ENDORSEMENT POLITIK DAN SINYAL POLITIK IDENTITAS
Catatan Pinggir menjelang Pemilukada Flotim
Vian
Lein
Warga
Desa Mokantarak – Flotim
Tinggal
di Jerman
Mencermati geopolitik
Kabupaten Flores Timur akhir-akhir ini dalam kerangka Pemilukada, strategi
penegasan identitas setiap calon turut bermain, entah secara laten di balik
layar maupun blak-blakan di atas panggung Pemilukada. Elemen-elemen profil atau
identas menjadi salah satu kekuatan untuk mendapat legitimasi pendukung. Cerita
diri para kandidat dan eksplorasi identitas, baik oleh tim sukses maupun calon
sendiri, pun mengusung tema ‚asal dan tanah kelahiran‘ atau ‚pemimpin muda‘
dengan dalih mewakili kelompok tertentu. Gerakan-gerakan tim sukses yang
berbasis politik identitas itu muncul dalam cetusan-cetusan seperti: „Putra
terbaik Adonara“, „saatnya Adonara memimpin“, „Solor akan membuktikan sejarah
bupati pertama dua periode“, „pemimpin muda dengan jiwa muda“, „si calon adalah
mantan guru dan birokrat“ dan lain-lain. Endorsement politik yang dicetak dalam
iklan ‚asal‘, ‚suku‘, ‚ikatan kekeluargaan‘ dan ‚usia‘ ini perlu mendapat
atensi publik sebelum menjadi gelombang politik identitas yang ekstrim dan
mengancam persatuan dan kekeluargaan sebagai orang Lamaholot. Tilikan Samuel
Huntington dalam tesisnya „Benturan Peradaban“ telah menyelentik hal ini, bahwa
masa depan peradaban akan menunjukkan kecenderungan antagonistik dan diwarnai
konflik karena faktor budaya dan agama. Identitas budaya dan agama, demikian postulat Huntington, menjadi semaccam
sebuah “syarat” dalam interese politik nasional maupun lokal. (bdk. The Clash
of civilizations: Huntingtoon: 1996: 147).
Pembentukan Identitas
Ada
tiga teori yang menjelaskan proses pembentukan identitas.
Pertama, primordialisme yang memandang etnis dalam
kategori sosio-biologis yang terbentuk secara alamiah dan turun temurun.
Elemen-elemen seperti asal-usul, bahasa, adat-istiadat dan wilayah/teritorial
pemukiman menempah kelompok-kelompok sosial dan turut menentukan pemahaman dan
tindakan kolektif mereka.
Kedua, konstruktivisme yang memandang identitas sebagai
konstruksi sosial melalui ikatan-ikatan yang kompleks seperti dinasti, sistem kelas,
jenis kelamin, umur.
Ketiga, instrumentalisme.
Dalam perspektif ini identitas dilihat sebagai sesuatu yang dikonstruksikan
untuk kepentingan elite politik dan kekuasaan lewat propaganda (Schrader:
2012).
Bahwa seorang calon berasal dari pulau tertentu atau
dibesarkan dalam di wilayah tertentu merupakan realitas yang tak terbantahkan
dan mesti diterima. Aktor dan struktur politik yang berperan dalam demokrasi
pun tidak dapat terlepas dari faktor
etnisitas dan identitas (LSI 2008: 27). Tetapi faktor-faktor identitas seperti
asal atau suku tidak akan menjadi konflik terbuka jika faktor-faktor lain tidak
memicunya. Dalam arena Pemilukada nampaknya faktor politik menjadi kekuatan
katalisator timbulnya konflik sosial. Ketika
isu identitas seperti ‚si calon berasal dari pulau tertentu‘, menjadi kekuatan
yang kian mengental dan mendapat ruang ekspresi yang semakin luas maka hal ini
perlu diwaspadai. Nampaknya apa yang
sedang terjadi di Flores Timur adalah bahwa politik identitas seperti isu
„putra daerah“ menjadi strategi jitu dalam mobilisasi angka pencoblosan untuk
memenangkan kontestasi Pemilukada. Dinamika perjuangan untuk menjadi „orang
nomor satu“ di kabupaten dengan cerita diri kandidat yang diberi label suku,
ikatan kekeluargaan atau isu kedaerahan (pulau) akan terjerembab pada lubang
hitam politik identitas.
Kritis
Menangkap „Sinyal“
Hari penentuan sikap (pencoblosan) tidak lama lagi
(15 Februari 2017). Sudah tentu, bahwa gelombang Pemilukada 2017 dengan beragam
resonansi turut mempengaruhi dinamika sosiologis masyarakat. Pesta demokrasi
lokal ini bahkan mungkin menyita banyak energi, waktu dan pikiran, baik lewat
keterlibatan langsung sebagai pendukung dalam kampanye dan seluruh proses
pemenangan, persiapan logistik dan sosialisasi oleh KPU, maupun yang memantau
saja dari rumah sambil mengevaluasi
visi-misi setiap calon. Di tengah
kesibukan dan rivalisme politik ini, kita tidak boleh mengabaikan dimensi
sosiologis masyarakat adat Flores Timur sebagai orang Lamaholot. Semangat
persaudaraan dan kekeluargaan sebagai satu turunan “ata sina jawa” tidak boleh
diterlantarkan dalam kotak-kotak sosial yang segregatif dan eksklusif. Semagat
ini mesti menjadi basis seluruh perjuangan untuk membangun Lewo Tana Flores
Timur, dan bukannya masyarakat Lamaholot yang telah mengalami pengkotakan
teritorial: Flores Timur Daratan, Adonara dan Solor. Dengan demikian, maka
politik identitas yang mendapat artikulasinya dalam Pemilukada dapat diredam
dan ditinggalkan. Tujuan ini akan tercapai jika setiap kita berusaha dengan
berani membendung sinyal-sinyal politik identitas yang mengarah kepada
pengkotakan masyarakat. Dalam hal ini, sikap membuka diri terhadap setiap
kandidat bersama visi-misinya menjadi langkah awal menentukan pilihan secara bebas.
Selamat memilih sesuai hati nurani dan janganlah biarkan kebebasan demokrasi
anda diamputasi oleh politik identitas!***
No comments:
Post a Comment