PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

14 December 2014

Heute vor vier Jahren …


Heute vor vier Jahren …


Julia,


Die neue Kerze auf dem Adventskranz wurde angezündet

Dieses Licht heißt „Freude“, oder auf Letein "Gaude", Freut euch!

und damit sind wir in die 3. Adventswoche eingestiegen.

Zwei andere Kerzen, „Erinnerung“ und „Erneuerung“ brennen noch am Adventkranz.

An der brennenden Kerze der Freude denke ich an alle Menschen,

denen ich in meinem Leben begegnet bin,

mit denen ich mein Stück Freude geteilt habe

an alle Erfahrungen, die mir ein Stück Freude bringen

aber auch Enttäuschung und Trauer


Julia,

Heute vor vier Jahren bin ich in Köln-Bonn Flughafen angekommen.

Ich erinnere mich an diesen Moment, ja, ein Moment der Fruede über neuen Begegnungen:

Begegnung mit kaltem und trockenem Winter,

der meine Haut immer spannte,

Begegnung mit leise fallendem Schnee,

den ich zum ersten Mal in meinem Leben sah und hörte,

Begegnung mit neuer Luft und Nadelduft, die ich niemals roch,

Begegnung mit fremden Menschen von verschiedenen Ländern und Kulturen

Begegnung mit neuer Sprache, die ich manchmal nicht verstehe,

Begegnung mit Dir, als ich dich bei deinem Namen rief und sagte: „Julia, ich liebe Dich“,

Begegnung mit mir selbst… … …


Julia,

Danke für diese vier Jahre

und ich freue mich schon auf die kommmenden Begegnungen mit Dir

Dir einen schönen dritten Adventssonntag!




14.Dezember 2014

3.Adventswoche und 4 Jahre in Deutschland

Glühwein* untuk Julia

Glühwein* untuk Julia

Julia,
Minggu kemarin telah kita nyalakan lilin pertama pada karangan Advent.
Itu lilin kenangan. Dengan cahaya lilin ini, kita mengenang orang-orang yang pernah hadir dalam hidup kita, baik yang masih dalam pengembaraan di bumi, maupun yang sudah kembali pulang kepada Sang Empunya Kehidupan. Kita juga mengenang seluruh peristiwa hidup yang telah kita alami pada masa lampau. Dan dalam Momen Anamnesis ini – momen memoria, kita juga dipanggil untuk bermadah syukur atas seluruh masa lalu kita. Untuk orang-orang yang pernah hadir dalam setiap pengalaman hidup, meski itu kecil dan sederhana sekalipun, mari kita ucapkan TERIMA KASIH.

Dan hari ini kita buka pintu ke-7 pada Kalender Advent, dengan sepotong pesan yang tersemat pada aroma „Glühwein“, yang pada permukaanya kita bisa berkaca rupa. Satu lilin lagi pada karangan advent dinyalakan: lilin pembaharuan, lilin perubahan. Kita dipanggil untuk membangun jalan pada padang gurun kehidupan kita dan meluruskan padang belantara jalan raya. Setiap lembah harus ditutup, dan setiap gunung dan bukit harus diratakan. Tanah yang berbukit-bukit harus menjadi tanah yang rata, dan tanah yang berlekuk-lekuk menjadi dataran. Rumput menjadi kering dan bunga menjadi layu, tetapi Firman Tuhan yang kita imani itu tetap selamanya.

Tapi Julia,
Apa sesungguhnya Advent kita?
Apakah ketika suara yang berseru-seru di padan g gurun mulai bergema,
memantul pada dinding karang masa bodoh danketidak-pedulian?
Apakah ketika gereja-gereja membuka lebar gerbangnya untuk orang miskin dan lapar, dan memberi mereka makan?
Apakah ketika lorong-lorong di belantara kehidupan mulai diluruskan,
lembah-lembah ditutup dan yang lekak-lekuk diratakan?
Itukah Advent?
Apakah ketika luka-luka yang menyiksa dan membikin galau mulai sembuh?
Atau ketika yang tertindas dan tertekan mulai mendapat hak mereka?
Apakah ketika orang-orang yang digusur rumahnya dan para pengungsi kembali menetap di kampung halaman dan rumah mereka?
Apakah ketika liang-liang kebencian diguncang roboh
dan setiap gunung dan bukit ketamakan menjadi rata?
Atau ketika puing-puing reruntuhan menjadi rumah buat para pengungsi?
Apakah ketika planet bumi kita memiliki tempat dan ruang buat semuanya,
dan tak ada lagi yang harus mati di bawah kelaliman kuasa?
Apakah Advent itu hanya merupakan penggalan waktu dalam 24 hari sebelum Natal dan 4 minggu masa penantian seperti yang dikotbahkan para imam dan pendeta di Gereja.
Apakah ketika masing-masing kita berada dalam penantian untuk bertemu kembali, berjumpa selepas perpisahan kemarin?

Katakan padaku Julia,
Kapan sesungguhnya Advent buat aku, buat kita?
Mungkin seluruh perjalanan kisah hidup kita juga merupakan sebuah Advent!!!???
.........

Julia,
"Glühwein" (Anggur panas/hangat): Wolfgang Dirscherl/pixelio.de
Pada cangkir „Glühwein“ku, kutemukan wajah mutergambar. Tak rela aku meneguknya hingga wajahmu hilang bersama kepulan aromannya.


*Glühwein:anggur merah panas/hangat yang biasa disajikan selama masa advent, terkhusus pada pasar-pasar Natal (Weihnachtsmark). Biasanya dicampur dengan vanilla, cengkeh atau lemon. Pada suhu „minus“ seperti di Jerman (dan juga negara-negara Eropa lainnya) glühwein ini cocok untuk menghangatkan badan.

Vianney Leyn
07 Dezember 2014

KARANGAN ADVENT UNTUK JULIA


KARANGAN ADVENT UNTUK JULIA

Julia,
Bild: retter.tv Archuvbild
Udara musim dingin yang menyelinap di antara rongga-rongga hari seakan menyengat juga dinding pori-pori tubuhku, mengalir dan terus mengalir hingga membuat badan gemetar-menggigil, lalu hanya bisa terbaring di balik selimut yang sudah kusiap di akhir musim gugur. Perasaanku tentang waktu pun tak lagi menentu. Mentari sering telat menyinar pagi; suram dan padam lebih awal di ufuk barat; senja menjadi lebih cepat kelam dan gelap. Lampu pijar yang dibakar pada kumparan Atom-Nuklir itu mulai dinyalakan lebih awal di tiap rumah dan kantor tempat kerja sebelum malam jatuh pada saat yang semestinya. Kegelapan mengitari waktu. Mungkin itu baik juga buat aku untuk perlahan mengumpulkan tenaga pada lama dan gelapnya jam-jam musim dingin, hingga aku tiba pada musim berikut.

Benar,bahwa terkadang kegelapan itu tidak membuat kita tidak bisa berbuat banyak, seperti halnya ketika Listrik di kampungku begitu sering padam, lalu kami mulai menyalakan pelita atau lilin, biar bisa mengerjakan pekerjaan rumah atau belajar. Sudah tentu rongga hidung kami akan menjadi pekat dipanggang asap pelita dan lilin. Kita selalu ingin mengubah malam-malam kita menjadi siang,mengubah gelap menjadi terang.

Julia,
Advent (di Eropa), selalu hadir pada saat, dimana malam menjadi lebih panjang, hadir di saat gelap musim dingin datang menudung. Mungkin Advent menjadi peluang atau kemungkinan bagi kita untuk mencari dan menemukan pesan-pesan di balik kegelapan itu. Kita tak pernah menjumpai malam-malam yang panjang seperti saat ini pada musim-musim yang lain dalam satu revolusi planet bumi. Sesudah Natal nanti, siang akan menjadi lebih panjang, dan malam akan menjadi lebih pendek.

Julia,
Mungkin di kota lebih sulit bagi kita untuk merasakan atau mengalami kegelapan. Kesuraman atau kegelapan yang sesungguhnya itu lebih hadir di desa-desa terpencil, di dusun-dusun sunyi yang jauh dari kerlap-kerlip lampu kota dan bias-bias cahaya di sepanjang jalan raya dantrotoar, di rumah-rumah tingkat dan gedung-gedung pencakar langit. Karena itu aku ingin mengajakmu untuk keluar dari kamar kita yang penuh dengan cahaya yang terkadang menyilaukan mata. Ya, keluar ke lorong-lorong gelap bersama karangana dvent yang kurangkai dari ranting cemara dan pinus, melilit empat lilin ditepiannya. Momen ini mungkin akan menjadi malam panjang kita, dalam perjalanan menuju Bethlehem, menuju Palung Sang Bayi.

Julia, mungkin kamu bertanya, apakah kita bisa menjumpai malam-malam kita? Kita butuh keberanian dan kejujuran untuk bisa memandang sisi gelap kehidupan kita. Aku yakin, dalam kegelapan kita bisa lebih berkonsentrasi pada apa yang melekat pada diri, pada realitas yang ada disekitar kita. Kita juga akan menjadi lebih tenang dan tidak tergesa-gesa,dengan itu kita bisa memandang „kejelasan“ dan menemukan kekuatan. Kita juga akan menjumpai cahaya dan tidak hanya terus bermain dengan bayang-bayang kita sendiri.

Julia, selamat berziarah menelusuri rongga-rongga malammu. Pada karangan advent kita menyatu, dan dalam doa kita bertemu……


Selamat memasuki Minggu Advent I
Vianney Lein,

Sankt Augustin 30 November 2014






22 November 2014

00:00 Uhr

00:00 Uhr


Um 00:00 Uhr

Es war dunkel – Licht war aus

Und an den Rahmen deiner Tür kloppte ich

„Bist du schläfrig?“

Du sahst mich lächelnd an

 „Vielleicht sagt ein kleines Lächeln schon viel“,

dachte ich…

Aber Spuren deiner Augen verstand ich nicht


Das Licht ist wieder an

Aber meine Träume sind noch


unter Decke begraben


Viananey Leyn
Sankt Augustin, 21 November 2014

BAIT-BAIT GALAU

BAIT-BAIT GALAU


Julia,

Senandung rinai hujan di langit November

terus menebar aroma dedaunan dan ranting kering

dan terkadang membuatku gigil dalam kebasahan

aku kewalahan memungut jejak kisahmu yang gugur

pada tiap penggalan waktu dan musim

yang kau tinggalkan pada tapak-tapak ingatanku


Aku tahu, itu mustahil

Untuk mengulang kembali kisah itu

Seperti dedaunan musim gugur

Yang akan didaur kembali menjadi tanah,

atau mungkin juga jadi air, api atau pun udara

Aku hanya ingin mengurai rasa,

ya, lebih tepat mengurai galau-gelisahku

Yang perlahan gugur bersama dedaunan

Dan jatuh berkejaran seperti rintik hujan

Yang terpelanting pada atap rumah, batu,

atau kulit orang-orang jalan

Gelisah tentangmu,

tentang kekasihmu jauh di pulau

tentang ibumu yang sering cemberut

menohok batinmu dengan kata

tentang „anak-anakmu“ yang cacat

dan tidak lagi ke sekolah

Tentang senyummu

Yang mungkin telah beku dipanggang dingin


Julia,

kirimkan aku kabarmu

setelah kamu membaca bait-bait rasaku ini



Vianney Leyn
Sankt Augustin, 21 November 2014


03 November 2014

PUISI DIAM (Untuk mereka yang berDIAM di keabadian)

DIAM




Malam ini tanpa bintang,

malam penuh kenangan

Hanya bulan patah pada jejer 

tata surya, malam memoria



Malam ini malam sembahyang, dengan larik doa tak terucap

Malam ini tanpa suara-tanpa kata, diam mengurai jejakmu

Di antara helai daun musim gugur  

Diam mengukir wajahmu pada langit malam

Diam di tepian nisan yang kubangun di pojok doa

Diam … diam … dan diam …..     



Untuk mereka yang berDIAM di keabadian 

Vianney L.  


02 November 2014                      
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      

19 October 2014

KENANGAN

KENANGAN

Julia,
Selepas perpisahan di pantai Ostia, aku terus bergulat dalam rasa dan nalar
Tentang semua cerita yang kau tulis di bibir pantai,
tentang karang yang menyayat telapak tangan
tentang buih yang menggaram luka
dan ombak yang menghapus jejak-jejak kaki kita
Tentang Tuhanmu di alun-alun Basilika Santo Petrus
Tentang harapmu di pancuran mengering Fontana di Trevi
Tentang cintamu di Piazza Venezia
Semua terasa begitu cepat berlalu - berganti alur

Julia,
Aku pun baru mengerti tentang pesanmu
Yang kau tulis pada helai musim gugur tahun ini
Kamu benar, bahwa malam-malamku akan menjadi lebih panjang
dan tetes embun di kaca jendela kamar menjadi lebih dingin
Apakah ini semata fenomena alam yang bermain pada musim yang bergulir,
atau… karena perpisahan yang memenjara masing-masing kita pada ruang dan waktu?

Julia,
Jujur harus kuakui,
bahwa momen perjumpaan yang menggetar jiwa
akan meninggalkan jejak-jejak kenangan tiada pupus
Perjumpaan itu seperti butir-butir salju yang lembut menyengatmu,
membuat jiwamu merinding, lalu menghilang
Perjumpaan itu juga seperti tetes hujan yang mencium keningmu,
mengalir membasuh jiwamu dan membawa pergi bulir-bulir air mata
Perjumpaan itu seperti hembusan sang bayu yang membelai mesra tubuhmu,
lalu mengibar senyum di wajahmu hingga kamu merasa damai
Perjumpaan itu seperti bias-bias mentari yang merangkulmu penuh kasih,
senatiasa membuka lebar tangan dan hati hingga kamu merasa tentram
Perjumpaan itu seperti gugusan bintang yang membuatmu terpesona,
menggulir pupilmu pada kumparannya lalu tinggal dalam kenangan abadi
Dan ada pula perjumpaan yang membuat masing-masing kita hanya terdiam bisu…

Julia,
perjumpaan bersamamu adalah kata yang selalu berbicara padaku,
perjumpaan bersamamu adalah tindakan yang senantiasa menggerakanku tangan dan kakiku
Perjumpaan bersamu adalah KENANGAN

******

Vianney L.
Oktober 2014
Foto: Vianney Leyn/Pantai Ostia -Roma

15 October 2014

MUSIKAPOSTEL: Internationale Lieder und Tänzen

MUSIKAPOSTEL: Internationale Lieder und Tänzen

Steylermusikapostel im TAK Mönchengladbach/Foto: Altus Jebada
Es gab keine richtige Bühne mit viel und hoher Technik für die Musikanlage, wie sonst bei einem großen Konzert üblich. Nur Bänke und Tische sind auf dem Gang zwischen Kapelle und TAK (Treffen am Kapellchen) für die Armen, Obdachlosen und Arbeitlosen eingerichtet. Dort traten am 19. Juni 2014 zum zweiten Mal die Musikapostel mit ihren internationalen Liedern und Tänzen in Mönchengladbach auf. Viele Obdachlose und Arbeitlose waren gekommen, die von den Steyler Missionsschwestern eingeladen worden sind. "Vielen Dank

für euer Kommen", sagte Sr. Imelda, SSpS nach dem Auftritt. "Wir sind auch wirklich dankbar für diese tolle Begegnung und froh, dass wir den "kleinen und armen Menschen" ein Stück Freude mitteilen konnten", drückte Fr. Tuan Ho seine Freude während des Gespräches mit den Leuten aus. Durch internationale Musik und Tänze begegneten sich die Steyler Fratres und die Armen und Obdachlosen, die vielleicht in der Gesellschaft vernachlässigt sind und keinen guten Raum haben, um ein würdiges Leben zu führen. An diesem sozialen Brennpunkt wirkten auch Steyler Fratres in ihrer Mission.


Steylerfratress, P. Moses und Familie Bewermeie/Foto: Altus Jebada
Die Steyler Musikapostel gestalteten auch einen internationalen Gottesdienst in der Pfarrei von Herrn Bewermeier, dem Hausökonom von St. Augustin, dessen Sohn als Mazler nach Argentinien aufgebrochen ist. Der Hauptzelebrant während des Gottesdienstes war Pater Dr. Moses Awinongya SVD. Im Mittelpunkt stand das MAZ-Programm, wobei unsere Musikapostel die Steyler Missionare präsentierten. Nach dem Gottesdienst trafen wir uns zu Gespräch und Austausch mit der Gemeinde. Zum "krönenden Abschluss" lud uns Herr Bewermeier zum Essen in sein Haus ein. (Vianney Leyn/Fotos:Altus Jebada)

13 September 2014

Di Pantai Ostia

Di Pantai Ostia

Julia,
Memandang samudramu lepas
Menghempaskan Bola mataku pada pencaharian tiada akhir
Mengecap biru lautmu
Bagai menggaram luka yang belum kering
Mendulang hempasan busa gelombangmu
Aku terhempas di tepian
Lalu Hanya kutulis namamu di hamparan pasir
Tapi seketika dilumat ombak di bibir pantaimu....
Sekali lagi kupanggil namamu dari bibir ingatan yang kian melepuh

Julia,
Di Ostia kita dibaptis dalam kasih
Ketika Rasul Paulus menebar jala di di tepian dermaga
Paulus, yang minggu kemarin menuliskan kita sepucuk surat kasih:
"hendaklah kamu saling mengasihi. Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!"
Di Ostia kita ceburkan diri,
Berbaring-berjemur di hamparan pasir putih
Sembari memandang senja yang perlahan tenggelam dengan warna lembayung paling agung
Di Ostia kita belajar meratap
Bersama Santo Agustinus, yang juga adalah sastrawan itu,
Ketika kehilangan Sang Bunda Monika di buritan Kapal
Lalu kita bernyanyi bersama ombak:
"Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi, tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia"

Di Ostia kita belajar mencinta
Di Ostia kita berujar setia
Di Ostia kita 'kan bersua

Di tepi pantai Ostia, 
11 September 2014
VianneyL

FONTANA DI TREVI

FONTANA DI TREVI*


Julia,
Malam ini kucoba mencari jejak-jejakmu sunyi
di pahatan luka musim berlalu panas dan ganas
Di Fontana di Trevi aku mencari jejakmu
Wajahmu kucari di antara ribuan koin berserak
Juga pancuran itu kering terbakar kapur
disiram cahaya rembulan meredup

Julia,
Ke dasar pancuran aku tak melempar koin
Tapi aku akan kembali menjemputmu di Bologna
Dengan kecupan sederhana
Karena sisa rindu tlah kutambat
di gerbang kota yang kian pucat-pekat


(Malam, di tepian Sumur-Pancur Fontana di Trevi
yang sedang direnovasi.....kecewa... September 2014)


*Fontana di Trevi adalah sebuah Sumur-Pancur di kota Roma dengan lebar 20m dan tinggih 26m, di balik Palas atau istana kekaisaran. Ini melambangkan wilayah kekuasaan raja atas samudra. Sumur-pancur ini memiliki daya pikat tersendiri bagi setiap wisatawan. Di dasarnya terlihat banyak koin atau uang logam yang sengaja dilempar para wisatawan, dengan keyakinan bahwa suatu saat akan kembali lagi ke kota abadi itu... Tapi sayang, kali ini Fontana di Trevi sedang direnovasi......

Gapura Jiwa

Gapura Jiwa

Julia,
Kembali aku membekaskan jejak kaki pada kota tua ini
tapi kali ini bukan di atas jalanan batu berdebu
Kali ini di atas marmer dan mozaik berabad usia


Setiap kali aku melangka,
memandang lukisan Sang Maestro ternama pada dinding karang,
Juga langit-langit yang tak luput disulap megah,
aku merasa seperti ada sesuatu yang membuntutiku
Bayanganmu, suaramu, bau tubuhmu
menjelma di pigura-pigura berdandan kekaisaran
memberi salam dari mulut patung-patung telanjang yang berjejer

Kaukah itu, Julia?
Tidakkah kau baring di empuk ranjangmu
dekat bantai para Gladiaotor?

Aku terpaku di antara pilar-pilar marmer
memandang alun-alun kudus
dijejal sunyi para teolog, mistikus
dan nyanyian nihilisme para atheis: Allah telah Mati
Dibias khusuk Kaum berjubah dan solek gadis berpakaian mini
Dikerumun Tawa wisatawan dan jerit pengemis
ya, memandang wajahmu dan wajahku retak
di dasar pancuran mengering

Julia,
lukisan dan patung-patung itu masih berbicara padaku
dan mungkin akan terus berkata-kata dalam bahasa mereka
yang terkadang aku tak mengerti
Kita mungkin hanya bermegah di antara nama besar para seniman
yang membahasakan iman, harap dan kasih yang mereka paham
lewat lukisan dan pigura-pigura
Di Gapura ini juga ingin kulukis rupa kita
tapi bukan wajah atau tubuh kita, Julia..
Jiwa kita-lah yang ingin kuabadikan
Ya, jiwa kita yang telanjang

Vianney L.
Piazza San Pietro und Sixstinische Kapelle,
06 August 2014

Rembulan di atas Colosseum


Rembulan di atas Colosseum

Julia,
malam ini kususuri lorong tanpa nama
di antara bongkahan batu tua
tertimbun di bawah cahaya rembulan
Mengenang wajahmu pada dinding malam
yang sebentar lagi runtuh
bersama butiran debu di tepian Colosseum

¨Aku telat datang mencumbuimu di kota tua
Sementara rindumu telah kau kuburkan
di bawah puing-puingnya ...¨

Julia,
Rembulan masih genit merayu
Seperti orang Bangladesh itu
Menawar selempang buat hidup istri dan anaknya
Ingin pula kurayu jiwamu merayakan cinta dan bulan madu di Jalur Gaza
Tapi, apakah itu mungkin
Sementara rembulan hampir jatuh di balik Colosseum
Hanya kudekap malamku yang kian gelisah
sambil nyanyikan rindu bersama pengungsi
yang kehilangan kampung halaman


Suatu Malam, di Tepian Colosseum
Roma, 05. September 2014
Vianney Leyn

22 July 2014

BRIEF AN GOTT

Sankt Augustin,  Juli 2014


Lieber Gott,
Dir einen schönen Guten Morgen, Guten Tag, Guten Abend, oder welche Zeit auch immer es ist, die du hast, in der Du gerade lebst. Denn du bist die Zeit und die Ewigkeit, Alfa und Omega, der Anfang und das Ende. Schon seit langem habe ich dir nicht mehr geschrieben und ich freue mich sehr, dass ich diese Gelegenheit habe, dass ich dir einen Brief schreiben kann. Ich bin sehr dankbar, dass ich mich in den letzten Tagen umgedreht habe, um auf meine Vergangenheit zurückzublicken, um meine Gegenwart spüren zu können und mich auf meine geheimnisvolle Zukunft hin zu orientieren. Tag für Tag, jede Stunde, jede Minute und jede Sekunde, kämpfte ich, alle meine Beschäftigung mit dem Studium auf der Seite zu lassen und alle Probleme und Lasten loszulassen, damit ich frei durch diese schwere Zeit gehen könnte. Und Du weißt, wie schwer es ist, dies Abenteuer aufzunehmen, eine Reise in mich selbst hinein zu machen und ehrlich mit Dir über mich und mein Leben zu sprechen. Du weißt, wie schwer es ist, einen freien Raum zu schaffen und  in die Stile zu kommen, gerade jetzt, da mich viele Dinge einengen in Raum und Zeit, in meinem Alltag, mich bedrängen, diesen Lärm des Lebens und vielleicht die Schmerzen zu ertragen. Aber immer wieder habe ich gehört, dass solche Schwierigkeiten für eine Weile sogar abenteuerlich sein mögen, weil sie ein vollkommener Wechsel vom geplanten Leben sind. Mit Mut bin ich in mich selbst gereist und habe mein Leben wahrgenommen, wie es war, ist und sein wird.
Weiterhin sah ich mich an, ich sah meinen Augen, meinen Ohren, meinen Nase, meine Zunge, meine Lippen, meine Hände, meine Füße, meine Gedanken, meine Träume, meine Sehnsucht, meinen Glauben. Einen Moment lang sah ich sie an. Das ist mein Gesicht, das sind meine Gedanken, das ist mein Gefühl, das ist mein Verhalten, das bin ich!

Lieber Gott,
Auf meinem Weg versuchte ich immer, meinen Willen, meine Gedanken und mein Tun in Einklang zu bringen, aber oft erfahre ich Konflikte. Und diese Konflikte werden noch verstärkt durch die Worte, die du mir gestern in deinem Evangelium sagtest: „…. Du hast nicht das im Sinn, was Gott will, sondern was die Menschen wollen.“ Ich fragte mich: was ist dein Wille? Was passiert, wenn ich deinen Willen nicht tue, oder wenn ich deinen Willen gar nicht kenne? Auf deine Frage „für wen hältst du mich“ könnte ich vielleicht keine Antwort geben. Eine letzte und vollkommene Antwort finde ich auch nicht, da ich noch auf der Suche bin, Dich zu kennen und alle deine Wege zu verstehen. Ich bin noch Unterwegs zu dem Punkt, wo ich dir meine Antwort geben soll. Unterwegs begegnete ich vielen Erfahrungen, vielen Menschen und vielen Orte, die ich erleben und die mich aufnehmen sollten. Die gehören mir. Traurige Erfahrungen, Tränen und Trauer, Enttäuschung, Orientierungslosigkeit und Hoffnungslosigkeit, die ich erfahre, führten mich so schnell dazu, einen Vorwurf gegen Dich zu erheben – gegen dich und deine unendliche Güte, deine volle Allmacht, deine bedingungslose Liebe und deine väterliche Barmherzigkeit; führten mich dazu, all das in Frage zu stellen. Und andererseits war ich hochmütig, wenn ich erfolgreiche Erfahrungen und Glück erlebte. Ich hielt es fest und glaubte, das ist einfach Ergebnis meiner Mühe, das ist mein Erfolg, so dass ich blind war, deine Gnade in dieser Erfahrung zu sehen und deine Liebe zu mir zu erfahren, vor allem, dass du mittendrin in meinem Leben bist und es in deinen Händen hältst und spielst.

Lieber Gott,
Wie bei uns im Kloster üblich, machte ich heute nach dem Mittagessen einen Spaziergang durch den Wald in den offenen Garten hinein. Es war schon wirklich warm bei uns auf der Erde. Auf einer Bank im Garten saß ich und schaute durch die Natur. Ich spürte den Wind, der die Blätter schüttelte und dicht an meine Wange blies. Auch die Luft, die immer bei meinem Einatmen und Ausatmen da ist, spürte ich, so dass ich einen stillen Raum in meiner Seele gewinnen konnte. „Weißt du, dass ich an dich denke?“, fragte ein Blatt den Zweig, als der Wind es nicht mehr bewegte. „Ich bin auch bereit, wenn der Wind plötzlich kommt und mich kräftig weht. Ich bin bereit, irgendwann zu fallen.“, sagte es weiter. Dieser Sprache der Natur hörte ich zu und versuchte es zu verstehen. Es ist nicht einfach! Hätten die Menschen ein treues und aufrichtiges Herz wie die Blätter! Niemals sind sie böse und ärgern sich über den Wind. Praaaaaaaaakk! Ich bin erschrocken wegen eines Knarrens und Knackens im Sommerwind. Diesmal sind es nicht nur die Blätter, sondern auch die trockenen Zweige, die runterfallen. Ich fühle mich schon müde von dieser Besinnung so allein. Ich muss noch weiter gehen und dir diesen Brief schicken, bevor die Sonne untergeht und eine neue Jahreszeit kommt. Mein Leben gehört Dir. Gibst du mir deine Hand und führt mich in die Wahrheit meines Lebens!

Dein


Vianney Lein

19 June 2014

KRAFT DER MUSIK: ZUR HEILUNG – ZUM HEIL

Sieh den Link:

PHILOSOPHISCH-THEOLOGISCHE HOCHSCHULE SVD ST. AUGUSTIN


Seminararbeit:
KRAFT DER MUSIK: ZUR HEILUNG – ZUM HEIL
Therapeutischer und Theologischer Aspekt der Musiktherapie

Seminar
Die Bedeutung von Krankheit, Gesundheit und Heilung für den Gottesdienst
Dr. Eckhard Jaschinski
Wintersemester 2012/13
(im Bereich Praktische Theologie)

Von
Yohanes Vianey Soda Lein
53753 Sankt Augustin
Arnold Janssen Str. 30




Sankt Augustin, im Dezember 2013


Klik Link di bawah ini:

JUGENDARBEIT UND FIRMKATECHESE


Seminararbeit:
JUGENDARBEIT UND FIRMKATECHESE
(Eine Begeisterung für Jugendliche in ihrem christlichen Glauben)

Seminar
Theorie und Praxis kirchlicher Jugendarbeit
Dr. Patrik C. Höring
Wintersemester 2012/13
(im Bereich Praktische Theologie)

Von
Yohanes Vianey Soda Lein
53757 Sankt Augustin
Arnold-Janssen-Str. 30


Sankt Augustin

 Mai 2014

Klik Link di bawah ini:
https://drive.google.com/file/d/0B91BE2Wde5h9aXc1WTcweV94QTQ/edit?usp=sharing

12 June 2014

Auf der Donaubrücke

Auf der Donaubrücke

Gytha,
Regentropfen nagelten mich an die Brücke
Es war wirklich kalt und ich war ganz nass
Ich weiß, du und viele Menschen hassen Kälte und Nässe
Aber ich stand noch einsam auf der Brücke
Ich liebe die Donau und ihre grünen Wellen
Und mit den Wolken spiegelte ich mich im fließenden Wasser

Gytha,
Ich liebte die Donau und ihre Wellen bevor ich dich liebte
Obwohl man diese Brücke gebaut hat, um die Wellen zu    überqueren,

bin ich noch treu, sowohl die Donau als auch die Wellen zu lieben.
Sie ist nicht tief, auch nicht gefährlich für unser Leben,
wie du in deiner Vergangenheit immer wieder hörtest.
Und ich möchte auf dieser Brücke sogar mit dir flirten
Bis dieser Sommer vor unserer Augen vergeht.
Dir möchte ich auch zeigen und dich lehren,
                                                                     wie man diese Donau und ihre Wellen wirklich liebt.

Gytha,
Lass uns einander fest halten damit unsere Liebe wächst
So dass wir ein Stück Himmel auf Erden fühlen
Auf der Brücke bin ich ganz nass, ich spüre die Kälte
Aber die Gedanken an dich verwandeln alles in Wärme
Und ich beginne die große Harmonie zu fühlen,
hier auf der Brücke über die Donau, der Regen fällt,
ich blicke in ihre Wellen und ich denke an dich...


Regensburg, 29. Mai 2014



„GLAUBE ZWISCHEN WEGGEHEN UND WIEDERKOMMEN JESU“

PREDIGT - Dienstag, 27. Mai 2014
(Apg 16, 22-34; Joh 16, 5-11)

„GLAUBE ZWISCHEN WEGGEHEN UND WIEDERKOMMEN JESU

Liebe Schwestern, Liebe Brüder im Glauben an den auferstandenen Jesus,
Immer wieder  geschehen in unserem Leben Begegnungen, die uns Freude bringen: Begegnungen mit Familien und Verwandten oder Begegnungen mit Freunden(innen), die wir schon seit Jahren nicht mehr gesehen haben. Bei mancher Begegnung fühlen wir uns vielleicht sehr wohl und wir sind dabei auch froh, weil sie unsere Seele berührt und Spuren einer Erinnerung  hinterlässt, eine unvergessliche Erinnerung, deren Spur nie ganz verweht. In diesem Moment erfahren wir  natürlich Freude und Glück,  so dass wir noch länger bei dieser Begegnung bleiben und uns nicht so schnell voneinander trennen möchten.
Aber neben  solchen fröhlichen Begegnungen erfahren wir auch traurige Abschiede, sowohl den erzwungenen Abschied, den wir nicht wollen,  als auch den freiwilligen Abschied, den wir ganz bewusst nehmen. Bei einer solchen Erfahrung können wir nur langsam diese Trennung akzeptieren und loslassen, obwohl es so sehr schmerzt. Und wir hoffen darauf, dass wir uns irgendwann und irgendwo wiedersehen können.
Im Evangelium, das wir gerade hörten, geht es um solche Erfahrungen: die Erfahrung des Abschieds - Jesus sollte von den Jüngern weggehen: „Jetzt aber gehe ich zu dem, der mich gesandt hat,…“ Die Jünger erleben hier das Weggehen Jesu als einen großen Verlust in ihrem Leben. Jesus, der schon lange mit ihnen war, mit dem sie Sicherheit im Leben erfahren konnten, ist ihnen nicht mehr unmittelbar gegenwärtig; er ist von ihnen „weggegangen“. „Vielmehr ist euer Herz von Trauer erfüllt, weil ich euch das gesagt habe.“  Sie erfahren, dass ihre Begegnung und ihr Zusammensein mit Jesus wie Regentropfen sind, die ihre Stirn küssen und runterfließen, die ihre Herzen berühren, und vielleicht sogar ihre Tränen mitnehmen.   Die Jünger sind also traurig und Jesus bedauert, dass die Nachricht von seinem Weggang auf die Jünger offenbar keine andere Wirkung hat als „trauervolle Herzen“. Niemand hat gefragt: „Wohin geht Jesus eigentlich?“ Und Jesus antwortet auch nicht auf die Frage nach dem „Wohin“, sondern er geht  auf die Trauer der Jünger ein, als ob sie die Frage nach dem „Warum“ gestellt hätten: „Denn wenn ich nicht fortgehe, wird der Beistand nicht zu euch kommen, gehe ich aber, so werde ich ihn euch schicken“.
Die Trauer der Jünger über das „Weggehen“ Jesu ist aber kein Ende ihrer Lebensgeschichte mit Jesus, weil Jesus die Jünger auf eine offene Zukunft hinweist,  indem er ihnen den Beistand, den Tröster sendet.  Dieser Abschiedsmoment enthält die Verheißung. Rudolf Bultmann schreibt: „Jesus kann den Geist nur senden, wenn er gegangen ist.“ Das heißt: Die Identität Jesu ist nur in der Distanz des Abschieds,  also durch den Schmerz der Trauerarbeit hindurch erfahrbar.

Liebe Schwestern, Liebe Brüder…
Der Geist, der Beistand, den Jesus den Jüngern verheißen hat, wird die Welt überführen und wird aufdecken, was Sünde, Gerechtigkeit und Gericht ist. In der Apostelgeschichte haben wir gehört,  was Paulus und Silas in einer ungerechten Welt erfahren haben: in der Welt der Gefangenschaft. Durch Unrecht seitens der Volksmenge und der obersten Beamten haben Paulus und Silas gelitten. Aber trotz ihres Leidens waren sie mutig: sie beteten zu Gott und sangen Lieder zur Ehre Gottes durch die Gänge des Gefängnisses. Ein unglaublicher Freimut! Wie konnte das sein? Woher hatten sie diese Kraft bekommen? Welche Hoffnung hatten sie getragen?
Ich glaube, solchen Erfahrungen begegnen wir auch in unserem alltäglichen Leben oder wir erfahren  es selbst. Wir fühlen uns wie im Gefängnis: wir haben Angst und leiden darunter; wir haben Zweifel und erfahren Hilfslosigkeit und Sinnlosigkeit; oder wir erleben den Abbruch von Beziehungen. All das macht Angst, führt  in Einsamkeit und Sprachlosigkeit, so dass wir die Gemeinschaft oder Familie nicht als Gemeinschaft der Liebe erfahren, sondern als Gefängnis, in dem man  sich nicht wohl fühlen und keine Liebe erfahren kann. Viele Menschen, vor allem die kleinen Leute und die Armen, leiden in der heutigen Zeit, unter  Ungerechtigkeit und Gewalt. Rache, Krieg und blutige Niederschlagung, so glauben die Menschen, gelten als letzte Möglichkeit, um Konflikte zu lösen. Was Jesus uns gesagt hat: „Liebt einander, wie ich euch geliebt habe“, das bleibt nur leeres Gerede; stattdessen erfüllen Feindschaft und Hass sehr stark die Herzen der Menschen.

Liebe Schwestern, Liebe Brüder…
Paulus und Silas werden aus Isolation und Dunkelheit befreit, weil sie noch einen Gott kennen, auch in einer solche schwierigen Situation, und weil sie dann weiter Gott Loblieder singen können. Sie haben also Hoffnung auf das Wiederkommen Jesu und bleiben nicht so lange in Trauer über sein Weggehen und in Angst vor der Verfolgung. Dieses kleine Stück Hoffnung ist wie ein Licht, das in die dunkle Nacht eines Gefängnisses fällt. Es ist auch tröstlich für uns alle zu wissen, dass Gott da ist und unsere Zukunft offenhält, Zukunft mit dem, der kommen wird, nämlich der Heilige Geist. Wie Paulus und Silas, lasst uns während dieser Zeit zwischen Jesu Weggehen und Wiederkommen beten und singen. 

Amen.

Vianney Lein
Krypta, Dienstag, den 27. Mai 2014