PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

03 January 2018

Meng-ada- antara Ruang dan Waktu

Meng-ada- antara Ruang dan Waktu
Catatan Akhir Tahun untuk Julia
Julia,
Detik-detik terakhir di tahun 2017 sebentar lagi akan berlalu menjadi masa lampau dan cerita hidup kita juga akan menjadi kenangan. Sang Waktu beranjak pergi menuju penggalan yang kita cipta, yang lama menuju titik akhir dan yang baru akan segera dimulai. Bersamaan dengan itu dimulai suatu momen permenungan  untuk memandang kembali peristiwa hidup yang telah dilewati (refleksi) serentak merenda harapan untuk masa depan. Lantas apa yang menjadi penting dari aktus „refleksi“ atas apa yang sudah dan akan segera berlalu dan apa yang segera dimulai? Untuk menyelami makna dari setiap pertiwa dan kemudian membahasakannya dalam kata atau kalimat, kita tentu membutuhkan suatu pemahaman tentang „waktu“. Konsep atau pemahaman tentang waktu itu harus melampaui setiap skala mekanistis atau matematis dari detik-detik yang berdetak. Waktu tidak boleh dipenjara dalam objektivikasi yang terukur dalam satuan detik, menit, jam, hari maupun tahun sebab ukuran waktu yang mengalir pergi (kronos) maupun yang berputar ulang dalam sebuah siklus menuju kembali (kairos) sama sekali tidak menjadi indikator dan implikasi tentang diri atau segala apa yang terjadi dalam waktu. Bukan soal berapa lama saya hidup hidup (aspek kuantitas) tetapi bagaimana saya menjadi subyek yang sadar dalam memaknai waktu (aspek kualitas).
Julia,
Pemahaman tentang waktu dengan segala fenomennya bisa kita lihat dalam berbagai disiplin ilmu dengan model pendekatan masing-masing. Sejarahwan memungut setiap kepingan kronologis perisitiwa hidup dari abad ke abad dan berusaha memberi definisi atasnya. Para psikolog mencoba menafsir aspek subjektivitas dari waktu yang dihidupi. Ada juga fisikawan legendaris Issac Newton  yang mengklaim bahwa waktu itu absolut, tetap dan tidak berubah. Waktu tak bisa dipercepat atau diperlambat. Namun teori absolutivitas tentang waktu ini kemudian dipatahkan oleh Albert Einstein dalam hukum relativitasnya: segala yang ada dalam alam semesta bersifat relatif dan berubah-ubah. Dalam petualangan intelektual mereka, para filsuf pun menghubungkan waktu dengan kesadaran manusia. Hakikat tentang „yang ada“ tak bisa dilepas-pisahkan dari konsep tentang waktu. Martin Heidegger menekankan hubungan ketersalingan antara meng-ada dan Waktu (Sein und Zeit) dalam refleksi filosofisnya tentang realitas. Itu berarti hidup adalah sebuah proses menjadi: kita tidak hanya memiliki waktu, tetapi lebih dari itu kita adalah waktu. Hidup kita adalah sebuah dialektika dari Haben (memiliki) menuju Sein (meng-ada). 
Julia, 
Mengingat kembali momen-momen perjumpaan kita setahun silam menghantarku kepada sebuah kesadaran, bahwa waktu adalah jalan menuju ruang hatimu, waktu adalah jarak rindu antara Aku yang di sini dan Kau yang di sana, ya waktu adalah Kita yang kemarin, hari ini dan esok nanti! Waktu memungkinkan kita masuk ke dalam ruang dunia sekaligus menjadi syarat pengenalan indrawi-manusiawi kita atas dunia dengan realitasnya. Oleh sebab itu, dalam usaha melihat kembali seluruh pengalaman (Wahrnehmen) kita tidak bisa dilepas-pisahkan dari Waktu karena Waktu itu sendiri adalah cara bagaimana kita memandang dunia kita. Waktu itu terberi secara a priori, demikian Immanuel Kant, Sang Filsuf yang pernah Kau sebut ketika pertama kali aku menjejakkan kakiku di tanah kelahirannya. 
Terkadang Aku – mungkin juga Kau – merasa mesti bersaing dengan waktu, mengejar dan bahkan memburunya untuk secepat mungkin meraih „titik sana“ yang kita baptis dengan „telos“ (tujuan). Semakin sering dan semakin cepat Aku mengejar dan memburu sang Waktu, Aku merasa Waktu itu berlalu begitu cepat. Atau sebaliknya Aku merasa dikejar sang Waktu, dimangsa olehnya, sebagaimana yang kita baca dalam mitologi Yunani tentang dewa Chronos yang merebut takhta dari ayahnya dan kemudian tega menelan semua anaknya sendiri, kecuali Zeus yang adalah representasi dari kekuasaan. Karena itu, siapa yang bisa memenangkan kekuasaan atas diri sendiri, ia juga akan menang atas waktu (Chronos). Butir-butir mutiara Waktu Chronos tersimpan jauh di dasar samudra luas pengalaman hidup. Siapa yang tidak memanfaatkan Waktu dengan sungguh-sungguh, belajar darinya dalam sebuah proses menjadi, akan ditelan oleh Chronos, seperti halnya siapa yang tidak mengenal dan mengobati akar dari setiap penyakit, kelak menderita sakit kronis. Kita mesti memperbahuri diri secara terus-menerus dan tidak boleh tenggelam dalam rutinitas banal karena nanti akan terdepak dalam ruang-ruang lelah yang kronis. Dalam konteks ini, hidup dapat kita pahami sebagai sebuah pencarian chronis tentang hakekat dari hidup itu sendiri yang ditempa dalam dimensi ruang dan waktu. Yang terpenting adalah sebuah kesadaran diri, tanpa takut, stress atau panik karena dikejar Chronos untuk dimangsa agar kita menjadi Sang Pemenang atas setiap ke-Akuan dan agresevitas diri.
Julia, 
Gambar: Form und Abbild Effenberger
Mungkin kamu lalu berpikir, waktu adalah musuh yang mesti diburu dan dibasmi. Tidak, Julia. Waktu Chronos hanyalah sisi lain dari Sang Waktu. Kita masih punya Kairos dengan sayap pada kakinya, sebagaimana karakternya sebagai kesempatan atau peluang yang datang dan pergi dalam sekejap. Siapa yang tak tangkas dan tepat mengatur waktu hidupnya akan ketinggalan Kairos. Dan sesungghunya dalam setiap pengalaman kejatuhan dan bangkit kembali yang tertunda, kita bukannya kehilangan waktu melainkan kehilangan kesempatan dan peluang. 
Tahun 2017 tentu memiliki kisah yang unik dan mengesankan, yang konyol dan menantang. Kita bersyukur atas setiap hidup baru, baik manusia maupun ekosistim di sekitarnya. Namun kita mesti juga tunduk  malu menepuk dada karena ada juga orang tua yang tega membuang bayi yang baru lahir dan bahkan membunuhnya. Seperti serigala, manusia tampil buas memangsa sesamanya – homo homini lupus – kita menjadi serigala bagi sesama. Tak hanya itu, lantaran nafsu yang tak pernah terpuaskan dan libido untuk menguasai yang mengalir di tubuh, kita secara membabi buta mencaplok dan mengeksploitasi kosmos secara tidak bertanggung jawab dan menjadikannya chaos. Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah aksi bunuh diri sebagai jalan pintas menyelesaikan setiap persoalan hidup atau bom bunuh diri sebagai misi heroik-religius dalam cangkang sempit terorisme dan radikalisme. Kita lalu bertanya, apa yang mereka yakini tentang „apa“ yang terjadi setelah kematian? Mereka lupa bahwa kita manusia sama sekali tak akan pernah bisa menghentikan atau membunuh waktu kekinian (Kairos) agar segera meraih masa akanan. Apa yang dapat (harap) dan mesti kita lakukan(tuntutan moral)  adalah bersyukur atas setiap waktu yang diberikan secara gratis (latin: Gracia=rahmat) sembari memberi makna pada setiap pengalaman hidup.  
Dalam rumah politik orang pun tak segan-segan menyikut sesama agar bisa meraih singgasana kekuasaan. Tujuan menghalalkan segala cara ala Niccolo Machiavelli pun di-dikete dalam setiap langkah politis dan format kepemimpinan. Tanpa malu-malu mereka mengusung isu agama untuk menggiring masyarakat dalam kandang radikalisme yang sempit dan jorok sehingga lupa bahwa Tuhan yang kita yakini itu satu dan sama. Tidak heran jika pada akhirnya bonum commune yang adalah cita-cita hidup bersama dalam rumah politik jauh panjggang dari api. Selama masa kepemimpinan mereka seperti diburu waktu untuk mencapai setiap kepentingan sektarian. 
Julia, 
Seiring bergantinya tahun 2017 ke 2018 mari kita haturkan syukur atas segala kesuksesan dan kebaikan yang telah kita alami. Kini kita berada di ambang 2018. Sesungguhnya Waktu yang kita namakan Tahun 2018 sudah kita mulai di masa lampau dan juga saat ini. „Yang lampau dan yang akanan berorientasi pada kekinian“ (F. Perls 1972, 111). Itu berarti, yang lampau dan yang akanan mesti senantiasa diperbaharui dalam kekinian. Itu yang kita namakan „proses menjadi“, cara meng-ada dalam ruang dan waktu. 
Selamat Tahun Baru 2018 dan selamat berjuang dalam proses menjadi!!!
Vianey Lein
Dalam Perjalanan Praha (Republik Ceko) – Dresden (Jerman), 31.12.2017

No comments:

Post a Comment