NIREN DAN
CINTA YANG MENDOA
Niren,
sepotong nama yang selalu menumpuk rindunya di tekuk lutut,
menyimpan rapat-rapat dalam katup tangan cinta yang
pernah memanggilnya
tak pernah lalai nama „Kopong“ melengking dari bibir
mungilnya
bersama ayat-ayat mazmur dan bait kidung. Dan „Kopong“
sendiri pun begitu yakin,
bahwa Niren – pujaan hatinya tak pernah alpa untuk
itu. „Buat apa aku harus menipu suara
hati, apalagi menipu Dia yang aku percaya penuh, bahwa kita pernah saling
mencintai
dan akan selalu mencintai“, begitu sekali Niren
mengingatkan „Kopong“.
Bagi Niren, „Kopong“ adalah lirik-lirik doa yang
paling dia cintai; karena itu, berdoa adalah caranya ia mencintai „Kopong“. Sebaliknya
Niren bagi „Kopong“ adalah puisi terindah dalam hidupnya,
syair yang senantiasa memberi warna baru dalam
petualangan imajinatifnya,
sosok yang selalu menginspirasi – bukan hanya dalam
lautan puisi,
tapi juga dalam pelayaran hidup dengan seluruh pasang
surutnya.
Niren,
aku tahu, rindu di tekuk lututmu kian berat bersama
bertambahnya waktu penantian yang menindih, belum lagi ruang jarak yang
mengurung kita menjadi sendiri-sendiri.
Tapi dalam seluruh pergumulan itu, ingatlah selalu
bahwa Dia Yang Maha Cinta
senantiasa menjaga aku untukmu, dan engkau untukku. Aku
bersyukur dan bahagia,
bahwa kita saling mencintai; aku bersyukur bisa
mengenal dan memilikimu – ya memilikimu seumur hidupku, meski itu dalam
ruang-ruang jarak keterpisahan. Dalam ruang-ruang itulah kita juga bertemu,
dalam kamar-kamar doa dan bilik-bilik puisi.
Ketika engkau mendoakanku, mendoakan kita, engkau
sesungguhnya sedang memelukku, dan bersama Dia engkau menjagaku dari jauh. Dan
dalam setiap larik yang kusetubuhi di bilik puisi, aku juga memelukmu di sana,
mencium dan menjagamu, selalu… seperti runtuhan kata yang kupungut di bilik
puisi dan membikinnya abadi.
Niren,
Logos yang kau
tanam di matamu sebentar lagi akan bermekar di bibir dan dadamu,
selepas musim-musim meditasi dan petualangan intelektual yang
mengendus ubun-ubun.
Sementara aku masih terus dengan puisi sebagai
kontemplasi tentang Yang Ada dan meng-Ada, tentang aku dan kamu. Terkadang ada
kecemasan, bahwa engkau kelak melupakanku di ujung pematang ladang yang kau
panen. Mungkin kamu berpikir, seorang pembajak tidak boleh memandang ke
belakang – sebagaimana Sabda yang kau dengar.
Jika memang engkau tak ingin lagi memandangku,
tapi paling kurang ingatlah aku, ingatlah cinta kita. Tapi sesungguhnya aku
tidak ada di belakangmu. Yang di belakang hanyalah jejak-jejak kenangan yang
tak semestinya kita lenyapkan. Kamu tahu Niren, aku di sampingmu, berjalan
bersamamu. Bawalah aku kemana pun kakimu melangkah, bawalah cintaku di mana pun
kamu berada, meski aku sadar, cintamu kepadaku tak boleh lebih besar dari cintamu
kepada Dia yang kau ikuti. Dan namamu akan terus kupanggil-panggil dalam
bilik-bilik puisiku karena aku tahu, di sana kau ada.
Dari
Bilik Puisi
|
Foto: EKD |
No K o p o n g
VL_19.01.218