PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

19 January 2018

NIREN DAN CINTA YANG MENDOA

NIREN DAN CINTA YANG MENDOA

Niren,  sepotong nama yang selalu menumpuk rindunya di tekuk lutut, 
menyimpan rapat-rapat dalam katup tangan cinta yang pernah memanggilnya
tak pernah lalai nama „Kopong“ melengking dari bibir mungilnya
bersama ayat-ayat mazmur dan bait kidung. Dan „Kopong“ sendiri pun begitu yakin, 
bahwa Niren – pujaan hatinya tak pernah alpa untuk itu.  „Buat apa aku harus menipu suara hati, apalagi menipu Dia yang aku percaya penuh, bahwa kita pernah saling mencintai 
dan akan selalu mencintai“, begitu sekali Niren mengingatkan „Kopong“. 
Bagi Niren, „Kopong“ adalah lirik-lirik doa yang paling dia cintai; karena itu, berdoa adalah caranya ia mencintai „Kopong“. Sebaliknya Niren bagi „Kopong“ adalah puisi terindah dalam hidupnya, 
syair yang senantiasa memberi warna baru dalam petualangan imajinatifnya, 
sosok yang selalu menginspirasi – bukan hanya dalam lautan puisi, 
tapi juga dalam pelayaran hidup dengan seluruh pasang surutnya.

Niren, 
aku tahu, rindu di tekuk lututmu kian berat bersama bertambahnya waktu penantian yang menindih, belum lagi ruang jarak yang mengurung kita menjadi sendiri-sendiri. 
Tapi dalam seluruh pergumulan itu, ingatlah selalu bahwa Dia Yang Maha Cinta 
senantiasa menjaga aku untukmu, dan engkau untukku. Aku bersyukur dan bahagia, 
bahwa kita saling mencintai; aku bersyukur bisa mengenal dan memilikimu – ya memilikimu seumur hidupku, meski itu dalam ruang-ruang jarak keterpisahan. Dalam ruang-ruang itulah kita juga bertemu, dalam kamar-kamar doa dan bilik-bilik puisi. 
Ketika engkau mendoakanku, mendoakan kita, engkau sesungguhnya sedang memelukku, dan bersama Dia engkau menjagaku dari jauh. Dan dalam setiap larik yang kusetubuhi di bilik puisi, aku juga memelukmu di sana, mencium dan menjagamu, selalu… seperti runtuhan kata yang kupungut di bilik puisi dan membikinnya abadi.

Niren,
Logos yang kau tanam di matamu sebentar lagi akan bermekar di bibir dan dadamu,
selepas musim-musim meditasi dan petualangan intelektual yang mengendus ubun-ubun. 
Sementara aku masih terus dengan puisi sebagai kontemplasi tentang Yang Ada dan meng-Ada, tentang aku dan kamu. Terkadang ada kecemasan, bahwa engkau kelak melupakanku di ujung pematang ladang yang kau panen. Mungkin kamu berpikir, seorang pembajak tidak boleh memandang ke belakang – sebagaimana Sabda yang kau dengar.

Jika memang engkau tak ingin lagi memandangku, tapi paling kurang ingatlah aku, ingatlah cinta kita. Tapi sesungguhnya aku tidak ada di belakangmu. Yang di belakang hanyalah jejak-jejak kenangan yang tak semestinya kita lenyapkan. Kamu tahu Niren, aku di sampingmu, berjalan bersamamu. Bawalah aku kemana pun kakimu melangkah, bawalah cintaku di mana pun kamu berada, meski aku sadar, cintamu kepadaku tak boleh lebih besar dari cintamu kepada Dia yang kau ikuti. Dan namamu akan terus kupanggil-panggil dalam bilik-bilik puisiku karena aku tahu, di sana kau ada.

Dari Bilik Puisi
Foto: EKD

No  K o p o n g

VL_19.01.218

No comments:

Post a Comment