PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

13 March 2017

Politik antara Caritas dan Cupiditas


Politik antara Caritas dan Cupiditas

Vianey Lein

Alumni Philosophisch- theologische Hochschule SVD St. Augustin - Jerman


Laura de Weck, penulis dan sutradara asal Swiss, dalam sebuah karyanya mengemas secara metaforis relasi (cinta) antara negara (yang diberinya label maskulin) dan rakyat (feminin). Dalam sebuah adegan dialog ia mencampuradukan ruang terbuka untuk umum dengan ruang intim, seperti kuota kaum perempuan dan gender didiskusikan dalam kamar tidur. Suatu ketika negara dan rakyat mesti menjalani terapi khusus untuk pasangan karena akurasi hubungan mereka terancam rusak oleh hilangnya rasa percaya satu sama lain (Laura de Weck: Politik und Liebe machen: 2016).

Filsuf Hannah Arendt yang pernah menjalin relasi cinta dengan dosennya, Martin Heidegger, meyakini, bahwa „politik adalah kasih yang diwujud-nyatakan kepada dunia“. Nukilan singkat ini bagi kita mungkin lebih merupakan sebuah cita-cita atau idealisme bahkan terkesan paradoksal ketimbang sebagai konklusi logis dan jujur atas pengalaman-pengalaman konkrit. Kedengaran begitu mulia seperti seruan-seruan moral yang didengungkan oleh para pengkhotbah di rumah-rumah ibadat. Sayangnya, realpolitik di tanah air bukanlah mimpi indah. Harapan akan tatanan politik yang bermartabat dan kualitas hidup yang „baik“ selalu berbenturan dengan realitas malum (kebobrokan) seperti kemiskinan, perdagangan manusia, korupsi dan konflik antaragama. Cita-cita politik untuk bonum commune jauh panggang dari api karena para elite politik lebih memperjuangkan bonum privatum.

Kata kunci yang menjadi aksentuasi Arendt dari adagium di atas adalah „(di)wujud-nyata(kan)“. Bila dikatakan „politik adalah kasih/cinta kepada dunia“, kita akan terperangkap idealisme belaka karena kehilangan pijakan praksis. Ia hanya berkutat pada tataran rasa. Politik bukan sekedar perkara „apa yang harus orang inginkan atau rasakan“, tetapi juga apa yang harus dapat orang alami secara nyata (tentu kebaikan bersama).

Cinta kepada dunia (manusia dan alam) berarti menerima dan merangkul mereka termasuk cita-cita dan harapan, kelemahan dan kekurangan; tetapi bukan berarti sebagai suatu sikap pasrah, diam membiarkan realitas penderitaan dan kebobrokan terjadi seperti apa adanya. Cinta kepada dunia adalah suatu panggilan kemanusiaan untuk suatu perubahan hidup yang lebih bermartabat lewat karya-karya karitativ dalam semangat solider dengan manusia dan alam. Termasuk di dalamnya adalah keberanian menyuarakan kritik atas nama kebenaran serta keterbukaan dan kerendahan hati menerima kritik. Di tengah tatanan politik demokrasi yang cenderung berorientasi kepentingan sektarian, spirit compassion – kemampuan turut merasakan penderitaan orang lain - adalah sebuah kemendesakan. Semangat ini lahir dari kesadaran dan pengakuan, bahwa semua adalah satu dalam ikatan relasi kasih (caritas). Thomas Aquninas pun meyakini, bahwa bonum commune hanya akan tercapai kalau ada ikatan afeksi, bahkan kasih, yang menyatukan setiap orang di dalam sebuah komunitas (Hollenbach: 2002).

Radix omnium malorum est cupiditas

Lawan dari caritas adalah cupiditas (hasrat, keinginan atau nafsu). Spinonoza, filsuf dan bapak liberalisme religius modern, menjelaskan, bahwa eksistensi manusia yang terbatas di horison semesta menjadikan manusia terbuka bagi segala macam pengaruh yang bertentangan dengan tabiatnya untuk mempertahankan diri (conatus), baik itu pergulatan kehendak dalam jiwa (voluntas) maupun keinginan badaniah (appetitus) yang disadari sebagai keinginan atau nafsu (cupiditas). Menurutnya, cupiditas merupakan afeksi primer dalam diri manusia sebagai gabungan antara conatus dan conscientia atau kesadaran/suara hati (bdk. Ursula Renz: 2008). Politik yang dibayang-bayangi nafsu akan harta kekayaan dan jabatan akan membutakan mata orang terhadap realitas penderitaan rakyat serta tuli terhadap seruan-seruan kritis. Iklim politik yang demikian akan menciptakan kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin: yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin dipermiskin. Hidup ber-polis lalu menjadi ruang kompetisi memperebutkan kekuasaan dan uang, dimana rakyat kecil selalu menjadi korbannya. Di sini, adagium Latin Radix omnium malorum est cupiditas, akar dari segala kejahatan adalah keserakahan, berlaku.

Cinta sebagai Sebuah Proyek

Relasi cinta antara Hannah Arendt dan Martin Heidegger boleh dibilang unik bukan hanya karena jalinan cinta antara dosen dan mahasiswi, tetapi juga pada bagaimana mereka memahami cinta mereka dengan situasi dan latar belakang yang berbeda: Arendt yang adalah keturunan Yahudi, Heidegger berkebangsaan Jerman dan memiliki hubungan dengan Nazi, (tetapi akhirnya meninggalkan partai itu). Keduanya memahami cinta mereka sebagai sebuah proyek filsafat eksistensi yang amat berharaga dan yang ingin mereka hidupi untuk menghadapi setiap perlawanan. Relasi cinta antara keduanya meyakinkan Heidegger, bahwa „dunia ini bukan lagi menjadi milikmu dan milikku, melainkan kepunyaan kita, bahwa segala apa yang kita lakukan dan usahakan, bukan milikku atau milikkmu, melainkan kepunyaan kita“.

Situasi politik bisa mendepak pasangan yang sedang jatuh cinta masing-masing pada ruang keterpisahan. Karena takut hilangnya jabatan karena kedekatannya dengan orang Yahudi (Arendt) Heidegger rela „mengasingkan“ Arendt dari hidupnya dan kembali ke dunia profesi. Masing-masing menjalani dan mengartikan proyek cinta mereka dalam galau rasa keterpisahan dan sakit. „Aku mencintaimu seperti pada hari pertama kita berjumpa, dan engkau tahu itu. Aku pun selalu tahu itu hingga kini akhirnya kita berjumpa lewat goresan ini. Jalan cinta yang engkau tunjukkan ternyata panjang dan begitu sulit dari yang aku pikirkan. Ia menuntut taruhan seumur hidup“, tulis Arendt pada April 1928, dua tahun setelah mereka berpisah.

Perjuangan untuk tatanan politis yang berorientasi bonum commune dan bermartabat di tengah praktek korupsi, pencaplokan hak milik rakyat dan kemelut kemiskinan adalah juga sebuah proyek cinta yang mesti terus diupayakan. Semua kita berharap, bahwa setiap pemimpin yang berani maju dalam kontestasi politik tidak sekedar dorongan hasrat menjadi penguasa yang tujuannya adalah kenikmatan semata***


Bild-Quelle: https://de.pinterest.com/tablettreck/llibre-safranski-heidegger/


No comments:

Post a Comment