Politik antara Caritas dan Cupiditas
Vianey Lein
Alumni Philosophisch- theologische
Hochschule SVD St. Augustin - Jerman
Laura de Weck, penulis dan
sutradara asal Swiss, dalam sebuah karyanya mengemas secara metaforis relasi
(cinta) antara negara (yang diberinya label maskulin) dan rakyat (feminin).
Dalam sebuah adegan dialog ia mencampuradukan ruang terbuka untuk umum dengan
ruang intim, seperti kuota kaum perempuan dan gender didiskusikan dalam kamar
tidur. Suatu ketika negara dan rakyat mesti menjalani terapi khusus untuk
pasangan karena akurasi hubungan mereka terancam rusak oleh hilangnya rasa
percaya satu sama lain (Laura de Weck:
Politik und Liebe machen: 2016).
Filsuf Hannah Arendt yang
pernah menjalin relasi cinta dengan dosennya, Martin Heidegger, meyakini, bahwa
„politik adalah kasih yang diwujud-nyatakan kepada dunia“. Nukilan singkat ini
bagi kita mungkin lebih merupakan sebuah cita-cita atau idealisme bahkan
terkesan paradoksal ketimbang sebagai konklusi
logis dan jujur atas pengalaman-pengalaman konkrit. Kedengaran begitu mulia
seperti seruan-seruan moral yang didengungkan oleh para pengkhotbah di
rumah-rumah ibadat. Sayangnya, realpolitik
di tanah air bukanlah mimpi indah. Harapan akan tatanan politik yang
bermartabat dan kualitas hidup yang „baik“ selalu berbenturan dengan realitas malum (kebobrokan) seperti kemiskinan,
perdagangan manusia, korupsi dan konflik antaragama. Cita-cita politik untuk bonum commune jauh panggang dari api karena
para elite politik lebih memperjuangkan bonum
privatum.
Kata kunci yang menjadi
aksentuasi Arendt dari adagium di atas adalah „(di)wujud-nyata(kan)“. Bila
dikatakan „politik adalah kasih/cinta kepada dunia“, kita akan terperangkap idealisme
belaka karena kehilangan pijakan praksis. Ia hanya berkutat pada tataran rasa. Politik
bukan sekedar perkara „apa yang harus orang inginkan atau rasakan“, tetapi juga
apa yang harus dapat orang alami secara nyata (tentu kebaikan bersama).
Cinta kepada dunia
(manusia dan alam) berarti menerima dan merangkul mereka termasuk cita-cita dan
harapan, kelemahan dan kekurangan; tetapi bukan berarti sebagai suatu sikap
pasrah, diam membiarkan realitas penderitaan dan kebobrokan terjadi seperti apa
adanya. Cinta kepada dunia adalah suatu panggilan kemanusiaan untuk suatu
perubahan hidup yang lebih bermartabat lewat karya-karya karitativ dalam
semangat solider dengan manusia dan alam. Termasuk di dalamnya adalah
keberanian menyuarakan kritik atas nama kebenaran serta keterbukaan dan
kerendahan hati menerima kritik. Di tengah tatanan politik demokrasi yang
cenderung berorientasi kepentingan sektarian, spirit compassion – kemampuan turut merasakan penderitaan orang lain - adalah
sebuah kemendesakan. Semangat ini lahir dari kesadaran dan pengakuan, bahwa
semua adalah satu dalam ikatan relasi kasih (caritas). Thomas Aquninas pun meyakini, bahwa bonum commune hanya akan tercapai kalau ada ikatan afeksi, bahkan
kasih, yang menyatukan setiap orang di dalam sebuah komunitas (Hollenbach:
2002).
Radix omnium malorum est
cupiditas
Lawan dari caritas adalah cupiditas (hasrat, keinginan atau nafsu). Spinonoza, filsuf dan
bapak liberalisme religius modern, menjelaskan, bahwa eksistensi manusia yang
terbatas di horison semesta menjadikan manusia terbuka bagi segala macam
pengaruh yang bertentangan dengan tabiatnya untuk mempertahankan diri (conatus), baik itu pergulatan kehendak
dalam jiwa (voluntas) maupun
keinginan badaniah (appetitus) yang
disadari sebagai keinginan atau nafsu (cupiditas).
Menurutnya, cupiditas merupakan
afeksi primer dalam diri manusia sebagai gabungan antara conatus dan conscientia atau
kesadaran/suara hati (bdk. Ursula Renz: 2008). Politik yang dibayang-bayangi
nafsu akan harta kekayaan dan jabatan akan membutakan mata orang terhadap
realitas penderitaan rakyat serta tuli terhadap seruan-seruan kritis. Iklim
politik yang demikian akan menciptakan kesenjangan antara yang kaya dan yang
miskin: yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin dipermiskin. Hidup ber-polis lalu menjadi ruang kompetisi
memperebutkan kekuasaan dan uang, dimana rakyat kecil selalu menjadi korbannya.
Di sini, adagium Latin Radix omnium
malorum est cupiditas, akar dari segala kejahatan adalah keserakahan, berlaku.
Cinta sebagai Sebuah
Proyek
Relasi cinta antara
Hannah Arendt dan Martin Heidegger boleh dibilang unik bukan hanya karena jalinan
cinta antara dosen dan mahasiswi, tetapi juga pada bagaimana mereka memahami
cinta mereka dengan situasi dan latar belakang yang berbeda: Arendt yang adalah
keturunan Yahudi, Heidegger berkebangsaan Jerman dan memiliki hubungan dengan
Nazi, (tetapi akhirnya meninggalkan partai itu). Keduanya memahami cinta mereka
sebagai sebuah proyek filsafat eksistensi
yang amat berharaga dan yang ingin mereka hidupi untuk menghadapi setiap
perlawanan. Relasi cinta antara keduanya meyakinkan Heidegger, bahwa „dunia ini
bukan lagi menjadi milikmu dan milikku, melainkan kepunyaan kita, bahwa segala
apa yang kita lakukan dan usahakan, bukan milikku atau milikkmu, melainkan
kepunyaan kita“.
Situasi politik bisa
mendepak pasangan yang sedang jatuh cinta masing-masing pada ruang
keterpisahan. Karena takut hilangnya jabatan karena kedekatannya dengan orang
Yahudi (Arendt) Heidegger rela „mengasingkan“ Arendt dari hidupnya dan kembali
ke dunia profesi. Masing-masing menjalani dan mengartikan proyek cinta mereka
dalam galau rasa keterpisahan dan sakit. „Aku mencintaimu seperti pada hari
pertama kita berjumpa, dan engkau tahu itu. Aku pun selalu tahu itu hingga kini
akhirnya kita berjumpa lewat goresan ini. Jalan cinta yang engkau tunjukkan
ternyata panjang dan begitu sulit dari yang aku pikirkan. Ia menuntut taruhan
seumur hidup“, tulis Arendt pada April 1928, dua tahun setelah mereka berpisah.
Perjuangan untuk tatanan
politis yang berorientasi bonum commune
dan bermartabat di tengah praktek korupsi, pencaplokan hak milik rakyat dan
kemelut kemiskinan adalah juga sebuah proyek cinta yang mesti terus diupayakan.
Semua kita berharap, bahwa setiap pemimpin yang berani maju dalam kontestasi
politik tidak sekedar dorongan hasrat menjadi penguasa yang tujuannya adalah
kenikmatan semata***
Bild-Quelle: https://de.pinterest.com/tablettreck/llibre-safranski-heidegger/
No comments:
Post a Comment