PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

05 April 2017

TAK ADA ALASAN UNTUK TIDAK BAHAGIA


TAK ADA ALASAN UNTUK TIDAK BAHAGIA

 Julia,

Menerawang kembali tapak-tapak ziarah kehidupan yang telah kau tinggalkan pada dinding waktu lampau sembari mengingat dan menghitung-hitung narasi kebahagiaan yang telah tercatat pada helai- helai hari hidupmu, menghantarmu pada suatu keyakinan: „Tak ada alasan untuk tidak bahagia dalam hidup“. Keyakinan bahwa „Tak ada alasan untuk tidak bahagia“ ini juga memberiku kesadaran, bahwa kebahagiaan itu bukan sekedar keinginan tetapi lebih sebagai sebuah kebutuhan. Frase „tak ada alasan“ menyiratkan bahasa kerinduan pada apa yang semestinya ada pada hidup dan kehidupan.

Terkadang kita lebih memfokuskan diri dan menghabiskan waktu dan tenaga untuk idealisme yang selalu kelaparan serta mengejar impian-impian prestasi dan prestise hingga lupa untuk bahagia. Ketika kamu tak lagi punya alasan untuk bahagia, di saat itu pula kamu kehilangan alasan untuk bersyukur atas apa yang telah kamu peroleh. Sudah begitu banyak momen kebahagiaan yang telah kamu alami dalam hidupmu dan kamu sendiri tak segan-segan mengenangnya. Di sini, aktus mengenang bukanlah sekedar membalikkan pandangan, lalu bernostalgia tentang momen-momen bahagia itu; bukan juga sekedar gerakan romantisme yang membangkitkan emosi. Dalam aktus mengenang, kita juga disadarkan untuk bersyukur: „Denken ist Danken“ – Berpikir (mengenang melibatkan juga aspek kognitiv dan tentu emosi) berarti bersyukur. Karena itu, dari rahim kesadaran „Tak ada alasan untuk tidak bahagia“, lahirlah kesadaran baru: „tak ada alasan untuk tidak bersyukur“. Bersyukur pada Sang Pemberi Hidup, pada keluarga, pada sesama, pada alam ciptaan, pada diri sendiri.

Julia,

Terima kasih, karena engkau telah mengajarku untuk tak lupa bahagia. Terima kasih, karena engkau telah menjadi bagian dari kebahagiaanku.

Mari, kita berterima kasih dan bersyukur kepada Sang Pemberi Hidup. Terima Kasih, bahwa kita bisa bersyukur dan berterima kasih!

Terima Kasih!
----------
Bild-Quelle: http://www.schoene-bibelverse.de/die-sollen-dem-herrn-danken-fuer-seine-guete-und-fuer-seine-wunder-die-er-den-menschenkindern-tut-1370/

No comments:

Post a Comment