PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

27 April 2017

Kereta Sembilan Belas


KERETA SEMBILAN BELAS

Berjejal merebut kursi di gerbong delapan
Di laju kereta sembilan belas
Hampir penuh ditumpang gegas

Dua jam lagi perjalanan
Bertamasya ke ruang matamu yang lebam
Menimang malam-malam kelam

Sendiri mesti berjaga
Karena terkadang jarak berselisih waktu
Terlambat tak bisa kau rayu

Telah kosong di gerbong kelas bisnis
Tinggal iklan-iklan melekat
Mungkin pindah ke jalur cepat

Hanya kita terus bersungut
Pada derit roda yang macet
Terseret ke waktu yang lampau

Hanya kita yang terus merinding
Di jalan-jalan terjal tak dikenal
Menelan jarak hingga kekal

Bersama alam yang bergetar
Digilas rel dari masa ke masa
Hingga karatan di rumah tua


April 2017
VL
Bild-Quelle: http://hfaberblog.blogspot.de/2010/03/wie-geht-die-reise-mit-dem-zug-weiter.html

26 April 2017

Siapakah "Kita"?

SIAPAKAH „KITA“

Siapakah yang dimaksudkan dengan „kita“ ketika kita menyebutkan diri sebagai „kita“? Lalu, mengapa segelitintir atau sekolompok orang masuk dalam hitungan „kita“ sementara yang lain tidak? Apa yang menjadi ciri khas „kekitaan“, yang melegitimasi keanggotaan dan yang membedakan kita dengan yang lain? Tanpa sadar, ketika kita menyebut diri sebagai „kita“ yang eksklusif, semakin banyak lahir „mereka-mereka“ yang lain.
Menemukan jawaban atas deretan pertanyaan di atas menuntut kita untuk membuat „pembatasan“ yang menjadi definisi (definisi=batasan) „kita“: di mana harus dimulai dan di titik mana harus berakhir. Membuat definisi tentang „kita“ berarti mencari batas-batas ruang pemisah terhadap yang lain.
Ketika mengatakan „aku“, sudah hampir pasti benar siapa yang kita maksudkan, di mana „aku“ itu dimulai dan di mana batas akhirnya. Dalam Lobus temporalis belahan otak manusia terdapat suatu wilayah dengan jaringan-jaringan neurologis yang kompleks, yang di dalamya segala rangsangan yang dikirim oleh reseptor indrawi ke otak diolah. Oleh karena itu, kita biasanya tahu secara baik, di mana batas akhir ke-AKU-an, di mana titik awal dunia di luar tubuh si „aku“ dimulai. Persinggungan atau perbenturan tubuh dengan apa yang di luar tubuh, yang asing, akan mengantar si „aku“ kepada ingatan dan kesadaran yang lahir dalam berbagai bentuk reaksi. Misalnya, terbentur palang pintu atau sentuhan dengan tubuh yang lain. Jaringan-jaringan neurologis ini dapat dilumpuhkan sehingga orang tidak lagi tahu atau lupa akan batas-batas ke-Aku-annya. Melumpuhkan fungsi jaringan atau memadamkan ingatan tentu sangatlah mudah. Cukup dengan menelan satu pil seperti serotonin antagonistis atau disuntik pada tubuh (bdk. Wikipedia. Selain berfungsi dalam sistem saraf pusat seperti mengatur mood, selera makan, kontributor untuk perasaan sejahterah/bahagia [karena itu juga dsebut hormon kebahagiaan], serotonin juga memiliki fungsi kognitif seperti dalam memori atau daya ingat dan belajar). Serotonin antagonistis akan menghambat seluruh proses kerja dalam lobus temporalis sehingga orang merasa bebas tanpa batas, merasa connect dengan siapa saja. Sebagai manusia normal, setiap orang masih mampu mengenal batas-batas si „Aku“.
Lalu, bagaimana dengan „kita“?
„Kita“ menjauhkan diri dari yang lain, „kita“ mengambil jarak dan mecipta ruang serta batas sekatnya. Terkadang „kita“ lupa, bahwa ia memiliki korelasi dengan yang lain, bergantung satu sama lain dan tumbuh – tidak hanya dalam dimensi sosialitas tetapi juga sebagai individu. Kita memiliki kebutuhan (dasar) yang sama, menjunjung harapan, memiliki kecemasan dan rasa takut. Namun sayang; dalam peredaran waktu, pemaknaan tentang „kita“ tidak lagi merangkum seluruh manusia yang menghuni planet bumi. Manusia terkotak-kotak dalam berbagai model klasifikasi diskriminatif, terpisah oleh kelompokisme yang sangat eksklusif dan rasis.
Blood is (not) thicker than water
Tinjauan sosio-biologis menunjukkan, bahwa oleh karena gen-gen ego(isme) dalam diri, manusia hanya saling membantu di antara orang-orang yang dikenal dan memiliki ikatan relasi kekeluargaan atau sejauh tindakan saling membantu itu membawa manfaat untuk kelangsungan hidup dan menambah keuntungan. Semakin intens setiap orang menolong sesamanya (dalam ikatan hubungan darah), selalu ada dan membantu dalam setiap kesulitan, mendidik dan membesarkan anak, semakin besar peluang tumbuh dan menyebarnya gen-gen ego(isme) (Hüther: 2014). Blood ist thicker than water, demikian bunyi peribahasa Inggris untuk menggambarkan situasi di atas, bahwa keluarga jauh lebih penting daripada orang lain, sahabat, teman, dll.
Namun realitas kekinian justru berbicara lain. Seperti rantai makanan dalam alam – harimau yang memangsa anak-anak harimau dari induk yang sama – seseorang bisa juga tega memmbunuh anak kandungnya, atau suami membunuh istri. Keluarga tidak lagi lebih penting, melainkan orang lain: Blood ist not thicker than water. Relasi utilitas dengan pengusaha dan pemilik modal lebih penting dari tenunan persaudaraan. Perselingkuhan dengan politisi, para ulama dan imam terkesan lebih nikmat ketimbang ikrar bersama sebagai satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air. Menjegal dan membunuh sesama pejuang kebenaran dan keadilan itu lebih mulia daripada memberantas koruptor dan investor asing yang menggurita di rumah yang bernama NKRI. Lantas, apakah yang bisa mempersatukan manusia – tidak hanya dari satu garis keturunan linear – tetapi semua orang dengan latar belakang keluarga dan budaya yang berbeda? Bukan ikatan kekeluargaan atau hubungan darah; bukan juga air yang mengalir di tubuh, bukan juga dogma dan kitab suci, melainkan rasa sebagai sesama manusia, ciptaan yang memiliki harkat dan martabat. Rasa sebagai „kita“ yang berbhineka: tak ada kafir dan non kafir, pribumi atau non pribumi. Definisi itu hanya mengurung „kita“ dalam batas-batas egoisme yang sempit, memenjarakan kita dalam jeruji kebencian dan rasisme, lalu menjadikan kita kerdil dalam berpikir, latah dalam berkata dan brutal dalam bertindak.*** VL

Bilder-Quelle:
kanzlei-blaufelder.com
emaze.com

25 April 2017

Bogor


BOGOR

Tak perlu bersungut hujan yang gemetar
Tak usah geram petir yang menghentak
Sendengkan telinga pada cetar kaki radikalisme membanjir
Kebun raya dan gunung salak
Berjaga-jaga di kelam kabut dan arak awan liar
Mengepung istana, menjebak republik

Kaki garudamu dan kijang-kijang jangan biarkan lumpuh
Ditebas kujang rasisme buas memburu
Di Bogor kita mesti bertahan dalam gemuruh
Dalam badai dan pendar lampu jalan yang kian letih
Kita tak boleh lelah menatang pelangi
Tak boleh kalah meneguk hujan-hujan yang gigil
Menelan angin yang basah

VL

Pelacur Ibu Kota


PELACUR IBU KOTA

Aku tak tahu
Sudah berapa sering aku membayar pelacur-pelacur ibu kota
Memuaskan nafsuku lima atau sepuluh menit
Saat ereksi mengeras hingga ubun-ubun kepala
Terasa panas dan sesak di dada

Tak perlu malu
Ketika syahwat angkuh menjulang
Menutup pandang ke seberang langit
Penetrasi liar di setiap selangkang
Muntahkan orgasme pada rumput-rumput dikangkang

Pelacurku pelacur jalanan
Dari pasar loak hingga tempat parkir
Dari yang murah hingga yang butuh preman
Di lorong-lorong rumah ibadat dan taman
Dijual moncong pengkhotbah dan saudagar
VL

Bild: https://www.news.at/a/registrierkassenpflicht-prostituierte

Catatan untuk Julia


CATATAN UNTUK JULIA
Julia,
janganlah kau biarkan hatimu membatu apatisme
pada tebing-tebing waktu yang keras menantang hidup
Lembutkan segala yang kaku memadat,
tancap dan patahkan segala yang meruncing di jiwamu
Jangan kau tetaskan empedu di lekuk senyummu
di saat hidup kian terasa pahit untuk diteguk

Mari kita sentuhkan cawan, rayakan cinta dan kebersamaan
hingga tetes terakhir mengering di ujung lidah
Janganlah dirimu terus dikejutkan, apalagi menjadi pengecut,
di tengah hidup penuh misteri
hingga engkau terpental oleh spekulasi-spekulasi yang kau bangun sendiri
... ... ...
 VL

Agama dan Panggilan untuk Demokrasi

AGAMA DAN PANGGILAN UNTUK DEMOKRASI
Tentang Konflik Pembangunan Gereja Sta. Clara – Bekasi
Vianey Lein

Proyek pembangunan gereja di Indonesia cendrung beriringan dengan debat yang bahkan menyulut konflik kekerasan. Selain sentimen agama dan budaya, terbaca pula rasa „kekhawatiran“ (phobia) yang tidak rasional (yang tak semestinya ada) atas penolakan pembangunan gereja. Proyek pembangunan gereja dilihat sebagai ancaman terhadap indentitas kelompok radikal.
Merujuk pada demo yang dilancarkan oleh sejumlah Ormas Islam pada 24 Maret 2017 lalu dan argumen penolakan yang diutarakan, ada beberapa aspek yang dipersoalkan dari proyek pembangunan gereja yang mesti segera diselasaikan.
Pertama, dimensi ruang yang mencakup tempat didirikannya gereja (tidak diizinkan mendirikan gereja di dekat pesantren). Rasionalitas berpikir tentu tidak menjebak kita dalam pemikiran sempit, bahwa panitia pembangunan gereja bersama umat setempat mendirikan gereja secara diam-diam sehingga menimbulkan shock effekt dan amarah bagi kelompok mayoritas yang juga memiliki aset-aset religiositas di sekitarnya. Rencana dan proses pembangunan gereja tentu telah dibicarakan dengan pihak pemerintah setempat bersama para tokoh agama dan berjalan sesuai prosedur yang berlaku; oleh karena itu diteribitkannya Surat Izin Pelaksanaan Mendirikan Bangunan (SIPMB) pada Juli 2015 (bdk. Tempo.co, 25 maret 2017). Lebih lanjut, bangunan gereja yang eksotis dengan „bahasa“ arstikek yang asing (gereja yang megah dengan tiga lantai) dinilai menyakiti umat Islam. Dimensi ruang dan struktur bangunan seakan menggugat identitas kaum mayoritas. Kecurigaan-kecurigaan yang dibangun di atas phobia mulai muncul: ada maksud apa di balik pembangunan gereja yang megah?
Usaha menggagalkan proses pembangunan gereja dengan dalih dimensi ruang sebagaimana yang disebutkan merupakan langkah segregasi dari kelompok mayoritas untuk mengucilkan kaum minoritas dari ruang publik. Mempersoalkan letak bangunan gereja (representasi kelompok minoritas) di tengah lautan kelompok mayoritas merupakan ekspresi dari lumpuhnya kesiap-sediaan atau takut untuk berintegrasi dengan kaum minoritas. Sebagai kelompok mayoritas, Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi (MSUIB) semestinya tidak merasa khawatir atau sakit hati dengan kehadiran gereja. Iman tidak dibatasi oleh ruang atau diredusir dalam atribut-atribut keagamaan. Iman mesti dihidupi dalam pengalaman perjumpaan dengan sesama, dengan yang asing dan baru, dengan komunitas agama lain. Di dalam perjumpaan dengan realitas keberbedaan itulah iman kita ditantang dan ditempa, apakah berakar kuat dan kokoh atau mudah tercerabut.

Kedua, dimensi agama, yakni hubungan perilaku antara kaum mayoritas dan kristen di lokasi pembangunan gereja. Pengalaman perjumpaan atau pola hidup bersama antara kelompok Kristen dan Muslim di Bekasi harus menggambarkan hubungan-hubungan dialogis. Konflik antar agama yang hampir selalu terjadi menantang masing-masing kelompok untuk mengevaluasi kembali tatanan hidup bersama: apakah penuh kecurigaan dan ketakutan, bahwa komunitas agama yang satu akan menguasai yang lain atau terbuka mengakui serta menerima setiap perbedaan untuk memperkaya khazanah rohani? Sikap menutup diri terhadap perbedaan dan usaha mengasingkan komunitas agama lain agama adalah benih-benih radikalisme dan fundamentalisme.
Ketiga, dimensi teologis. Dari aksi penolakan pembangungan gereja di Bekasi dapat terbaca adanya kesan kekhwatiran dari kelompok radikal, bahwa misi kristianisasi akan muncul setelah proyek pembangunan gereja. Dalam hal ini penolakan secara eksplisit tidak dialamatkan kepada bangunan gereja an sich melainkan kepada simbol gereja sebagai pusat penyebaran misi. Misi Kristen (dan tentu juga misi Islam: dawa: undangan) adalah sebuah warta iman yang menyiratkan undangan atau tawaran. Ada dua kemungkinan sikap atau reaksi terhadap warta iman itu: atau diterima atau ditolak. Dan misi kristen tidak lagi dimengerti sebagai usaha membaptis sebanyak mungkin orang untuk memenuhi ruang gereja. Misi kristen adalah pelayanan yang ditujukan kepada semua orang, baik secara ke dalam – untuk kelompok kristen sendiri (mission ad intra) maupun ke luar tanpa memandang suku, agama atau ras (mission ad extra). Persepsi menghubungkan gereja sebagai pusat misi untuk membaptis sebanyak mungkin orang akan menciptakan konflik emosi yang menutup ruang untuk toleransi.

Keempat, aspek yuridis, bahwa dicurigai adanya pelanggaran dalam administrasi proses pembangunan gereja. Sebagai negara hukum kita percayakan kasus ini kepada pihak berwajib untuk diproses lebih lanjut. Setiap individu maupun kelompok bebas menyampaikan pendapat atau keberatan tanpa melanggar atau mencederai kebebasan orang atau komunitas agama lain. Dalam hal ini, dogmatisme agama tidak bisa serta merta menjadi legitimasi hukum di tengah pluralitas agama. Dogma-dogma dalam agama tidak boleh secara serampangan menjadi legitimasi otoritarianisme yang mana berseberangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Untuk menata dan menjaga suatu kehidupan demokrasi yang pluralistis seperti Indonesia, tidak cukup mengandalkan kesamaan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang mempersatukan atau kesamaan sejarah kemerdekaan. Kita membutuhkan persetujuan atau kesepakatan-kesepakatan bersama serta pengakuan tentang norma atau nilai-nilai. Hal ini menuntut gambaran atau persepsi bersama tentang kebebasan, keadilan, solidaritas, martabat manusia, integritas diri, respek dan toleransi. Nilai-nilai ini bukanlah pilar-pilar politis melainkan landasan etik-budaya yang menopang bangunan demokrasi yang bermartabat. Kita mengakui, bahwa nilai-nilai ini tidak sekali ada untuk selamanya, melainkan sering dicederai bahkan disangkal dalam kehidupan berdemokrasi. Oleh karena itu, usaha-usaha penanaman nilai-nilai kebajikan mesti terus digiatkan. Inilah tugas negara yang terjabar dalam program-program pendidikan dan juga tugas agama yang kita yakini sebagai sumber yang mengajarkan kebaikan dan berkiblat kepada cinta dan persaudaraan. Di tengah berbagi konflik antar agama di Tanah Air, kita sebagai warga sekaligus umat yang beriman, dipanggil untuk memperjuangkan kehidupan demokrasi yang beradab. ***

18 April 2017

PADANG SEMI


PADANG SEMI

Di tanah ini
Angin-angin masih mendekap hujan yang keruh
Merangkai tanya gelisah di wajah
Kapan tiba di padang luas matahari

Musim semi kali ini tanpa kepastian
Tersesat di gugur-gugur daun
Terpental pada semua yang membatu
Terkubur antara segala yang membeku

Sendiri melangkahi musim yang entah
Menghitung waktu dan jarak untuk bertemu
Hanya nelangsa kembang di tepi jalan berbatu
Merunduk pada aku yang keruh

Di padangmu aku hendak bertandang
Memetik ranum di dadamu
Menggoyang mentari di batinmu
Mengintip serentang pelangi di mahkotamu

Lama aku merantau dari padang ke padang
Terpelanting dalam kawah-kawah kesendirian
Terseret di atas lumpur dan rerumputan
Yang menghamba di kaki peradaban

Engkau, kuncup nasib yang kurindu
berapa lama lagi kau kutempuh
kudekap dalam rindu kuyup,
kutimang hingga mentari redup

Napoleonstein - Jena
16 April 2017
Bild-Quelle: http://www.trekkingmagazin.com/reisen-touren/sonstige/trekking-auf-malta-und-der-insel-gozo

09 April 2017

MERINDUKAN SEORANG …


MERINDUKAN SEORANG …
Julia,
Eksistensi kemanusiaan kita yang tidak sempurna tidak hanya mengartikan kerapuhan kita sebagai insan yang juga jatuh dalam jurang dosa; tidak juga hanya menunjukkan kelemahan atau mungkin sisi negatif dari gambaran seorang manusia. Ketidaksempurnaan adanya kita di dalam Planet Bumi ini sesungguhnya telah menciptakan suatu „ruang kosong“ yang tak terisi, yang hilang dari kehidupan. Dan kerinduan akan seseorang atau sesuatu apa yang hilang itu turut menegaskan adanya „ruang kosong“ dalam diri dan kehidupan. Maka tidak heran, jika kerinduan itu terkadang dibahasakan seperti luka yang menganga dalam diri, menyayat selaput-selaput jiwa.
Kerinduan bukanlah „ingin“ yang merayu, bukan hasrat nafsu yang menggoda. Kerinduan adalah luka. Luka itu mesti disembuhkan agar daging-tubuh itu menjadi satu kesatuan utuh. Dan luka-luka kerinduan itu senantiasa dipanggang di atas bara harapan yang membakar animo kita untuk terus berjuang dan bertahan dalam hidup.
Oleh karena itu, kerinduan akan sosok seseorang, entah itu kekasih, pacar, suami, pendamping hidup, atau istilah apa lainnya yang dipakai untuk membahasakan „apa yang hilang“ dari ruang kosong itu, adalah bahasa jiwa yang wajar dan legitim diterima, bukan hanya secara psikologis sebagai bagian dari tahap perkembangan manusia, tetapi juga dari aspek sosio-antropologis.

Namun, Julia, tidaklah mudah untuk menemukan sosok seseorang yang pantas dan pas untuk mengisi ruang kosong dalam hidup; sosok yang bisa menjawab semua harap dan keinginannmu, sosok dengan kepribadian yang sesuai dengan personalitas dirimu. Atau, jika memang tidak sesuai dengan kepribadianmu, paling tidak bisa menerima dirimu apa adanya, kelebihan serta kekuarangan. Apalagi di garis usia kedewasaan yang mendekati 30. Di tengah kematangan usia seperti itu (apalgi untuk seorang gadis), sex atau pun tujuan kenikmatan dan kesenangan hidup tidak lagi menjadi prioritas hidup. Banyak (gadis) yang merasa cemas atau takut ketika masuk dalam kategori usia seperti itu. Keseriusan dan tanggung jawab atau suatu jalinan tali kasih/percintaan adalah harapan sekaligus tujuan yang hendak dicapai.
Julia,
Aku bukanlah dokter cinta. Bukan juga sosok motivator seperti Mario Teguh, dll. Aku hanyalah teman yang menjadi bagian dari cerita hidupmu. Aku tak bisa membantu lebih untuk menemukan sosok yang pas buatmu, begitu pun sebaliknya kamu untuk aku. Apa yang bisa kita lakukan adalah kesabaran dalam pencaharian ini. Mungkin kedengaran aneh dan konyol, apalagi ketika orang sedang terbakar kerinduan untuk mencintai dan dicintai oleh pasangan hidup. Ada begitu banyak pria (juga wanita) yang bisa kita jumpai dan kenal, baik di dunia nyata maupun di dunia maya lewat social media. Namun, tak mudah untuk menemukan sosok yang sepadan. Nikmatilah masa „jomblo“mu seperti yang kamu katakan: „carpe diem“! Pergunakan waktu untuk hal-hal yang bermanfaat untuk kehidupanmu kini dan nanti; hal yang mungkin tak bisa lagi kamu lakukan ketika kamu telah syah menjadi milik seseorang, ketika kamu telah memiliki keterikatan dengan seseorang. Biarkanlah dirimu ditempa sebagaimana bejana tanah liat yang mudah rapuh, dibentuk oleh aneka pengalaman sambil tetap yakin, bahwa DIA yang kamu imani akan menjadikan semuanya indah pada waktunya. Temukanlah makna hidupmu, apa yang sesungguhnya menjadi pencaharianmu, apa yang menjadikanmu bahagia, juga kebahagiaan tanpa sosok seorang pria. Hubungan antara pria dan wanita tidaklah menjadi standar garansi sebuah kebahagiaan. Banyak wanita yang tidak bahagia dengan pasangan hidup, gonta-ganti pasangan (cerai), dan berbagai krisis lainnya dalam hubungan antara keduanya. Tapi hal ini tidak boleh menjadi alasan buatmu untuk takut menaruh simpati dan mencintai seseorang. Kenal dirimu, kenal calon pasangan hidupmu! Itu ujian pertama dalam bercinta.
Untuk ujian ini, ada sedikit bocoran bahan dari sebuah buku yang aku baca hehehheh….

Dalam menginginkan seorang wanita, demikian Christian Sender, pria membedakan wanita dalam tiga kategori.
Pertama, wanita yang hanya dijadikan sebagai partner sex. Sebuah tingkatan hubungan yang lebih serius dengan seorang wanita sampai pernikahan tidak menjadi tema penting dalam relasi yang mereka bangun.
Kedua, wanita yang „hanya“ dijadikan teman, tidak terpikirkan sama sekali untuk menggiring pasangannya sampai ke „tempat tidur“. Jika memang terjadi (sex), hal itu bukan karena suka sama suka, tapi lebih pada pemahaman tentang „pacaran“ yang „trend“ saat ini: „pacaran tanpa sex adalah sesuatu yang aneh“. Pria kelompok ini juga tidak tertarik pada tema-tema seperti pertunangan, pernikahan, atau anak. Kepada wanita mereka bisa menceritakan apa saja; bersama ke diskotik atai pesta.
Ketiga, Last but not least, wanita yang dapat menjadi teman hidup. Wanita-wanita ini bisa jadi bukan „pacar“, bukan juga sebuah relasi sex.

Semoga bocoran soal ini bisa membantumu hehehehhehe…. Sender berbicara dalam konteks Eropa. (Semoga gambaran Sender tentang „pacaran“ seperti di atas tidak terjadi juga di Tanah Air.)
Salam

Bild-Quell: https://www.liebe.de/schlussstrich-trennung-fair/

05 April 2017

TAK ADA ALASAN UNTUK TIDAK BAHAGIA


TAK ADA ALASAN UNTUK TIDAK BAHAGIA

 Julia,

Menerawang kembali tapak-tapak ziarah kehidupan yang telah kau tinggalkan pada dinding waktu lampau sembari mengingat dan menghitung-hitung narasi kebahagiaan yang telah tercatat pada helai- helai hari hidupmu, menghantarmu pada suatu keyakinan: „Tak ada alasan untuk tidak bahagia dalam hidup“. Keyakinan bahwa „Tak ada alasan untuk tidak bahagia“ ini juga memberiku kesadaran, bahwa kebahagiaan itu bukan sekedar keinginan tetapi lebih sebagai sebuah kebutuhan. Frase „tak ada alasan“ menyiratkan bahasa kerinduan pada apa yang semestinya ada pada hidup dan kehidupan.

Terkadang kita lebih memfokuskan diri dan menghabiskan waktu dan tenaga untuk idealisme yang selalu kelaparan serta mengejar impian-impian prestasi dan prestise hingga lupa untuk bahagia. Ketika kamu tak lagi punya alasan untuk bahagia, di saat itu pula kamu kehilangan alasan untuk bersyukur atas apa yang telah kamu peroleh. Sudah begitu banyak momen kebahagiaan yang telah kamu alami dalam hidupmu dan kamu sendiri tak segan-segan mengenangnya. Di sini, aktus mengenang bukanlah sekedar membalikkan pandangan, lalu bernostalgia tentang momen-momen bahagia itu; bukan juga sekedar gerakan romantisme yang membangkitkan emosi. Dalam aktus mengenang, kita juga disadarkan untuk bersyukur: „Denken ist Danken“ – Berpikir (mengenang melibatkan juga aspek kognitiv dan tentu emosi) berarti bersyukur. Karena itu, dari rahim kesadaran „Tak ada alasan untuk tidak bahagia“, lahirlah kesadaran baru: „tak ada alasan untuk tidak bersyukur“. Bersyukur pada Sang Pemberi Hidup, pada keluarga, pada sesama, pada alam ciptaan, pada diri sendiri.

Julia,

Terima kasih, karena engkau telah mengajarku untuk tak lupa bahagia. Terima kasih, karena engkau telah menjadi bagian dari kebahagiaanku.

Mari, kita berterima kasih dan bersyukur kepada Sang Pemberi Hidup. Terima Kasih, bahwa kita bisa bersyukur dan berterima kasih!

Terima Kasih!
----------
Bild-Quelle: http://www.schoene-bibelverse.de/die-sollen-dem-herrn-danken-fuer-seine-guete-und-fuer-seine-wunder-die-er-den-menschenkindern-tut-1370/