PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

31 March 2017

KEBAHAGIAAN

TENTANG KEBAHAGIAAN

Julia,
Pertanyaan tentang definisi kebahagiaan dan arti kesempurnaan yang pernah kita diskusikan masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan baru. Lalu, kebahagiaan seperti apa, yang sesungguhnya menjadi hakikat pencaharianmu? Apakah kamu telah meraih kebahagiaan yang kamu impikan itu? Momen atau peristiwa apa yang paling membahagiakan dalam hidupmu? Apakah itu pengalaman ciuman pertama yang membakar asmara cinta di jiwamu? Atau mungkin sebuah pertemuan kembali yang tak terduga dengan orang yang telah sekian tahun hilang dari peredan hidupmu, atau kelahiran ciptaan baru dalam lingkaran keluarga? Aku sendiri hanya bisa menebak. Tapi satu hal yang aku yakini pasti adalah, bahwa momen-momen atau potongan cerita bahagia yang kita alami senantiasa terjadi dalam pengalaman keterlibatan dengan yang lain, entah itu keluarga, sahabat atau kenalan. Dan itulah hakikat hidup manusia yang tak bisa kita sangkal sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang filsuf fenomenologi dan eksistensialis asal Prancis, Gabriel Marcel, dalam refleksi filosofisnya: esse est co-esse, ada selalu berarti ada bersama. Begitu pula dengan postulat Agustinus dari Hippo, filsuf dan teolog pada awal kekristenan, bahwa awal segala kebagiaan senantiasa berkaitan dengan Yang Ilahi (Allah). Dan dalam relasi dialogis inilah manusia akhirnya (mesti) membuka diri bagi yang lain. „Kehabagiaan berarti memiliki Allah dan mengada bersama yang lain“. Senada dengan Agustinus, Aristoteles, Filsuf Yunani Kuno itu, juga sejak awal mengemukakan pledoinya tentang kebagiaan dalam kerangka hidup berdemokrasi: „tanggung jawab hidup bersama merupakan kewajiban bagi setiap rakyat dan itu merupakan syarat untuk terpenuhinya kebahagiaan pribadi“. Dimensi sosialitas manusia ini menjadikan kita sadar bahwa kita hidup dan tinggal dalam kebersamaan, bahwa kita membutuhkan yang lain dan sekaligus kita juga dibutuhkan oleh yang lain. Ini tentu memberi sebuah harapan sekaligus kritik sosial atas realitas hidup, karena masih banyak sesama kita yang hidup dan tinggal sendirian seolah mereka tak punya sanak keluarga dan sahabat.

Bukankah euforia bahagia itu dirayakan dalam kebersamaan dengan yang lain dan bukan sebaliknya dalam bilik sempit yang sunyi dari relasi? Dalam perayaan itulah kita membagikan kepingan-kepingan kebahagiaan dengan yang lain. Dalam aktus berbagi itu pula kita mengasah rasa empati dan simpati dalam diri, juga ketika orang yang kepadanya kamu berbagi adalah seorang asing yang sebelumnya tidak kamu kenal. Lagi pula, kebahagiaan yang kamu gandakan untuk orang lain tidak akan berkurang. Kebahagiaan bukanlah uang, yang jika dibagikan kepada orang lain akan berkurang. Kebahagiaan tak dapat dibeli dengan uang, juga tak dapat dibayar lunas dengan hitungan rupiah. Bahwa kita membutuhkan uang dan menghasilkan uang, itu suat hal yang legitim dan diterima. Karena itu, jangan pernah bermimpi untuk menenun kebahagiaan dari hitungan rupiah. Kebahagiaan itu tidak lama kita jumpai dan alami ketika kita berusaha mengendalikan keinginan-keinginan material untuk terus memiliki lebih dan lebih … Janganlah kita mengikat diri atau bergantung pada harta dan prinsip-prinsip hidup materialistis karena hal itu justru bertentangan dengan prinsip-prinsip kebahagiaan. Kebahagiaan – Eudaimonia (bahasa Yunani), dalam sejarah Yunani Kuno berarti „kerelaan untuk melepaskan atau meninggalkan segala (materi) yang mengikat, yang menyiksa, karena kita seperti dipaksa dan terhipnotis untuk terus memilikinya.  Tapi itulah manusia, selalu tidak puas dengan apa yang dimiliki; terus memanjat di piramide keinginan hingga mati tertancap di ujung kerucut.

Sebagai penutup saya mengutip Lao Tse:

Genug zu haben ist Glück.
Mehr als genug zu haben ist unheilvoll.
Das gilt von allen Dingen,
aber besonders vom Geld
------
Memiliki cukup adalah kebahagiaan.
Ingin memiliki lebih dari cukup (dari yang dibutuhkan), itu terlalu banyak (rakus).
Prinsip ini berlaku untuk segala hal, terlebih menyangkut UANG.

Jika engkau menyadari apa Yang kau miliki sudah cukup, engkau sesungguhnya orang yang benar-benar kaya
-----
Selamat Menenukan Kebahagiaan dan menggandakannya untuk sesama!!!
***
Vianey Lein
Akhir Maret 2017
Bild: Hungertuch 2017 - Misserior

No comments:

Post a Comment