PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

26 April 2017

Siapakah "Kita"?

SIAPAKAH „KITA“

Siapakah yang dimaksudkan dengan „kita“ ketika kita menyebutkan diri sebagai „kita“? Lalu, mengapa segelitintir atau sekolompok orang masuk dalam hitungan „kita“ sementara yang lain tidak? Apa yang menjadi ciri khas „kekitaan“, yang melegitimasi keanggotaan dan yang membedakan kita dengan yang lain? Tanpa sadar, ketika kita menyebut diri sebagai „kita“ yang eksklusif, semakin banyak lahir „mereka-mereka“ yang lain.
Menemukan jawaban atas deretan pertanyaan di atas menuntut kita untuk membuat „pembatasan“ yang menjadi definisi (definisi=batasan) „kita“: di mana harus dimulai dan di titik mana harus berakhir. Membuat definisi tentang „kita“ berarti mencari batas-batas ruang pemisah terhadap yang lain.
Ketika mengatakan „aku“, sudah hampir pasti benar siapa yang kita maksudkan, di mana „aku“ itu dimulai dan di mana batas akhirnya. Dalam Lobus temporalis belahan otak manusia terdapat suatu wilayah dengan jaringan-jaringan neurologis yang kompleks, yang di dalamya segala rangsangan yang dikirim oleh reseptor indrawi ke otak diolah. Oleh karena itu, kita biasanya tahu secara baik, di mana batas akhir ke-AKU-an, di mana titik awal dunia di luar tubuh si „aku“ dimulai. Persinggungan atau perbenturan tubuh dengan apa yang di luar tubuh, yang asing, akan mengantar si „aku“ kepada ingatan dan kesadaran yang lahir dalam berbagai bentuk reaksi. Misalnya, terbentur palang pintu atau sentuhan dengan tubuh yang lain. Jaringan-jaringan neurologis ini dapat dilumpuhkan sehingga orang tidak lagi tahu atau lupa akan batas-batas ke-Aku-annya. Melumpuhkan fungsi jaringan atau memadamkan ingatan tentu sangatlah mudah. Cukup dengan menelan satu pil seperti serotonin antagonistis atau disuntik pada tubuh (bdk. Wikipedia. Selain berfungsi dalam sistem saraf pusat seperti mengatur mood, selera makan, kontributor untuk perasaan sejahterah/bahagia [karena itu juga dsebut hormon kebahagiaan], serotonin juga memiliki fungsi kognitif seperti dalam memori atau daya ingat dan belajar). Serotonin antagonistis akan menghambat seluruh proses kerja dalam lobus temporalis sehingga orang merasa bebas tanpa batas, merasa connect dengan siapa saja. Sebagai manusia normal, setiap orang masih mampu mengenal batas-batas si „Aku“.
Lalu, bagaimana dengan „kita“?
„Kita“ menjauhkan diri dari yang lain, „kita“ mengambil jarak dan mecipta ruang serta batas sekatnya. Terkadang „kita“ lupa, bahwa ia memiliki korelasi dengan yang lain, bergantung satu sama lain dan tumbuh – tidak hanya dalam dimensi sosialitas tetapi juga sebagai individu. Kita memiliki kebutuhan (dasar) yang sama, menjunjung harapan, memiliki kecemasan dan rasa takut. Namun sayang; dalam peredaran waktu, pemaknaan tentang „kita“ tidak lagi merangkum seluruh manusia yang menghuni planet bumi. Manusia terkotak-kotak dalam berbagai model klasifikasi diskriminatif, terpisah oleh kelompokisme yang sangat eksklusif dan rasis.
Blood is (not) thicker than water
Tinjauan sosio-biologis menunjukkan, bahwa oleh karena gen-gen ego(isme) dalam diri, manusia hanya saling membantu di antara orang-orang yang dikenal dan memiliki ikatan relasi kekeluargaan atau sejauh tindakan saling membantu itu membawa manfaat untuk kelangsungan hidup dan menambah keuntungan. Semakin intens setiap orang menolong sesamanya (dalam ikatan hubungan darah), selalu ada dan membantu dalam setiap kesulitan, mendidik dan membesarkan anak, semakin besar peluang tumbuh dan menyebarnya gen-gen ego(isme) (Hüther: 2014). Blood ist thicker than water, demikian bunyi peribahasa Inggris untuk menggambarkan situasi di atas, bahwa keluarga jauh lebih penting daripada orang lain, sahabat, teman, dll.
Namun realitas kekinian justru berbicara lain. Seperti rantai makanan dalam alam – harimau yang memangsa anak-anak harimau dari induk yang sama – seseorang bisa juga tega memmbunuh anak kandungnya, atau suami membunuh istri. Keluarga tidak lagi lebih penting, melainkan orang lain: Blood ist not thicker than water. Relasi utilitas dengan pengusaha dan pemilik modal lebih penting dari tenunan persaudaraan. Perselingkuhan dengan politisi, para ulama dan imam terkesan lebih nikmat ketimbang ikrar bersama sebagai satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air. Menjegal dan membunuh sesama pejuang kebenaran dan keadilan itu lebih mulia daripada memberantas koruptor dan investor asing yang menggurita di rumah yang bernama NKRI. Lantas, apakah yang bisa mempersatukan manusia – tidak hanya dari satu garis keturunan linear – tetapi semua orang dengan latar belakang keluarga dan budaya yang berbeda? Bukan ikatan kekeluargaan atau hubungan darah; bukan juga air yang mengalir di tubuh, bukan juga dogma dan kitab suci, melainkan rasa sebagai sesama manusia, ciptaan yang memiliki harkat dan martabat. Rasa sebagai „kita“ yang berbhineka: tak ada kafir dan non kafir, pribumi atau non pribumi. Definisi itu hanya mengurung „kita“ dalam batas-batas egoisme yang sempit, memenjarakan kita dalam jeruji kebencian dan rasisme, lalu menjadikan kita kerdil dalam berpikir, latah dalam berkata dan brutal dalam bertindak.*** VL

Bilder-Quelle:
kanzlei-blaufelder.com
emaze.com

No comments:

Post a Comment