaya jemaat Allah dan membinasakannya (Gal. 1:13). Kisah Para Rasul tampaknya lebih lugas mengulas episode „pulangnya“ Paulus ke Damaskus: Paulus menangkap laki-laki dan perempuan, menjeblosklan mereka ke dalam penjara dan menyesah mereka (Kis. 22:4,19). Bahkan ia mengiyakan jika mereka dihukum mati dan mengejar mereka sampai ke kota-kota asing (Kis. 26:10-11). Apakah semuanya ini dilakukan Paulus atas perintah imam kepala  - meskipun dalam ayat 10 ditemukan „ […] aku memperoleh kuasa dari imam-imam kepala, […] - , hal ini masih menyisahkan diskusi dalam teologi. Namun pasti, bahwa orang-orang Kristen takut kepada Paulus, bahkan setelah Paulus sendiri mengakui  bahwa ia telah melihat Kristus, para pengikur Kristus itu masih juga menyimpan ketakutan dalam hati dan pikiran mereka. Para murid di  Yerusalem pun tidak yakin, bahwa Paulus adalah juga seorang murid saat ia ingin menggabungkan diri dengan mereka. (bdk. Kis. 9:26). Ini tentu bukanlah hal yang mengeherankan karena mereka berhadapan dengan seorang yang fanatik seperti Paulus yang  - bagi mereka - belum memberikan contoh konkrit dari pertobatannya selain dari pada mendengar dan berusaha memahami.

Paulus sendiri berbicara tentang panggilannya (Gal. 1:15), sementara Kisah Para Rasul melukiskan kisah pertobatannya.  Dalam perjalanannya ke Damaskus ia mendapat penglihatan yang mana meruntuhkan „kenisah ajaran religiosotas“ dalam dirinya. Damaskus, sebagaimana Ekseget asal Swiss, Daniel Marguerat, adalah pewahyuan sebuah pembungkaman; namun bukan Paulus yang membungkamnya, melainkan agama. Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, Paulus menegaskan, bahwa ia sama sekali tidak cacat dalam mentaati hukum taurat. Hukum ini sama sekali tidak dapat menggagalkan hukuman mati di salib yang dijatuhkan atas Yesus. Apa yang ditulis Paulus ini tidak ditujukan pekada kaum Yahudi, karena ia tahu hal itu berbahaya. Kaum Yahudi begitu pula Yunani telah sia-sia berusaha mengerti dan melukiskan Allah. Baik kesalehan-kesalehan yang termuat dalam kitab Tora maupun kebijaksanaan-kebijaksanaan Yunani, semuanya tampak tidak cukup menggambarkan atau memahami Tuhan. Paulus sendiri telah mengalami suatu peristiwa yang sangat personal dalam hidupnya, suatu peristiwa di luar dugaannya: Tuhan „menangkapnya“ dan menjadikannya „tumbang“. Dalam diri Paulus dan lewat peristiwa yang dialaminya, agama kaum pembenci dan orang saleh yang dengki diruntuhkan dan dilumpuhkan. Dan kisah pertobatannya ini pun menjadikan Paulus sebagai seorang pewarta Injil yang seditikit „fanatik“.

Dari kisah Paulus yang adalah seorang intelek atau ahli dalam hukum Taurat  kita melihat bahwa agama  - apalagi yang radikal - sama sekali tidak menyembuhkan seorang fanatik. Agama justru semakin memelihara subur benih-benih fanatisme dan radikalisme. Perjumpaan langsung dengan „yang lain“ di luar diri dan kelompok (agama) dengan segala „keberlainan“ mereka justru menjadi resep atau terapi mujarab penyembuhan fanatisme. Berkutat hanya pada hukum-hukum agama sendiri dan berusaha sekuat tenaga dan dengan segala cara menarik sebanyak mungkin orang masuk dalam lingkaran kita, akan menggiring kita kepada „misi kolonial“ atau terorisme. Pemahaman tentang misi baik dalam kristen atau agama lain (dakwa: Islam) bukanlah sekedar usaha memperbanyak pengikut ajaran tertentu, tetapi mesti melampaui nilai-nilai kuantitatif, yakni misi kemanusiaan. Itu berarti, setiap kita mesti memiliki keberanian untuk bangkit berdiri dari kursi sandaran dogmatisme yang kaku dan bergerak keluar menuju ruang-ruang asing keberbedaan, bergerak menuju ruang perjumpaan, bukan untuk mencari mana yang benar dan mana yang salah, melainkan mengakui keberbedaan itu, menerimanya dan menimba makna atau nilai-nilai baru dalam sebuah proses dialog.***

09.05.2018


No comments:

Post a Comment