PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

24 February 2017

KEPADA GADIS SUNDA KELAPA

KEPADA GADIS SUNDA KELAPA

Hari belum purna ketika kau sapa di antara wajah-wajah tak terbilang
Entah kenapa, engkau seperti sosok yang menggentarkan serentak memikat
Rupamu mengajakku menerka jiwa, meski kutahu itu kadang keliru. Ia mesti dialami, diselami. Tak cukup menduga-duga dalam ketidakpastian!
Namamu baru saja kulafal di bibir ingatan yang terus bergetar, tapi sepertinya sudah lama kubaca di lorong-lorong kenangan yang menuju ke banyak alamat: aku sendiri tak tahu!
Ingin selalu kupanggil namamu, aksara paling puitis, fonem paling merdu – rumah kenangan dan jantung puisi yang mengajarku bercinta dengan Sophia dan hanya melahirkan deretan tanya
Tak peduli sudah berapa lama kita berjalan di lorong-lorong menuju ke banyak alamat, tak perlu menghitung sudah berapa kali kita menatap dalam semu
Aku tak ingin menunggumu di senja yang lain, sebelum malam-malamku penuh cemburu yang kutumpahkan bersama ilusi-ilusi liar dan sunyi

Bukankah hidup hanyalah deretan kemungkinan yang mesti dijalani dan menagih kepastian?
Ombak pun tak memilih di karang mana tuk pecahkan buih
Engkau dan aku pun tak memilih melaut ke tiap-tiap hati. Semuanya adalah kebetulan
Namun hidup butuh kepastian: kapan bisa bertemu di Sunda Kelapa?

Sankt Augustin Mülldorf, 24.02.2017

23 February 2017

Kemenangan BEREUN: antara Euforia dan Sinisme


Kemenangan BEREUN: antara Euforia dan Sinisme
Vian Lein
Warga Desa Mokantarak - Flotim

Media TV Jerman Tageschau.de dan siaran Radio ARD pada 15 Februari lalu merilis berita tentang Pilgub DKI Jakarta di bawah tajuk: Wählen in Jakarta: das Ende der Toleranz? (Pemilu di Jakarta: akhir sebuah toleransi?). Redaksi pertanyaan ‚harap-harap cemas‘ ini dilatarbelakangi oleh keyakinan publik internasional , bahwa Indonesia (hingga kini) adalah contoh islam toleran dan jakarta sebagai ibu kota negara menjadi sorotan utama. „Hingga kini Indonesia dianggap sebagai contoh islam yang toleran. Namun hujatan dan perlawanan terhadap Gubernur kristen di Jakarta menunjukkan tumbuh dan berkembangnya pengaruh kaum radikal. Pemilihan gubernur di ibu kota menjadi batu uji untuk toleransi“, demikian teras berita (lead) media Jerman. Di tengah perlawanan masif dari FPI dan kelompok-kelompok yang berjubah agama, keunggulan Ahok-Djarot dalam perhitungan suara putaran pertama bagi saya adalah sebuah kejutan dan angin segar untuk demokrasi. Mungkin ini adalah sebuah kesimpulan prematur, karena masih ada pertarungan pada putaran kedua; namun paling tidak dukungan yang masih banyak pada pihak Ahok bisa memberi sinyal positif, bahwa sentimen agama, isu-isu primordialisme dan belenggu diskrimanasi kepada kaum minoritas bisa dipatahkan.

Lalu, bagaimana dengan Pemilukada Flotim?

Mengikuti proses perkembangan pesta demokrasi lokal di Flotim, baik lewat pemberitaan pers maupun diskusi publik di media sosial Facebook, hemat saya, Pemilukada Flotim juga tak kalah tegangnya dari Pilgub DKI. Ada isu primordialisme seperti status kedaerahan yang dilemparkan ke dalam gelanggang kontestasi. Politik pencitraan untuk mengatrol elektabilitas calon yang dijagokan, serentak menjatuhkan rival-rival lain pun turut mewarnai hajatan demokrasi itu. Arus rivalitas antara Timses dan relawan yang masih terasa di media sosial sepertinya memberi kesan, bahwa kompetisi ini belum berakhir, meski rekapitulasi hasil quick count Pilkada menunjukkan paket BEREUN (Anton Gege Hadjon – Agustinus Boli) sebagai pemenangnya.

Euforia dan Sinisme
Kemenangan BEREUN menimbulkan beragam tanggapan di publik.
Pertama, senang-bahagia atas hasil yang diperoleh. Reaksi ini tentu berasal dari pihak pemenang (Timses, relawan dan rakyat pendukung). Kedua, kecewa, sedih dan kaget. Kegagalan untuk meraih kursi Flotim 1 sudah pasti meninggalkan rasa kecewa, atau mungkin kaget karena sebelumnya begitu optimis bahwa timnya akan menang dalam pertarungan. Ketiga, biasa-biasa saja, tak mau heboh: „terserah siapa yang jadi bupati atau wakil, toh saya dari dulu sampai sekarang tetap memancing di laut dan kerja kebun. Persoalan masih yang sama: air, listrik, dll.“ Keempat, sikap lapang menerima hasil Pilkada dan siap mendukung pemimpin terpilih sambil tetap optimis untuk berjuang bersama membangung Lewo Tana.

BEREUN – sebagai pemimpin terpilih – mesti serius menanggapi beragam reaksi masyarakat dan bukannya bersikap apatis. Ini merupakan tugas pertama BEREUN dalam proyeknya lima tahun ke depan, yakni merangkul dan mempersatukan seluruh masyarakat Flotim karena itulah yang menjadi basis perjuangan. Politik bukanlah soal manuver merebut kekuasaan, melainkan sebagai upaya bersama mencapai bonum commune.  Hal ini penting agar tidak ada yang merasa teralienasi dari kehidupan politik dan pemerintahan serta untuk menghindari adanya perasaan kehilangan nilai dan arah hidup (anomi). Orang-orang yang teralienasi akan menilai aturan-aturan dan kebijakan sebagai tidak adil dan hanya menguntungkan penguasa.

Kalah-menang adalah bagian integral dari sebuah kompetisi Pemilu. Siapa yang bertarung harus terbuka untuk setiap kemungkinan. Sikap rendah hati dan ksatria menerima kekalahan dan mengakui keunggulan lawan adalah tanda kedewasaan dalam berdemokrasi. Ketidak-sukaan pada seorang pemimpin terpilih dapat menggiring kepada apatisme politik dan atau politik sinis. Politik sinis adalah politik yang berbasiskan pada kecurigaan, bahkan terhadap hal-hal positif yang terjadi. Kecurigaan dan pesimisme adalah elemen yang melekat pada diri mereka (Wattimena: 2010). Sikap „kawal“ atau fungsi „kontrol“ terhadap pemimpin memang sangat dibutuhkan untuk tujuan „kebaikan bersama“, tetapi bukan berarti mencari-cari kesalahan untuk menjegal dan menjatuhkan. Di tengah semakin banyak persoalan yang muncul akibat perbedaan persepsi, suku dan kepentingan, kesadaran diskursif untuk bersikap kritis dan melahirkan gagasan kreatif dan inovatif menjadi sebuah kemendesakan. Komunikasi yang baik antara pemimpin dan rakyatnya dapat merekatkan setiap elemen-elemen sosial yang berbeda.

Setiap Timses, relawan dan rakyat pendukung pasti menjagokan Paslonnya masing-masing, apalagi setelah diketahui bahwa Paslonnya memenangkan kontestasi. Ekspresi senang, bahagia atas kemenangan seperti sorak-sorai, parade atau ritual lainnya adalah wajar. Terkadang sikap idolatria dan membiarkan diri tenggelam di riak-riak euforia adalah sesuatu yang naif. Paradigma politik yang percaya begitu saja (politik naif) akan memenjarakan sikap kritis-bebas seseorang. Yang terjadi adalah „pembiaran“ atas kesalahan -kesalahan dan suara lantang „setuju“ atas setiap kebijakan publik tanpa kajian kritis karena mereka yakin, bahwa „semua tindakan manusia selalu didorong oleh niat yang tulus“ (Wattimena: 2010).

Akhirnya, mari kita semua bersatu hati mendukung dan mendampingi pemimpin yang baru terpilih. Kita berharap agar perseteruan antara tim pemenang dan pendukung masing-masing Paslon segera berakhir dan tidak mengarah kepada gelombang konflik di Lewo Tana.***

Sumber Gambar:
Paket Bereun: http://www.jurnaltimur.com/2016/10/dapat-nomor-urut-6-anton-hadjon-lebih.html
Konvoi Kemenangan Paket Bereun:
http://www.timur-ntt.com/2017/01/27/duabelas-ribu-massa-hadiri-kampanye-paket-bereun-agh-ab/  


14 February 2017

JANGAN GALAU KARENA MANTAN

JANGAN GALAU KARENA MANTAN
Catatan hari Valentine untuk Republik

"Malam ini aku harus menemuimu dan ingin berbicara dari hati ke hati“, tulis Heidegger dalam sebuah suratnya kepada Arendt. Relasi cinta antara Hannah Arendt dan Martin Heidegger boleh dibilang unik: kisah cinta Antara dosen dan murid. Pada musim gugur 1924 mahasiswi muda Hannah Arendt bersama teman-temannya berangkat ke Marburg untuk mendengarkan kuliah filsafat pada dosen muda Martin Heidegger. Pada masa itu... Heidegger terkenal sebagai „pemberontak dan pembaharu“ dalam dunia filsafat. Bersama temannya Karl Jaspers, mereka ingin membaharui filsafat dan universitas-universitas mulai dari dasar. Dosen muda Heidegger jatuh cinta pada mahasiswa cantik dan intelegen Hannah Arendt. Hannah Arendt yang pada saat itu berusia 18 tahun pun terpikat pada pesona dosen muda yang terkenal itu. Keduanya memahami cinta mereka sebagai sebuah proyek filsafat eksistensi yang amat berharaga dan yang ingin mereka hidupi untuk menghadapi setiap perlawanan. Relasi cinta antara keduanya meyakinkan Heidegger, bahwa „dunia ini bukan lagi menjadi milikmu dan milikku, melainkan kepunyaan kita, bahwa segala apa yang kita lakukan dan usahakan, bukan milikku atau milikkmu, melainkan kepunyaan kita“. 

Sayang, keduanya akhirnya berpisah ketika Heidegger "mengasingkan" Arendt dari hidupnya dan kembali ke dunia profesinya. Masing-masing menjalani dan mengartikan proyek cinta mereka dalam galau rasa keterpisahan dan sakit. „Aku mencintaimu seperti pada hari pertama kita berjumpa, dan engkau tahu itu. Aku pun selalu tahu itu hingga kini akrhinya kita berjumpa lewat goresan ini. Jalan cinta yang engkau tunjukkan ternyata panjang dan begitu sulit dari yang aku pikirkan. Ia menuntut taruhan seumur hidup“, tulis Arendt pada April 1928, dua tahun setelah perpisahan, sebelum ia menikah dengan Filsuf Schüller Günther Stern (Günther Anders), murid Heidegger yang sebenarnya tidak ia cintai.

Kita merayakan hari Valentine di tengah suhu Politik Pemilukada yang kian panas. Hari raya kasih sayang itu dirayakan di tengah karut marut tatanan Politik, sosiologis masyarakat dan ekonomi: cinta uang yang mengalahkan cinta pada sesama yang lahir dalam berbagai praktik korupsi, perselingkuhan antara agama dan politik, libido saling menguasai, kemiskinan, ditambah lagi ciutan "mantan" yang mencoba meruntuhkan jalinan cinta yang sedang dirajut.

Perjuangan untuk mempertahankan kebhinekaan di tengah suramnya perpolitikan adalah proyek cinta kita yang terus berlanjut untuk menjaga keutuhan NKRI.
Awas, ada "Mantan" Yang lagi melirik cemburu, malah ada anak mantan lho...! hhehehehe. Yang penting, jangan galau oleh ulah mantan.

Bagi Yang hendak menentukan pilihan cintanya besok pada Pemilukada, semoga jangan Salah pilih. Ini soal masa depan Anda, masa depan anak-anak Anda.

Selamat Hari Valentin! Selamat merayakan cinta!


Vianey Lein
Sankt Augustin, Jerman 14.02.2017

KONSER DAN PANGGUNG POLITIK


KONSER DAN PANGGUNG POLITIK

Vianey Lein

Pada tanggal 4 Februari 2017 tim sukses dan pemenangan Paslon Basuki-Djarot dalam kontestasi Pilgub DKI menggelar konser „Gue 2“ yang dihadiri oleh artis dan musisi kenamaan seperti Slank dan Tompi. Sebagaimana yang dikabarkan, para artis dan musisi nasional itu hadir tanpa dibayar, bahkan banyak yang turut giat dalam usaha memenangkan Paslon nomor dua pada bursa Pilgub DKI. Lagu-lagu yang bertemakan demokrasi dan berisi seruan „pilih nomor dua“ masuk dalam dapur rekaman dan terus disebarluaskan. Aksi kreatif ini sudah tentu menuai beragam reaksi di media sosial, mulai dari acungan jempol, rasa haru, pernyataan dukungan untuk terus berkreasi hingga cibiran. Ini masih wajar; dan memang begitu dinamika hidup dalam jaringan sosial dengan dimensi sosiologis dan politisnya.

Sejauh ini, perjumpaan antara dunia musik dan politik tidak sampai saling mencederai seperti persentuhan antara agama dan politik. Musik dan politik terkesan bisa membawa simfoni dalam berdemokrasi. (Sebernarnya) keduanya (musik dan agama) memiliki tujuan yang sama, yakni untuk tegaknya demokrasi. Lalu, mengapa relasi antara agama dan politik lebih fenomenal – bukan karena kemesraan antara keduanya, melainkan karena perseteruan yang kian kompleks - daripada perjumpaan antara musik dan politik? Mungkin isu agama lebih „seksi“ dan memikat untuk disodomi demi kepentingan politik praktis sektarian. Pengalaman telah menunjukkan bahwa persentuhan antara agama dan politik sering memantik konflik karena agama (di)masuk(an) ke dalam bilik politik sebagai alat legitimasi politik. Tapi jangan lupa, ada beberapa musisi yang telah terjun ke dunia politik seperti Ahmad Dani dan Rhoma Irama, dan bahkan ada yang sudah duduk empuk di kursi jabatan seperti Pasha Ungu, Wakil Walikota Palu itu. Apakah keberanian untuk „menceburkan“ diri ke dalam dunia politik sungguh-sungguh terdorong oleh hati nurani untuk mengabdi dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat banyak, atau semata atas keyakinan, bahwa mereka bisa menarik simpati banyak orang untuk memenangkan sebuah kontestasi politik karena telah mengantongi banyak fans selama aktiv di panggung konser? Evaluasi publik atas bentuk perjuangan dan kinerja kerja bisa menjawab sederet pertanyaan ini.

Pergelaran konser di atas panggung politik Pemilukada tidak hanya terjadi di ibu kota negara. Animo  dan fokus yang berlebihan pada fenomena Pilgub DKI lewat pemberitaan media mungkin membuat kita lupa, bahwa di daerah kita sendiri pun digelar konser dalam bingkai kampanye Pemilukada. Di Kabupaten Flores Timur misalnya, musisi reggae asal Flores, Conrad tampil di atas panggung kampanye milik paket Lurus (Lukman – Marianus) dengan lirik-lirik yang memikat, atau group band dari nagi Larantuka „Fajar Band“ yang memeriahkan kampanye paket Rumah Kita (Yosep Usen – Mel Fernandez); tak terkecuali juga pemenang The Voice Indonesia, Mario G Klau sebagai bintang tamu pada momen kampanye akbar paket Antero (Antonius – Theodorus).

Dalam konteks ini, kehadiran para musisi Lewo Tana Flotim di atas panggung politik Pemilukada menampilkan sisi lain dari dunia musik, bahwa musik tidak hanya bersinggungan dengan afeksi atau selera, tetapi ia memadahkan sebuah harapan akan tatanan politik yang baik. Sudah tentu bahwa banyak orang akan merasa terhibur dengan kehadiran dan penampilan para musisi. Euforia pesta demokrasi lokal ini tidak hanya terasa lewat „nazar politik“ yang diikrarkan, tetapi juga tembang-tembang indah yang didendangkan. Semua kita – dan tentu juga para musisi sendiri – berharap agar kehadiran group band dan penyanyi terkenal tidak hanya sebagai faktor tambahan yang memberi kesan ramai pada momen-momen kampanye. Ketika musik hanya sekedar menghibur, membikin ramai atau sebagai instrumen politik, maka ia hanya sekedar „mars“ yang mengiringi para calon bupati dan wakil bupati untuk melangkah ke singgasana kekuasaan. Musik mesti menampilkan aspek pedagogis – baik untuk rakyat pemilih, mapun untuk para calon yang sedang bertarung - demi tegaknya sebuah demokrasi yang bermartabat.***

13 February 2017

ENDORSEMENT POLITIK DAN SINYAL POLITIK IDENTITAS


ENDORSEMENT POLITIK DAN SINYAL POLITIK IDENTITAS
Catatan Pinggir menjelang Pemilukada Flotim
Vian Lein
Warga Desa Mokantarak – Flotim
Tinggal di Jerman

Mencermati geopolitik Kabupaten Flores Timur akhir-akhir ini dalam kerangka Pemilukada, strategi penegasan identitas setiap calon turut bermain, entah secara laten di balik layar maupun blak-blakan di atas panggung Pemilukada. Elemen-elemen profil atau identas menjadi salah satu kekuatan untuk mendapat legitimasi pendukung. Cerita diri para kandidat dan eksplorasi identitas, baik oleh tim sukses maupun calon sendiri, pun mengusung tema ‚asal dan tanah kelahiran‘ atau ‚pemimpin muda‘ dengan dalih mewakili kelompok tertentu. Gerakan-gerakan tim sukses yang berbasis politik identitas itu muncul dalam cetusan-cetusan seperti: „Putra terbaik Adonara“, „saatnya Adonara memimpin“, „Solor akan membuktikan sejarah bupati pertama dua periode“, „pemimpin muda dengan jiwa muda“, „si calon adalah mantan guru dan birokrat“ dan lain-lain. Endorsement politik yang dicetak dalam iklan ‚asal‘, ‚suku‘, ‚ikatan kekeluargaan‘ dan ‚usia‘ ini perlu mendapat atensi publik sebelum menjadi gelombang politik identitas yang ekstrim dan mengancam persatuan dan kekeluargaan sebagai orang Lamaholot. Tilikan Samuel Huntington dalam tesisnya „Benturan Peradaban“ telah menyelentik hal ini, bahwa masa depan peradaban akan menunjukkan kecenderungan antagonistik dan diwarnai konflik karena faktor budaya dan agama. Identitas budaya dan agama, demikian postulat Huntington, menjadi semaccam sebuah “syarat” dalam interese politik nasional maupun lokal. (bdk. The Clash of civilizations: Huntingtoon: 1996: 147).

Pembentukan Identitas
Ada tiga teori yang menjelaskan proses pembentukan identitas.
Pertama, primordialisme yang memandang etnis dalam kategori sosio-biologis yang terbentuk secara alamiah dan turun temurun. Elemen-elemen seperti asal-usul, bahasa, adat-istiadat dan wilayah/teritorial pemukiman menempah kelompok-kelompok sosial dan turut menentukan pemahaman dan tindakan kolektif mereka.
Kedua, konstruktivisme yang memandang identitas sebagai konstruksi sosial melalui ikatan-ikatan yang kompleks seperti dinasti, sistem kelas, jenis kelamin, umur.
Ketiga, instrumentalisme. Dalam perspektif ini identitas dilihat sebagai sesuatu yang dikonstruksikan untuk kepentingan elite politik dan kekuasaan lewat propaganda (Schrader: 2012).

Bahwa seorang calon berasal dari pulau tertentu atau dibesarkan dalam di wilayah tertentu merupakan realitas yang tak terbantahkan dan mesti diterima. Aktor dan struktur politik yang berperan dalam demokrasi pun tidak dapat terlepas  dari faktor etnisitas dan identitas (LSI 2008: 27). Tetapi faktor-faktor identitas seperti asal atau suku tidak akan menjadi konflik terbuka jika faktor-faktor lain tidak memicunya. Dalam arena Pemilukada nampaknya faktor politik menjadi kekuatan katalisator timbulnya konflik sosial.  Ketika isu identitas seperti ‚si calon berasal dari pulau tertentu‘, menjadi kekuatan yang kian mengental dan mendapat ruang ekspresi yang semakin luas maka hal ini perlu diwaspadai.  Nampaknya apa yang sedang terjadi di Flores Timur adalah bahwa politik identitas seperti isu „putra daerah“ menjadi strategi jitu dalam mobilisasi angka pencoblosan untuk memenangkan kontestasi Pemilukada. Dinamika perjuangan untuk menjadi „orang nomor satu“ di kabupaten dengan cerita diri kandidat yang diberi label suku, ikatan kekeluargaan atau isu kedaerahan (pulau) akan terjerembab pada lubang hitam politik identitas.

Kritis Menangkap „Sinyal“
Hari penentuan sikap (pencoblosan) tidak lama lagi (15 Februari 2017). Sudah tentu, bahwa gelombang Pemilukada 2017 dengan beragam resonansi turut mempengaruhi dinamika sosiologis masyarakat. Pesta demokrasi lokal ini bahkan mungkin menyita banyak energi, waktu dan pikiran, baik lewat keterlibatan langsung sebagai pendukung dalam kampanye dan seluruh proses pemenangan, persiapan logistik dan sosialisasi oleh KPU, maupun yang memantau saja dari rumah  sambil mengevaluasi visi-misi setiap calon.  Di tengah kesibukan dan rivalisme politik ini, kita tidak boleh mengabaikan dimensi sosiologis masyarakat adat Flores Timur sebagai orang Lamaholot. Semangat persaudaraan dan kekeluargaan sebagai satu turunan “ata sina jawa” tidak boleh diterlantarkan dalam kotak-kotak sosial yang segregatif dan eksklusif. Semagat ini mesti menjadi basis seluruh perjuangan untuk membangun Lewo Tana Flores Timur, dan bukannya masyarakat Lamaholot yang telah mengalami pengkotakan teritorial: Flores Timur Daratan, Adonara dan Solor. Dengan demikian, maka politik identitas yang mendapat artikulasinya dalam Pemilukada dapat diredam dan ditinggalkan. Tujuan ini akan tercapai jika setiap kita berusaha dengan berani membendung sinyal-sinyal politik identitas yang mengarah kepada pengkotakan masyarakat. Dalam hal ini, sikap membuka diri terhadap setiap kandidat bersama visi-misinya menjadi langkah awal menentukan pilihan secara bebas. Selamat memilih sesuai hati nurani dan janganlah biarkan kebebasan demokrasi anda diamputasi oleh politik identitas!***

03 February 2017

MENJADI GEREJA YANG MISKIN


GEREJA YANG ‚MISKIN‘ UNTUK KAUM MISKIN*
Vian Lein

Kurang lebih tiga tahun silam, tepatnya pada musim gugur 2013, gereja Jerman dan tentunya gereja sejagad mengalami guncangan oleh skandal finansial Uskup Keuskupan Limburg, Franz-Peter Tebartz-van Elst. Dilaporkan bahwa Sang Uskup menghabiskan dana kurang lebih 31 Juta Euro untuk renovasi rumah kediaman uskup di Keuskupan itu. Selama berminggu-minggu skandal mega proyek ini menjadi tajuk media-media di Jerman dan juga di negara-negara lainnya. Pemberitaan media secara gamblang – termasuk media-media katolik seperti „katholisch.de“ - dan suara tenor publik „mengharuskan“ mantan Profesor Teologi Pastoral dan Liturgi itu mengajukan pengunduran diri yang dikabulkan oleh Paus Fransiskus pada tanggal 26 Maret 2014. Pihak media pun mendapat kritik, bahwa pemberitaan-pemberitaan itu lebih merupakan kampanye dan provokasi atas kasus uskup Limburg dan bukan merupakan penyampaian informasi. Dalam dialognya dengan Paus Fransiskus, Uskup Tebartz-van Elst mengakui kesalahannya dan memohon pengampunan: „Selama kepemimpinan saya sebagai Uskup Limburg muncul banyak kesan dari umat katolik dan juga dari publik atas kasus ini, bahwa saya melalaikan pelayanan di Diosesan dan persatuan Gereja; bahwa saya lebih mengutamakan tujuan dan interese pribadi tanpa sebuah persetujuan dan kesepakatan bersama. Saya akhirnya mengenal bahwa saya telah melakukan kesalahan, dan itu menghancurkan rasa percaya umat. Karena itu, kepada semua yang telah menderita dan mungkin masih ‚menderita‘ karena kelalaian saya ini, saya mohon ampun“. Di sini saya tidak bermaksud mendramatisir kembali skandal finansial yang dilakukan oleh Uskup Limburg, tetapi hendak meneropong lebih jauh padanan kasus ini melampaui  batas ruang Gereja Keuskupan Limburg dan pribadi Uskup Franz-Peter Tebartz-van Elst dalam spirit pontikat Paus Fransiskus „menjadi Gereja yang miskin untuk kaum miskin“.

Gereja dan Uang

Uang sebagai simbol ekonomi memiliki peran penting dalam perputaran roda perekonomian dan sebagai nilai tukar – sebagaimana dalam pemahaman sosoilogis Georg Simmel - juga memiliki pengaruh dalam relasi sosial sebuah masyarakat, bahwa relasi antar-objek turut mencerminkan hubungan personal, bahwa „transaksi jual beli“  bukan sekadar peristiwa ekonomi tetapi juga sebuah proses sosiologis terbentuknya masyarakat (Simmel : 1907).

Gereja sebagai sebuah institusi sosial-agama yang penganut-penganutnya „aktiv“ dalam ekonomi pasar tidak terisolasi dari arus peredaran uang. Artinya jelas, bahwa Gereja memiliki uang dan (harus) membutuhkan uang. Namun pertanyaan-pertanyaan mendasar yang sering muncul berhadapan dengan skandal finansial dalam tubuh Gereja sebagaimana pada kasus uskup Keuskupan Limburg adalah: bagaimana sikap gereja dalam mengelola keuangan (Management)?, bagaimana dan sejauh mana sebuah Gereja boleh menata kebutuhan ekonomi? Banyak orang tentu mengharapkan – meski ini mungkin terkesan tidak adil – agar Gereja hidup dalam kesederhanaan, solider dengan yang berkekurangan, tidak terlalu berlebihan dalam perencanaan dan pembangunan sebuah proyek dan tidak terjebak dalam gaya hidup yang glamour. Maka tidak heran, Uskup Franz-Peter Tebartz-van Elst mendapat kritik ketika beliau terbang ke India menggunakan penerbangan kelas satu Lufthansa-Jumbo untuk mengunjungi orang miskin. Sementara ketika seorang pejabat yang berkunjung ke luar negeri dengan menggunakan penerbangan yang serupa sama sekali tidak dipersoalkan.

Pertanyaan „apakah Gereja dinilai kaya dan memilik banyak harta material“ adalah sesungguhnya merupakan sebuah pertanyaan tentang sikap pelayanan Gereja: „apakah harta-harta itu dimanfaatkan untuk tujuan pelayanan banyak orang?“ Ketika Gereja terus berkutat mengurus dirinya sendiri dalam menimbun harta (barang dan uang), maka di sana telah lahir „kapitalisme agama“ yang bersumber pada ketamakan dan ego. Untuk menjaga stabilitas ekonomi Gereja, „komersialisasi keselamatan“ lalu menjadi solusi baru, bahwa segala sesuatu dapat dibeli, disertai iklan „mujizat baru“ berlabel „transubstansi kapitalisme rahmat“. Berhadapan dengan berbagai skandal keungan yang terjadi, baik dalam pemerintahan maupun dalam tubuh Gereja sendiri, kita justru ditantang oleh krisis dunia dewasa ini yang menggiring kepada „zivilisasi uang“.

Dietrich Bonhoeffer, seorang teolog Lutheran Jerman, pernah menulis: „Gereja akan menjadi Gereja hanya jika ia ada untuk yang lain. Dan untuk memulainya, Gereja mesti memberikan seluruh hartanya kepada yang menderita“. Tuntutan ini tentu sangat provokativ ketika Gereja kian menjauh dari kaum miskin. Sikap „menjadi miskin“ dapat memberi ruang bagi Gereja untuk menggunakan uang dan kuasanya demi pelayanan kepada orang miskin. Tercapai atau tidaknya misi mulia ini terletak pada bagaimana Gereja mengelola keuangan dan aset-asetnya. Managemt keuangan yang transparan dan akuntabel sangat mendukung karya pelayanan Gereja, dan sikap lepas bebas – tidak terikat pada harta dan uang – inilah menjadi keutamaan dalam memberantas korupsi.

Gereja yang Miskin untuk Kaum Miskin: Sebuah Paradoks?

Bagaimana sebuah institusi seperti Gereja mesti menjadi miskin di tengah seruan “memberantas kemiskinan”? Bagaimana Gereja bisa membantu kaum miskin, sementara Gereja sendiri tidak memiliki uang atau aset-aset yang bernilai ekonomis? Pertanyaan dalam nada yang lain: Bagaimana Gereja bisa menjadi pembela terpercaya untuk kaum miskin sementara ia sendiri kaya secara materil?
Apa sesungguhnya yang menjadi barometer „sebuah Gereja yang miskin“? Siapa itu kaum miskin?
Keberpihakan Gereja kepada kaum miskin (option fort he poor) dan bersama kaum miskin (option with the poor) pada tempat pertama adalah sebuah kategori teologis, bahwa Allah telah menunjukkan belaskasihan-Nya kepada orang miskin dan ini memiliki konsekuensi imperativ untuk semua yang percaya kepada-Nya (bdk. EG Nr. 198). Pemahaman selanjutnya mengacu pada pertanyaan soiologis, politik, budaya dan filosofis. Panggilan untuk berpihak kepada dan bersama kaum miskin tidak hanya berakhir pada pada aksi memberi bantuan, tetapi lebih dari itu perhatian yang diarahkan kepada hal-hal lain yang turut bekerja dalam proses pemiskinan, misalnya kebijakan politik, praktek korupsi, dll. Gereja mesti membuka pintu dan mata hati untuk melihat dan berkenalan dengan „kaum miskin“ dan realitas „kemiskinan“ dengan aneka wajah yang dijumpai serta berusaha membantu mereka. Pengakuan akan adanya kaum miskin beserta hak-hak yang dimiliki dan menerima mereka dalam masyarakat adalah langkah penting memberdayakan mereka: miskin secara ekonomis, miskin perhatian, miskin akan nilai-nilai moral, miskin dalam kesempatan menata hidup menjadi lebih baik. Dalam hal ini, yayasan-yayasan yang bergerak di bidang keadilan dan perdamaian atau usaha-usaha yang bernaung di bawah Gereja seperti koperasi dan pusat pelayanan karitativ mesti hadir untuk kaum miskin dan tertindas. Kembali kepada persoalan keuangan: sumbangan dana harus dimanfaatkan secara baik dan jujur untuk tujuan pelayanan dan bukannya untuk memperkaya diri dan kelompok. „Mencubit atau memotong“ dana kaum miskin untuk saku pribadi berarti mencopot hak hidup orang miskin – dan inilah yang diperingatkan oleh Paus Fransiskus, bahwa „sebuah perekonomian dapat membunuh“! ***

*Terbit di kolom Opini Portal Online Floresa, 17 Juni 2017
Lihat: Gereja yang Miskin untuk Kaum Miskin

OPINI DEBAT PASLON PILKADA


DUET dalam DUEL*
Catatan tentang Debat Paslon Pemilukada
Vianey Lein

Debat pasangan kandidat merupakan momen penting dalam suksesi politik, baik bagi masing-masing pasangan kandidat untuk pamer program dan serang lawan debat (sebagai salah satu strategi kampanye), maupun bagi publik pemilih dalam mengumpulkan data dan informasi-informasi penting untuk sebuah keputusan memilih, misalnya: sikap politik partai pengusung (koalisi) dan duet kandidat yang diusung serta visi-misi yang dirumuskan.

Debat antar pasangan calon (Paslon) yang siap bertarung di Pemilukada bukan mustahil turut menentukan penilaian dan keputusan publik dalam memilih. Di hadapan publik, baik yang menyaksikan jalannya debat secara langsung di studio TV maupun yang mengikuti dari rumah lewat siaran live, para calon akan diajukan deretan pertanyaan oleh moderator dan lawan debat tentang visi-misi atau program. Momen debat lantas dilihat sebagi puncak kulminasi "perlawanan" antar paslon yang tampil terbuka gamblang di hadapan publik. Jadi tidaklah mengherankan jika ketidakhadiran paslon Agus-Sylvi (Agus H. Yudhoyono dan Sylviana Murni) pada beberapa kesempatan debat kandidat Pilgub DKI yang digelar stasiun Net TV memantik beragam komentar-sindir dari netizen. Terlepas dari aneka komentar satiris yang dialamatkan kepada pasangan kandidat yang diusung koalisi Cikeas itu, ketidakhadiran Agus-Sylvi adalah hilangnya sebuah kesempatan emas untuk menarik simpati rakyat - meski pasangan dan koalisi (mungkin) memiliki pertimbangan sebaliknya, bahwa keikutsertaan dalam debat bisa menurunkan elektabilitas Agus-Sylvi karena ketakutan bersaing dengan lawan debat Ahok-Djarot dan Anies-Sandiaga yang dinilai lebih unggul dan berpengalaman. Agus-Sylvi dan koalisi Cikeas bagai bertemu buah si malakama.


Evaluasi Publik atas Debat

Foto: Debat Paslon Pilgub DKI, sumber:
http://kupang.tribunnews.com/2017/01/19/duet-dalam-duel
Publik pendengar-pendukung - yang juga adalah pemilih - mesti menilai berbagai data dan informasi tentang setiap kandidat, rekam jejak dan program-program yang dipaparkan agar kemudian secara implisit bisa mendapatkan sebuah asosiasi tentang setiap calon (positif atau negatif).
Hemat penulis, filsafat Immanuel Kant, seorang filsuf berkebangsaan Jerman, bisa menjadi format dalam mengevaluasi debat para kandidat.

Pertama, dalam karya besarnya "Kritik der reinen Vernunft" (Kritik Akal Budi Murni. Kant: 1781) terminus "ratio" memiliki tempat istimewa dalam postulat Kant tentang teori pengetahuan. Dalam penggunaannya, "ratio" mengacu pada kemampuan berpikir manusia yang melahirkan pengetahuan atau kesimpulan atas sebuah realitas melalui pengamatan dan pengalaman indrawi, mengenali makna dari realitas, menetapkan aturan dan prinsip-prinsip lalu menyikapinya. Seorang kandidat mesti jeli melihat persoalan faktual yang terjadi di masyarakat, membuat hipotese yang lahir dari refleksi atas masalah dan merumuskan solusi yang terpeta dalam visi-misi (Intellektuelle Anschauung). Ketidaksanggupan menganalisa masalah menjadikan seorang kandidat mudah didikte dan terpernjara dalam retorika hafalan. Penjabaran program pun akhirnya terkesan “mengapung”, utopis-bombastis tanpa berpijak pada basis data empiri.

Kedua, perkawinan antara rasionalisme dan empirisme. Kant mencoba menghubungkan empirisme dan rasionalisme, di mana ia membedakan pengetahuan a priori (pengetahuan atau kebenaran yang sudah ada sebelumnya terlepas dari pengalaman) dari pengetahuan a posteriori (pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman atau bukti empiris). Di sini Kant hendak menunjukkan bahwa sumber pengetahuan diperoleh tidak hanya dari satu unsur tunggal, melainkan sintesis dari pengalaman indrawi dan akal budi.
Keunggulan calon tidak hanya ditentukan oleh wacana atau kecerdasan berbahasa semata dalam merumuskan kemungkinan-kemungkinan penyelesaian persoalan (intellectus possibilis) atau kepiawaian dalam festival gagasan dan retorika yang rapih dan apik. Seorang kandidat dituntut untuk mengaktuskan ide atau gagasan dan potensi (intellectus agens) dalam sebuah semangat kooperasi. Rekam jejak seorang calon bisa menjadi neraca dalam menakar persesuaian antara kata (janji) dan tindakan (pemenuhan).

Ketiga, relasi subjek-objek. Kant memberikan suatu arah yang sama sekali baru dalam filsafat, bahwa bukan subjek yang mengamati objek, melainkan objeklah yang mengarahkan diri kepada subjek. Dalam konteks pemilukada, penulis mengartikan para calon sebagai "objek" yang siap dinilai dan dipilih oleh rakyat yang adalah "subjek". Artinya jelas, bahwa kepentingan "subjek" rakyat harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan politik, dan bukannya kepentingan "objek" parpol atau golongan. Rakyat harus menjadi kiblat perjuangan dan pengabdian.

Lebih lanjut, pertanyaan-pertanyaan mendasar yang muncul dari filsafat Kant bisa menjadi pertanyaan penuntun untuk sebuah evaluasi kritis setiap calon dalam sebuah debat.
Pertanyaan pertama adalah: Apa yang dapat saya (atau dia/kandidat) ketahui. Pertanyaan tentang kesanggupan ini bisa ditujukan kepada setiap calon: apa yang dapat calon ketahui tentang situasi sosial, ekonomi dan politik; juga kepada rakyat pemilih: apa yang saya ketahui tentang calon? Pengetahuan atau pengenalan tidak hanya terbatas pada ruang dan waktu kekinian tetapi juga merangkum dimensi masa lalu dan masa akanan. Dua hal penting yang hendak dicapai dalam proses pengenalan adalah alam dan manusia yang meliputi masyarakat dan sejarahnya (bdk. Dessauer: 1959, 21-26)
Atas pertanyaan kedua: Apa yang harus (saya) dia/calon lakukan?, Kant mengemukakan sebuah imperasi kategoris bahwa setiap manusia mesti bertindak seturut maxim moral dan kehendak baik (Kant: 1983, 51). Bertolak dari problem di masyarakat, apa yang hendak/ harus dilakukan oleh calon? Di sini publik diajak menguji kembali visi dan misi setiap paslon.
Visi-misi sebagai bentuk „imperasi“, baik itu hipotetis maupun asetoris, harus bersifat pragmatis berdasarkan prinsip-prinsip imperativ kategoris (moral dan kehendak baik). Inilah yang menjadi harapan rakyat sebagaimana yang dirumuskan Kant dalam pertanyaan ketiganya: Apa yang boleh saya harapkan (dari seorang calon)?
Kant mengakhiri refleksi filosofisnya dengan pertanyaan antropologis: Apa itu manusia? Jawaban atas pertanyaan ini bertolak dari jawaban atas ketiga pertanyaan sebelumnya. Berdasarkan pemahaman ini kita lalu menetapkan apa atau siapa yang menjadi pilihan.


 
Kita boleh memahami bahwa momen debat pasangan kandidat di pemilukada tidak hanya menjadi ujian/tes bagi para calon tetapi juga menyisakan sebuah tugas rumah yang berat bagi publik atau rakyat pemilih dalam menilai "jawaban-jawaban" atau argumen yang diberikan. Di sini sikap kritis pemilih juga ditantang untuk tidak sekadar "meluluskan dan meloloskan" calon tertentu begitu saja pada saat pemberian suara. Dalam debat publik atau rakyat memainkan peran und „juri“ untuk menentukan siapa yang layak „menang“ dalam pertarungan pemilukada. **

*Opini ini terbit di media cetak Harian Pos Kupang, 18 Januari 2017.
Edisi Online bisa dilihat disini:
http://kupang.tribunnews.com/2017/01/19/duet-dalam-duel


  

OPINI PLURALITAS AGAMA


RAINBOW RELIGION atau RAMBO RELIGION*
Tentang Pluralitas Agama di Indonesia
Vianey Lein


Keanekaragaman etnis, suku, budaya dan agama menjadikan bangsa kita Indonesia sebagai sebuah masyarakat „modern“ yang bercorak pluralistis. Di samping kebanggaan toleransi yang telah dibina di beberapa wilayah, mesti pula kita akui secara jujur, bahwa suatu hidup bersama di negara yang majemuk ini bukan tanpa konflik dengan berbagai macam akar persoalan. Konflik antaragama adalah persoalan yang hampir sering kita dengar akhir-akhir ini: larangan pembangunan rumah ibadat, pembatasan kebebasan merayakan ibadah tanpa alasan yang jelas, pengharaman penggunaan „atribut-atribut keagamaan“ disertai intimidasi mulai dari busana seperti topi Sinterklas hingga kemasan makanan. Pertanyaan krusial yang syah dan patut kita ajukan berhadapan dengan persoalan-persoalan yang ada adalah: apa peran agama dalam sebuah masyarakat yang berciri plural? Apakah (perbedaan) agama dan kaum beriman memberi kontribusi untuk terciptanya suatu hidup bersama yang mendukung rajutan pluralisme? Atau (perbedaan) agama justru menjadi penghalang bahkan penyulut konflik? Apakah gugusan kebenaran-kebenaran atau dogma yang diyakini masing-masing agama memantik konflik dan permusuhan dengan agama lain?

Ketakutan Pluralisme dan Dilema Toleransi

Pluralitas agama merupakan realitas yang tak bisa ditolak dan pengakuan serta penghargaan akan yang „lain“ dengan „keberlainannya“ adalah sikap dasar untuk membangun dialog. Perjumpaan antara pemeluk agama yang kian intens kerapkali terjadi dalam kondisi penuh curiga dibarengi ketakutan, bahwa komunitas yang satu menjadi dominan dan pada akhirnbya menguasai dimensi-dimensi kehidupan bermasyarakat seperti pendidikan, ekonomi/pekerjaan dan politik. Cita-cita hidup bersama secara damai yang didasari sikap hormat akan keberagaman menjadi jalan panjang yang tak mudah dilalui ketika masing-masing kelompok (agama, suku, atau budaya) terkurung dalam tenda eksklusvisme dan fanatisme. Prasangka tentang dan ketakutan akan dikuasai „yang lain“ ketika membuka diri untuk memberi ruang bagi „yang lain“ adalah racikan senyawa dari ledakan suatu konflik. Justifikasi (hasutan) „perjuangan atas nama kebenaran dan membela Allah dan Kitab Suci“ dari pemimpin agama maupun politik turut menjadi pemantik dalam meledakan racikan bom SARA. Misinya jelas: siapa yang tidak terhitung dalam kelompok saya adalah musuh (yang secara naif diberi label „kafir“) yang mesti dibasmi, dan praktek yang berseberangan dengan apa yang saya yakini adalah haram atau berhala, dan karena itu mesti ditentang dan digagalkan. Pluralisme agama yang adalah paradigma tentang keberagaman tidak lagi mendapat nilai positif, bahwa masing-masing orang bisa menimba kebajikan-kebajikan ilahi dari kelompok agama lain yang berbeda. Gagasan tentang pluralisme agama justru dinilai membingungkan dan praktek tentangnya penuh dilema dan kecurigaan yang bisa jadi berorientasi fundamentalis. Pemahaman tentang nilai-nilai kebenaran agama sendiri yang bersifat absolut bukan tidak mungkin akan menggiring kepada sikap intoleransi dan anarkis. Tidak memberi ruang kebebasan kepada kelompok agama lain sebagai langkah protektif terhadap agama sendiri sesungguhnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama dan pancasila.

Membuka Diri, Menepis Prasangka

Membuka diri bagi yang lain – termasuk terbuka terhadap kritik – dan mengakui keberagaman adalah sikap fundamental dalam sebuah dialog. Itu berarti, setiap orang mesti keluar dari „klaim monopoli kebenaran“ bahwa agamanya sendirilah yang paling benar, serta mengakui bahwa nilai-nilai kebenaran yang mengajarkan jalan kepada keselamatan yang diyakini, juga ada pada komunitas agama lain. Sikap membuka diri dan pengakuan akan keberagaman agama menuntut sikap apa yang Juergen Habermas sebut sebagai „kesadaran religius“ (religioese Bewusstsein), „kesadaran akan solidaritas yang telah dilukai, kesadaran akan keterbatasan masing-masing“ (Habermas: 2008, 30).

Kondisi masyarakat (agama) yang tertutup ini juga menjadi kegelisahan Karl Popper yang ia refleksikan dalam karyanya „Die offene Gesellschaft und ihre Feinde“ (Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya: 1958). Dalam karyanya itu, Popper mengingatkan bahwa masyarakat tertutup yang berciri magis, tribal, kolektivis dan yang takut terhadap perubahan karena memiliki struktur yang kaku, akan menjadi dasar ideologi totaliter yang menghancurkan kemanusiaan. Kelompok masyarakat tertutup akan berusaha mengeliminasi kelompok lain yang berbeda atau berseberangan dengannya. Oleh karena itu ia menganjurkan model „masyarakat terbuka“ yang memiliki kemampuan dan kesediaan untuk berubah. Tuntutan untuk sebuah „masyarakat terbuka“ adalah kebebasan berpendapat dan kesanggupan diskusi publik (Popper: 2003).

Gagasan „masyarakat terbuka“ membuka horison yang lebih luas bagi sisi kemanusiaan, bahwa „yang lain“ dari aku tidak hanya mereka yang berbeda keyakinan, suku atau budaya, melainkan juga mereka yang menderita, kaum miskin dan tertindas, serta orang-orang yang dikorbankan atas rekayasa hukum. Kita lebih banyak menghabiskan waktu, tenaga dan pikiran untuk mempersoalkan perbedaan agama dengan segala tetek bengeknya seperti pelaksanaan hari raya, ucapan selamat serta penggunaan atribut-atribut keagamaan hingga lupa hal yang jauh lebih urgen. Tantangan terbesar komunitas beragama di Indonesia saat ini bukan lagi elemen-elemen perbedaan yang ada dalam tubuh masing-masing agama, melainkan persoalan-persoalan moral-kemanusiaan: praktik korupsi, korban gempa bumi di Aceh, kemiskinan, kurangnya persediaan air minum bersih, dll. Basis perjuangan untuk kemanusiaan ini adalah spirit mistik compassio; artinya tidak hanya sekedar ekspresi empati tetapi juga mengambil bagian dalam penderitaan orang lain secara nyata dan berjuang bersama mereka.
Berkaitan dengan berbagai konflik antaragama di Tanah Air, kita bisa menilai dan mengevaluasi peran dan fungsi agama: apakah agama yang saya anut merupakan „Rainbow Religion“ – agama yang siap berdampingan dengan yang lain membentuk „harmoni-damai pelangi“ karena didasari atas keyakinan bahwa keberagaman itu indah? Atau agama yang saya yakini menjadi „Rambo“ yang siap menghancurkan komunitas agama lain? Yang diperlukan bangsa kita adalah keberanian menghalau awan kelabu kecurigaan dan jiwa besar menepis angin prasangka agar bersama - dengan segala keberagaman - mampu memancarkan pelangi damai. Kita tak perlu takut terhadap adanya perbedaan!***
Artikel ini terbit di kolom Opini media cetak Pos Kupang, 23 Desember 2016.