SIAPAKAH „KITA“
Siapakah yang dimaksudkan dengan „kita“
ketika kita menyebutkan diri sebagai „kita“? Lalu, mengapa segelitintir atau
sekolompok orang masuk dalam hitungan „kita“ sementara yang lain tidak? Apa
yang menjadi ciri khas „kekitaan“, yang melegitimasi keanggotaan dan yang
membedakan kita dengan yang lain? Tanpa sadar, ketika kita menyebut diri
sebagai „kita“ yang eksklusif, semakin banyak lahir „mereka-mereka“ yang lain.
Menemukan
jawaban atas deretan pertanyaan di atas menuntut kita untuk membuat
„pembatasan“ yang menjadi definisi (definisi=batasan) „kita“: di mana harus dimulai
dan di titik mana harus berakhir. Membuat definisi tentang „kita“ berarti
mencari batas-batas ruang pemisah terhadap yang lain.
Ketika
mengatakan „aku“, sudah hampir pasti benar siapa yang kita maksudkan, di mana
„aku“ itu dimulai dan di mana batas akhirnya. Dalam Lobus temporalis belahan otak manusia terdapat suatu wilayah dengan
jaringan-jaringan neurologis yang kompleks, yang di dalamya segala rangsangan
yang dikirim oleh reseptor indrawi ke otak diolah. Oleh karena itu, kita
biasanya tahu secara baik, di mana batas akhir ke-AKU-an, di mana titik awal dunia
di luar tubuh si „aku“ dimulai. Persinggungan atau perbenturan tubuh dengan apa
yang di luar tubuh, yang asing, akan mengantar si „aku“ kepada ingatan dan
kesadaran yang lahir dalam berbagai bentuk reaksi. Misalnya, terbentur palang
pintu atau sentuhan dengan tubuh yang lain. Jaringan-jaringan neurologis ini
dapat dilumpuhkan sehingga orang tidak lagi tahu atau lupa akan batas-batas
ke-Aku-annya. Melumpuhkan fungsi jaringan atau memadamkan ingatan tentu
sangatlah mudah. Cukup dengan menelan satu pil seperti serotonin antagonistis atau disuntik pada tubuh (bdk. Wikipedia.
Selain berfungsi dalam sistem saraf pusat seperti mengatur mood, selera makan,
kontributor untuk perasaan sejahterah/bahagia [karena itu juga dsebut hormon
kebahagiaan], serotonin juga memiliki
fungsi kognitif seperti dalam memori atau daya ingat dan belajar). Serotonin
antagonistis akan menghambat seluruh proses kerja dalam lobus temporalis sehingga orang merasa bebas tanpa batas, merasa connect dengan siapa saja. Sebagai
manusia normal, setiap orang masih mampu mengenal batas-batas si „Aku“.
Lalu, bagaimana
dengan „kita“?
„Kita“ menjauhkan
diri dari yang lain, „kita“ mengambil jarak dan mecipta ruang serta batas
sekatnya. Terkadang „kita“ lupa, bahwa ia memiliki korelasi dengan yang lain,
bergantung satu sama lain dan tumbuh – tidak hanya dalam dimensi sosialitas
tetapi juga sebagai individu. Kita memiliki kebutuhan (dasar) yang sama,
menjunjung harapan, memiliki kecemasan dan rasa takut. Namun sayang; dalam
peredaran waktu, pemaknaan tentang „kita“ tidak lagi merangkum seluruh manusia
yang menghuni planet bumi. Manusia terkotak-kotak dalam berbagai model klasifikasi
diskriminatif, terpisah oleh kelompokisme yang sangat eksklusif dan rasis.
Blood is (not) thicker than water
Tinjauan sosio-biologis
menunjukkan, bahwa oleh karena gen-gen ego(isme) dalam diri, manusia hanya
saling membantu di antara orang-orang yang dikenal dan memiliki ikatan relasi
kekeluargaan atau sejauh tindakan saling membantu itu membawa manfaat untuk
kelangsungan hidup dan menambah keuntungan. Semakin intens setiap orang menolong
sesamanya (dalam ikatan hubungan darah), selalu ada dan membantu dalam setiap
kesulitan, mendidik dan membesarkan anak, semakin besar peluang tumbuh dan
menyebarnya gen-gen ego(isme) (Hüther: 2014). Blood ist thicker than water, demikian bunyi peribahasa Inggris
untuk menggambarkan situasi di atas, bahwa keluarga jauh lebih penting daripada
orang lain, sahabat, teman, dll.
Namun realitas
kekinian justru berbicara lain. Seperti rantai makanan dalam alam – harimau yang
memangsa anak-anak harimau dari induk yang sama – seseorang bisa juga tega
memmbunuh anak kandungnya, atau suami membunuh istri. Keluarga tidak lagi lebih
penting, melainkan orang lain: Blood ist
not thicker than water. Relasi utilitas dengan pengusaha dan pemilik modal
lebih penting dari tenunan persaudaraan. Perselingkuhan dengan politisi, para
ulama dan imam terkesan lebih nikmat ketimbang ikrar bersama sebagai satu
bangsa, satu bahasa, satu tanah air. Menjegal dan membunuh sesama pejuang
kebenaran dan keadilan itu lebih mulia daripada memberantas koruptor dan
investor asing yang menggurita di rumah yang bernama NKRI. Lantas, apakah yang
bisa mempersatukan manusia – tidak hanya dari satu garis keturunan linear –
tetapi semua orang dengan latar belakang keluarga dan budaya yang berbeda?
Bukan ikatan kekeluargaan atau hubungan darah; bukan juga air yang mengalir di
tubuh, bukan juga dogma dan kitab suci, melainkan rasa sebagai sesama manusia,
ciptaan yang memiliki harkat dan martabat. Rasa sebagai „kita“ yang berbhineka:
tak ada kafir dan non kafir, pribumi atau non pribumi. Definisi itu hanya
mengurung „kita“ dalam batas-batas egoisme yang sempit, memenjarakan kita dalam
jeruji kebencian dan rasisme, lalu menjadikan kita kerdil dalam berpikir, latah
dalam berkata dan brutal dalam bertindak.*** VL
Bilder-Quelle:
kanzlei-blaufelder.com
emaze.com
Bilder-Quelle:
kanzlei-blaufelder.com
emaze.com
No comments:
Post a Comment