Meng-ada- antara Ruang dan Waktu
Catatan Akhir Tahun untuk Julia
Julia,
Detik-detik
terakhir di tahun 2017 sebentar lagi akan berlalu menjadi masa lampau dan
cerita hidup kita juga akan menjadi kenangan. Sang Waktu beranjak pergi menuju
penggalan yang kita cipta, yang lama menuju titik akhir dan yang baru akan
segera dimulai. Bersamaan dengan itu dimulai suatu momen permenungan untuk memandang kembali peristiwa hidup yang telah
dilewati (refleksi) serentak merenda harapan untuk masa depan. Lantas apa yang
menjadi penting dari aktus „refleksi“ atas apa yang sudah dan akan segera
berlalu dan apa yang segera dimulai? Untuk menyelami makna dari setiap pertiwa
dan kemudian membahasakannya dalam kata atau kalimat, kita tentu membutuhkan
suatu pemahaman tentang „waktu“. Konsep atau pemahaman tentang waktu itu harus melampaui
setiap skala mekanistis atau matematis dari detik-detik yang berdetak. Waktu
tidak boleh dipenjara dalam objektivikasi yang terukur dalam satuan detik,
menit, jam, hari maupun tahun sebab ukuran waktu yang mengalir pergi (kronos)
maupun yang berputar ulang dalam sebuah siklus menuju kembali (kairos) sama
sekali tidak menjadi indikator dan implikasi tentang diri atau segala apa yang
terjadi dalam waktu. Bukan soal berapa lama saya hidup hidup (aspek kuantitas) tetapi
bagaimana saya menjadi subyek yang sadar dalam memaknai waktu (aspek kualitas).
Julia,
Pemahaman tentang
waktu dengan segala fenomennya bisa kita lihat dalam berbagai disiplin ilmu
dengan model pendekatan masing-masing. Sejarahwan memungut setiap kepingan
kronologis perisitiwa hidup dari abad ke abad dan berusaha memberi definisi
atasnya. Para psikolog mencoba menafsir aspek subjektivitas dari waktu yang
dihidupi. Ada juga fisikawan legendaris Issac Newton yang mengklaim bahwa waktu itu absolut, tetap
dan tidak berubah. Waktu tak bisa dipercepat atau diperlambat. Namun teori
absolutivitas tentang waktu ini kemudian dipatahkan oleh Albert Einstein dalam
hukum relativitasnya: segala yang ada dalam alam semesta bersifat relatif dan
berubah-ubah. Dalam petualangan intelektual mereka, para filsuf pun
menghubungkan waktu dengan kesadaran manusia. Hakikat tentang „yang ada“ tak
bisa dilepas-pisahkan dari konsep tentang waktu. Martin Heidegger menekankan hubungan
ketersalingan antara meng-ada dan Waktu (Sein und Zeit) dalam refleksi
filosofisnya tentang realitas. Itu berarti hidup adalah sebuah proses menjadi:
kita tidak hanya memiliki waktu, tetapi lebih dari itu kita adalah waktu. Hidup
kita adalah sebuah dialektika dari Haben (memiliki)
menuju Sein (meng-ada).
Julia,
Mengingat
kembali momen-momen perjumpaan kita setahun silam menghantarku kepada sebuah
kesadaran, bahwa waktu adalah jalan menuju ruang hatimu, waktu adalah jarak rindu
antara Aku yang di sini dan Kau yang di sana, ya waktu adalah Kita yang
kemarin, hari ini dan esok nanti! Waktu memungkinkan kita masuk ke dalam ruang
dunia sekaligus menjadi syarat pengenalan indrawi-manusiawi kita atas dunia
dengan realitasnya. Oleh sebab itu, dalam usaha melihat kembali seluruh
pengalaman (Wahrnehmen) kita tidak bisa dilepas-pisahkan dari Waktu karena
Waktu itu sendiri adalah cara bagaimana kita memandang dunia kita. Waktu itu
terberi secara a priori, demikian Immanuel Kant, Sang Filsuf yang pernah Kau
sebut ketika pertama kali aku menjejakkan kakiku di tanah kelahirannya.
Terkadang Aku
– mungkin juga Kau – merasa mesti bersaing dengan waktu, mengejar dan bahkan
memburunya untuk secepat mungkin meraih „titik sana“ yang kita baptis dengan „telos“ (tujuan). Semakin sering dan semakin
cepat Aku mengejar dan memburu sang Waktu, Aku merasa Waktu itu berlalu begitu
cepat. Atau sebaliknya Aku merasa dikejar sang Waktu, dimangsa olehnya,
sebagaimana yang kita baca dalam mitologi Yunani tentang dewa Chronos yang
merebut takhta dari ayahnya dan kemudian tega menelan semua anaknya sendiri,
kecuali Zeus yang adalah representasi dari kekuasaan. Karena itu, siapa yang
bisa memenangkan kekuasaan atas diri sendiri, ia juga akan menang atas waktu
(Chronos). Butir-butir mutiara Waktu Chronos tersimpan jauh di dasar samudra
luas pengalaman hidup. Siapa yang tidak memanfaatkan Waktu dengan
sungguh-sungguh, belajar darinya dalam sebuah proses menjadi, akan ditelan oleh
Chronos, seperti halnya siapa yang tidak mengenal dan mengobati akar dari
setiap penyakit, kelak menderita sakit kronis. Kita mesti memperbahuri diri
secara terus-menerus dan tidak boleh tenggelam dalam rutinitas banal karena
nanti akan terdepak dalam ruang-ruang lelah yang kronis. Dalam konteks ini,
hidup dapat kita pahami sebagai sebuah pencarian chronis tentang hakekat dari hidup itu sendiri yang ditempa dalam
dimensi ruang dan waktu. Yang terpenting adalah sebuah kesadaran diri, tanpa
takut, stress atau panik karena dikejar Chronos
untuk dimangsa agar kita menjadi
Sang Pemenang atas setiap ke-Akuan dan agresevitas diri.
Julia, Gambar: Form und Abbild Effenberger |
Tahun 2017
tentu memiliki kisah yang unik dan mengesankan, yang konyol dan menantang. Kita
bersyukur atas setiap hidup baru, baik manusia maupun ekosistim di sekitarnya.
Namun kita mesti juga tunduk malu
menepuk dada karena ada juga orang tua yang tega membuang bayi yang baru lahir
dan bahkan membunuhnya. Seperti serigala, manusia tampil buas memangsa
sesamanya – homo homini lupus – kita
menjadi serigala bagi sesama. Tak
hanya itu, lantaran nafsu yang tak pernah terpuaskan dan libido untuk menguasai
yang mengalir di tubuh, kita secara membabi buta mencaplok dan mengeksploitasi kosmos secara tidak bertanggung jawab
dan menjadikannya chaos. Dan yang
lebih memprihatinkan lagi adalah aksi bunuh diri sebagai jalan pintas
menyelesaikan setiap persoalan hidup atau bom bunuh diri sebagai misi
heroik-religius dalam cangkang sempit terorisme dan radikalisme. Kita lalu
bertanya, apa yang mereka yakini tentang „apa“ yang terjadi setelah kematian?
Mereka lupa bahwa kita manusia sama sekali tak akan pernah bisa menghentikan
atau membunuh waktu kekinian (Kairos) agar segera meraih masa akanan. Apa yang
dapat (harap) dan mesti kita lakukan(tuntutan moral) adalah bersyukur atas setiap waktu yang
diberikan secara gratis (latin: Gracia=rahmat) sembari memberi makna pada
setiap pengalaman hidup.
Dalam rumah
politik orang pun tak segan-segan menyikut sesama agar bisa meraih singgasana
kekuasaan. Tujuan menghalalkan segala cara ala Niccolo Machiavelli pun
di-dikete dalam setiap langkah politis dan format kepemimpinan. Tanpa malu-malu
mereka mengusung isu agama untuk menggiring masyarakat dalam kandang
radikalisme yang sempit dan jorok sehingga lupa bahwa Tuhan yang kita yakini
itu satu dan sama. Tidak heran jika pada akhirnya bonum commune yang adalah cita-cita hidup bersama dalam rumah
politik jauh panjggang dari api. Selama masa kepemimpinan mereka seperti diburu
waktu untuk mencapai setiap kepentingan sektarian.
Julia,
Seiring
bergantinya tahun 2017 ke 2018 mari kita haturkan syukur atas segala kesuksesan
dan kebaikan yang telah kita alami. Kini kita berada di ambang 2018. Sesungguhnya
Waktu yang kita namakan Tahun 2018 sudah kita mulai di masa lampau dan juga
saat ini. „Yang lampau dan yang akanan berorientasi pada kekinian“ (F. Perls
1972, 111). Itu berarti, yang lampau dan yang akanan mesti senantiasa
diperbaharui dalam kekinian. Itu yang kita namakan „proses menjadi“, cara
meng-ada dalam ruang dan waktu.
Selamat Tahun
Baru 2018 dan selamat berjuang dalam proses menjadi!!!
Vianey Lein
Dalam Perjalanan Praha (Republik Ceko) – Dresden (Jerman), 31.12.2017
No comments:
Post a Comment