KONSER DAN PANGGUNG POLITIK
Vianey Lein
Pada tanggal 4
Februari 2017 tim sukses dan pemenangan Paslon Basuki-Djarot dalam kontestasi
Pilgub DKI menggelar konser „Gue 2“ yang dihadiri oleh artis dan musisi
kenamaan seperti Slank dan Tompi. Sebagaimana yang dikabarkan, para artis dan
musisi nasional itu hadir tanpa dibayar, bahkan banyak yang turut giat dalam
usaha memenangkan Paslon nomor dua pada bursa Pilgub DKI. Lagu-lagu yang
bertemakan demokrasi dan berisi seruan „pilih nomor dua“ masuk dalam dapur rekaman
dan terus disebarluaskan. Aksi kreatif ini sudah tentu menuai beragam reaksi di
media sosial, mulai dari acungan jempol, rasa haru, pernyataan dukungan untuk
terus berkreasi hingga cibiran. Ini masih wajar; dan memang begitu dinamika
hidup dalam jaringan sosial dengan dimensi sosiologis dan politisnya.
Sejauh ini,
perjumpaan antara dunia musik dan politik tidak sampai saling mencederai
seperti persentuhan antara agama dan politik. Musik dan politik terkesan bisa
membawa simfoni dalam berdemokrasi. (Sebernarnya) keduanya (musik dan agama)
memiliki tujuan yang sama, yakni untuk tegaknya demokrasi. Lalu, mengapa relasi
antara agama dan politik lebih fenomenal – bukan karena kemesraan antara
keduanya, melainkan karena perseteruan yang kian kompleks - daripada perjumpaan
antara musik dan politik? Mungkin isu agama lebih „seksi“ dan memikat untuk
disodomi demi kepentingan politik praktis sektarian. Pengalaman telah menunjukkan
bahwa persentuhan antara agama dan politik sering memantik konflik karena agama
(di)masuk(an) ke dalam bilik politik sebagai alat legitimasi politik. Tapi
jangan lupa, ada beberapa musisi yang telah terjun ke dunia politik seperti
Ahmad Dani dan Rhoma Irama, dan bahkan ada yang sudah duduk empuk di kursi jabatan
seperti Pasha Ungu, Wakil Walikota Palu itu. Apakah keberanian untuk
„menceburkan“ diri ke dalam dunia politik sungguh-sungguh terdorong oleh hati
nurani untuk mengabdi dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat banyak, atau
semata atas keyakinan, bahwa mereka bisa menarik simpati banyak orang untuk
memenangkan sebuah kontestasi politik karena telah mengantongi banyak fans selama aktiv di panggung konser?
Evaluasi publik atas bentuk perjuangan dan kinerja kerja bisa menjawab sederet
pertanyaan ini.
Pergelaran
konser di atas panggung politik Pemilukada tidak hanya terjadi di ibu kota
negara. Animo dan fokus yang berlebihan
pada fenomena Pilgub DKI lewat pemberitaan media mungkin membuat kita lupa,
bahwa di daerah kita sendiri pun digelar konser dalam bingkai kampanye
Pemilukada. Di Kabupaten Flores Timur misalnya, musisi reggae asal Flores,
Conrad tampil di atas panggung kampanye milik paket Lurus (Lukman – Marianus) dengan
lirik-lirik yang memikat, atau group band dari nagi Larantuka „Fajar Band“ yang
memeriahkan kampanye paket Rumah Kita (Yosep Usen – Mel Fernandez); tak
terkecuali juga pemenang The Voice Indonesia, Mario G Klau sebagai bintang tamu
pada momen kampanye akbar paket Antero (Antonius – Theodorus).
Dalam konteks
ini, kehadiran para musisi Lewo Tana Flotim di atas panggung politik Pemilukada
menampilkan sisi lain dari dunia musik, bahwa musik tidak hanya bersinggungan
dengan afeksi atau selera, tetapi ia memadahkan sebuah harapan akan tatanan
politik yang baik. Sudah tentu bahwa banyak orang akan merasa terhibur dengan
kehadiran dan penampilan para musisi. Euforia pesta demokrasi lokal ini tidak
hanya terasa lewat „nazar politik“ yang diikrarkan, tetapi juga tembang-tembang
indah yang didendangkan. Semua kita – dan tentu juga para musisi sendiri –
berharap agar kehadiran group band dan penyanyi terkenal tidak hanya sebagai
faktor tambahan yang memberi kesan ramai pada momen-momen kampanye. Ketika
musik hanya sekedar menghibur, membikin ramai atau sebagai instrumen politik,
maka ia hanya sekedar „mars“ yang mengiringi para calon bupati dan wakil bupati
untuk melangkah ke singgasana kekuasaan. Musik mesti menampilkan aspek
pedagogis – baik untuk rakyat pemilih, mapun untuk para calon yang sedang
bertarung - demi tegaknya sebuah demokrasi yang bermartabat.***
No comments:
Post a Comment