AGAMA DAN PANGGILAN UNTUK DEMOKRASI
Tentang Konflik Pembangunan Gereja
Sta. Clara – Bekasi
Vianey Lein
Proyek pembangunan gereja di
Indonesia cendrung beriringan dengan debat yang bahkan menyulut konflik
kekerasan. Selain sentimen agama dan budaya, terbaca pula rasa „kekhawatiran“
(phobia) yang tidak rasional (yang tak semestinya ada) atas penolakan
pembangunan gereja. Proyek pembangunan gereja dilihat sebagai ancaman terhadap
indentitas kelompok radikal.
Merujuk pada demo yang dilancarkan oleh
sejumlah Ormas Islam pada 24 Maret 2017 lalu dan argumen penolakan yang
diutarakan, ada beberapa aspek yang dipersoalkan dari proyek pembangunan gereja
yang mesti segera diselasaikan.
Pertama,
dimensi ruang yang mencakup tempat didirikannya gereja (tidak diizinkan
mendirikan gereja di dekat pesantren). Rasionalitas berpikir tentu tidak
menjebak kita dalam pemikiran sempit, bahwa panitia pembangunan gereja bersama
umat setempat mendirikan gereja secara diam-diam sehingga menimbulkan shock effekt dan amarah bagi kelompok
mayoritas yang juga memiliki aset-aset religiositas di sekitarnya. Rencana dan proses
pembangunan gereja tentu telah dibicarakan dengan pihak pemerintah setempat
bersama para tokoh agama dan berjalan sesuai prosedur yang berlaku; oleh karena
itu diteribitkannya Surat Izin Pelaksanaan Mendirikan Bangunan (SIPMB) pada
Juli 2015 (bdk. Tempo.co, 25 maret 2017). Lebih lanjut, bangunan gereja yang
eksotis dengan „bahasa“ arstikek yang asing (gereja yang megah dengan tiga
lantai) dinilai menyakiti umat Islam. Dimensi ruang dan struktur bangunan
seakan menggugat identitas kaum mayoritas. Kecurigaan-kecurigaan yang dibangun
di atas phobia mulai muncul: ada
maksud apa di balik pembangunan gereja yang megah?
Usaha menggagalkan proses pembangunan
gereja dengan dalih dimensi ruang sebagaimana yang disebutkan merupakan langkah
segregasi dari kelompok mayoritas untuk mengucilkan kaum minoritas dari ruang
publik. Mempersoalkan letak bangunan gereja (representasi kelompok minoritas)
di tengah lautan kelompok mayoritas merupakan ekspresi dari lumpuhnya
kesiap-sediaan atau takut untuk berintegrasi dengan kaum minoritas. Sebagai
kelompok mayoritas, Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi (MSUIB) semestinya
tidak merasa khawatir atau sakit hati dengan kehadiran gereja. Iman tidak
dibatasi oleh ruang atau diredusir dalam atribut-atribut keagamaan. Iman mesti
dihidupi dalam pengalaman perjumpaan dengan sesama, dengan yang asing dan baru,
dengan komunitas agama lain. Di dalam perjumpaan dengan realitas keberbedaan
itulah iman kita ditantang dan ditempa, apakah berakar kuat dan kokoh atau
mudah tercerabut.
Kedua, dimensi
agama, yakni hubungan perilaku antara kaum mayoritas dan kristen di lokasi pembangunan
gereja. Pengalaman perjumpaan atau pola hidup bersama antara kelompok Kristen
dan Muslim di Bekasi harus menggambarkan hubungan-hubungan dialogis. Konflik
antar agama yang hampir selalu terjadi menantang masing-masing kelompok untuk
mengevaluasi kembali tatanan hidup bersama: apakah penuh kecurigaan dan
ketakutan, bahwa komunitas agama yang satu akan menguasai yang lain atau
terbuka mengakui serta menerima setiap perbedaan untuk memperkaya khazanah
rohani? Sikap menutup diri terhadap perbedaan dan usaha mengasingkan komunitas
agama lain agama adalah benih-benih radikalisme dan fundamentalisme.
Ketiga,
dimensi teologis. Dari aksi penolakan pembangungan gereja di Bekasi dapat
terbaca adanya kesan kekhwatiran dari kelompok radikal, bahwa misi kristianisasi
akan muncul setelah proyek pembangunan gereja. Dalam hal ini penolakan secara
eksplisit tidak dialamatkan kepada bangunan gereja an sich melainkan kepada simbol gereja sebagai pusat penyebaran
misi. Misi Kristen (dan tentu juga misi Islam: dawa: undangan) adalah sebuah warta iman yang menyiratkan undangan
atau tawaran. Ada dua kemungkinan sikap atau reaksi terhadap warta iman itu:
atau diterima atau ditolak. Dan misi kristen tidak lagi dimengerti sebagai
usaha membaptis sebanyak mungkin orang untuk memenuhi ruang gereja. Misi
kristen adalah pelayanan yang ditujukan kepada semua orang, baik secara ke
dalam – untuk kelompok kristen sendiri (mission
ad intra) maupun ke luar tanpa memandang suku, agama atau ras (mission ad extra). Persepsi menghubungkan
gereja sebagai pusat misi untuk membaptis sebanyak mungkin orang akan
menciptakan konflik emosi yang menutup ruang untuk toleransi.
Keempat, aspek
yuridis, bahwa dicurigai adanya pelanggaran dalam administrasi proses
pembangunan gereja. Sebagai negara hukum kita percayakan kasus ini kepada pihak
berwajib untuk diproses lebih lanjut. Setiap individu maupun kelompok bebas
menyampaikan pendapat atau keberatan tanpa melanggar atau mencederai kebebasan
orang atau komunitas agama lain. Dalam hal ini, dogmatisme agama tidak bisa
serta merta menjadi legitimasi hukum di tengah pluralitas agama. Dogma-dogma
dalam agama tidak boleh secara serampangan menjadi legitimasi otoritarianisme
yang mana berseberangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Untuk menata dan menjaga suatu
kehidupan demokrasi yang pluralistis seperti Indonesia, tidak cukup
mengandalkan kesamaan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang mempersatukan atau
kesamaan sejarah kemerdekaan. Kita membutuhkan persetujuan atau
kesepakatan-kesepakatan bersama serta pengakuan tentang norma atau nilai-nilai.
Hal ini menuntut gambaran atau persepsi bersama tentang kebebasan, keadilan,
solidaritas, martabat manusia, integritas diri, respek dan toleransi.
Nilai-nilai ini bukanlah pilar-pilar politis melainkan landasan etik-budaya
yang menopang bangunan demokrasi yang bermartabat. Kita mengakui, bahwa
nilai-nilai ini tidak sekali ada untuk selamanya, melainkan sering dicederai
bahkan disangkal dalam kehidupan berdemokrasi. Oleh karena itu, usaha-usaha
penanaman nilai-nilai kebajikan mesti terus digiatkan. Inilah tugas negara yang
terjabar dalam program-program pendidikan dan juga tugas agama yang kita yakini
sebagai sumber yang mengajarkan kebaikan dan berkiblat kepada cinta dan
persaudaraan. Di tengah berbagi konflik antar agama di Tanah Air, kita sebagai
warga sekaligus umat yang beriman, dipanggil untuk memperjuangkan kehidupan
demokrasi yang beradab. ***
No comments:
Post a Comment