PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

14 February 2017

KONSER DAN PANGGUNG POLITIK


KONSER DAN PANGGUNG POLITIK

Vianey Lein

Pada tanggal 4 Februari 2017 tim sukses dan pemenangan Paslon Basuki-Djarot dalam kontestasi Pilgub DKI menggelar konser „Gue 2“ yang dihadiri oleh artis dan musisi kenamaan seperti Slank dan Tompi. Sebagaimana yang dikabarkan, para artis dan musisi nasional itu hadir tanpa dibayar, bahkan banyak yang turut giat dalam usaha memenangkan Paslon nomor dua pada bursa Pilgub DKI. Lagu-lagu yang bertemakan demokrasi dan berisi seruan „pilih nomor dua“ masuk dalam dapur rekaman dan terus disebarluaskan. Aksi kreatif ini sudah tentu menuai beragam reaksi di media sosial, mulai dari acungan jempol, rasa haru, pernyataan dukungan untuk terus berkreasi hingga cibiran. Ini masih wajar; dan memang begitu dinamika hidup dalam jaringan sosial dengan dimensi sosiologis dan politisnya.

Sejauh ini, perjumpaan antara dunia musik dan politik tidak sampai saling mencederai seperti persentuhan antara agama dan politik. Musik dan politik terkesan bisa membawa simfoni dalam berdemokrasi. (Sebernarnya) keduanya (musik dan agama) memiliki tujuan yang sama, yakni untuk tegaknya demokrasi. Lalu, mengapa relasi antara agama dan politik lebih fenomenal – bukan karena kemesraan antara keduanya, melainkan karena perseteruan yang kian kompleks - daripada perjumpaan antara musik dan politik? Mungkin isu agama lebih „seksi“ dan memikat untuk disodomi demi kepentingan politik praktis sektarian. Pengalaman telah menunjukkan bahwa persentuhan antara agama dan politik sering memantik konflik karena agama (di)masuk(an) ke dalam bilik politik sebagai alat legitimasi politik. Tapi jangan lupa, ada beberapa musisi yang telah terjun ke dunia politik seperti Ahmad Dani dan Rhoma Irama, dan bahkan ada yang sudah duduk empuk di kursi jabatan seperti Pasha Ungu, Wakil Walikota Palu itu. Apakah keberanian untuk „menceburkan“ diri ke dalam dunia politik sungguh-sungguh terdorong oleh hati nurani untuk mengabdi dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat banyak, atau semata atas keyakinan, bahwa mereka bisa menarik simpati banyak orang untuk memenangkan sebuah kontestasi politik karena telah mengantongi banyak fans selama aktiv di panggung konser? Evaluasi publik atas bentuk perjuangan dan kinerja kerja bisa menjawab sederet pertanyaan ini.

Pergelaran konser di atas panggung politik Pemilukada tidak hanya terjadi di ibu kota negara. Animo  dan fokus yang berlebihan pada fenomena Pilgub DKI lewat pemberitaan media mungkin membuat kita lupa, bahwa di daerah kita sendiri pun digelar konser dalam bingkai kampanye Pemilukada. Di Kabupaten Flores Timur misalnya, musisi reggae asal Flores, Conrad tampil di atas panggung kampanye milik paket Lurus (Lukman – Marianus) dengan lirik-lirik yang memikat, atau group band dari nagi Larantuka „Fajar Band“ yang memeriahkan kampanye paket Rumah Kita (Yosep Usen – Mel Fernandez); tak terkecuali juga pemenang The Voice Indonesia, Mario G Klau sebagai bintang tamu pada momen kampanye akbar paket Antero (Antonius – Theodorus).

Dalam konteks ini, kehadiran para musisi Lewo Tana Flotim di atas panggung politik Pemilukada menampilkan sisi lain dari dunia musik, bahwa musik tidak hanya bersinggungan dengan afeksi atau selera, tetapi ia memadahkan sebuah harapan akan tatanan politik yang baik. Sudah tentu bahwa banyak orang akan merasa terhibur dengan kehadiran dan penampilan para musisi. Euforia pesta demokrasi lokal ini tidak hanya terasa lewat „nazar politik“ yang diikrarkan, tetapi juga tembang-tembang indah yang didendangkan. Semua kita – dan tentu juga para musisi sendiri – berharap agar kehadiran group band dan penyanyi terkenal tidak hanya sebagai faktor tambahan yang memberi kesan ramai pada momen-momen kampanye. Ketika musik hanya sekedar menghibur, membikin ramai atau sebagai instrumen politik, maka ia hanya sekedar „mars“ yang mengiringi para calon bupati dan wakil bupati untuk melangkah ke singgasana kekuasaan. Musik mesti menampilkan aspek pedagogis – baik untuk rakyat pemilih, mapun untuk para calon yang sedang bertarung - demi tegaknya sebuah demokrasi yang bermartabat.***

No comments:

Post a Comment