SURAT MINGGU PAGI
Julia,
Pagi yang dingin
masih melulur tubuh di atas pembaringan yang entah sudah berapa lama menatang
malam-malamku dengan tumpukan mimpi. Engkau hadir dalam goresan, bagai mentari
musing semi yang pecah di ubun-ubun kepala – gagap mengeja semesta hari baru. Kata-katamu
mengurai jiwaku yang kusut mendengkur pada dinding malam berlalu, menggetarkan
pilar-pilar batin yang kaku-gigil karena dingin meradang. Kubasuh wajahku di aliran
kata-katamu yang menyegarkan ketika embun di kota ini masih membeku die kelopak
musim. Dan dari atas pembaringan ini aku akhirnya lahirkan kata-kata – sesuatu yang
tak biasa meski sepanjang malam aku berkali-kali disetubuhi malam genit hingga
mengandung mimpi.
Adalah sebuah
kehormatan dalam hidup dan petualangan kata-kata, bahwa aku mendapatkan sahutan
resonansi atas lirik jiwa yang kugetarkan pada abjad-abjad computer. Apa yang
telah kugoreskan biasanya hanya mengambang dalam sunyi dan memaksaku untuk
mencari dan temukan sendiri balasan atau jawaban dari setiap apa yang kutulis. Surat
balasanmu sesungguhnya telah memberi nada baru pada melodi kehidupan yang
kumainkan, melodi kehidupan yang terkadang datar di mata hati, bahkan minor di
telinga jiwa. Kiranya nada baru yang telah kau getarkan di dawai jiwaku tetap menggema
di dasar hati, memanggil-manggil ketika aku terhempas di sunyi yang sepi.
Julia,
Kamu benar,
bahwa hidup adalah sebuah teka-teki tiada akhir. Sebagai sebuah teka-teki, ia tidak hanya
mensinyalir bahwa kita tak bisa menduga apa yang bakal terjadi esok nanti atas
hidup. Hidup sebagai sebuah teka-teki tidak hanya menegaskan aspek misteri dari
apa yang hendak kita jalani. Kemisterian hidup itu justru melampaui batas-batas
ruang geografis kita bergerak dan hidup, menjangkau satuan waktu yang
terpenggal-penggal. Artinya, hidup sebagai sebuah teka-teki atau misteri
menuntut kemauan dan keberanian untuk bertanya tentang makna di balik setiap
peristiwa yang kita alami: kelahiran dan kematian, perjumpaan dan perpisahan,
cinta dan pengkhianatan, damai dan peperangan, kasih dan benci, alam yang indah
(kosmos) dan bencana (chaos). Makna di balik setiap peristiwa itulah yang
dinamakan teka-teki atau misteri yang mesti diselami. Sebagai teka-teki atau
misteri, hidup mengundang kita untuk mempertanyakan segala apa yang terjadi di
sekitar kita. Hal inilah yang oleh para filsuf disebut „refleksi“ – dan lebih
jauh Sokrates (469 SM – 399 SM), filsuf asal Yunani itu, mengingatkan, bahwa „hidup
yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tak pantas dijalani“. Artinya, kita
tidak hanya HIDUP di arus banalitas masif - asal ikut arus massa - tanpa
pemaknaan, melainkan mesti menghidupi HIDUP itu sendiri. Sebuah ziarah hidup
tanpa mempertanyakan makna di balik setiap peristiwa (refleksi) akan melahirkan
kebosanan karena setiap fragmen hidup dilihat sebagai rutinitas yang sama saja
dari hari ke hari. „Kita tidak bisa masuk dua kali ke dalam sungai yang sama“,
demikian kata filsuf Yunani tua, Herakleitos (520 SM – 460 SM), karena air di
dalam sungai itu selalu bergerak mengalir (pantha rei), berubah, menjadi. Sungai yang sama tidak ada! Herakleitos hendak menunjukan
relasi antara ADA (Sein/Being) dan MENJADI (Werden/Wandeln/Becoming) dalam
realitas semesta, bahwa yang dinamakan substansi
itu selalu bertransformasi. Dengan demikian, hidup kita pun adalah sebuah „proses
menjadi“. Identitas kita sebgai manusia tidak berarti sekedar „ada“ (apalagi
meng-ada-ada) tetapi menuntut perubahan. Usaha untuk bertanya tentang hidup
akan membantu kita dalam proses menjadi.
Julia,
Aku terkesan
dengan „titik“ yang kau bahasakan dalam suratmu. Kau dan aku adalah titik. Kita
adalah titik-titik jarak yang kini hanya ditempuh dengan kata. Tentang apa yang
bakal terjadi dalam hubungan ini adalah juga titik-titik yang belum
terdefinisikan (misteri). Tapi sesungguhnya kita telah memulai memberi makna
pada titik-titik itu, meski masih mencoba mendekatkan titik-titik diri. Terima
kasih untuk keberanian membuka diri.
Defenisi diri
dan kehidupan sebagai „titik“ hendaknya tidak dimaknai sebagai cerita hidup
yang telah berakhir karena diberi tanda baca titik. Titik (-titik) mesti
dipahami sebagai tanya yang senantiasi membuka perspektiv baru tentang hidup
dan kehidupan. Dan pertanyaan yang paling penting dan mendesak adalah pertanyaan
tentang makna kehidupan. Pertanyaan eksistensial tentang makna hidup adalah
pertanyaan purba yang telah menggugat agama beserta mitos dan tradisinya, para
filsuf, ilmuan, penyair dan berbagai penulis. Pertanyaan tentang makna hidup
akan memberi dimensi spiritual dari kehidupan; makna itu seperti arsitek dalam
bangunan sebuah kehidupan: tak terlihat, namun dialami secara nyata.
Terima kasih
untuk „titik-titik“ sekaligus pertanyaan menantang yang telah kautulis pada
kisah hidupku. Semoga masing-masing kita tetap menjadi inspirator dan motivator
dalam petualangan mencari dan memberi makna hidup!
Vianey Lein
Awal Musim Semi, 12 Maret 2017
Bild-Quelle: http://lebedeinlebenjetzt.de/was-waere-wenn-zu-leiden-der-sinn-des-lebens-waere/
No comments:
Post a Comment