PASAR
KOMODITI DI NTT: FREE TRADE VS FAIR TRADE
Catatan
Sambung atas Opini Willem Openg
Vian Lein
Anak Petani Desa Mokantarak – Flotim
Willem W. Openg
dalam opininya „Pak Bupati, Lahan Kering dan Kesejahteraan“ (PK Senin
27/2/2017) menantang pemerintah di
setiap Kabupaten dan seluruh warga NTT untuk mengusahakan pertanian lahan
kering. Usaha garam di Sabu Raijua, perkebunan jagung di Malaka, kacang dan
tebu di Sumba, jambu mete di Flores Timur dan kopi di Manggarai, Ngada dan
Nagekeo adalah contoh pemanfaatan lahan kering yang diangkat Openg dalam
tulisannya. Saya, dan tentu juga penulis Willem Openg, berharap agar pemerintah
pro aktif dalam usaha pengolahan lahan kering dan agar masyarakat dibangungkan
dari mimpi untuk mencari „emas“ di tanah rantau serta termotivasi untuk
mengolah lahan-lahan tidur. Tulisan ini merupakan catatan sambung atas opini
Willem Openg.
Pada awal
semester musim dingin lalu, pihak kampus tempat saya kuliah mengadakan kampanye
„Fairtrade“ (Perdagangan yang adil) yang sudah mulai dipkratekkan di beberapa
universitas dan sekolah tinggi di Jerman. Kampanye ini lahir dari kesadaran
bahwa pasar ekonomi global sering menguntungkan salah satu pihak (negara yang
memiliki kekuatan ekonomi) karena adanya praktek eksplotatif baik Sumber Daya Alam
(SDA) maupun tenaga kerja (negara-negara berkembang). Karena itu kampanye
„Fairtrade“ hadir untuk mengkritisi perdagangan bebas (free trade) yang
cenderung tidak adil dan berusaha mempromosikan hubungan dagang kemitraan di
atas pilar ekonomi, ekologi dan sosial-kemanusiaan.
Usaha
melipatgandakan keuntungan sudah menjadi hukum alam dalam dunia bisnis. Kita
semua sepakat bahwa tidak ada orang yang mau rugi dalam berbisnis. Namun,
ketika seorang terjun ke dunia bisnis, ia harus sadar bahwa setiap peluang yang
muncul di ruang pasar bebas kompetitif serentak menyiratkan risiko kerugian. Untuk
menghindari potensi kerugian, pendekatan utilitarianisme (menghasilkan
keuntungan yang lebih besar) lalu menjadi dominan dalam transaksi pasar. Penilaian
etis seperti prinsip keadilan, saling menguntungkan, keadilan dan integrasi
moral (Prinsip-prinsip Etika Bisnis) selalu alpa dalam pertimbangan ekonomi
pasar.
Tengkulak dan Distorsi Pasar
Pasar komoditi
di NTT seperti jambu mete, kopi, cengkeh, kemiri dan kopra tak luput dari peran
tengkulak dengan jaringan yang luas menjangkau desa-desa terpencil. Hubungan
ketergantungan antara tengkulak dan petani – tengkulak membutuhkan komoditi
untuk distribusi pasar yang lebih luas, sedangkan petani membutuhkan uang –
memungkinkan perputaran roda ekonomi yang lebih cepat. Namun banyak pula
keluhan dari masyarakat (petani) tentang kehadiran para tengkulak yang menekan
harga komoditi. Menjamurnya para tengkulak secara bebas, baik dalam penyebaran
maupun dalam penentuan harga jual-beli yang rendah sudah menjadi fenomena yang
sepertinya diterima dan diakui begitu saja oleh masyarakat. Mengapa?
Di tengah
persoalan kemiskinan yang mencekik dan kondisi infrastruktur (jalur
transportasi) yang tidak mendukung distribusi pasar, para petani tidak memilik
opsi lain selain datang kepada tengkulak. Akses informasi dan teknologi yang
menunjang distribusi pasar dan transaksi jual-beli yang dimiliki para tengkulak
memungkinkan mereka untuk memonopoli pasar secara bebas (free trade) tapi tidak
berpegang pada aspek keadilan dan saling menguntungkan (fair trade). Bukan
tidak mungkin, determinasi (harga) pasar ini bisa mengarah pada distorsi pasar
(Magee: 1971) yang memicu ketidakstabilan ekonomi dan mengganggu agen ekonomi
dalam mengusahakan kesejetahraan rakyat (Deardorff: 2008). Paradigma pasar
bebas seperti ini menggariskan, bahwa yang menguasai ekonomi dan memenangkan
kompetisi pasar adalah mereka yang memiliki kekuatan modal dan akses informasi
teknologi seperti para tengkulak. Sampai di sini semua kita berharap, agar
pihak pemerintah tidak atau belum terlibat dalam jaringan mafia harga pasar
bersama para konglomerat yang tidak lain adalah bentuk kolonialisme ekonomi.
Sikap Pemerintah
Willem Openg
telah menantang pemerintah di setiap kabupaten dan masyarakat untuk mengolah
lahan kering secara efisien. Hemat saya, intervensi pemerintah tidak hanya
berhenti pada aktivitas produksi (pemanfaatan lahan kering) tetapi juga
memantau dan mendukung proses distribusi pasar. Terhadap fenomena pasar yang
lebih menguntungkan kaum bermodal (tengkulak), pemerintah mesti mengambil
langkah mengatrol harga komoditi yang cenderung anjlok. Hal ini menuntut
kerjasama yang profesional dan akuntabel antara pemerintah dan birokrasi dalam
mengontrol mekanisme pasar secara kritis. Misi pembangunan yang berlandaskan
ekonomi kerakyatan juga ditunjang oleh aturan hukum untuk menghindari mafia
harga dan membasmi sarang-sarang tengkulak yang memeras „lumbung-lumbung“
petani.
Untuk menjaga
stabilitas harga yang selama ini menjadi monopoli konglomerat (karena mereka
memiliki akses pasar dan informasi) perlu dikembangkan mekanisme kelembagaan
seperti koperasi distribusi di desa-desa serta perbaikan infrastruktur (jalan
raya) untuk mendukung distribusi pasar. Langkah-langkah ini merupakan usaha
untuk menegakkan demokrasi ekonomi yang menjadi landasan bangunan demokrasi
politik.
Sangat
disayangkan, jika di tengah demokrasi ekonomi rakyat yang karut marut tak
terurus, para elite politik justru memancing di air keruh untuk mendapatkan kekuasaan.***
No comments:
Post a Comment