PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

14 March 2017

PASAR KOMODITI DI NTT: FREE TRADE VS FAIR TRADE


PASAR KOMODITI DI NTT: FREE TRADE VS FAIR TRADE
Catatan Sambung atas Opini Willem Openg

Vian Lein
Anak Petani Desa Mokantarak – Flotim

Willem W. Openg dalam opininya „Pak Bupati, Lahan Kering dan Kesejahteraan“ (PK Senin 27/2/2017)  menantang pemerintah di setiap Kabupaten dan seluruh warga NTT untuk mengusahakan pertanian lahan kering. Usaha garam di Sabu Raijua, perkebunan jagung di Malaka, kacang dan tebu di Sumba, jambu mete di Flores Timur dan kopi di Manggarai, Ngada dan Nagekeo adalah contoh pemanfaatan lahan kering yang diangkat Openg dalam tulisannya. Saya, dan tentu juga penulis Willem Openg, berharap agar pemerintah pro aktif dalam usaha pengolahan lahan kering dan agar masyarakat dibangungkan dari mimpi untuk mencari „emas“ di tanah rantau serta termotivasi untuk mengolah lahan-lahan tidur. Tulisan ini merupakan catatan sambung atas opini Willem Openg.
Pada awal semester musim dingin lalu, pihak kampus tempat saya kuliah mengadakan kampanye „Fairtrade“ (Perdagangan yang adil) yang sudah mulai dipkratekkan di beberapa universitas dan sekolah tinggi di Jerman. Kampanye ini lahir dari kesadaran bahwa pasar ekonomi global sering menguntungkan salah satu pihak (negara yang memiliki kekuatan ekonomi) karena adanya praktek eksplotatif baik Sumber Daya Alam (SDA) maupun tenaga kerja (negara-negara berkembang). Karena itu kampanye „Fairtrade“ hadir untuk mengkritisi perdagangan bebas (free trade) yang cenderung tidak adil dan berusaha mempromosikan hubungan dagang kemitraan di atas pilar ekonomi, ekologi dan sosial-kemanusiaan.
Usaha melipatgandakan keuntungan sudah menjadi hukum alam dalam dunia bisnis. Kita semua sepakat bahwa tidak ada orang yang mau rugi dalam berbisnis. Namun, ketika seorang terjun ke dunia bisnis, ia harus sadar bahwa setiap peluang yang muncul di ruang pasar bebas kompetitif serentak menyiratkan risiko kerugian. Untuk menghindari potensi kerugian, pendekatan utilitarianisme (menghasilkan keuntungan yang lebih besar) lalu menjadi dominan dalam transaksi pasar. Penilaian etis seperti prinsip keadilan, saling menguntungkan, keadilan dan integrasi moral (Prinsip-prinsip Etika Bisnis) selalu alpa dalam pertimbangan ekonomi pasar.
Tengkulak dan Distorsi Pasar
Pasar komoditi di NTT seperti jambu mete, kopi, cengkeh, kemiri dan kopra tak luput dari peran tengkulak dengan jaringan yang luas menjangkau desa-desa terpencil. Hubungan ketergantungan antara tengkulak dan petani – tengkulak membutuhkan komoditi untuk distribusi pasar yang lebih luas, sedangkan petani membutuhkan uang – memungkinkan perputaran roda ekonomi yang lebih cepat. Namun banyak pula keluhan dari masyarakat (petani) tentang kehadiran para tengkulak yang menekan harga komoditi. Menjamurnya para tengkulak secara bebas, baik dalam penyebaran maupun dalam penentuan harga jual-beli yang rendah sudah menjadi fenomena yang sepertinya diterima dan diakui begitu saja oleh masyarakat. Mengapa?
Di tengah persoalan kemiskinan yang mencekik dan kondisi infrastruktur (jalur transportasi) yang tidak mendukung distribusi pasar, para petani tidak memilik opsi lain selain datang kepada tengkulak. Akses informasi dan teknologi yang menunjang distribusi pasar dan transaksi jual-beli yang dimiliki para tengkulak memungkinkan mereka untuk memonopoli pasar secara bebas (free trade) tapi tidak berpegang pada aspek keadilan dan saling menguntungkan (fair trade). Bukan tidak mungkin, determinasi (harga) pasar ini bisa mengarah pada distorsi pasar (Magee: 1971) yang memicu ketidakstabilan ekonomi dan mengganggu agen ekonomi dalam mengusahakan kesejetahraan rakyat (Deardorff: 2008). Paradigma pasar bebas seperti ini menggariskan, bahwa yang menguasai ekonomi dan memenangkan kompetisi pasar adalah mereka yang memiliki kekuatan modal dan akses informasi teknologi seperti para tengkulak. Sampai di sini semua kita berharap, agar pihak pemerintah tidak atau belum terlibat dalam jaringan mafia harga pasar bersama para konglomerat yang tidak lain adalah bentuk kolonialisme ekonomi.

Sikap Pemerintah
Willem Openg telah menantang pemerintah di setiap kabupaten dan masyarakat untuk mengolah lahan kering secara efisien. Hemat saya, intervensi pemerintah tidak hanya berhenti pada aktivitas produksi (pemanfaatan lahan kering) tetapi juga memantau dan mendukung proses distribusi pasar. Terhadap fenomena pasar yang lebih menguntungkan kaum bermodal (tengkulak), pemerintah mesti mengambil langkah mengatrol harga komoditi yang cenderung anjlok. Hal ini menuntut kerjasama yang profesional dan akuntabel antara pemerintah dan birokrasi dalam mengontrol mekanisme pasar secara kritis. Misi pembangunan yang berlandaskan ekonomi kerakyatan juga ditunjang oleh aturan hukum untuk menghindari mafia harga dan membasmi sarang-sarang tengkulak yang memeras „lumbung-lumbung“ petani.
Untuk menjaga stabilitas harga yang selama ini menjadi monopoli konglomerat (karena mereka memiliki akses pasar dan informasi) perlu dikembangkan mekanisme kelembagaan seperti koperasi distribusi di desa-desa serta perbaikan infrastruktur (jalan raya) untuk mendukung distribusi pasar. Langkah-langkah ini merupakan usaha untuk menegakkan demokrasi ekonomi yang menjadi landasan bangunan demokrasi politik.
Sangat disayangkan, jika di tengah demokrasi ekonomi rakyat yang karut marut tak terurus, para elite politik justru memancing di air keruh untuk mendapatkan kekuasaan.***

No comments:

Post a Comment