BLIKOLOLONG:
MANUSIA PEMULUNG MENJADI PEMULUNG
MANUSIA
Vianey Lein*
Belum lama ini
Metro TV dalam program talk shownya Kick
Andy menampilkan seorang narasumber yang terkenal dengan kesederhanaan hidup
namun kisah hidupnya kaya makna dan menjadi inspirasi bagi banyak orang. Ia
adalah Yoseph Orem Blikololong, seorang pemulung asal NTT, sekaligus pendiri
sekolah gratis. Televisi CNN Indonesia pun mengeksplorasi biografi Blikololong dalam
program featurenya Heroes. Sosok
Blikololong dan kisah hidupnya lantas menjadi viral di media. Jauh sebelum itu,
media Kompas pada November 2016 silam
juga telah mengulas pria yang telah mendirikan PAUD Peduli Kasih dan SMP Surya
Mandala ini. Tulisan ini tidak lagi mengisahkan kembali jalan panjang
pengabdian seorang Blikololong dalam dunia pendidikan tetapi merupakan sebuah
„pembacaan“ atas kisah hidup yang telah ditulisnya – tidak hanya dengan
kata-kata, tetapi lebih dari itu dengan aksi nyata sebuah pelayanan dan
pengorbanan.
Pemulung dan Sampah
Sudah hampir
pasti bahwa kata „pemulung“ senantiasa diasosiasikan dengan sampah, yang
terbuang karena tidak dibutuhkan lagi, yang kotor atau jorok. Asumsi ini lalu
menempatkan pemulung sebagai profesi yang tidak diingini dan memulung sampah sebagai
aksi kerja yang dipandang rendah dalam sosialitas manusia.
Dewasa ini tema
sampah menjadi salah satu kajian penting dalam wacana ekologi, artinya mengacu
pada pola produksi dan konsumsi manusia yang menghasilkan sampah; dan tentu
habitus hidup yang tidak berkesadaran ekologis. Oleh karena itu, sejarah sampah
adalah sejarah manusia; dan sebaliknya dalam berbagai fenomena pencemaran
lingkungan dengan membuang sampah tidak pada tempatnya, boleh dikatakan, bahwa
sejarah manusia adalah sejarah sampah. (Dan mesti juga diakui, bahwa para sejarahwan
juga menggunakan sampah dalam penelitian historis mereka tentang suatu kelompok
masyarakat, misalnya pecahan piring atau logam. Dengan demikian, perunutan
sejarah manusia adalah sebuah ‚antropologi sampah‘. Spangenberg: 1994). Sebagai
hasil buangan dari tindakan produksi dan konsumsi manusia, sampah bisa jadi
membahayakan hidup manusia (kesehatan) dan menghancurkan lingkungan alam. Dalam
pemahaman ini, pemulung – terlepas dari peran petugas kebersihan – sesungguhnya
juga berperan penting dalam usaha menjaga kebersihan serta mengambil bagian
dalam proses daur ulang sampah selama masyarakat kita belum sampai pada
kesadaran dan kebiasaan memisahkan sampah, seperti sampah plastik, kertas, dan
sampah organik.
Menjadi Pemulung Manusia
Pilihan untuk menjadi
pemulung mengharuskan Blikololong turun ke jalan-jalan dan lorong-lorong kota
Kupang, pertokoan dan pasar. Material sisa hasil produksi dan konsumsi adalah
objek perjumpaan dalam dunia profesinya. Pada saat yang sama Blikololong juga
berjumpa dengan anak-anak jalanan yang tidak ke sekolah dan menjadi kondektur
mobil. Momen-momen perjumpaan itu menggerakan nuraninya untuk berbuat sesuatu
bagi anak-anak, meski dengan segala keterbatasan yang ada. Keberanian untuk
bermimpi dan tekad untuk berjuang menghantarnya sukses mendirikan dua sekolah
sekolah gratis: PAUD Peduli Kasih dan SMP Surya Mandala.
Tingginya angka
putus sekolah dan ketidaksanggupan orang tua untuk menyekolahkan anak karena
biaya pendidikan yang tinggi adalah potret buram pendidikan di NTT. Per tahun
terhitung 6.800 orang putus sekolah (ACDP Indonesia 2015). Mereka adalah
anak-anak yang terbuang dari rumah pendidikan karena persoalan ekonomi yang
melilit hidup. Anak-anak yang tidak sekolah secara tidak langsung merupakan
produksi dari sistem kapitalisme yang memungkinkan penumpukan harta di pihak
yang kuat dan pemiskinan pada pihak yang lemah karena kalah dalam persaingan
pasar bebas. Sistem pemerintahan yang korup sesungguhnya juga turut mematikan
gerak langkah anak-anak di dunia pendidikan. Bahkan dunia pendidikan pun
menjadi lahan subur bagi para koruptor lewat penyelewengan anggaran DAK (Dana
Alokasi Khusus) dan BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Meski korupsi tidak bisa
langsung melahirkan kemiskinan, namun ia memiliki konsekuensi langsung terhadap
faktor-faktor management pemerintahan, termasuk perekonomian dan pendidikan.
Perjuangan Blikololong dalam mendirikan
sekolah gratis mesti dilihat sebagai suatu kritik keras terhadap pemerintah,
khususnya Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga. Selain sebagai aksi
kemanusiaan, tindakannya juga merupakan sebuah provokasi di bidang pendidikan. Apresiasi
yang terus mengalir belum cukup membayar nilai perjuangan dan pengorbanan
seorang pemulung yang mendirikan sekolah gratis. Yang terpenting adalah ketergerakan
hati untuk berjuang dan mengabdi secara jujur dan tulus bagi pendidikan di NTT,
khususnya bagi anak-anak yang tidak mampu dan putus sekolah. Inilah gerakan
literasi yang sesungguhnya yang akhir-akhir ini gemar digaungkan. Ia tak
mengerus keuntungan finansial dari apa yang diperjuangkan; bahkan ia dan
keluarga sendiri yang Blikololong bukanlah pemulung biasa. Ia tidak hanya
manusia pemulung, tetapi lebih dari itu, ia adalah pemulung manusia, yakni
anak-anak terlantar dan tidak bersekolah sebagai „tumpukan“ dari berbagai
persoalan ekonomi dan sosial. Mereka dikumpulkannya, diberikan rumah pendidikan
gratis sebelum masa depan mereka menjadi sampah dan hancur.
*Warga NTT, tinggal di Jena - Jerman
01 Agusutus 2017
Keterangan Foto: Yoseph Blikololong
Sumber: ©Netz.id dan gorontalo.antaranews.com
No comments:
Post a Comment