PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

08 March 2017

UNTUK JULIA


Julia,

Langit pagi hari ini terlihat cerah setelah beberapa hari ditudung mendung dan kabut dingin yang meradang sampai ke tulang-tulangku. Namun aku masih saja mendekam di balik selimut, sementara orang-orang pada bergegas ke tempat aktivitas mereka. Di balik selimut kumal aku menemukan, bahwa tidak ada yang berubah atau yang tampak baru dalam hidupku – Ya, seperti kata Pengkhotbah: tidak ada yang baru di bawah matahari. Semuanya adalah sia-sia.

Ach, aku tak mau tinggal di dalam kesia-siaan, atau hidup untuk sebuah kesia-siaan, meskipun segala apa yang aku lakukan dan perjuangkan nanti berakhir pada titik kematian yang tak dirindu setiap insan manusia. Sebelum hari ini menjadi lampau dan cerah padam di batas senja, aku ingin memberi makna perubahan pada hidup yang puluhan tahun telah berlalu, memberi arti tentang kebaruan pada mimpi-mimpi yang keras menggumpalkan tanya misterius. Adagium latin yang kupelajari waktu SMA dulu seakan memberi interupsi padaku: „Tempora mutantur, nos et mutamur in illis“ – waktu berubah, dan kita pun berubah di dalamnya.

Namun perubahan itu bukan sekedar rangkaian metamorfosis lahiriah yang hanya memberikan kesan sementara, tanpa ada makna yang tinggal tetap dalam hidup. Lebih parah lagi, jika orang mengenakan topeng hanya untuk memberi adanya kesan perubahan, enggan menjadi diri mereka sendiri. Hidup bukan sekedar menghitung kesalahan-kesalahan masa lalu, tetapi niatan hati untuk berubah mendekati kesempurnaan. Karena itu, tanggalkan saja topeng, meski ada bopeng!

Julia,

Hari-hari kemarin yang hujan dalam ingatanku, menghempaskan aku pada ingatan yang basah tentang perkenalan kita yang „kebetulan“ itu. Seperti bulir-bulir hujan, kenangan-kenangan itu mengalir dalam rongga-rongga jiwa. Meski penggalan-penggalan kisah itu telah luruh di tebing waktu lampau, ingatan akan per-HATI-an yang kamu tunjukkan masih membekas, dan mungkin selamanya mengambang dalam rumah kenangan yang telah kita bangun. Jujur, aku jatuh cinta pada kewanitaanmu – atau lebih tepatnya pada keibuanmu yang memberi per-HATI-an atas kesadaran yang tulus dan ikhlas, tanpa dibuat-dibuat, tanpa topeng. Kau menyihirku dalam kebijaksanaanmu yang ayu. Karena itu, tiba-tiba kau menyingkir dari ruang kehidupanku, aku merasa seperti ada yang berubah. Bukan perubahan seperti inilah yang kukehendaki; bukan Julia. Tapi aku akan memaknainya sebagai dinamika hidup yang mesti dijalani. Andai saja kau dan aku berada dalam ruang tanpa jarak dan berdiri pada derajad waktu yang sama, ingin kurayakan kenangan ini bersamamu. Namun, saat ini aku hanya mampu katakan TERIMA KASIH bersama rindu yang terurai.***

Bild-Quelle:
http://www.hd-gbpics.de/liebeskummer.html

No comments:

Post a Comment