PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

12 March 2017

SURAT MINGGU PAGI


SURAT MINGGU PAGI
Julia,

Pagi yang dingin masih melulur tubuh di atas pembaringan yang entah sudah berapa lama menatang malam-malamku dengan tumpukan mimpi. Engkau hadir dalam goresan, bagai mentari musing semi yang pecah di ubun-ubun kepala – gagap mengeja semesta hari baru. Kata-katamu mengurai jiwaku yang kusut mendengkur pada dinding malam berlalu, menggetarkan pilar-pilar batin yang kaku-gigil karena dingin meradang. Kubasuh wajahku di aliran kata-katamu yang menyegarkan ketika embun di kota ini masih membeku die kelopak musim. Dan dari atas pembaringan ini aku akhirnya lahirkan kata-kata – sesuatu yang tak biasa meski sepanjang malam aku berkali-kali disetubuhi malam genit hingga mengandung mimpi.
Adalah sebuah kehormatan dalam hidup dan petualangan kata-kata, bahwa aku mendapatkan sahutan resonansi atas lirik jiwa yang kugetarkan pada abjad-abjad computer. Apa yang telah kugoreskan biasanya hanya mengambang dalam sunyi dan memaksaku untuk mencari dan temukan sendiri balasan atau jawaban dari setiap apa yang kutulis. Surat balasanmu sesungguhnya telah memberi nada baru pada melodi kehidupan yang kumainkan, melodi kehidupan yang terkadang datar di mata hati, bahkan minor di telinga jiwa. Kiranya nada baru yang telah kau getarkan di dawai jiwaku tetap menggema di dasar hati, memanggil-manggil ketika aku terhempas di sunyi yang sepi.

Julia,
Kamu benar, bahwa hidup adalah sebuah teka-teki tiada akhir.  Sebagai sebuah teka-teki, ia tidak hanya mensinyalir bahwa kita tak bisa menduga apa yang bakal terjadi esok nanti atas hidup. Hidup sebagai sebuah teka-teki tidak hanya menegaskan aspek misteri dari apa yang hendak kita jalani. Kemisterian hidup itu justru melampaui batas-batas ruang geografis kita bergerak dan hidup, menjangkau satuan waktu yang terpenggal-penggal. Artinya, hidup sebagai sebuah teka-teki atau misteri menuntut kemauan dan keberanian untuk bertanya tentang makna di balik setiap peristiwa yang kita alami: kelahiran dan kematian, perjumpaan dan perpisahan, cinta dan pengkhianatan, damai dan peperangan, kasih dan benci, alam yang indah (kosmos) dan bencana (chaos). Makna di balik setiap peristiwa itulah yang dinamakan teka-teki atau misteri yang mesti diselami. Sebagai teka-teki atau misteri, hidup mengundang kita untuk mempertanyakan segala apa yang terjadi di sekitar kita. Hal inilah yang oleh para filsuf disebut „refleksi“ – dan lebih jauh Sokrates (469 SM – 399 SM), filsuf asal Yunani itu, mengingatkan, bahwa „hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tak pantas dijalani“. Artinya, kita tidak hanya HIDUP di arus banalitas masif - asal ikut arus massa - tanpa pemaknaan, melainkan mesti menghidupi HIDUP itu sendiri. Sebuah ziarah hidup tanpa mempertanyakan makna di balik setiap peristiwa (refleksi) akan melahirkan kebosanan karena setiap fragmen hidup dilihat sebagai rutinitas yang sama saja dari hari ke hari. „Kita tidak bisa masuk dua kali ke dalam sungai yang sama“, demikian kata filsuf Yunani tua, Herakleitos (520 SM – 460 SM), karena air di dalam sungai itu selalu bergerak mengalir (pantha rei), berubah, menjadi. Sungai yang sama tidak ada! Herakleitos hendak menunjukan relasi antara ADA (Sein/Being) dan MENJADI (Werden/Wandeln/Becoming) dalam realitas semesta, bahwa yang dinamakan substansi itu selalu bertransformasi. Dengan demikian, hidup kita pun adalah sebuah „proses menjadi“. Identitas kita sebgai manusia tidak berarti sekedar „ada“ (apalagi meng-ada-ada) tetapi menuntut perubahan. Usaha untuk bertanya tentang hidup akan membantu kita dalam proses menjadi.

Julia,
Aku terkesan dengan „titik“ yang kau bahasakan dalam suratmu. Kau dan aku adalah titik. Kita adalah titik-titik jarak yang kini hanya ditempuh dengan kata. Tentang apa yang bakal terjadi dalam hubungan ini adalah juga titik-titik yang belum terdefinisikan (misteri). Tapi sesungguhnya kita telah memulai memberi makna pada titik-titik itu, meski masih mencoba mendekatkan titik-titik diri. Terima kasih untuk keberanian membuka diri.
Defenisi diri dan kehidupan sebagai „titik“ hendaknya tidak dimaknai sebagai cerita hidup yang telah berakhir karena diberi tanda baca titik. Titik (-titik) mesti dipahami sebagai tanya yang senantiasi membuka perspektiv baru tentang hidup dan kehidupan. Dan pertanyaan yang paling penting dan mendesak adalah pertanyaan tentang makna kehidupan. Pertanyaan eksistensial tentang makna hidup adalah pertanyaan purba yang telah menggugat agama beserta mitos dan tradisinya, para filsuf, ilmuan, penyair dan berbagai penulis. Pertanyaan tentang makna hidup akan memberi dimensi spiritual dari kehidupan; makna itu seperti arsitek dalam bangunan sebuah kehidupan: tak terlihat, namun dialami secara nyata.
Terima kasih untuk „titik-titik“ sekaligus pertanyaan menantang yang telah kautulis pada kisah hidupku. Semoga masing-masing kita tetap menjadi inspirator dan motivator dalam petualangan mencari dan memberi makna hidup!
Vianey Lein
Awal Musim Semi, 12 Maret 2017
Bild-Quelle: http://lebedeinlebenjetzt.de/was-waere-wenn-zu-leiden-der-sinn-des-lebens-waere/


No comments:

Post a Comment