PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

31 March 2017

KEBAHAGIAAN

TENTANG KEBAHAGIAAN

Julia,
Pertanyaan tentang definisi kebahagiaan dan arti kesempurnaan yang pernah kita diskusikan masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan baru. Lalu, kebahagiaan seperti apa, yang sesungguhnya menjadi hakikat pencaharianmu? Apakah kamu telah meraih kebahagiaan yang kamu impikan itu? Momen atau peristiwa apa yang paling membahagiakan dalam hidupmu? Apakah itu pengalaman ciuman pertama yang membakar asmara cinta di jiwamu? Atau mungkin sebuah pertemuan kembali yang tak terduga dengan orang yang telah sekian tahun hilang dari peredan hidupmu, atau kelahiran ciptaan baru dalam lingkaran keluarga? Aku sendiri hanya bisa menebak. Tapi satu hal yang aku yakini pasti adalah, bahwa momen-momen atau potongan cerita bahagia yang kita alami senantiasa terjadi dalam pengalaman keterlibatan dengan yang lain, entah itu keluarga, sahabat atau kenalan. Dan itulah hakikat hidup manusia yang tak bisa kita sangkal sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang filsuf fenomenologi dan eksistensialis asal Prancis, Gabriel Marcel, dalam refleksi filosofisnya: esse est co-esse, ada selalu berarti ada bersama. Begitu pula dengan postulat Agustinus dari Hippo, filsuf dan teolog pada awal kekristenan, bahwa awal segala kebagiaan senantiasa berkaitan dengan Yang Ilahi (Allah). Dan dalam relasi dialogis inilah manusia akhirnya (mesti) membuka diri bagi yang lain. „Kehabagiaan berarti memiliki Allah dan mengada bersama yang lain“. Senada dengan Agustinus, Aristoteles, Filsuf Yunani Kuno itu, juga sejak awal mengemukakan pledoinya tentang kebagiaan dalam kerangka hidup berdemokrasi: „tanggung jawab hidup bersama merupakan kewajiban bagi setiap rakyat dan itu merupakan syarat untuk terpenuhinya kebahagiaan pribadi“. Dimensi sosialitas manusia ini menjadikan kita sadar bahwa kita hidup dan tinggal dalam kebersamaan, bahwa kita membutuhkan yang lain dan sekaligus kita juga dibutuhkan oleh yang lain. Ini tentu memberi sebuah harapan sekaligus kritik sosial atas realitas hidup, karena masih banyak sesama kita yang hidup dan tinggal sendirian seolah mereka tak punya sanak keluarga dan sahabat.

Bukankah euforia bahagia itu dirayakan dalam kebersamaan dengan yang lain dan bukan sebaliknya dalam bilik sempit yang sunyi dari relasi? Dalam perayaan itulah kita membagikan kepingan-kepingan kebahagiaan dengan yang lain. Dalam aktus berbagi itu pula kita mengasah rasa empati dan simpati dalam diri, juga ketika orang yang kepadanya kamu berbagi adalah seorang asing yang sebelumnya tidak kamu kenal. Lagi pula, kebahagiaan yang kamu gandakan untuk orang lain tidak akan berkurang. Kebahagiaan bukanlah uang, yang jika dibagikan kepada orang lain akan berkurang. Kebahagiaan tak dapat dibeli dengan uang, juga tak dapat dibayar lunas dengan hitungan rupiah. Bahwa kita membutuhkan uang dan menghasilkan uang, itu suat hal yang legitim dan diterima. Karena itu, jangan pernah bermimpi untuk menenun kebahagiaan dari hitungan rupiah. Kebahagiaan itu tidak lama kita jumpai dan alami ketika kita berusaha mengendalikan keinginan-keinginan material untuk terus memiliki lebih dan lebih … Janganlah kita mengikat diri atau bergantung pada harta dan prinsip-prinsip hidup materialistis karena hal itu justru bertentangan dengan prinsip-prinsip kebahagiaan. Kebahagiaan – Eudaimonia (bahasa Yunani), dalam sejarah Yunani Kuno berarti „kerelaan untuk melepaskan atau meninggalkan segala (materi) yang mengikat, yang menyiksa, karena kita seperti dipaksa dan terhipnotis untuk terus memilikinya.  Tapi itulah manusia, selalu tidak puas dengan apa yang dimiliki; terus memanjat di piramide keinginan hingga mati tertancap di ujung kerucut.

Sebagai penutup saya mengutip Lao Tse:

Genug zu haben ist Glück.
Mehr als genug zu haben ist unheilvoll.
Das gilt von allen Dingen,
aber besonders vom Geld
------
Memiliki cukup adalah kebahagiaan.
Ingin memiliki lebih dari cukup (dari yang dibutuhkan), itu terlalu banyak (rakus).
Prinsip ini berlaku untuk segala hal, terlebih menyangkut UANG.

Jika engkau menyadari apa Yang kau miliki sudah cukup, engkau sesungguhnya orang yang benar-benar kaya
-----
Selamat Menenukan Kebahagiaan dan menggandakannya untuk sesama!!!
***
Vianey Lein
Akhir Maret 2017
Bild: Hungertuch 2017 - Misserior

14 March 2017

PASAR KOMODITI DI NTT: FREE TRADE VS FAIR TRADE


PASAR KOMODITI DI NTT: FREE TRADE VS FAIR TRADE
Catatan Sambung atas Opini Willem Openg

Vian Lein
Anak Petani Desa Mokantarak – Flotim

Willem W. Openg dalam opininya „Pak Bupati, Lahan Kering dan Kesejahteraan“ (PK Senin 27/2/2017)  menantang pemerintah di setiap Kabupaten dan seluruh warga NTT untuk mengusahakan pertanian lahan kering. Usaha garam di Sabu Raijua, perkebunan jagung di Malaka, kacang dan tebu di Sumba, jambu mete di Flores Timur dan kopi di Manggarai, Ngada dan Nagekeo adalah contoh pemanfaatan lahan kering yang diangkat Openg dalam tulisannya. Saya, dan tentu juga penulis Willem Openg, berharap agar pemerintah pro aktif dalam usaha pengolahan lahan kering dan agar masyarakat dibangungkan dari mimpi untuk mencari „emas“ di tanah rantau serta termotivasi untuk mengolah lahan-lahan tidur. Tulisan ini merupakan catatan sambung atas opini Willem Openg.
Pada awal semester musim dingin lalu, pihak kampus tempat saya kuliah mengadakan kampanye „Fairtrade“ (Perdagangan yang adil) yang sudah mulai dipkratekkan di beberapa universitas dan sekolah tinggi di Jerman. Kampanye ini lahir dari kesadaran bahwa pasar ekonomi global sering menguntungkan salah satu pihak (negara yang memiliki kekuatan ekonomi) karena adanya praktek eksplotatif baik Sumber Daya Alam (SDA) maupun tenaga kerja (negara-negara berkembang). Karena itu kampanye „Fairtrade“ hadir untuk mengkritisi perdagangan bebas (free trade) yang cenderung tidak adil dan berusaha mempromosikan hubungan dagang kemitraan di atas pilar ekonomi, ekologi dan sosial-kemanusiaan.
Usaha melipatgandakan keuntungan sudah menjadi hukum alam dalam dunia bisnis. Kita semua sepakat bahwa tidak ada orang yang mau rugi dalam berbisnis. Namun, ketika seorang terjun ke dunia bisnis, ia harus sadar bahwa setiap peluang yang muncul di ruang pasar bebas kompetitif serentak menyiratkan risiko kerugian. Untuk menghindari potensi kerugian, pendekatan utilitarianisme (menghasilkan keuntungan yang lebih besar) lalu menjadi dominan dalam transaksi pasar. Penilaian etis seperti prinsip keadilan, saling menguntungkan, keadilan dan integrasi moral (Prinsip-prinsip Etika Bisnis) selalu alpa dalam pertimbangan ekonomi pasar.
Tengkulak dan Distorsi Pasar
Pasar komoditi di NTT seperti jambu mete, kopi, cengkeh, kemiri dan kopra tak luput dari peran tengkulak dengan jaringan yang luas menjangkau desa-desa terpencil. Hubungan ketergantungan antara tengkulak dan petani – tengkulak membutuhkan komoditi untuk distribusi pasar yang lebih luas, sedangkan petani membutuhkan uang – memungkinkan perputaran roda ekonomi yang lebih cepat. Namun banyak pula keluhan dari masyarakat (petani) tentang kehadiran para tengkulak yang menekan harga komoditi. Menjamurnya para tengkulak secara bebas, baik dalam penyebaran maupun dalam penentuan harga jual-beli yang rendah sudah menjadi fenomena yang sepertinya diterima dan diakui begitu saja oleh masyarakat. Mengapa?
Di tengah persoalan kemiskinan yang mencekik dan kondisi infrastruktur (jalur transportasi) yang tidak mendukung distribusi pasar, para petani tidak memilik opsi lain selain datang kepada tengkulak. Akses informasi dan teknologi yang menunjang distribusi pasar dan transaksi jual-beli yang dimiliki para tengkulak memungkinkan mereka untuk memonopoli pasar secara bebas (free trade) tapi tidak berpegang pada aspek keadilan dan saling menguntungkan (fair trade). Bukan tidak mungkin, determinasi (harga) pasar ini bisa mengarah pada distorsi pasar (Magee: 1971) yang memicu ketidakstabilan ekonomi dan mengganggu agen ekonomi dalam mengusahakan kesejetahraan rakyat (Deardorff: 2008). Paradigma pasar bebas seperti ini menggariskan, bahwa yang menguasai ekonomi dan memenangkan kompetisi pasar adalah mereka yang memiliki kekuatan modal dan akses informasi teknologi seperti para tengkulak. Sampai di sini semua kita berharap, agar pihak pemerintah tidak atau belum terlibat dalam jaringan mafia harga pasar bersama para konglomerat yang tidak lain adalah bentuk kolonialisme ekonomi.

Sikap Pemerintah
Willem Openg telah menantang pemerintah di setiap kabupaten dan masyarakat untuk mengolah lahan kering secara efisien. Hemat saya, intervensi pemerintah tidak hanya berhenti pada aktivitas produksi (pemanfaatan lahan kering) tetapi juga memantau dan mendukung proses distribusi pasar. Terhadap fenomena pasar yang lebih menguntungkan kaum bermodal (tengkulak), pemerintah mesti mengambil langkah mengatrol harga komoditi yang cenderung anjlok. Hal ini menuntut kerjasama yang profesional dan akuntabel antara pemerintah dan birokrasi dalam mengontrol mekanisme pasar secara kritis. Misi pembangunan yang berlandaskan ekonomi kerakyatan juga ditunjang oleh aturan hukum untuk menghindari mafia harga dan membasmi sarang-sarang tengkulak yang memeras „lumbung-lumbung“ petani.
Untuk menjaga stabilitas harga yang selama ini menjadi monopoli konglomerat (karena mereka memiliki akses pasar dan informasi) perlu dikembangkan mekanisme kelembagaan seperti koperasi distribusi di desa-desa serta perbaikan infrastruktur (jalan raya) untuk mendukung distribusi pasar. Langkah-langkah ini merupakan usaha untuk menegakkan demokrasi ekonomi yang menjadi landasan bangunan demokrasi politik.
Sangat disayangkan, jika di tengah demokrasi ekonomi rakyat yang karut marut tak terurus, para elite politik justru memancing di air keruh untuk mendapatkan kekuasaan.***

13 March 2017

Politik antara Caritas dan Cupiditas


Politik antara Caritas dan Cupiditas

Vianey Lein

Alumni Philosophisch- theologische Hochschule SVD St. Augustin - Jerman


Laura de Weck, penulis dan sutradara asal Swiss, dalam sebuah karyanya mengemas secara metaforis relasi (cinta) antara negara (yang diberinya label maskulin) dan rakyat (feminin). Dalam sebuah adegan dialog ia mencampuradukan ruang terbuka untuk umum dengan ruang intim, seperti kuota kaum perempuan dan gender didiskusikan dalam kamar tidur. Suatu ketika negara dan rakyat mesti menjalani terapi khusus untuk pasangan karena akurasi hubungan mereka terancam rusak oleh hilangnya rasa percaya satu sama lain (Laura de Weck: Politik und Liebe machen: 2016).

Filsuf Hannah Arendt yang pernah menjalin relasi cinta dengan dosennya, Martin Heidegger, meyakini, bahwa „politik adalah kasih yang diwujud-nyatakan kepada dunia“. Nukilan singkat ini bagi kita mungkin lebih merupakan sebuah cita-cita atau idealisme bahkan terkesan paradoksal ketimbang sebagai konklusi logis dan jujur atas pengalaman-pengalaman konkrit. Kedengaran begitu mulia seperti seruan-seruan moral yang didengungkan oleh para pengkhotbah di rumah-rumah ibadat. Sayangnya, realpolitik di tanah air bukanlah mimpi indah. Harapan akan tatanan politik yang bermartabat dan kualitas hidup yang „baik“ selalu berbenturan dengan realitas malum (kebobrokan) seperti kemiskinan, perdagangan manusia, korupsi dan konflik antaragama. Cita-cita politik untuk bonum commune jauh panggang dari api karena para elite politik lebih memperjuangkan bonum privatum.

Kata kunci yang menjadi aksentuasi Arendt dari adagium di atas adalah „(di)wujud-nyata(kan)“. Bila dikatakan „politik adalah kasih/cinta kepada dunia“, kita akan terperangkap idealisme belaka karena kehilangan pijakan praksis. Ia hanya berkutat pada tataran rasa. Politik bukan sekedar perkara „apa yang harus orang inginkan atau rasakan“, tetapi juga apa yang harus dapat orang alami secara nyata (tentu kebaikan bersama).

Cinta kepada dunia (manusia dan alam) berarti menerima dan merangkul mereka termasuk cita-cita dan harapan, kelemahan dan kekurangan; tetapi bukan berarti sebagai suatu sikap pasrah, diam membiarkan realitas penderitaan dan kebobrokan terjadi seperti apa adanya. Cinta kepada dunia adalah suatu panggilan kemanusiaan untuk suatu perubahan hidup yang lebih bermartabat lewat karya-karya karitativ dalam semangat solider dengan manusia dan alam. Termasuk di dalamnya adalah keberanian menyuarakan kritik atas nama kebenaran serta keterbukaan dan kerendahan hati menerima kritik. Di tengah tatanan politik demokrasi yang cenderung berorientasi kepentingan sektarian, spirit compassion – kemampuan turut merasakan penderitaan orang lain - adalah sebuah kemendesakan. Semangat ini lahir dari kesadaran dan pengakuan, bahwa semua adalah satu dalam ikatan relasi kasih (caritas). Thomas Aquninas pun meyakini, bahwa bonum commune hanya akan tercapai kalau ada ikatan afeksi, bahkan kasih, yang menyatukan setiap orang di dalam sebuah komunitas (Hollenbach: 2002).

Radix omnium malorum est cupiditas

Lawan dari caritas adalah cupiditas (hasrat, keinginan atau nafsu). Spinonoza, filsuf dan bapak liberalisme religius modern, menjelaskan, bahwa eksistensi manusia yang terbatas di horison semesta menjadikan manusia terbuka bagi segala macam pengaruh yang bertentangan dengan tabiatnya untuk mempertahankan diri (conatus), baik itu pergulatan kehendak dalam jiwa (voluntas) maupun keinginan badaniah (appetitus) yang disadari sebagai keinginan atau nafsu (cupiditas). Menurutnya, cupiditas merupakan afeksi primer dalam diri manusia sebagai gabungan antara conatus dan conscientia atau kesadaran/suara hati (bdk. Ursula Renz: 2008). Politik yang dibayang-bayangi nafsu akan harta kekayaan dan jabatan akan membutakan mata orang terhadap realitas penderitaan rakyat serta tuli terhadap seruan-seruan kritis. Iklim politik yang demikian akan menciptakan kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin: yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin dipermiskin. Hidup ber-polis lalu menjadi ruang kompetisi memperebutkan kekuasaan dan uang, dimana rakyat kecil selalu menjadi korbannya. Di sini, adagium Latin Radix omnium malorum est cupiditas, akar dari segala kejahatan adalah keserakahan, berlaku.

Cinta sebagai Sebuah Proyek

Relasi cinta antara Hannah Arendt dan Martin Heidegger boleh dibilang unik bukan hanya karena jalinan cinta antara dosen dan mahasiswi, tetapi juga pada bagaimana mereka memahami cinta mereka dengan situasi dan latar belakang yang berbeda: Arendt yang adalah keturunan Yahudi, Heidegger berkebangsaan Jerman dan memiliki hubungan dengan Nazi, (tetapi akhirnya meninggalkan partai itu). Keduanya memahami cinta mereka sebagai sebuah proyek filsafat eksistensi yang amat berharaga dan yang ingin mereka hidupi untuk menghadapi setiap perlawanan. Relasi cinta antara keduanya meyakinkan Heidegger, bahwa „dunia ini bukan lagi menjadi milikmu dan milikku, melainkan kepunyaan kita, bahwa segala apa yang kita lakukan dan usahakan, bukan milikku atau milikkmu, melainkan kepunyaan kita“.

Situasi politik bisa mendepak pasangan yang sedang jatuh cinta masing-masing pada ruang keterpisahan. Karena takut hilangnya jabatan karena kedekatannya dengan orang Yahudi (Arendt) Heidegger rela „mengasingkan“ Arendt dari hidupnya dan kembali ke dunia profesi. Masing-masing menjalani dan mengartikan proyek cinta mereka dalam galau rasa keterpisahan dan sakit. „Aku mencintaimu seperti pada hari pertama kita berjumpa, dan engkau tahu itu. Aku pun selalu tahu itu hingga kini akhirnya kita berjumpa lewat goresan ini. Jalan cinta yang engkau tunjukkan ternyata panjang dan begitu sulit dari yang aku pikirkan. Ia menuntut taruhan seumur hidup“, tulis Arendt pada April 1928, dua tahun setelah mereka berpisah.

Perjuangan untuk tatanan politis yang berorientasi bonum commune dan bermartabat di tengah praktek korupsi, pencaplokan hak milik rakyat dan kemelut kemiskinan adalah juga sebuah proyek cinta yang mesti terus diupayakan. Semua kita berharap, bahwa setiap pemimpin yang berani maju dalam kontestasi politik tidak sekedar dorongan hasrat menjadi penguasa yang tujuannya adalah kenikmatan semata***


Bild-Quelle: https://de.pinterest.com/tablettreck/llibre-safranski-heidegger/


12 March 2017

SURAT MINGGU PAGI


SURAT MINGGU PAGI
Julia,

Pagi yang dingin masih melulur tubuh di atas pembaringan yang entah sudah berapa lama menatang malam-malamku dengan tumpukan mimpi. Engkau hadir dalam goresan, bagai mentari musing semi yang pecah di ubun-ubun kepala – gagap mengeja semesta hari baru. Kata-katamu mengurai jiwaku yang kusut mendengkur pada dinding malam berlalu, menggetarkan pilar-pilar batin yang kaku-gigil karena dingin meradang. Kubasuh wajahku di aliran kata-katamu yang menyegarkan ketika embun di kota ini masih membeku die kelopak musim. Dan dari atas pembaringan ini aku akhirnya lahirkan kata-kata – sesuatu yang tak biasa meski sepanjang malam aku berkali-kali disetubuhi malam genit hingga mengandung mimpi.
Adalah sebuah kehormatan dalam hidup dan petualangan kata-kata, bahwa aku mendapatkan sahutan resonansi atas lirik jiwa yang kugetarkan pada abjad-abjad computer. Apa yang telah kugoreskan biasanya hanya mengambang dalam sunyi dan memaksaku untuk mencari dan temukan sendiri balasan atau jawaban dari setiap apa yang kutulis. Surat balasanmu sesungguhnya telah memberi nada baru pada melodi kehidupan yang kumainkan, melodi kehidupan yang terkadang datar di mata hati, bahkan minor di telinga jiwa. Kiranya nada baru yang telah kau getarkan di dawai jiwaku tetap menggema di dasar hati, memanggil-manggil ketika aku terhempas di sunyi yang sepi.

Julia,
Kamu benar, bahwa hidup adalah sebuah teka-teki tiada akhir.  Sebagai sebuah teka-teki, ia tidak hanya mensinyalir bahwa kita tak bisa menduga apa yang bakal terjadi esok nanti atas hidup. Hidup sebagai sebuah teka-teki tidak hanya menegaskan aspek misteri dari apa yang hendak kita jalani. Kemisterian hidup itu justru melampaui batas-batas ruang geografis kita bergerak dan hidup, menjangkau satuan waktu yang terpenggal-penggal. Artinya, hidup sebagai sebuah teka-teki atau misteri menuntut kemauan dan keberanian untuk bertanya tentang makna di balik setiap peristiwa yang kita alami: kelahiran dan kematian, perjumpaan dan perpisahan, cinta dan pengkhianatan, damai dan peperangan, kasih dan benci, alam yang indah (kosmos) dan bencana (chaos). Makna di balik setiap peristiwa itulah yang dinamakan teka-teki atau misteri yang mesti diselami. Sebagai teka-teki atau misteri, hidup mengundang kita untuk mempertanyakan segala apa yang terjadi di sekitar kita. Hal inilah yang oleh para filsuf disebut „refleksi“ – dan lebih jauh Sokrates (469 SM – 399 SM), filsuf asal Yunani itu, mengingatkan, bahwa „hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tak pantas dijalani“. Artinya, kita tidak hanya HIDUP di arus banalitas masif - asal ikut arus massa - tanpa pemaknaan, melainkan mesti menghidupi HIDUP itu sendiri. Sebuah ziarah hidup tanpa mempertanyakan makna di balik setiap peristiwa (refleksi) akan melahirkan kebosanan karena setiap fragmen hidup dilihat sebagai rutinitas yang sama saja dari hari ke hari. „Kita tidak bisa masuk dua kali ke dalam sungai yang sama“, demikian kata filsuf Yunani tua, Herakleitos (520 SM – 460 SM), karena air di dalam sungai itu selalu bergerak mengalir (pantha rei), berubah, menjadi. Sungai yang sama tidak ada! Herakleitos hendak menunjukan relasi antara ADA (Sein/Being) dan MENJADI (Werden/Wandeln/Becoming) dalam realitas semesta, bahwa yang dinamakan substansi itu selalu bertransformasi. Dengan demikian, hidup kita pun adalah sebuah „proses menjadi“. Identitas kita sebgai manusia tidak berarti sekedar „ada“ (apalagi meng-ada-ada) tetapi menuntut perubahan. Usaha untuk bertanya tentang hidup akan membantu kita dalam proses menjadi.

Julia,
Aku terkesan dengan „titik“ yang kau bahasakan dalam suratmu. Kau dan aku adalah titik. Kita adalah titik-titik jarak yang kini hanya ditempuh dengan kata. Tentang apa yang bakal terjadi dalam hubungan ini adalah juga titik-titik yang belum terdefinisikan (misteri). Tapi sesungguhnya kita telah memulai memberi makna pada titik-titik itu, meski masih mencoba mendekatkan titik-titik diri. Terima kasih untuk keberanian membuka diri.
Defenisi diri dan kehidupan sebagai „titik“ hendaknya tidak dimaknai sebagai cerita hidup yang telah berakhir karena diberi tanda baca titik. Titik (-titik) mesti dipahami sebagai tanya yang senantiasi membuka perspektiv baru tentang hidup dan kehidupan. Dan pertanyaan yang paling penting dan mendesak adalah pertanyaan tentang makna kehidupan. Pertanyaan eksistensial tentang makna hidup adalah pertanyaan purba yang telah menggugat agama beserta mitos dan tradisinya, para filsuf, ilmuan, penyair dan berbagai penulis. Pertanyaan tentang makna hidup akan memberi dimensi spiritual dari kehidupan; makna itu seperti arsitek dalam bangunan sebuah kehidupan: tak terlihat, namun dialami secara nyata.
Terima kasih untuk „titik-titik“ sekaligus pertanyaan menantang yang telah kautulis pada kisah hidupku. Semoga masing-masing kita tetap menjadi inspirator dan motivator dalam petualangan mencari dan memberi makna hidup!
Vianey Lein
Awal Musim Semi, 12 Maret 2017
Bild-Quelle: http://lebedeinlebenjetzt.de/was-waere-wenn-zu-leiden-der-sinn-des-lebens-waere/


08 March 2017

UNTUK JULIA


Julia,

Langit pagi hari ini terlihat cerah setelah beberapa hari ditudung mendung dan kabut dingin yang meradang sampai ke tulang-tulangku. Namun aku masih saja mendekam di balik selimut, sementara orang-orang pada bergegas ke tempat aktivitas mereka. Di balik selimut kumal aku menemukan, bahwa tidak ada yang berubah atau yang tampak baru dalam hidupku – Ya, seperti kata Pengkhotbah: tidak ada yang baru di bawah matahari. Semuanya adalah sia-sia.

Ach, aku tak mau tinggal di dalam kesia-siaan, atau hidup untuk sebuah kesia-siaan, meskipun segala apa yang aku lakukan dan perjuangkan nanti berakhir pada titik kematian yang tak dirindu setiap insan manusia. Sebelum hari ini menjadi lampau dan cerah padam di batas senja, aku ingin memberi makna perubahan pada hidup yang puluhan tahun telah berlalu, memberi arti tentang kebaruan pada mimpi-mimpi yang keras menggumpalkan tanya misterius. Adagium latin yang kupelajari waktu SMA dulu seakan memberi interupsi padaku: „Tempora mutantur, nos et mutamur in illis“ – waktu berubah, dan kita pun berubah di dalamnya.

Namun perubahan itu bukan sekedar rangkaian metamorfosis lahiriah yang hanya memberikan kesan sementara, tanpa ada makna yang tinggal tetap dalam hidup. Lebih parah lagi, jika orang mengenakan topeng hanya untuk memberi adanya kesan perubahan, enggan menjadi diri mereka sendiri. Hidup bukan sekedar menghitung kesalahan-kesalahan masa lalu, tetapi niatan hati untuk berubah mendekati kesempurnaan. Karena itu, tanggalkan saja topeng, meski ada bopeng!

Julia,

Hari-hari kemarin yang hujan dalam ingatanku, menghempaskan aku pada ingatan yang basah tentang perkenalan kita yang „kebetulan“ itu. Seperti bulir-bulir hujan, kenangan-kenangan itu mengalir dalam rongga-rongga jiwa. Meski penggalan-penggalan kisah itu telah luruh di tebing waktu lampau, ingatan akan per-HATI-an yang kamu tunjukkan masih membekas, dan mungkin selamanya mengambang dalam rumah kenangan yang telah kita bangun. Jujur, aku jatuh cinta pada kewanitaanmu – atau lebih tepatnya pada keibuanmu yang memberi per-HATI-an atas kesadaran yang tulus dan ikhlas, tanpa dibuat-dibuat, tanpa topeng. Kau menyihirku dalam kebijaksanaanmu yang ayu. Karena itu, tiba-tiba kau menyingkir dari ruang kehidupanku, aku merasa seperti ada yang berubah. Bukan perubahan seperti inilah yang kukehendaki; bukan Julia. Tapi aku akan memaknainya sebagai dinamika hidup yang mesti dijalani. Andai saja kau dan aku berada dalam ruang tanpa jarak dan berdiri pada derajad waktu yang sama, ingin kurayakan kenangan ini bersamamu. Namun, saat ini aku hanya mampu katakan TERIMA KASIH bersama rindu yang terurai.***

Bild-Quelle:
http://www.hd-gbpics.de/liebeskummer.html

05 March 2017

TETAPLAH MELANGKAH MAJU


TETAPLAH MELANGKAH MAJU

Julia,

Bahwa hidup merupakan deretan kemungkinan yang mesti disiasati, itu menuntut keterbukaan terhadap realitas peluang dan tantangan. Tangan yang lapang untuk siap merangkul keduanya dan bola mata yang memotret jauh-dekat pengalaman - entah itu di masa lampau, kekinian atau masa akanan - merupakan modal besar dalam mendesign hidup di atas sketsa keserbamungkinan. Ibarat merangkai puzzle, kita juga merangkai kepingan-kepingan kemungkinan di atas pijak-pijak hidup. Artinya, kita tak bisa lari menghindar dari apa yang disebut tantangan. Lari dari persoalan hidup bukanlah cara tepat untuk mengatasinya. Kita mesti selalu siap dan tegar melewati setiap aral dan rintangan. Ya, seperti puzzle, menghilangkan sekeping akan menjadikan suatu lukisan atau gambar tidak sempurna; dan semakin banyak kamu menghilangkan kepingan puzzle, lukisan yang kamu hasilkan juga akan jauh dari keindahan.

„Orang juga tidak boleh pasif menghadang ketika menjumpai pegunungan“, begitu kata Konfusius, „tetapi berusaha menyusup di antara perbukitan bahkan terowongan dan gua-gua gelap untuk bisa menyeberangi deretan pegunungan“. Jalan-jalan asing dan lorong-lorong gelap akan kamu lewati. Bahasa-bahasa asing yang tidak kamu mengerti dan orang-orang dengan wajah baru juga kelak kamu jumpai dalam ziarah hidupmu. Ada yang memandang sinis tanpa memberi salam, ada yang menatap penuh curiga tanpa simpati dan empati. Pernik-pernik kebahagiaan tidak hanya ditenun dari sutera atau gumpalan kapas putih yang lembut. Terkadang kita lupa, bahwa rumah kebahagiaan juga dibangun di atas wadas yang merobekan kaki dan endapan lumpur hitam yang meluap dari bebukitan dan pegunungan api. Di sini aku pun semakin yakin dengan apa yang dikatakan oleh seorang Teolog awam berkebangsaan Swiss, Carl Hilty, bahwa takaran kualitas hidup dan kebahagiaan tidak ditentukan oleh banyak atau sedikitnya kesulitan yang dialami seseorang, melainkan jaya kemenangan dalam melewati setiap tantangan. Bahkan justru di dalam sulitnya tantangan kita temukan peluang-peluang dan di dalamnya kita belajar menjadi kuat, sebagaimana yang ditulis oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus: „Sebab jika aku lemah, maka aku kuat“ (2 Kor 12:10).

Engkau mungkin tak tahu, ada apa di balik setiap tantangan dan kesulitan hidup. Satu hal yang mesti kamu tahu adalah keyakinan, bahwa kamu bisa tiba pada tujuan dari ribuan langkah panjang yang telah dimulai. Tanggalkan segala ragu dan cemas yang membajui raga dan jiwamu, kuburkan pesimisme yang terus menggelembung di batok kepalamu! Tegakkan kepalamu untuk terus melangkah dalam ziarah keserbamungkinan!

Namun satu yang tidak boleh kamu abaikan: jangan lupa menengadah ke langit yang setia menudungmu, berkiblat ke matahari yang memberi kehangatan dan terang di lorong-lorong gelap. Lemparkan saja kepingangan puzzle ke langit, ketika kamu tak tahu di mana kamu hendak merangkainya; dan nantikan jatuhnya kembali. Mungkin kamu temukan jawabannya. Kita memang tak pernah saling pandang, namun tak seharusnya kita saling abaikan. Kita saling mengenang dalam riuh sembahyang dan tedu semadi.***