PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

25 April 2017

Agama dan Panggilan untuk Demokrasi

AGAMA DAN PANGGILAN UNTUK DEMOKRASI
Tentang Konflik Pembangunan Gereja Sta. Clara – Bekasi
Vianey Lein

Proyek pembangunan gereja di Indonesia cendrung beriringan dengan debat yang bahkan menyulut konflik kekerasan. Selain sentimen agama dan budaya, terbaca pula rasa „kekhawatiran“ (phobia) yang tidak rasional (yang tak semestinya ada) atas penolakan pembangunan gereja. Proyek pembangunan gereja dilihat sebagai ancaman terhadap indentitas kelompok radikal.
Merujuk pada demo yang dilancarkan oleh sejumlah Ormas Islam pada 24 Maret 2017 lalu dan argumen penolakan yang diutarakan, ada beberapa aspek yang dipersoalkan dari proyek pembangunan gereja yang mesti segera diselasaikan.
Pertama, dimensi ruang yang mencakup tempat didirikannya gereja (tidak diizinkan mendirikan gereja di dekat pesantren). Rasionalitas berpikir tentu tidak menjebak kita dalam pemikiran sempit, bahwa panitia pembangunan gereja bersama umat setempat mendirikan gereja secara diam-diam sehingga menimbulkan shock effekt dan amarah bagi kelompok mayoritas yang juga memiliki aset-aset religiositas di sekitarnya. Rencana dan proses pembangunan gereja tentu telah dibicarakan dengan pihak pemerintah setempat bersama para tokoh agama dan berjalan sesuai prosedur yang berlaku; oleh karena itu diteribitkannya Surat Izin Pelaksanaan Mendirikan Bangunan (SIPMB) pada Juli 2015 (bdk. Tempo.co, 25 maret 2017). Lebih lanjut, bangunan gereja yang eksotis dengan „bahasa“ arstikek yang asing (gereja yang megah dengan tiga lantai) dinilai menyakiti umat Islam. Dimensi ruang dan struktur bangunan seakan menggugat identitas kaum mayoritas. Kecurigaan-kecurigaan yang dibangun di atas phobia mulai muncul: ada maksud apa di balik pembangunan gereja yang megah?
Usaha menggagalkan proses pembangunan gereja dengan dalih dimensi ruang sebagaimana yang disebutkan merupakan langkah segregasi dari kelompok mayoritas untuk mengucilkan kaum minoritas dari ruang publik. Mempersoalkan letak bangunan gereja (representasi kelompok minoritas) di tengah lautan kelompok mayoritas merupakan ekspresi dari lumpuhnya kesiap-sediaan atau takut untuk berintegrasi dengan kaum minoritas. Sebagai kelompok mayoritas, Majelis Silaturahim Umat Islam Bekasi (MSUIB) semestinya tidak merasa khawatir atau sakit hati dengan kehadiran gereja. Iman tidak dibatasi oleh ruang atau diredusir dalam atribut-atribut keagamaan. Iman mesti dihidupi dalam pengalaman perjumpaan dengan sesama, dengan yang asing dan baru, dengan komunitas agama lain. Di dalam perjumpaan dengan realitas keberbedaan itulah iman kita ditantang dan ditempa, apakah berakar kuat dan kokoh atau mudah tercerabut.

Kedua, dimensi agama, yakni hubungan perilaku antara kaum mayoritas dan kristen di lokasi pembangunan gereja. Pengalaman perjumpaan atau pola hidup bersama antara kelompok Kristen dan Muslim di Bekasi harus menggambarkan hubungan-hubungan dialogis. Konflik antar agama yang hampir selalu terjadi menantang masing-masing kelompok untuk mengevaluasi kembali tatanan hidup bersama: apakah penuh kecurigaan dan ketakutan, bahwa komunitas agama yang satu akan menguasai yang lain atau terbuka mengakui serta menerima setiap perbedaan untuk memperkaya khazanah rohani? Sikap menutup diri terhadap perbedaan dan usaha mengasingkan komunitas agama lain agama adalah benih-benih radikalisme dan fundamentalisme.
Ketiga, dimensi teologis. Dari aksi penolakan pembangungan gereja di Bekasi dapat terbaca adanya kesan kekhwatiran dari kelompok radikal, bahwa misi kristianisasi akan muncul setelah proyek pembangunan gereja. Dalam hal ini penolakan secara eksplisit tidak dialamatkan kepada bangunan gereja an sich melainkan kepada simbol gereja sebagai pusat penyebaran misi. Misi Kristen (dan tentu juga misi Islam: dawa: undangan) adalah sebuah warta iman yang menyiratkan undangan atau tawaran. Ada dua kemungkinan sikap atau reaksi terhadap warta iman itu: atau diterima atau ditolak. Dan misi kristen tidak lagi dimengerti sebagai usaha membaptis sebanyak mungkin orang untuk memenuhi ruang gereja. Misi kristen adalah pelayanan yang ditujukan kepada semua orang, baik secara ke dalam – untuk kelompok kristen sendiri (mission ad intra) maupun ke luar tanpa memandang suku, agama atau ras (mission ad extra). Persepsi menghubungkan gereja sebagai pusat misi untuk membaptis sebanyak mungkin orang akan menciptakan konflik emosi yang menutup ruang untuk toleransi.

Keempat, aspek yuridis, bahwa dicurigai adanya pelanggaran dalam administrasi proses pembangunan gereja. Sebagai negara hukum kita percayakan kasus ini kepada pihak berwajib untuk diproses lebih lanjut. Setiap individu maupun kelompok bebas menyampaikan pendapat atau keberatan tanpa melanggar atau mencederai kebebasan orang atau komunitas agama lain. Dalam hal ini, dogmatisme agama tidak bisa serta merta menjadi legitimasi hukum di tengah pluralitas agama. Dogma-dogma dalam agama tidak boleh secara serampangan menjadi legitimasi otoritarianisme yang mana berseberangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Untuk menata dan menjaga suatu kehidupan demokrasi yang pluralistis seperti Indonesia, tidak cukup mengandalkan kesamaan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang mempersatukan atau kesamaan sejarah kemerdekaan. Kita membutuhkan persetujuan atau kesepakatan-kesepakatan bersama serta pengakuan tentang norma atau nilai-nilai. Hal ini menuntut gambaran atau persepsi bersama tentang kebebasan, keadilan, solidaritas, martabat manusia, integritas diri, respek dan toleransi. Nilai-nilai ini bukanlah pilar-pilar politis melainkan landasan etik-budaya yang menopang bangunan demokrasi yang bermartabat. Kita mengakui, bahwa nilai-nilai ini tidak sekali ada untuk selamanya, melainkan sering dicederai bahkan disangkal dalam kehidupan berdemokrasi. Oleh karena itu, usaha-usaha penanaman nilai-nilai kebajikan mesti terus digiatkan. Inilah tugas negara yang terjabar dalam program-program pendidikan dan juga tugas agama yang kita yakini sebagai sumber yang mengajarkan kebaikan dan berkiblat kepada cinta dan persaudaraan. Di tengah berbagi konflik antar agama di Tanah Air, kita sebagai warga sekaligus umat yang beriman, dipanggil untuk memperjuangkan kehidupan demokrasi yang beradab. ***

No comments:

Post a Comment