PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

13 February 2017

ENDORSEMENT POLITIK DAN SINYAL POLITIK IDENTITAS


ENDORSEMENT POLITIK DAN SINYAL POLITIK IDENTITAS
Catatan Pinggir menjelang Pemilukada Flotim
Vian Lein
Warga Desa Mokantarak – Flotim
Tinggal di Jerman

Mencermati geopolitik Kabupaten Flores Timur akhir-akhir ini dalam kerangka Pemilukada, strategi penegasan identitas setiap calon turut bermain, entah secara laten di balik layar maupun blak-blakan di atas panggung Pemilukada. Elemen-elemen profil atau identas menjadi salah satu kekuatan untuk mendapat legitimasi pendukung. Cerita diri para kandidat dan eksplorasi identitas, baik oleh tim sukses maupun calon sendiri, pun mengusung tema ‚asal dan tanah kelahiran‘ atau ‚pemimpin muda‘ dengan dalih mewakili kelompok tertentu. Gerakan-gerakan tim sukses yang berbasis politik identitas itu muncul dalam cetusan-cetusan seperti: „Putra terbaik Adonara“, „saatnya Adonara memimpin“, „Solor akan membuktikan sejarah bupati pertama dua periode“, „pemimpin muda dengan jiwa muda“, „si calon adalah mantan guru dan birokrat“ dan lain-lain. Endorsement politik yang dicetak dalam iklan ‚asal‘, ‚suku‘, ‚ikatan kekeluargaan‘ dan ‚usia‘ ini perlu mendapat atensi publik sebelum menjadi gelombang politik identitas yang ekstrim dan mengancam persatuan dan kekeluargaan sebagai orang Lamaholot. Tilikan Samuel Huntington dalam tesisnya „Benturan Peradaban“ telah menyelentik hal ini, bahwa masa depan peradaban akan menunjukkan kecenderungan antagonistik dan diwarnai konflik karena faktor budaya dan agama. Identitas budaya dan agama, demikian postulat Huntington, menjadi semaccam sebuah “syarat” dalam interese politik nasional maupun lokal. (bdk. The Clash of civilizations: Huntingtoon: 1996: 147).

Pembentukan Identitas
Ada tiga teori yang menjelaskan proses pembentukan identitas.
Pertama, primordialisme yang memandang etnis dalam kategori sosio-biologis yang terbentuk secara alamiah dan turun temurun. Elemen-elemen seperti asal-usul, bahasa, adat-istiadat dan wilayah/teritorial pemukiman menempah kelompok-kelompok sosial dan turut menentukan pemahaman dan tindakan kolektif mereka.
Kedua, konstruktivisme yang memandang identitas sebagai konstruksi sosial melalui ikatan-ikatan yang kompleks seperti dinasti, sistem kelas, jenis kelamin, umur.
Ketiga, instrumentalisme. Dalam perspektif ini identitas dilihat sebagai sesuatu yang dikonstruksikan untuk kepentingan elite politik dan kekuasaan lewat propaganda (Schrader: 2012).

Bahwa seorang calon berasal dari pulau tertentu atau dibesarkan dalam di wilayah tertentu merupakan realitas yang tak terbantahkan dan mesti diterima. Aktor dan struktur politik yang berperan dalam demokrasi pun tidak dapat terlepas  dari faktor etnisitas dan identitas (LSI 2008: 27). Tetapi faktor-faktor identitas seperti asal atau suku tidak akan menjadi konflik terbuka jika faktor-faktor lain tidak memicunya. Dalam arena Pemilukada nampaknya faktor politik menjadi kekuatan katalisator timbulnya konflik sosial.  Ketika isu identitas seperti ‚si calon berasal dari pulau tertentu‘, menjadi kekuatan yang kian mengental dan mendapat ruang ekspresi yang semakin luas maka hal ini perlu diwaspadai.  Nampaknya apa yang sedang terjadi di Flores Timur adalah bahwa politik identitas seperti isu „putra daerah“ menjadi strategi jitu dalam mobilisasi angka pencoblosan untuk memenangkan kontestasi Pemilukada. Dinamika perjuangan untuk menjadi „orang nomor satu“ di kabupaten dengan cerita diri kandidat yang diberi label suku, ikatan kekeluargaan atau isu kedaerahan (pulau) akan terjerembab pada lubang hitam politik identitas.

Kritis Menangkap „Sinyal“
Hari penentuan sikap (pencoblosan) tidak lama lagi (15 Februari 2017). Sudah tentu, bahwa gelombang Pemilukada 2017 dengan beragam resonansi turut mempengaruhi dinamika sosiologis masyarakat. Pesta demokrasi lokal ini bahkan mungkin menyita banyak energi, waktu dan pikiran, baik lewat keterlibatan langsung sebagai pendukung dalam kampanye dan seluruh proses pemenangan, persiapan logistik dan sosialisasi oleh KPU, maupun yang memantau saja dari rumah  sambil mengevaluasi visi-misi setiap calon.  Di tengah kesibukan dan rivalisme politik ini, kita tidak boleh mengabaikan dimensi sosiologis masyarakat adat Flores Timur sebagai orang Lamaholot. Semangat persaudaraan dan kekeluargaan sebagai satu turunan “ata sina jawa” tidak boleh diterlantarkan dalam kotak-kotak sosial yang segregatif dan eksklusif. Semagat ini mesti menjadi basis seluruh perjuangan untuk membangun Lewo Tana Flores Timur, dan bukannya masyarakat Lamaholot yang telah mengalami pengkotakan teritorial: Flores Timur Daratan, Adonara dan Solor. Dengan demikian, maka politik identitas yang mendapat artikulasinya dalam Pemilukada dapat diredam dan ditinggalkan. Tujuan ini akan tercapai jika setiap kita berusaha dengan berani membendung sinyal-sinyal politik identitas yang mengarah kepada pengkotakan masyarakat. Dalam hal ini, sikap membuka diri terhadap setiap kandidat bersama visi-misinya menjadi langkah awal menentukan pilihan secara bebas. Selamat memilih sesuai hati nurani dan janganlah biarkan kebebasan demokrasi anda diamputasi oleh politik identitas!***

No comments:

Post a Comment