PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

03 February 2017

OPINI DEBAT PASLON PILKADA


DUET dalam DUEL*
Catatan tentang Debat Paslon Pemilukada
Vianey Lein

Debat pasangan kandidat merupakan momen penting dalam suksesi politik, baik bagi masing-masing pasangan kandidat untuk pamer program dan serang lawan debat (sebagai salah satu strategi kampanye), maupun bagi publik pemilih dalam mengumpulkan data dan informasi-informasi penting untuk sebuah keputusan memilih, misalnya: sikap politik partai pengusung (koalisi) dan duet kandidat yang diusung serta visi-misi yang dirumuskan.

Debat antar pasangan calon (Paslon) yang siap bertarung di Pemilukada bukan mustahil turut menentukan penilaian dan keputusan publik dalam memilih. Di hadapan publik, baik yang menyaksikan jalannya debat secara langsung di studio TV maupun yang mengikuti dari rumah lewat siaran live, para calon akan diajukan deretan pertanyaan oleh moderator dan lawan debat tentang visi-misi atau program. Momen debat lantas dilihat sebagi puncak kulminasi "perlawanan" antar paslon yang tampil terbuka gamblang di hadapan publik. Jadi tidaklah mengherankan jika ketidakhadiran paslon Agus-Sylvi (Agus H. Yudhoyono dan Sylviana Murni) pada beberapa kesempatan debat kandidat Pilgub DKI yang digelar stasiun Net TV memantik beragam komentar-sindir dari netizen. Terlepas dari aneka komentar satiris yang dialamatkan kepada pasangan kandidat yang diusung koalisi Cikeas itu, ketidakhadiran Agus-Sylvi adalah hilangnya sebuah kesempatan emas untuk menarik simpati rakyat - meski pasangan dan koalisi (mungkin) memiliki pertimbangan sebaliknya, bahwa keikutsertaan dalam debat bisa menurunkan elektabilitas Agus-Sylvi karena ketakutan bersaing dengan lawan debat Ahok-Djarot dan Anies-Sandiaga yang dinilai lebih unggul dan berpengalaman. Agus-Sylvi dan koalisi Cikeas bagai bertemu buah si malakama.


Evaluasi Publik atas Debat

Foto: Debat Paslon Pilgub DKI, sumber:
http://kupang.tribunnews.com/2017/01/19/duet-dalam-duel
Publik pendengar-pendukung - yang juga adalah pemilih - mesti menilai berbagai data dan informasi tentang setiap kandidat, rekam jejak dan program-program yang dipaparkan agar kemudian secara implisit bisa mendapatkan sebuah asosiasi tentang setiap calon (positif atau negatif).
Hemat penulis, filsafat Immanuel Kant, seorang filsuf berkebangsaan Jerman, bisa menjadi format dalam mengevaluasi debat para kandidat.

Pertama, dalam karya besarnya "Kritik der reinen Vernunft" (Kritik Akal Budi Murni. Kant: 1781) terminus "ratio" memiliki tempat istimewa dalam postulat Kant tentang teori pengetahuan. Dalam penggunaannya, "ratio" mengacu pada kemampuan berpikir manusia yang melahirkan pengetahuan atau kesimpulan atas sebuah realitas melalui pengamatan dan pengalaman indrawi, mengenali makna dari realitas, menetapkan aturan dan prinsip-prinsip lalu menyikapinya. Seorang kandidat mesti jeli melihat persoalan faktual yang terjadi di masyarakat, membuat hipotese yang lahir dari refleksi atas masalah dan merumuskan solusi yang terpeta dalam visi-misi (Intellektuelle Anschauung). Ketidaksanggupan menganalisa masalah menjadikan seorang kandidat mudah didikte dan terpernjara dalam retorika hafalan. Penjabaran program pun akhirnya terkesan “mengapung”, utopis-bombastis tanpa berpijak pada basis data empiri.

Kedua, perkawinan antara rasionalisme dan empirisme. Kant mencoba menghubungkan empirisme dan rasionalisme, di mana ia membedakan pengetahuan a priori (pengetahuan atau kebenaran yang sudah ada sebelumnya terlepas dari pengalaman) dari pengetahuan a posteriori (pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman atau bukti empiris). Di sini Kant hendak menunjukkan bahwa sumber pengetahuan diperoleh tidak hanya dari satu unsur tunggal, melainkan sintesis dari pengalaman indrawi dan akal budi.
Keunggulan calon tidak hanya ditentukan oleh wacana atau kecerdasan berbahasa semata dalam merumuskan kemungkinan-kemungkinan penyelesaian persoalan (intellectus possibilis) atau kepiawaian dalam festival gagasan dan retorika yang rapih dan apik. Seorang kandidat dituntut untuk mengaktuskan ide atau gagasan dan potensi (intellectus agens) dalam sebuah semangat kooperasi. Rekam jejak seorang calon bisa menjadi neraca dalam menakar persesuaian antara kata (janji) dan tindakan (pemenuhan).

Ketiga, relasi subjek-objek. Kant memberikan suatu arah yang sama sekali baru dalam filsafat, bahwa bukan subjek yang mengamati objek, melainkan objeklah yang mengarahkan diri kepada subjek. Dalam konteks pemilukada, penulis mengartikan para calon sebagai "objek" yang siap dinilai dan dipilih oleh rakyat yang adalah "subjek". Artinya jelas, bahwa kepentingan "subjek" rakyat harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan politik, dan bukannya kepentingan "objek" parpol atau golongan. Rakyat harus menjadi kiblat perjuangan dan pengabdian.

Lebih lanjut, pertanyaan-pertanyaan mendasar yang muncul dari filsafat Kant bisa menjadi pertanyaan penuntun untuk sebuah evaluasi kritis setiap calon dalam sebuah debat.
Pertanyaan pertama adalah: Apa yang dapat saya (atau dia/kandidat) ketahui. Pertanyaan tentang kesanggupan ini bisa ditujukan kepada setiap calon: apa yang dapat calon ketahui tentang situasi sosial, ekonomi dan politik; juga kepada rakyat pemilih: apa yang saya ketahui tentang calon? Pengetahuan atau pengenalan tidak hanya terbatas pada ruang dan waktu kekinian tetapi juga merangkum dimensi masa lalu dan masa akanan. Dua hal penting yang hendak dicapai dalam proses pengenalan adalah alam dan manusia yang meliputi masyarakat dan sejarahnya (bdk. Dessauer: 1959, 21-26)
Atas pertanyaan kedua: Apa yang harus (saya) dia/calon lakukan?, Kant mengemukakan sebuah imperasi kategoris bahwa setiap manusia mesti bertindak seturut maxim moral dan kehendak baik (Kant: 1983, 51). Bertolak dari problem di masyarakat, apa yang hendak/ harus dilakukan oleh calon? Di sini publik diajak menguji kembali visi dan misi setiap paslon.
Visi-misi sebagai bentuk „imperasi“, baik itu hipotetis maupun asetoris, harus bersifat pragmatis berdasarkan prinsip-prinsip imperativ kategoris (moral dan kehendak baik). Inilah yang menjadi harapan rakyat sebagaimana yang dirumuskan Kant dalam pertanyaan ketiganya: Apa yang boleh saya harapkan (dari seorang calon)?
Kant mengakhiri refleksi filosofisnya dengan pertanyaan antropologis: Apa itu manusia? Jawaban atas pertanyaan ini bertolak dari jawaban atas ketiga pertanyaan sebelumnya. Berdasarkan pemahaman ini kita lalu menetapkan apa atau siapa yang menjadi pilihan.


 
Kita boleh memahami bahwa momen debat pasangan kandidat di pemilukada tidak hanya menjadi ujian/tes bagi para calon tetapi juga menyisakan sebuah tugas rumah yang berat bagi publik atau rakyat pemilih dalam menilai "jawaban-jawaban" atau argumen yang diberikan. Di sini sikap kritis pemilih juga ditantang untuk tidak sekadar "meluluskan dan meloloskan" calon tertentu begitu saja pada saat pemberian suara. Dalam debat publik atau rakyat memainkan peran und „juri“ untuk menentukan siapa yang layak „menang“ dalam pertarungan pemilukada. **

*Opini ini terbit di media cetak Harian Pos Kupang, 18 Januari 2017.
Edisi Online bisa dilihat disini:
http://kupang.tribunnews.com/2017/01/19/duet-dalam-duel


  

No comments:

Post a Comment