HIDUP ANTARA DATANG DAN PERGI
Julia,
Rotasi kehidupan kita dalam sebuah
pemahaman tentang waktu yang siklis adalah sebuah pengulangan fenomena transformatif
yang selalu datang kembali sebagaimana yang terlihat pada kosmos; entah itu
kita sadari atau tidak. Dan seperti alam, hidup (seyogianya) adalah sebuah
proses penciptaan, sebuah siklus perubahan yang mengisyaratkan sekaligus
menghubungkan gerak-gerak perubahan atau aksi seperti: kembali/berbalik, beralih,
berlalu, kemenjadian, penghancuran dan membangun kembali, hembusan dan tarikan nafas,
juga kelahiran dan kematian. Dan siklus perubahan itu adalah sebuah seruan atau
„panggilan“ buat kita untuk berkata YA atas hidup dan kehidupan.
Julia,
Baru saja kamu mengakhiri sebuah
episode kehidupan; dan kini hendak membuka lembaran baru yang mungkin belum
saatnya kamu ingini. Mungkin kamu merasa seperti didesak untuk meninggalkan apa
yang hingga saat ini masih melekat, tidak saja di tapak-tapak peziarahanmu,
melainkan juga di kisi terdalam hidupmu – di hatimu; apalagi ketika dirimu
tidak dimintai jawaban, apakah kamu mau menerimanya. Dalam ketegangan seperti
ini, kita mesti menyadari, bahwa manusia sering mengurung diri dalam zona-zona
nyaman kehidupan dan enggan keluar darinya untuk mencari sesuatu yang baru,
masuk ke dalam ruang-ruang perubahan. Justru dalam sikap kesiap-sediaan atau
pergerakan keluar dari zona nyaman yang terlampau kita cintai sehingga berat
untuk ditinggalkan, kita justru memberi „kemungkinan“ untuk sebuah perkembangan.
Siap untuk sebuah „perkembangan“ berarti
berusaha menangkap peluang yang tidak bisa – atau mungkin enggan - dilihat oleh
banyak orang.
Julia,
Perubahan atau perkembangan sebagai
suatu awal yang baru juga senantiasa membahasakan aspek lain dari kehidupan,
yakni perpisahan atau pergi meninggalkan. Dan perpisahan selalu menjadi drama
kehidupan yang sulit untuk diterima dan kelak membuat kita lelah oleh beban
rindu yang menumpuk di kepala. Sejak awal, sejarah kehidupan iman kita pun ditulis
dalam alur cerita „awal yang baru“, „pergi-meninggalkan“, „perpisahan“. Abraham,
Bapa Bangsa itu, oleh karena „panggilan“ Allah, rela meninggalkan Mesopotamia yang
subur dan pergi ke negeri yang dijanjikan Allah, Kanaan. Dalam ketidakpastian
manusiawinya akan „yang dijanjikan“, Abraham toh siap meninggalkan sanak
keluarga oleh karena imannya akan Allah yang memanggil. Begitu pula dengan kisah
Nabi Nuh yang atas „perintah“ Allah, rela meninggalkan bahtera yang dibangunnya
bertahun-tahun. Lebih lanjut, juga dalam kisah Perjanjian Baru, Yesus tidak
hanya meninggalkan Allah Bapa-Nya, Maria dan Yosef, sanak keluarganya, melainkan
juga „menanggalkan“ ke-Allah-an-Nya untuk dekat dengan manusia yang sakit dan
berdosa. Dan kini, kamu yang adalah pengikut-Nya, ditantang untuk „bergerak keluar“
dari „bahterah“ yang telah bertahun-tahun lamanya kamu bangun, untuk berlayar „ke
tempat yang lebih dalam“. Hanya dengan „kerelaan meninggalkan“ itulah, kamu akan
merasa bebas untuk berlayar ke samudera panggilan yang baru, menyelam ke dasarnya
untuk menimba mutiara kehidupan yang tersembunyi bagi banyak orang, juga bagi
aku. Kamu telah mengemas segala barang di kamarmu, menge-paknya dalam koper,
tas maupun karton. Kiranya, momen itu juga menjadi tanda keberanian dan kesediaan
dirimu untuk melangkah ke pintu rumah
baru „perubahan“ sambil tetap meneteng diri dan menggenggam tanggung jawab.
Julia,
Aku tahu, bahwa sebuah keputusan yang
dibuat orang lain lalu diletakkan pada pundak kita untuk suatu yang baru, sering
berbentur pada pilihan pribadi dan penolakan. Namun, jauh lebih dari itu, „keputusan
terbesar dan terpenting dalam hidup adalah, bahwa kita SANGGUP mengubah hidup,
dan dengan itu kita mengubah sikap hidup“, demikan Filsuf dan Teolog Albert
Schweitzer (1875-1965).
Aku yakin, kamu memiliki kesanggupan
itu, karena kamu telah berhasil „mecintai tanpa memilikinya“ dalam genggaman
atau dekapanmu. Karena bagi kita, buah-buah dari cinta dan persahabat adalah
mutiara paling berharga. Tempat, rumah, kamar, bahterah yang mesti kamu tinggalkan
sekarang tidak lagi menjadi milikmu sebagai „pribadi“. Namun dalam memori hidup
dan kehidupan, semuanya itu menjadi bagian dari dirimu. Segala apa yang pernah
terjadi di sana adalah apa yang turut membentukmu menjadi sekarang ini,
termasuk menjadikanmu SIAP untuk suatu yang baru.
Seperti musim gugur yang sebentar
lagi datang, yang juga rela meranggaskan daun-daun agar kembang musim semi kelak
mekar, kita mesti selalu siap untuk segala kemungkinan perubahan dalam siklus
kehidupan.
Selamat berlayar ke samudera yang baru!
Semoga matamu tetap membiru
Memandang ombak dan gelombang menderu
Sambil tetap mendengar DIA yang berseru
Di antara harap doa dan cemas bertalu
Kita masih satu perahu
(Vian Lein-Akhir September 2018)
Bilder:
©diapordiamesupero.com
No comments:
Post a Comment