GEREJA YANG ‚MISKIN‘ UNTUK KAUM MISKIN*
Vian
Lein
Kurang lebih tiga tahun silam, tepatnya pada musim
gugur 2013, gereja Jerman dan tentunya gereja sejagad mengalami guncangan oleh
skandal finansial Uskup Keuskupan Limburg, Franz-Peter Tebartz-van Elst.
Dilaporkan bahwa Sang Uskup menghabiskan dana kurang lebih 31 Juta Euro untuk
renovasi rumah kediaman uskup di Keuskupan itu. Selama berminggu-minggu skandal
mega proyek ini menjadi tajuk media-media di Jerman dan juga di negara-negara
lainnya. Pemberitaan media secara gamblang – termasuk media-media katolik
seperti „katholisch.de“ - dan suara tenor publik „mengharuskan“ mantan Profesor
Teologi Pastoral dan Liturgi itu mengajukan pengunduran diri yang dikabulkan
oleh Paus Fransiskus pada tanggal 26 Maret 2014. Pihak media pun mendapat
kritik, bahwa pemberitaan-pemberitaan itu lebih merupakan kampanye dan
provokasi atas kasus uskup Limburg dan bukan merupakan penyampaian informasi. Dalam
dialognya dengan Paus Fransiskus, Uskup Tebartz-van Elst mengakui kesalahannya
dan memohon pengampunan: „Selama kepemimpinan saya sebagai Uskup Limburg muncul
banyak kesan dari umat katolik dan juga dari publik atas kasus ini, bahwa saya
melalaikan pelayanan di Diosesan dan persatuan Gereja; bahwa saya lebih mengutamakan
tujuan dan interese pribadi tanpa sebuah persetujuan dan kesepakatan bersama.
Saya akhirnya mengenal bahwa saya telah melakukan kesalahan, dan itu
menghancurkan rasa percaya umat. Karena itu, kepada semua yang telah menderita
dan mungkin masih ‚menderita‘ karena kelalaian saya ini, saya mohon ampun“. Di
sini saya tidak bermaksud mendramatisir kembali skandal finansial yang
dilakukan oleh Uskup Limburg, tetapi hendak meneropong lebih jauh padanan kasus
ini melampaui batas ruang Gereja
Keuskupan Limburg dan pribadi Uskup Franz-Peter Tebartz-van Elst dalam spirit
pontikat Paus Fransiskus „menjadi Gereja yang miskin untuk kaum miskin“.
Gereja dan
Uang
Uang sebagai simbol ekonomi memiliki peran penting
dalam perputaran roda perekonomian dan sebagai nilai tukar – sebagaimana dalam
pemahaman sosoilogis Georg Simmel - juga memiliki pengaruh dalam relasi sosial
sebuah masyarakat, bahwa relasi antar-objek turut mencerminkan hubungan
personal, bahwa „transaksi jual beli“ bukan
sekadar peristiwa ekonomi tetapi juga sebuah proses sosiologis terbentuknya
masyarakat (Simmel : 1907).
Gereja sebagai sebuah institusi sosial-agama yang
penganut-penganutnya „aktiv“ dalam ekonomi pasar tidak terisolasi dari arus
peredaran uang. Artinya jelas, bahwa Gereja memiliki uang dan (harus) membutuhkan
uang. Namun pertanyaan-pertanyaan mendasar yang sering muncul berhadapan dengan
skandal finansial dalam tubuh Gereja sebagaimana pada kasus uskup Keuskupan
Limburg adalah: bagaimana sikap gereja dalam mengelola keuangan (Management)?,
bagaimana dan sejauh mana sebuah Gereja boleh menata kebutuhan ekonomi? Banyak
orang tentu mengharapkan – meski ini mungkin terkesan tidak adil – agar Gereja
hidup dalam kesederhanaan, solider dengan yang berkekurangan, tidak terlalu
berlebihan dalam perencanaan dan pembangunan sebuah proyek dan tidak terjebak dalam
gaya hidup yang glamour. Maka tidak heran, Uskup Franz-Peter Tebartz-van Elst
mendapat kritik ketika beliau terbang ke India menggunakan penerbangan kelas
satu Lufthansa-Jumbo untuk mengunjungi orang miskin. Sementara ketika seorang
pejabat yang berkunjung ke luar negeri dengan menggunakan penerbangan yang
serupa sama sekali tidak dipersoalkan.
Pertanyaan „apakah Gereja dinilai kaya dan memilik banyak
harta material“ adalah sesungguhnya merupakan sebuah pertanyaan tentang sikap
pelayanan Gereja: „apakah harta-harta itu dimanfaatkan untuk tujuan pelayanan
banyak orang?“ Ketika Gereja terus berkutat mengurus dirinya sendiri dalam
menimbun harta (barang dan uang), maka di sana telah lahir „kapitalisme agama“
yang bersumber pada ketamakan dan ego. Untuk menjaga stabilitas ekonomi Gereja,
„komersialisasi keselamatan“ lalu menjadi solusi baru, bahwa segala sesuatu
dapat dibeli, disertai iklan „mujizat baru“ berlabel „transubstansi kapitalisme
rahmat“. Berhadapan dengan berbagai skandal keungan yang terjadi, baik dalam
pemerintahan maupun dalam tubuh Gereja sendiri, kita justru ditantang oleh
krisis dunia dewasa ini yang menggiring kepada „zivilisasi uang“.
Dietrich Bonhoeffer, seorang teolog Lutheran Jerman,
pernah menulis: „Gereja akan menjadi Gereja hanya jika ia ada untuk yang lain. Dan untuk memulainya, Gereja mesti
memberikan seluruh hartanya kepada yang menderita“. Tuntutan ini tentu
sangat provokativ ketika Gereja kian menjauh dari kaum miskin. Sikap „menjadi
miskin“ dapat memberi ruang bagi Gereja untuk menggunakan uang dan kuasanya
demi pelayanan kepada orang miskin. Tercapai atau tidaknya misi mulia ini
terletak pada bagaimana Gereja mengelola keuangan dan aset-asetnya. Managemt
keuangan yang transparan dan akuntabel sangat mendukung karya pelayanan Gereja,
dan sikap lepas bebas – tidak terikat pada harta dan uang – inilah menjadi
keutamaan dalam memberantas korupsi.
Gereja yang
Miskin untuk Kaum Miskin: Sebuah Paradoks?
Bagaimana sebuah institusi seperti Gereja mesti
menjadi miskin di tengah seruan “memberantas kemiskinan”? Bagaimana Gereja bisa
membantu kaum miskin, sementara Gereja sendiri tidak memiliki uang atau
aset-aset yang bernilai ekonomis? Pertanyaan dalam nada yang lain: Bagaimana
Gereja bisa menjadi pembela terpercaya untuk kaum miskin sementara ia sendiri
kaya secara materil?
Apa sesungguhnya yang menjadi barometer „sebuah
Gereja yang miskin“? Siapa itu kaum miskin?
Keberpihakan Gereja kepada kaum miskin (option fort he poor) dan bersama kaum
miskin (option with the poor) pada
tempat pertama adalah sebuah kategori teologis, bahwa Allah telah menunjukkan
belaskasihan-Nya kepada orang miskin dan ini memiliki konsekuensi imperativ
untuk semua yang percaya kepada-Nya (bdk. EG Nr. 198). Pemahaman selanjutnya
mengacu pada pertanyaan soiologis, politik, budaya dan filosofis. Panggilan
untuk berpihak kepada dan bersama kaum miskin tidak hanya berakhir pada pada
aksi memberi bantuan, tetapi lebih dari itu perhatian yang diarahkan kepada
hal-hal lain yang turut bekerja dalam proses pemiskinan, misalnya kebijakan
politik, praktek korupsi, dll. Gereja mesti membuka pintu dan mata hati untuk
melihat dan berkenalan dengan „kaum miskin“ dan realitas „kemiskinan“ dengan
aneka wajah yang dijumpai serta berusaha membantu mereka. Pengakuan akan adanya
kaum miskin beserta hak-hak yang dimiliki dan menerima mereka dalam masyarakat
adalah langkah penting memberdayakan mereka: miskin secara ekonomis, miskin
perhatian, miskin akan nilai-nilai moral, miskin dalam kesempatan menata hidup
menjadi lebih baik. Dalam hal ini, yayasan-yayasan yang bergerak di bidang
keadilan dan perdamaian atau usaha-usaha yang bernaung di bawah Gereja seperti
koperasi dan pusat pelayanan karitativ mesti hadir untuk kaum miskin dan
tertindas. Kembali kepada persoalan keuangan: sumbangan dana harus dimanfaatkan
secara baik dan jujur untuk tujuan pelayanan dan bukannya untuk memperkaya diri
dan kelompok. „Mencubit atau memotong“ dana kaum miskin untuk saku pribadi
berarti mencopot hak hidup orang miskin – dan inilah yang diperingatkan oleh
Paus Fransiskus, bahwa „sebuah perekonomian dapat membunuh“! ***
*Terbit di kolom Opini Portal Online Floresa, 17 Juni 2017
Lihat: Gereja yang Miskin untuk Kaum Miskin
*Terbit di kolom Opini Portal Online Floresa, 17 Juni 2017
Lihat: Gereja yang Miskin untuk Kaum Miskin
No comments:
Post a Comment