TENTANG
KEBAHAGIAAN
Julia,
Pertanyaan
tentang definisi kebahagiaan dan arti kesempurnaan yang pernah kita diskusikan
masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan baru. Lalu, kebahagiaan seperti apa, yang
sesungguhnya menjadi hakikat pencaharianmu? Apakah kamu telah meraih
kebahagiaan yang kamu impikan itu? Momen atau peristiwa apa yang paling
membahagiakan dalam hidupmu? Apakah itu pengalaman ciuman pertama yang membakar
asmara cinta di jiwamu? Atau mungkin sebuah pertemuan kembali yang tak terduga
dengan orang yang telah sekian tahun hilang dari peredan hidupmu, atau
kelahiran ciptaan baru dalam lingkaran keluarga? Aku sendiri hanya bisa
menebak. Tapi satu hal yang aku yakini pasti adalah, bahwa momen-momen atau
potongan cerita bahagia yang kita alami senantiasa terjadi dalam pengalaman
keterlibatan dengan yang lain, entah itu keluarga, sahabat atau kenalan. Dan
itulah hakikat hidup manusia yang tak bisa kita sangkal sebagaimana yang
diungkapkan oleh seorang filsuf fenomenologi dan eksistensialis asal Prancis,
Gabriel Marcel, dalam refleksi filosofisnya: esse est co-esse, ada selalu berarti ada bersama. Begitu pula
dengan postulat Agustinus dari Hippo, filsuf dan teolog pada awal kekristenan,
bahwa awal segala kebagiaan senantiasa berkaitan dengan Yang Ilahi (Allah). Dan
dalam relasi dialogis inilah manusia akhirnya (mesti) membuka diri bagi yang
lain. „Kehabagiaan berarti memiliki Allah dan mengada bersama yang lain“.
Senada dengan Agustinus, Aristoteles, Filsuf Yunani Kuno itu, juga sejak awal
mengemukakan pledoinya tentang kebagiaan dalam kerangka hidup berdemokrasi: „tanggung
jawab hidup bersama merupakan kewajiban bagi setiap rakyat dan itu merupakan
syarat untuk terpenuhinya kebahagiaan pribadi“. Dimensi sosialitas manusia ini
menjadikan kita sadar bahwa kita hidup dan tinggal dalam kebersamaan, bahwa
kita membutuhkan yang lain dan sekaligus kita juga dibutuhkan oleh yang lain. Ini
tentu memberi sebuah harapan sekaligus kritik sosial atas realitas hidup,
karena masih banyak sesama kita yang hidup dan tinggal sendirian seolah mereka
tak punya sanak keluarga dan sahabat.
Bukankah euforia
bahagia itu dirayakan dalam kebersamaan dengan yang lain dan bukan sebaliknya
dalam bilik sempit yang sunyi dari relasi? Dalam perayaan itulah kita
membagikan kepingan-kepingan kebahagiaan dengan yang lain. Dalam aktus berbagi
itu pula kita mengasah rasa empati dan simpati dalam diri, juga ketika orang
yang kepadanya kamu berbagi adalah seorang asing yang sebelumnya tidak kamu
kenal. Lagi pula, kebahagiaan yang kamu gandakan untuk orang lain tidak akan
berkurang. Kebahagiaan bukanlah uang, yang jika dibagikan kepada orang lain
akan berkurang. Kebahagiaan tak dapat dibeli dengan uang, juga tak dapat dibayar
lunas dengan hitungan rupiah. Bahwa kita membutuhkan uang dan menghasilkan
uang, itu suat hal yang legitim dan diterima. Karena itu, jangan pernah
bermimpi untuk menenun kebahagiaan dari hitungan rupiah. Kebahagiaan itu tidak
lama kita jumpai dan alami ketika kita berusaha mengendalikan
keinginan-keinginan material untuk terus memiliki lebih dan lebih … Janganlah
kita mengikat diri atau bergantung pada harta dan prinsip-prinsip hidup
materialistis karena hal itu justru bertentangan dengan prinsip-prinsip
kebahagiaan. Kebahagiaan – Eudaimonia
(bahasa Yunani), dalam sejarah Yunani Kuno berarti „kerelaan untuk melepaskan
atau meninggalkan segala (materi) yang mengikat, yang menyiksa, karena kita
seperti dipaksa dan terhipnotis untuk terus memilikinya. Tapi itulah manusia, selalu tidak puas dengan
apa yang dimiliki; terus memanjat di piramide keinginan hingga mati tertancap
di ujung kerucut.
Sebagai penutup saya mengutip Lao Tse:
Genug zu haben ist Glück.
Mehr als genug zu haben ist unheilvoll.
Das gilt von allen Dingen,
aber besonders vom Geld
------
Memiliki cukup adalah kebahagiaan.
Ingin memiliki lebih dari cukup (dari yang dibutuhkan), itu terlalu banyak (rakus).
Prinsip ini berlaku untuk segala hal, terlebih menyangkut UANG.
Jika engkau menyadari apa Yang kau miliki sudah cukup, engkau sesungguhnya orang yang benar-benar kaya
-----
Selamat Menenukan Kebahagiaan dan menggandakannya untuk sesama!!!
***
Sebagai penutup saya mengutip Lao Tse:
Genug zu haben ist Glück.
Mehr als genug zu haben ist unheilvoll.
Das gilt von allen Dingen,
aber besonders vom Geld
------
Memiliki cukup adalah kebahagiaan.
Ingin memiliki lebih dari cukup (dari yang dibutuhkan), itu terlalu banyak (rakus).
Prinsip ini berlaku untuk segala hal, terlebih menyangkut UANG.
Jika engkau menyadari apa Yang kau miliki sudah cukup, engkau sesungguhnya orang yang benar-benar kaya
-----
Selamat Menenukan Kebahagiaan dan menggandakannya untuk sesama!!!
***
Vianey Lein
Akhir Maret 2017
Bild: Hungertuch 2017 - Misserior