PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

31 January 2018

ANGIN BULAN JANUARI

ANGIN BULAN JANUARI*

Adakah yang lebih geram

Selain angin bulan Januari

Ditelanjangi bulir-bulir birahinya

Kepada pohon-pohon yang meranggas d(g)aunnya

Meremas-remas badai di selangkangan

Kepada bunga-bunga kampung perawan

meliuk-liuk puting (beliung) yang seksi

menggusur dalam bagai gasing

di kamar-kamar gelap


Adakah yang lebih licik

Dari angin bulan Januari

Ditinggalkannya jejak-jejak puing reruntuhan

Tergeletak bisu di atas jalan itu

Adakah yang lebih gila

Dari angin bulan Januari

Melucuti segala topeng penuh luka

Melumat bibir bibir berbelit dusta

Lari terbirit-birit keluar masuk rumah yang sakit lambungnya

Karena pondok-pondok persalinan sudah patah kakinya

Menopang lumbung-lumbung yang kemarau


Adakah yang lebih nafsu

Dari angin bulan Januari

Ditidurinya rumah-rumah

Dan pohon-pohon di sepanjang jalan?


VL_30.01.2018

*bdk. Puisi Sapardi Djoko Damono „Hujan bulan Juni“
Ilustrasi Gambar: Pixabay

ANGIN DAN DAHAN

ANGIN DAN DAHAN
Untuk Larantuka

Julia, 
Hari ini angin mengirim kabar
Tentang dahan yang patah
Setelah kemarin mereka bertengkar
Tentang camar yang mati dipanah

„Mengapa engkau tak mengubah 
arah anak-anak panah
Sebelum mereka menembus sangkar?“,
Tanya dahan dengan urat gemetar
„Mataku dan mata panah kadang tak searah
Dan busur mereka membuncit angin serakah.
Lalu, mengapa tak kau sembunyikan camar 
di balik rahasia wajah daun dan rambutmu yang belukar?“, 
„Semuanya telah ditebas luka, rontok di musim-musim yang membakar, 
dan aku pun akan segera digusur
setelah lengan-lenganku patah menimang petir
dan kakiku tak kuat lagi menopang kemarau yang selalu 
bertengger di pucuk-pucuk nasib yang layu
sebelum mekar seperti dahulu

VL_30.01.2018

Ilustrasi Gambar: Scott's Blog

19 January 2018

NIREN DAN CINTA YANG MENDOA

NIREN DAN CINTA YANG MENDOA

Niren,  sepotong nama yang selalu menumpuk rindunya di tekuk lutut, 
menyimpan rapat-rapat dalam katup tangan cinta yang pernah memanggilnya
tak pernah lalai nama „Kopong“ melengking dari bibir mungilnya
bersama ayat-ayat mazmur dan bait kidung. Dan „Kopong“ sendiri pun begitu yakin, 
bahwa Niren – pujaan hatinya tak pernah alpa untuk itu.  „Buat apa aku harus menipu suara hati, apalagi menipu Dia yang aku percaya penuh, bahwa kita pernah saling mencintai 
dan akan selalu mencintai“, begitu sekali Niren mengingatkan „Kopong“. 
Bagi Niren, „Kopong“ adalah lirik-lirik doa yang paling dia cintai; karena itu, berdoa adalah caranya ia mencintai „Kopong“. Sebaliknya Niren bagi „Kopong“ adalah puisi terindah dalam hidupnya, 
syair yang senantiasa memberi warna baru dalam petualangan imajinatifnya, 
sosok yang selalu menginspirasi – bukan hanya dalam lautan puisi, 
tapi juga dalam pelayaran hidup dengan seluruh pasang surutnya.

Niren, 
aku tahu, rindu di tekuk lututmu kian berat bersama bertambahnya waktu penantian yang menindih, belum lagi ruang jarak yang mengurung kita menjadi sendiri-sendiri. 
Tapi dalam seluruh pergumulan itu, ingatlah selalu bahwa Dia Yang Maha Cinta 
senantiasa menjaga aku untukmu, dan engkau untukku. Aku bersyukur dan bahagia, 
bahwa kita saling mencintai; aku bersyukur bisa mengenal dan memilikimu – ya memilikimu seumur hidupku, meski itu dalam ruang-ruang jarak keterpisahan. Dalam ruang-ruang itulah kita juga bertemu, dalam kamar-kamar doa dan bilik-bilik puisi. 
Ketika engkau mendoakanku, mendoakan kita, engkau sesungguhnya sedang memelukku, dan bersama Dia engkau menjagaku dari jauh. Dan dalam setiap larik yang kusetubuhi di bilik puisi, aku juga memelukmu di sana, mencium dan menjagamu, selalu… seperti runtuhan kata yang kupungut di bilik puisi dan membikinnya abadi.

Niren,
Logos yang kau tanam di matamu sebentar lagi akan bermekar di bibir dan dadamu,
selepas musim-musim meditasi dan petualangan intelektual yang mengendus ubun-ubun. 
Sementara aku masih terus dengan puisi sebagai kontemplasi tentang Yang Ada dan meng-Ada, tentang aku dan kamu. Terkadang ada kecemasan, bahwa engkau kelak melupakanku di ujung pematang ladang yang kau panen. Mungkin kamu berpikir, seorang pembajak tidak boleh memandang ke belakang – sebagaimana Sabda yang kau dengar.

Jika memang engkau tak ingin lagi memandangku, tapi paling kurang ingatlah aku, ingatlah cinta kita. Tapi sesungguhnya aku tidak ada di belakangmu. Yang di belakang hanyalah jejak-jejak kenangan yang tak semestinya kita lenyapkan. Kamu tahu Niren, aku di sampingmu, berjalan bersamamu. Bawalah aku kemana pun kakimu melangkah, bawalah cintaku di mana pun kamu berada, meski aku sadar, cintamu kepadaku tak boleh lebih besar dari cintamu kepada Dia yang kau ikuti. Dan namamu akan terus kupanggil-panggil dalam bilik-bilik puisiku karena aku tahu, di sana kau ada.

Dari Bilik Puisi
Foto: EKD

No  K o p o n g

VL_19.01.218

18 January 2018

BALI DAN KITA

BALI DAN KITA

Julia,
semalam aku melihatmu di Bali
berjalan dengan kaki telanjang
dan senyummu yang basah di bibir pantai
menetes hingga ke tilam remang 
Mengajakku berenang ke laut Bali

Tapi kita ragu-ragu

Pada ombak yang terus merayu

Jejak kita terhapus 
Juga wajahmu yang malu-malu
Mungkin di sini kita tak harus bertemu
Atau juga saling menunggu 
Tapi di sini, di hamparan kenangan dan doa-doa yang selalu

Julia,

Kau yang tak habis kucintai,
Aku tak ingin kau berlalu
Kusembunyikan kau dalam puisi
Dan ke Bali aku akan kembali
Membacakan bait-bait ini 
Kepada ombak, kepada pantai 
Kepada mimpi yang membawamu ke sini

VL_17.01.2018

Foto: Bali Golden Tour_Kuta Beach


SARAPAN MUSIM DINGIN

SARAPAN MUSIM DINGIN

Foto: Jagung Titi_Pictame
Julia, 
ijinkan aku larutkan wajahmu 
dalam secangkir kopi pagi ini
juga sehelai jiwamu 
ingin kukecap pada sekerat roti

Aku tak lagi punya „jagung titi“
Karena tungku telah lama sepi dipadam zaman
Dan tembikar warisan itu telah dibawa pergi
Di lahan petani telah ditabur benih-benih onani
Orgasme politik penuh utopi

Sejak itu ibu hanya menanak batu
Merebus nasib nasib yang pahit membeku
Memanggang sisa-sisa mimpi yang basi 
Dan ayah hanya mencangkul matahari
Karena hujan terperangkap di lubang tambang penuh benalu

Julia,
Terima kasih kamu telah membuat pagiku hangat 
Ketika sisa-sisa mimpi membuat kopiku terasa dingin dan pahit
Semoga aku menjumpai lagi wajahmu di dasar cangkir kopi
Di mulut cangkir aku menanti 
Dengan bekas bibirmu yang masih melekat

VL_17.01.2017

*Jagung titi: makanan khas masyarakat Flores Timur dan Lembata; biasanya dihidangkan saat sarapan dan saat minum sore, juga sebagai hidangan untuk para tamu: biasanya dihidangkan bersama sayur rumpu rampe (daun singkong, bunga pepaya, buah pepaya, dll yang ditumis). Bahan dasar jagung titi adalah jagung yang disangan dalam tembikar tanah lalu dipipihkan dengan lempeng batu (Besar dan kecil). Disebut „Jagung titi“ karena dipipihkan secara manual dengan tengan manusia. 

17 January 2018

LAUT DI SUDUT MATAMU

LAUT DI SUDUT MATAMU

Julia, 
tak sulit kubayangkan ada laut di sudut matamu
ingin sekali aku berlayar ke sana, ke samudera luas
di balik selaput jala, meski ombak kian buas dan angin semakin ganas 
menghantam jala-jala cinta yang kutebar dari perahu rindu
Entah suara apa yang memangilku, melaut ke matamu membiru
Mungkin matamu yang senantiasa memandang tanpa batas 

Aku tahu, engkau senantiasa memilih tak peduli
Menggaram sayat-sayat rindu, tergores di garis pantai jarak 
Membungkam ayat-ayat syahdu, menetes dari bibir lupa berkerak

Engkau mungkin tak tahu, biduk ini masih berlayar mencari 
Menyisir pantai-pantai imaji liar, berserak antara pasir dan  karang
Bersyair tentang badai-badai bertempiar, bersajak tentang air dan Padang

Julia, 
jangan kau sembunyikan laut di balik matamu
biarlah ia menjadi pelayaran kita menuju entah 
Meski nanti „bero patah pendayong“, yakin di „Ujong Aro“ kita bertemu
Meski „hati tepele tanjong“, „inga se selamanya hati torang hatu“

VL_17.01.2018

-          „Bero patah pendayong“: perahu yang patah pendayung (bdk. Lagu Vivi Nor „Kita Rela)
-          „Ujong Aro“: ujung arus (bdk. Lagu Fajar Band „Janji Ujong Aro)
-          „Hati tepele tanjong“: hati terpeleh tanjung
-          „inga se selamanya hati torang hatu“: ingatlah selalu, selamanya hati kita satu

Foto: @Künstlerin_Bettina Hilker_Künstlerplattform ShowYourArt

08 January 2018

Menanti – Menjemput

Menanti – Menjemput


Di alun-alun ini aku datang lagi menjemputmu
Dengan rintik-rintik adventus Desember 
Mengalir menuju palung jiwa yang adalah sumber
Muara yang selalu dirindu untuk bertemu

Dan seperti pilar-pilar
Engkau menanti tegar
Menggendong waktu yang kau kandung sendiri
Di rahim purba memadat nyeri

Ke kotamu aku datang
Dan kepadanya aku pulang
Membawa hati yang telanjang

VL_Alun-alun Basilika St. Petrus, Roma, Desember 2017

AKU KEPADA ENGKAU

AKU KEPADA ENGKAU

Julia,
aku masih saja percaya pada angin 
pada sungai yang menghanyutkan segala tanya 
hingga kini aku tiba pada diam perhentian 
mencoba menangkap melodi yang kau getarkan pada awan
dengan sepasang bibirmu menawan

Di Alpen angin terus mengirim salju
Di hilir orang-orang mencari garam 
Aku tak ingat: apa yang mesti kubawa nanti malam 
Agar matamu tak lagi kelam 
Menelan jarak-jarak dituju

Dari rumah lahir kukirimkan kau puisi
Tentang denting piano dan gesek biola
Memantul pada karang dan sungai 
Karena kutahu di sana kau ada
Tempat kita mencari arti:
Barangkali,
Aku kepada Engkau adalah tangga nada

VL_Salzburg, Desember 2017
Foto: Kota Salzburg (Kota Garam) @Vianey Lein








Circo Massimo

Circo Massimo

Foto: Circo Massimo @Corriere Della Sera Roma
Selamat datang para penonton 
Di gelanggang bisu Circo Massimo
Menatap wajah diri sendiri 
Di anak anak tangga yang runtuh 
Kita adalah penonton sekaligus pemain
Menyeret wajah wajah antara hitam putih
Hingga hilang di waktu yang entah
Untuk sebentar pamit pergi sendiri sendiri:

„Arrivederci“

VL_Circo Massimo-Roma, Desember 2017

Bocca della verità

Bocca della verità

Kau letakkan wajahku pada mulut kota 
Penuh hati hati
Gelisah dibangun, diketam katup mata

Di Bocca della verità
Kebenaran tak boleh mati 
Meski lidah berkali-kali kau cemeti
Pada punggung kata tak dusta

VL_ Bocca della verità – Roma, Desember 2017

03 January 2018

Meng-ada- antara Ruang dan Waktu

Meng-ada- antara Ruang dan Waktu
Catatan Akhir Tahun untuk Julia
Julia,
Detik-detik terakhir di tahun 2017 sebentar lagi akan berlalu menjadi masa lampau dan cerita hidup kita juga akan menjadi kenangan. Sang Waktu beranjak pergi menuju penggalan yang kita cipta, yang lama menuju titik akhir dan yang baru akan segera dimulai. Bersamaan dengan itu dimulai suatu momen permenungan  untuk memandang kembali peristiwa hidup yang telah dilewati (refleksi) serentak merenda harapan untuk masa depan. Lantas apa yang menjadi penting dari aktus „refleksi“ atas apa yang sudah dan akan segera berlalu dan apa yang segera dimulai? Untuk menyelami makna dari setiap pertiwa dan kemudian membahasakannya dalam kata atau kalimat, kita tentu membutuhkan suatu pemahaman tentang „waktu“. Konsep atau pemahaman tentang waktu itu harus melampaui setiap skala mekanistis atau matematis dari detik-detik yang berdetak. Waktu tidak boleh dipenjara dalam objektivikasi yang terukur dalam satuan detik, menit, jam, hari maupun tahun sebab ukuran waktu yang mengalir pergi (kronos) maupun yang berputar ulang dalam sebuah siklus menuju kembali (kairos) sama sekali tidak menjadi indikator dan implikasi tentang diri atau segala apa yang terjadi dalam waktu. Bukan soal berapa lama saya hidup hidup (aspek kuantitas) tetapi bagaimana saya menjadi subyek yang sadar dalam memaknai waktu (aspek kualitas).
Julia,
Pemahaman tentang waktu dengan segala fenomennya bisa kita lihat dalam berbagai disiplin ilmu dengan model pendekatan masing-masing. Sejarahwan memungut setiap kepingan kronologis perisitiwa hidup dari abad ke abad dan berusaha memberi definisi atasnya. Para psikolog mencoba menafsir aspek subjektivitas dari waktu yang dihidupi. Ada juga fisikawan legendaris Issac Newton  yang mengklaim bahwa waktu itu absolut, tetap dan tidak berubah. Waktu tak bisa dipercepat atau diperlambat. Namun teori absolutivitas tentang waktu ini kemudian dipatahkan oleh Albert Einstein dalam hukum relativitasnya: segala yang ada dalam alam semesta bersifat relatif dan berubah-ubah. Dalam petualangan intelektual mereka, para filsuf pun menghubungkan waktu dengan kesadaran manusia. Hakikat tentang „yang ada“ tak bisa dilepas-pisahkan dari konsep tentang waktu. Martin Heidegger menekankan hubungan ketersalingan antara meng-ada dan Waktu (Sein und Zeit) dalam refleksi filosofisnya tentang realitas. Itu berarti hidup adalah sebuah proses menjadi: kita tidak hanya memiliki waktu, tetapi lebih dari itu kita adalah waktu. Hidup kita adalah sebuah dialektika dari Haben (memiliki) menuju Sein (meng-ada). 
Julia, 
Mengingat kembali momen-momen perjumpaan kita setahun silam menghantarku kepada sebuah kesadaran, bahwa waktu adalah jalan menuju ruang hatimu, waktu adalah jarak rindu antara Aku yang di sini dan Kau yang di sana, ya waktu adalah Kita yang kemarin, hari ini dan esok nanti! Waktu memungkinkan kita masuk ke dalam ruang dunia sekaligus menjadi syarat pengenalan indrawi-manusiawi kita atas dunia dengan realitasnya. Oleh sebab itu, dalam usaha melihat kembali seluruh pengalaman (Wahrnehmen) kita tidak bisa dilepas-pisahkan dari Waktu karena Waktu itu sendiri adalah cara bagaimana kita memandang dunia kita. Waktu itu terberi secara a priori, demikian Immanuel Kant, Sang Filsuf yang pernah Kau sebut ketika pertama kali aku menjejakkan kakiku di tanah kelahirannya. 
Terkadang Aku – mungkin juga Kau – merasa mesti bersaing dengan waktu, mengejar dan bahkan memburunya untuk secepat mungkin meraih „titik sana“ yang kita baptis dengan „telos“ (tujuan). Semakin sering dan semakin cepat Aku mengejar dan memburu sang Waktu, Aku merasa Waktu itu berlalu begitu cepat. Atau sebaliknya Aku merasa dikejar sang Waktu, dimangsa olehnya, sebagaimana yang kita baca dalam mitologi Yunani tentang dewa Chronos yang merebut takhta dari ayahnya dan kemudian tega menelan semua anaknya sendiri, kecuali Zeus yang adalah representasi dari kekuasaan. Karena itu, siapa yang bisa memenangkan kekuasaan atas diri sendiri, ia juga akan menang atas waktu (Chronos). Butir-butir mutiara Waktu Chronos tersimpan jauh di dasar samudra luas pengalaman hidup. Siapa yang tidak memanfaatkan Waktu dengan sungguh-sungguh, belajar darinya dalam sebuah proses menjadi, akan ditelan oleh Chronos, seperti halnya siapa yang tidak mengenal dan mengobati akar dari setiap penyakit, kelak menderita sakit kronis. Kita mesti memperbahuri diri secara terus-menerus dan tidak boleh tenggelam dalam rutinitas banal karena nanti akan terdepak dalam ruang-ruang lelah yang kronis. Dalam konteks ini, hidup dapat kita pahami sebagai sebuah pencarian chronis tentang hakekat dari hidup itu sendiri yang ditempa dalam dimensi ruang dan waktu. Yang terpenting adalah sebuah kesadaran diri, tanpa takut, stress atau panik karena dikejar Chronos untuk dimangsa agar kita menjadi Sang Pemenang atas setiap ke-Akuan dan agresevitas diri.
Julia, 
Gambar: Form und Abbild Effenberger
Mungkin kamu lalu berpikir, waktu adalah musuh yang mesti diburu dan dibasmi. Tidak, Julia. Waktu Chronos hanyalah sisi lain dari Sang Waktu. Kita masih punya Kairos dengan sayap pada kakinya, sebagaimana karakternya sebagai kesempatan atau peluang yang datang dan pergi dalam sekejap. Siapa yang tak tangkas dan tepat mengatur waktu hidupnya akan ketinggalan Kairos. Dan sesungghunya dalam setiap pengalaman kejatuhan dan bangkit kembali yang tertunda, kita bukannya kehilangan waktu melainkan kehilangan kesempatan dan peluang. 
Tahun 2017 tentu memiliki kisah yang unik dan mengesankan, yang konyol dan menantang. Kita bersyukur atas setiap hidup baru, baik manusia maupun ekosistim di sekitarnya. Namun kita mesti juga tunduk  malu menepuk dada karena ada juga orang tua yang tega membuang bayi yang baru lahir dan bahkan membunuhnya. Seperti serigala, manusia tampil buas memangsa sesamanya – homo homini lupus – kita menjadi serigala bagi sesama. Tak hanya itu, lantaran nafsu yang tak pernah terpuaskan dan libido untuk menguasai yang mengalir di tubuh, kita secara membabi buta mencaplok dan mengeksploitasi kosmos secara tidak bertanggung jawab dan menjadikannya chaos. Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah aksi bunuh diri sebagai jalan pintas menyelesaikan setiap persoalan hidup atau bom bunuh diri sebagai misi heroik-religius dalam cangkang sempit terorisme dan radikalisme. Kita lalu bertanya, apa yang mereka yakini tentang „apa“ yang terjadi setelah kematian? Mereka lupa bahwa kita manusia sama sekali tak akan pernah bisa menghentikan atau membunuh waktu kekinian (Kairos) agar segera meraih masa akanan. Apa yang dapat (harap) dan mesti kita lakukan(tuntutan moral)  adalah bersyukur atas setiap waktu yang diberikan secara gratis (latin: Gracia=rahmat) sembari memberi makna pada setiap pengalaman hidup.  
Dalam rumah politik orang pun tak segan-segan menyikut sesama agar bisa meraih singgasana kekuasaan. Tujuan menghalalkan segala cara ala Niccolo Machiavelli pun di-dikete dalam setiap langkah politis dan format kepemimpinan. Tanpa malu-malu mereka mengusung isu agama untuk menggiring masyarakat dalam kandang radikalisme yang sempit dan jorok sehingga lupa bahwa Tuhan yang kita yakini itu satu dan sama. Tidak heran jika pada akhirnya bonum commune yang adalah cita-cita hidup bersama dalam rumah politik jauh panjggang dari api. Selama masa kepemimpinan mereka seperti diburu waktu untuk mencapai setiap kepentingan sektarian. 
Julia, 
Seiring bergantinya tahun 2017 ke 2018 mari kita haturkan syukur atas segala kesuksesan dan kebaikan yang telah kita alami. Kini kita berada di ambang 2018. Sesungguhnya Waktu yang kita namakan Tahun 2018 sudah kita mulai di masa lampau dan juga saat ini. „Yang lampau dan yang akanan berorientasi pada kekinian“ (F. Perls 1972, 111). Itu berarti, yang lampau dan yang akanan mesti senantiasa diperbaharui dalam kekinian. Itu yang kita namakan „proses menjadi“, cara meng-ada dalam ruang dan waktu. 
Selamat Tahun Baru 2018 dan selamat berjuang dalam proses menjadi!!!
Vianey Lein
Dalam Perjalanan Praha (Republik Ceko) – Dresden (Jerman), 31.12.2017