PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

03 February 2017

MENJADI GEREJA YANG MISKIN


GEREJA YANG ‚MISKIN‘ UNTUK KAUM MISKIN*
Vian Lein

Kurang lebih tiga tahun silam, tepatnya pada musim gugur 2013, gereja Jerman dan tentunya gereja sejagad mengalami guncangan oleh skandal finansial Uskup Keuskupan Limburg, Franz-Peter Tebartz-van Elst. Dilaporkan bahwa Sang Uskup menghabiskan dana kurang lebih 31 Juta Euro untuk renovasi rumah kediaman uskup di Keuskupan itu. Selama berminggu-minggu skandal mega proyek ini menjadi tajuk media-media di Jerman dan juga di negara-negara lainnya. Pemberitaan media secara gamblang – termasuk media-media katolik seperti „katholisch.de“ - dan suara tenor publik „mengharuskan“ mantan Profesor Teologi Pastoral dan Liturgi itu mengajukan pengunduran diri yang dikabulkan oleh Paus Fransiskus pada tanggal 26 Maret 2014. Pihak media pun mendapat kritik, bahwa pemberitaan-pemberitaan itu lebih merupakan kampanye dan provokasi atas kasus uskup Limburg dan bukan merupakan penyampaian informasi. Dalam dialognya dengan Paus Fransiskus, Uskup Tebartz-van Elst mengakui kesalahannya dan memohon pengampunan: „Selama kepemimpinan saya sebagai Uskup Limburg muncul banyak kesan dari umat katolik dan juga dari publik atas kasus ini, bahwa saya melalaikan pelayanan di Diosesan dan persatuan Gereja; bahwa saya lebih mengutamakan tujuan dan interese pribadi tanpa sebuah persetujuan dan kesepakatan bersama. Saya akhirnya mengenal bahwa saya telah melakukan kesalahan, dan itu menghancurkan rasa percaya umat. Karena itu, kepada semua yang telah menderita dan mungkin masih ‚menderita‘ karena kelalaian saya ini, saya mohon ampun“. Di sini saya tidak bermaksud mendramatisir kembali skandal finansial yang dilakukan oleh Uskup Limburg, tetapi hendak meneropong lebih jauh padanan kasus ini melampaui  batas ruang Gereja Keuskupan Limburg dan pribadi Uskup Franz-Peter Tebartz-van Elst dalam spirit pontikat Paus Fransiskus „menjadi Gereja yang miskin untuk kaum miskin“.

Gereja dan Uang

Uang sebagai simbol ekonomi memiliki peran penting dalam perputaran roda perekonomian dan sebagai nilai tukar – sebagaimana dalam pemahaman sosoilogis Georg Simmel - juga memiliki pengaruh dalam relasi sosial sebuah masyarakat, bahwa relasi antar-objek turut mencerminkan hubungan personal, bahwa „transaksi jual beli“  bukan sekadar peristiwa ekonomi tetapi juga sebuah proses sosiologis terbentuknya masyarakat (Simmel : 1907).

Gereja sebagai sebuah institusi sosial-agama yang penganut-penganutnya „aktiv“ dalam ekonomi pasar tidak terisolasi dari arus peredaran uang. Artinya jelas, bahwa Gereja memiliki uang dan (harus) membutuhkan uang. Namun pertanyaan-pertanyaan mendasar yang sering muncul berhadapan dengan skandal finansial dalam tubuh Gereja sebagaimana pada kasus uskup Keuskupan Limburg adalah: bagaimana sikap gereja dalam mengelola keuangan (Management)?, bagaimana dan sejauh mana sebuah Gereja boleh menata kebutuhan ekonomi? Banyak orang tentu mengharapkan – meski ini mungkin terkesan tidak adil – agar Gereja hidup dalam kesederhanaan, solider dengan yang berkekurangan, tidak terlalu berlebihan dalam perencanaan dan pembangunan sebuah proyek dan tidak terjebak dalam gaya hidup yang glamour. Maka tidak heran, Uskup Franz-Peter Tebartz-van Elst mendapat kritik ketika beliau terbang ke India menggunakan penerbangan kelas satu Lufthansa-Jumbo untuk mengunjungi orang miskin. Sementara ketika seorang pejabat yang berkunjung ke luar negeri dengan menggunakan penerbangan yang serupa sama sekali tidak dipersoalkan.

Pertanyaan „apakah Gereja dinilai kaya dan memilik banyak harta material“ adalah sesungguhnya merupakan sebuah pertanyaan tentang sikap pelayanan Gereja: „apakah harta-harta itu dimanfaatkan untuk tujuan pelayanan banyak orang?“ Ketika Gereja terus berkutat mengurus dirinya sendiri dalam menimbun harta (barang dan uang), maka di sana telah lahir „kapitalisme agama“ yang bersumber pada ketamakan dan ego. Untuk menjaga stabilitas ekonomi Gereja, „komersialisasi keselamatan“ lalu menjadi solusi baru, bahwa segala sesuatu dapat dibeli, disertai iklan „mujizat baru“ berlabel „transubstansi kapitalisme rahmat“. Berhadapan dengan berbagai skandal keungan yang terjadi, baik dalam pemerintahan maupun dalam tubuh Gereja sendiri, kita justru ditantang oleh krisis dunia dewasa ini yang menggiring kepada „zivilisasi uang“.

Dietrich Bonhoeffer, seorang teolog Lutheran Jerman, pernah menulis: „Gereja akan menjadi Gereja hanya jika ia ada untuk yang lain. Dan untuk memulainya, Gereja mesti memberikan seluruh hartanya kepada yang menderita“. Tuntutan ini tentu sangat provokativ ketika Gereja kian menjauh dari kaum miskin. Sikap „menjadi miskin“ dapat memberi ruang bagi Gereja untuk menggunakan uang dan kuasanya demi pelayanan kepada orang miskin. Tercapai atau tidaknya misi mulia ini terletak pada bagaimana Gereja mengelola keuangan dan aset-asetnya. Managemt keuangan yang transparan dan akuntabel sangat mendukung karya pelayanan Gereja, dan sikap lepas bebas – tidak terikat pada harta dan uang – inilah menjadi keutamaan dalam memberantas korupsi.

Gereja yang Miskin untuk Kaum Miskin: Sebuah Paradoks?

Bagaimana sebuah institusi seperti Gereja mesti menjadi miskin di tengah seruan “memberantas kemiskinan”? Bagaimana Gereja bisa membantu kaum miskin, sementara Gereja sendiri tidak memiliki uang atau aset-aset yang bernilai ekonomis? Pertanyaan dalam nada yang lain: Bagaimana Gereja bisa menjadi pembela terpercaya untuk kaum miskin sementara ia sendiri kaya secara materil?
Apa sesungguhnya yang menjadi barometer „sebuah Gereja yang miskin“? Siapa itu kaum miskin?
Keberpihakan Gereja kepada kaum miskin (option fort he poor) dan bersama kaum miskin (option with the poor) pada tempat pertama adalah sebuah kategori teologis, bahwa Allah telah menunjukkan belaskasihan-Nya kepada orang miskin dan ini memiliki konsekuensi imperativ untuk semua yang percaya kepada-Nya (bdk. EG Nr. 198). Pemahaman selanjutnya mengacu pada pertanyaan soiologis, politik, budaya dan filosofis. Panggilan untuk berpihak kepada dan bersama kaum miskin tidak hanya berakhir pada pada aksi memberi bantuan, tetapi lebih dari itu perhatian yang diarahkan kepada hal-hal lain yang turut bekerja dalam proses pemiskinan, misalnya kebijakan politik, praktek korupsi, dll. Gereja mesti membuka pintu dan mata hati untuk melihat dan berkenalan dengan „kaum miskin“ dan realitas „kemiskinan“ dengan aneka wajah yang dijumpai serta berusaha membantu mereka. Pengakuan akan adanya kaum miskin beserta hak-hak yang dimiliki dan menerima mereka dalam masyarakat adalah langkah penting memberdayakan mereka: miskin secara ekonomis, miskin perhatian, miskin akan nilai-nilai moral, miskin dalam kesempatan menata hidup menjadi lebih baik. Dalam hal ini, yayasan-yayasan yang bergerak di bidang keadilan dan perdamaian atau usaha-usaha yang bernaung di bawah Gereja seperti koperasi dan pusat pelayanan karitativ mesti hadir untuk kaum miskin dan tertindas. Kembali kepada persoalan keuangan: sumbangan dana harus dimanfaatkan secara baik dan jujur untuk tujuan pelayanan dan bukannya untuk memperkaya diri dan kelompok. „Mencubit atau memotong“ dana kaum miskin untuk saku pribadi berarti mencopot hak hidup orang miskin – dan inilah yang diperingatkan oleh Paus Fransiskus, bahwa „sebuah perekonomian dapat membunuh“! ***

*Terbit di kolom Opini Portal Online Floresa, 17 Juni 2017
Lihat: Gereja yang Miskin untuk Kaum Miskin

No comments:

Post a Comment