MERINDUKAN SEORANG …
Julia,
Eksistensi
kemanusiaan kita yang tidak sempurna tidak hanya mengartikan kerapuhan kita
sebagai insan yang juga jatuh dalam jurang dosa; tidak juga hanya menunjukkan
kelemahan atau mungkin sisi negatif dari gambaran seorang manusia.
Ketidaksempurnaan adanya kita di dalam Planet Bumi ini sesungguhnya telah
menciptakan suatu „ruang kosong“ yang tak terisi, yang hilang dari kehidupan. Dan
kerinduan akan seseorang atau sesuatu apa yang hilang itu turut menegaskan
adanya „ruang kosong“ dalam diri dan kehidupan. Maka tidak heran, jika
kerinduan itu terkadang dibahasakan seperti luka yang menganga dalam diri,
menyayat selaput-selaput jiwa.
Kerinduan
bukanlah „ingin“ yang merayu, bukan hasrat nafsu yang menggoda. Kerinduan
adalah luka. Luka itu mesti disembuhkan agar daging-tubuh itu menjadi satu
kesatuan utuh. Dan luka-luka kerinduan itu senantiasa dipanggang di atas bara
harapan yang membakar animo kita untuk terus berjuang dan bertahan dalam hidup.
Oleh karena itu,
kerinduan akan sosok seseorang, entah itu kekasih, pacar, suami, pendamping
hidup, atau istilah apa lainnya yang dipakai untuk membahasakan „apa yang
hilang“ dari ruang kosong itu, adalah bahasa jiwa yang wajar dan legitim
diterima, bukan hanya secara psikologis sebagai bagian dari tahap perkembangan
manusia, tetapi juga dari aspek sosio-antropologis.
Namun, Julia,
tidaklah mudah untuk menemukan sosok seseorang yang pantas dan pas untuk mengisi
ruang kosong dalam hidup; sosok yang bisa menjawab semua harap dan keinginannmu,
sosok dengan kepribadian yang sesuai dengan personalitas dirimu. Atau, jika
memang tidak sesuai dengan kepribadianmu, paling tidak bisa menerima dirimu apa
adanya, kelebihan serta kekuarangan. Apalagi di garis usia kedewasaan yang
mendekati 30. Di tengah kematangan usia seperti itu (apalgi untuk seorang
gadis), sex atau pun tujuan kenikmatan dan kesenangan hidup tidak lagi menjadi
prioritas hidup. Banyak (gadis) yang merasa cemas atau takut ketika masuk dalam
kategori usia seperti itu. Keseriusan dan tanggung jawab atau suatu jalinan
tali kasih/percintaan adalah harapan sekaligus tujuan yang hendak dicapai.
Julia,
Aku bukanlah
dokter cinta. Bukan juga sosok motivator seperti Mario Teguh, dll. Aku hanyalah
teman yang menjadi bagian dari cerita hidupmu. Aku tak bisa membantu lebih
untuk menemukan sosok yang pas buatmu, begitu pun sebaliknya kamu untuk aku.
Apa yang bisa kita lakukan adalah kesabaran dalam pencaharian ini. Mungkin
kedengaran aneh dan konyol, apalagi ketika orang sedang terbakar kerinduan untuk
mencintai dan dicintai oleh pasangan hidup. Ada begitu banyak pria (juga
wanita) yang bisa kita jumpai dan kenal, baik di dunia nyata maupun di dunia
maya lewat social media. Namun, tak mudah untuk menemukan sosok yang sepadan. Nikmatilah
masa „jomblo“mu seperti yang kamu katakan: „carpe diem“! Pergunakan waktu untuk
hal-hal yang bermanfaat untuk kehidupanmu kini dan nanti; hal yang mungkin tak
bisa lagi kamu lakukan ketika kamu telah syah menjadi milik seseorang, ketika
kamu telah memiliki keterikatan dengan seseorang. Biarkanlah dirimu ditempa
sebagaimana bejana tanah liat yang mudah rapuh, dibentuk oleh aneka pengalaman
sambil tetap yakin, bahwa DIA yang kamu imani akan menjadikan semuanya indah
pada waktunya. Temukanlah makna hidupmu, apa yang sesungguhnya menjadi
pencaharianmu, apa yang menjadikanmu bahagia, juga kebahagiaan tanpa sosok
seorang pria. Hubungan antara pria dan wanita tidaklah menjadi standar garansi
sebuah kebahagiaan. Banyak wanita yang tidak bahagia dengan pasangan hidup,
gonta-ganti pasangan (cerai), dan berbagai krisis lainnya dalam hubungan antara
keduanya. Tapi hal ini tidak boleh menjadi alasan buatmu untuk takut menaruh
simpati dan mencintai seseorang. Kenal dirimu, kenal calon pasangan hidupmu!
Itu ujian pertama dalam bercinta.
Untuk ujian ini,
ada sedikit bocoran bahan dari sebuah buku yang aku baca hehehheh….
Dalam menginginkan seorang wanita, demikian Christian
Sender, pria membedakan wanita dalam tiga kategori.
Pertama,
wanita yang hanya dijadikan sebagai partner sex. Sebuah tingkatan hubungan yang
lebih serius dengan seorang wanita sampai pernikahan tidak menjadi tema penting
dalam relasi yang mereka bangun.
Kedua, wanita yang „hanya“ dijadikan teman, tidak
terpikirkan sama sekali untuk menggiring pasangannya sampai ke „tempat tidur“. Jika
memang terjadi (sex), hal itu bukan karena suka sama suka, tapi lebih pada pemahaman
tentang „pacaran“ yang „trend“ saat ini: „pacaran tanpa sex adalah sesuatu yang
aneh“. Pria kelompok ini juga tidak tertarik pada tema-tema seperti
pertunangan, pernikahan, atau anak. Kepada wanita mereka bisa menceritakan apa
saja; bersama ke diskotik atai pesta.
Ketiga, Last
but not least, wanita yang dapat menjadi teman hidup. Wanita-wanita ini
bisa jadi bukan „pacar“, bukan juga sebuah relasi sex.
Semoga bocoran
soal ini bisa membantumu hehehehhehe…. Sender berbicara dalam konteks Eropa. (Semoga
gambaran Sender tentang „pacaran“ seperti di atas tidak terjadi juga di Tanah
Air.)
Salam
Bild-Quell: https://www.liebe.de/schlussstrich-trennung-fair/