DUET dalam DUEL*
Catatan tentang Debat Paslon Pemilukada
Vianey Lein
Debat pasangan kandidat merupakan
momen penting dalam suksesi politik, baik bagi masing-masing pasangan kandidat
untuk pamer program dan serang lawan debat (sebagai salah satu strategi
kampanye), maupun bagi publik pemilih dalam mengumpulkan data dan
informasi-informasi penting untuk sebuah keputusan memilih, misalnya: sikap
politik partai pengusung (koalisi) dan duet kandidat yang diusung serta
visi-misi yang dirumuskan.
Debat antar pasangan calon (Paslon) yang siap bertarung di Pemilukada bukan
mustahil turut menentukan penilaian dan keputusan publik dalam memilih. Di hadapan
publik, baik yang menyaksikan jalannya debat secara langsung di studio TV
maupun yang mengikuti dari rumah lewat siaran live, para calon akan diajukan
deretan pertanyaan oleh moderator dan lawan debat tentang visi-misi atau
program. Momen debat lantas dilihat sebagi puncak kulminasi
"perlawanan" antar paslon yang tampil terbuka gamblang di hadapan
publik. Jadi tidaklah mengherankan jika ketidakhadiran paslon Agus-Sylvi (Agus
H. Yudhoyono dan Sylviana Murni) pada beberapa kesempatan debat kandidat Pilgub
DKI yang digelar stasiun Net TV memantik beragam komentar-sindir dari netizen.
Terlepas dari aneka komentar satiris yang dialamatkan kepada pasangan kandidat
yang diusung koalisi Cikeas itu, ketidakhadiran Agus-Sylvi adalah hilangnya
sebuah kesempatan emas untuk menarik simpati rakyat - meski pasangan dan
koalisi (mungkin) memiliki pertimbangan sebaliknya, bahwa keikutsertaan dalam
debat bisa menurunkan elektabilitas Agus-Sylvi karena ketakutan bersaing dengan
lawan debat Ahok-Djarot dan Anies-Sandiaga yang dinilai lebih unggul dan
berpengalaman. Agus-Sylvi dan koalisi Cikeas bagai bertemu buah si malakama.
Evaluasi Publik atas Debat
|
Foto: Debat Paslon Pilgub DKI, sumber:
http://kupang.tribunnews.com/2017/01/19/duet-dalam-duel
|
Publik pendengar-pendukung - yang
juga adalah pemilih - mesti menilai berbagai data dan informasi tentang setiap
kandidat, rekam jejak dan program-program yang dipaparkan agar kemudian secara
implisit bisa mendapatkan sebuah asosiasi tentang setiap calon (positif atau
negatif).
Hemat penulis, filsafat Immanuel Kant, seorang filsuf berkebangsaan Jerman,
bisa menjadi format dalam mengevaluasi debat para kandidat.
Pertama, dalam karya besarnya
"Kritik der reinen Vernunft" (Kritik Akal Budi Murni. Kant: 1781)
terminus "ratio" memiliki tempat istimewa dalam postulat Kant tentang
teori pengetahuan. Dalam penggunaannya, "ratio" mengacu pada
kemampuan berpikir manusia yang melahirkan pengetahuan atau kesimpulan atas
sebuah realitas melalui pengamatan dan pengalaman indrawi, mengenali makna dari
realitas, menetapkan aturan dan prinsip-prinsip lalu menyikapinya. Seorang
kandidat mesti jeli melihat persoalan faktual yang terjadi di masyarakat,
membuat hipotese yang lahir dari refleksi atas masalah dan merumuskan solusi
yang terpeta dalam visi-misi (Intellektuelle Anschauung). Ketidaksanggupan
menganalisa masalah menjadikan seorang kandidat mudah didikte dan terpernjara
dalam retorika hafalan. Penjabaran program pun akhirnya terkesan “mengapung”,
utopis-bombastis tanpa berpijak pada basis data empiri.
Kedua, perkawinan antara rasionalisme
dan empirisme. Kant mencoba menghubungkan empirisme dan rasionalisme, di mana
ia membedakan pengetahuan a priori (pengetahuan atau kebenaran yang sudah ada
sebelumnya terlepas dari pengalaman) dari pengetahuan a posteriori (pengetahuan
yang didasarkan pada pengalaman atau bukti empiris). Di sini Kant hendak menunjukkan
bahwa sumber pengetahuan diperoleh tidak hanya dari satu unsur tunggal,
melainkan sintesis dari pengalaman indrawi dan akal budi.
Keunggulan calon tidak hanya ditentukan oleh wacana atau kecerdasan berbahasa
semata dalam merumuskan kemungkinan-kemungkinan penyelesaian persoalan
(intellectus possibilis) atau kepiawaian dalam festival gagasan dan retorika
yang rapih dan apik. Seorang kandidat dituntut untuk mengaktuskan ide atau
gagasan dan potensi (intellectus agens) dalam sebuah semangat kooperasi. Rekam
jejak seorang calon bisa menjadi neraca dalam menakar persesuaian antara kata
(janji) dan tindakan (pemenuhan).
Ketiga, relasi subjek-objek. Kant
memberikan suatu arah yang sama sekali baru dalam filsafat, bahwa bukan subjek
yang mengamati objek, melainkan objeklah yang mengarahkan diri kepada subjek.
Dalam konteks pemilukada, penulis mengartikan para calon sebagai
"objek" yang siap dinilai dan dipilih oleh rakyat yang adalah
"subjek". Artinya jelas, bahwa kepentingan "subjek" rakyat
harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan politik, dan bukannya
kepentingan "objek" parpol atau golongan. Rakyat harus menjadi kiblat
perjuangan dan pengabdian.
Lebih lanjut, pertanyaan-pertanyaan
mendasar yang muncul dari filsafat Kant bisa menjadi pertanyaan penuntun untuk
sebuah evaluasi kritis setiap calon dalam sebuah debat.
Pertanyaan pertama adalah: Apa yang dapat saya (atau dia/kandidat) ketahui.
Pertanyaan tentang kesanggupan ini bisa ditujukan kepada setiap calon: apa yang
dapat calon ketahui tentang situasi sosial, ekonomi dan politik; juga kepada
rakyat pemilih: apa yang saya ketahui tentang calon? Pengetahuan atau
pengenalan tidak hanya terbatas pada ruang dan waktu kekinian tetapi juga
merangkum dimensi masa lalu dan masa akanan. Dua hal penting yang hendak
dicapai dalam proses pengenalan adalah alam dan manusia yang meliputi
masyarakat dan sejarahnya (bdk. Dessauer: 1959, 21-26)
Atas pertanyaan kedua: Apa yang harus (saya) dia/calon lakukan?, Kant
mengemukakan sebuah imperasi kategoris bahwa setiap manusia mesti bertindak
seturut maxim moral dan kehendak baik (Kant: 1983, 51). Bertolak dari problem
di masyarakat, apa yang hendak/ harus dilakukan oleh calon? Di sini publik
diajak menguji kembali visi dan misi setiap paslon.
Visi-misi sebagai bentuk „imperasi“, baik itu hipotetis maupun asetoris, harus
bersifat pragmatis berdasarkan prinsip-prinsip imperativ kategoris (moral dan
kehendak baik). Inilah yang menjadi harapan rakyat sebagaimana yang dirumuskan
Kant dalam pertanyaan ketiganya: Apa yang boleh saya harapkan (dari seorang
calon)?
Kant mengakhiri refleksi filosofisnya dengan pertanyaan antropologis: Apa itu
manusia? Jawaban atas pertanyaan ini bertolak dari jawaban atas ketiga
pertanyaan sebelumnya. Berdasarkan pemahaman ini kita lalu menetapkan apa atau
siapa yang menjadi pilihan.
Kita boleh memahami bahwa momen debat
pasangan kandidat di pemilukada tidak hanya menjadi ujian/tes bagi para calon
tetapi juga menyisakan sebuah tugas rumah yang berat bagi publik atau rakyat
pemilih dalam menilai "jawaban-jawaban" atau argumen yang diberikan.
Di sini sikap kritis pemilih juga ditantang untuk tidak sekadar
"meluluskan dan meloloskan" calon tertentu begitu saja pada saat
pemberian suara. Dalam debat publik atau rakyat memainkan peran und „juri“
untuk menentukan siapa yang layak „menang“ dalam pertarungan pemilukada. **
*Opini ini terbit di media cetak Harian Pos Kupang, 18 Januari 2017.
Edisi Online bisa dilihat disini:
http://kupang.tribunnews.com/2017/01/19/duet-dalam-duel