Kemenangan BEREUN: antara Euforia dan
Sinisme
Vian
Lein
Warga
Desa Mokantarak - Flotim
Media TV Jerman Tageschau.de dan siaran Radio ARD pada
15 Februari lalu merilis berita tentang Pilgub DKI Jakarta di bawah tajuk: Wählen in Jakarta: das Ende der Toleranz?
(Pemilu di Jakarta: akhir sebuah toleransi?). Redaksi pertanyaan ‚harap-harap
cemas‘ ini dilatarbelakangi oleh keyakinan publik internasional , bahwa
Indonesia (hingga kini) adalah contoh islam toleran dan jakarta sebagai ibu
kota negara menjadi sorotan utama. „Hingga kini Indonesia dianggap sebagai
contoh islam yang toleran. Namun hujatan dan perlawanan terhadap Gubernur
kristen di Jakarta menunjukkan tumbuh dan berkembangnya pengaruh kaum radikal.
Pemilihan gubernur di ibu kota menjadi batu uji untuk toleransi“, demikian
teras berita (lead) media Jerman. Di
tengah perlawanan masif dari FPI dan kelompok-kelompok yang berjubah agama,
keunggulan Ahok-Djarot dalam perhitungan suara putaran pertama bagi saya adalah
sebuah kejutan dan angin segar untuk demokrasi. Mungkin ini adalah sebuah
kesimpulan prematur, karena masih ada pertarungan pada putaran kedua; namun
paling tidak dukungan yang masih banyak pada pihak Ahok bisa memberi sinyal
positif, bahwa sentimen agama, isu-isu primordialisme dan belenggu diskrimanasi
kepada kaum minoritas bisa dipatahkan.
Lalu, bagaimana
dengan Pemilukada Flotim?
Mengikuti proses
perkembangan pesta demokrasi lokal di Flotim, baik lewat pemberitaan pers
maupun diskusi publik di media sosial Facebook,
hemat saya, Pemilukada Flotim juga tak kalah tegangnya dari Pilgub DKI. Ada isu
primordialisme seperti status kedaerahan yang dilemparkan ke dalam gelanggang
kontestasi. Politik pencitraan untuk mengatrol elektabilitas calon yang
dijagokan, serentak menjatuhkan rival-rival lain pun turut mewarnai hajatan
demokrasi itu. Arus rivalitas antara Timses dan relawan yang masih terasa di
media sosial sepertinya memberi kesan, bahwa kompetisi ini belum berakhir,
meski rekapitulasi hasil quick count Pilkada menunjukkan paket BEREUN (Anton
Gege Hadjon – Agustinus Boli) sebagai pemenangnya.
Euforia
dan Sinisme
Kemenangan
BEREUN menimbulkan beragam tanggapan di publik.
Pertama, senang-bahagia atas hasil yang
diperoleh. Reaksi ini tentu berasal dari pihak pemenang (Timses, relawan dan
rakyat pendukung). Kedua, kecewa,
sedih dan kaget. Kegagalan untuk meraih kursi Flotim 1 sudah pasti meninggalkan
rasa kecewa, atau mungkin kaget karena sebelumnya begitu optimis bahwa timnya
akan menang dalam pertarungan. Ketiga,
biasa-biasa saja, tak mau heboh:
„terserah siapa yang jadi bupati atau wakil, toh saya dari dulu sampai sekarang
tetap memancing di laut dan kerja kebun. Persoalan masih yang sama: air,
listrik, dll.“ Keempat, sikap lapang menerima hasil Pilkada dan siap mendukung
pemimpin terpilih sambil tetap optimis untuk berjuang bersama membangung Lewo Tana.
BEREUN – sebagai
pemimpin terpilih – mesti serius menanggapi beragam reaksi masyarakat dan
bukannya bersikap apatis. Ini merupakan tugas pertama BEREUN dalam proyeknya
lima tahun ke depan, yakni merangkul dan mempersatukan seluruh masyarakat
Flotim karena itulah yang menjadi basis perjuangan. Politik bukanlah soal
manuver merebut kekuasaan, melainkan sebagai upaya bersama mencapai bonum
commune. Hal ini penting agar tidak
ada yang merasa teralienasi dari kehidupan politik dan pemerintahan serta untuk
menghindari adanya perasaan kehilangan nilai dan arah hidup (anomi). Orang-orang yang teralienasi
akan menilai aturan-aturan dan kebijakan sebagai tidak adil dan hanya
menguntungkan penguasa.
Kalah-menang
adalah bagian integral dari sebuah kompetisi Pemilu. Siapa yang bertarung harus
terbuka untuk setiap kemungkinan. Sikap rendah hati dan ksatria menerima
kekalahan dan mengakui keunggulan lawan adalah tanda kedewasaan dalam berdemokrasi.
Ketidak-sukaan pada seorang pemimpin terpilih dapat menggiring kepada apatisme
politik dan atau politik sinis. Politik sinis adalah politik yang berbasiskan
pada kecurigaan, bahkan terhadap hal-hal positif yang terjadi. Kecurigaan dan
pesimisme adalah elemen yang melekat pada diri mereka (Wattimena: 2010). Sikap
„kawal“ atau fungsi „kontrol“ terhadap pemimpin memang sangat dibutuhkan untuk
tujuan „kebaikan bersama“, tetapi bukan berarti mencari-cari kesalahan untuk
menjegal dan menjatuhkan. Di tengah semakin banyak persoalan yang muncul akibat
perbedaan persepsi, suku dan kepentingan, kesadaran diskursif untuk bersikap
kritis dan melahirkan gagasan kreatif dan inovatif menjadi sebuah kemendesakan.
Komunikasi yang baik antara pemimpin dan rakyatnya dapat merekatkan setiap
elemen-elemen sosial yang berbeda.
Setiap Timses,
relawan dan rakyat pendukung pasti menjagokan Paslonnya masing-masing, apalagi
setelah diketahui bahwa Paslonnya memenangkan kontestasi. Ekspresi senang,
bahagia atas kemenangan seperti sorak-sorai, parade atau ritual lainnya adalah
wajar. Terkadang sikap idolatria dan membiarkan diri tenggelam di riak-riak euforia
adalah sesuatu yang naif. Paradigma politik yang percaya begitu saja (politik
naif) akan memenjarakan sikap kritis-bebas seseorang. Yang terjadi adalah
„pembiaran“ atas kesalahan -kesalahan dan suara lantang „setuju“ atas setiap
kebijakan publik tanpa kajian kritis karena mereka yakin, bahwa „semua tindakan
manusia selalu didorong oleh niat yang tulus“ (Wattimena: 2010).
Akhirnya, mari
kita semua bersatu hati mendukung dan mendampingi pemimpin yang baru terpilih.
Kita berharap agar perseteruan antara tim pemenang dan pendukung masing-masing
Paslon segera berakhir dan tidak mengarah kepada gelombang konflik di Lewo Tana.***
Sumber Gambar:
Paket Bereun: http://www.jurnaltimur.com/2016/10/dapat-nomor-urut-6-anton-hadjon-lebih.html
Konvoi Kemenangan Paket Bereun:
http://www.timur-ntt.com/2017/01/27/duabelas-ribu-massa-hadiri-kampanye-paket-bereun-agh-ab/
No comments:
Post a Comment