PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

15 December 2015

KEPADA ANGIN

KEPADA ANGIN

Angin,
Kau bawa aku berita atau kabar baru
kabar tentang negeri yang jauh ...
dan semerbak kisah masa kecil yang sudah lama kutinggalkan

Angin
Kau terbangkan aku pada haluan mimpi dan cita yang hendak kucapai
Tapi juga menerpaku bergayut tiada daya pada badaimu

Angin,
Kau hembuskan lorong-lorong pemikiran dan gua ratioku
Dengan ide-ide baru untuk terus bertanya
Dari mana datangmu dan ke mana engkau bertiup
Kau menginspirasi semua syair puisiku
Dan membawa pergi semua mimpiku yang kutulis di sana

Angin,
kau menghendaki aku terus hidup dan berjuang
setiap kali engkau menjamah lembut rongga-rongga nafasku
dengan ritmus yang sering tidak kusadari
bahwa kau ada di setiap tarikan dan hembusan nafas
Engkau menghendaki
agar aku berusaha menemukan dunia-dunia yang belum pernah kujejaki

Angin,
aku ingin mendengar lagi ceritamu
cerita penuh misteri
aku ingin mengerti bahasa sabdamu
yang hingga kini masih terus kupelajari
Angin,
Terbangkan aku kembali ke tempat ini!!

(Vian Lein/14/12/2015)

28 July 2015

KENANGAN


KENANGAN

Julia,

Selepas perpisahan di pantai Ostia, aku terus bergulat dalam rasa dan nalar
Tentang semua cerita yang kau tulis di bibir pantai,
tentang karang yang menyayat telapak tangan
tentang buih yang menggaram luka
dan ombak yang menghapus jejak-jejak kaki kita
Tentang Tuhanmu di alun-alun Basilika Santo Petrus
Tentang harapmu di pancuran mengering Fontana di Trevi
Tentang cintamu di Piazza Venezia
Semua terasa begitu cepat berlalu - berganti alur

Julia,
Aku pun baru mengerti tentang pesanmu
Yang kau tulis pada helai musim gugur tahun ini
Kamu benar, bahwa malam-malamku akan menjadi lebih panjang
dan tetes embun di kaca jendela kamar menjadi lebih dingin
Apakah ini semata fenomena alam yang bermain pada musim yang bergulir,
atau… karena perpisahan yang memenjara masing-masing kita pada ruang dan waktu?

Julia,
Jujur harus kuakui,
bahwa momen perjumpaan yang menggetar jiwa
akan meninggalkan jejak-jejak kenangan tiada pupus
Perjumpaan itu seperti butir-butir salju yang lembut menyengatmu,
membuat jiwamu merinding, lalu menghilang
Perjumpaan itu juga seperti tetes hujan yang mencium keningmu,
mengalir membasuh jiwamu dan membawa pergi bulir-bulir air mata
Perjumpaan itu seperti hembusan sang bayu yang membelai mesra tubuhmu,
lalu mengibar senyum di wajahmu hingga kamu merasa damai
Perjumpaan itu seperti bias-bias mentari yang merangkulmu penuh kasih,
senatiasa membuka lebar tangan dan hati hingga kamu merasa tentram
Perjumpaan itu seperti gugusan bintang yang membuatmu terpesona,
menggulir pupilmu pada kumparannya lalu tinggal dalam kenangan abadi
Dan ada pula perjumpaan yang membuat masing-masing kita hanya terdiam bisu…

Julia,
perjumpaan bersamamu adalah kata yang selalu berbicara padaku,
perjumpaan bersamamu adalah tindakan yang senantiasa menggerakanku tangan dan kakiku
Perjumpaan bersamu adalah KENANGAN


******

Vianney L.
September 2014

DUNIA MAYA DAN VIKTIMISASI KORBAN


DUNIA MAYA DAN VIKTIMISASI KORBAN*
(Vianey Lein)
 
Media sosial internet berperan sangat penting di panggung dunia komunikasi dan memikat perhatian jutaan publik. Jaringan media sosial akibat jasa  internet seperti E-Mail, Facebook dan Twitter tidak hanya menyebar di antara masyarakat perkotaan, melainkan juga menjalar ke pelosok. Hanya dalam hitungan detik orang bisa mengakses aneka informasi dari berbagai situs internet, meng-update status dan mem-posting apa saja  yang diinginkan. Setiap momen penting yang dialami, baik personal maupun komunal, tampil  secara lugas dan diabadikan dalam kata dan foto bahkan video.

Mungkin agak berlebihan jika dikatakan bahwa Facebook dan media sosial lainnya telah menjadi kebutuhan primer masyarakat kita. Meskipun begitu, informasi sesungguhnya tidak kalah penting dibandingkan dengan makan dan minum. Di tengah kesibukan karir di kantor-kantor dan rumah sakit, belanja, memasak dan menyediakan makanan, orang masih sempat meng‑update status: „Makan apa ya hari ini?“„Kapan yach makan siangnya?“, „Lagi nunggu jam makan“, dan masih banyak formulasi status menarik lainnya.

Lazimnya, apa yang di-posting pada dinding dunia maya dimaksud lahir dari emosi yang dialami seseorang: eufori bahagia, sedih dan duka akibat sebuah tragedi, atau kegalauan yang melanda. Posting singkat berbentuk frase, gambar dan video dapat membahasakan isi hati seseorang dan menyiratkan pesan informatif bagi publik. Mungkinkah inilah modus baru dari kebutuhan untuk „berbagi“ (?). Orang merasa puas ketika ia bisa berbagi pengalaman dan apa yang dirasakannya kepada orang lain di jaringan sosial online sekaligus bangga lantaran postingnya mendapat komentar dan like dari banyak orang. Dalam konteks berbagi, Facebook atau Twitter menjadi ruang yang beresonansi besar dan luas, bagaikan kamar yang memantul echo nan tajam.

Kita tidak bisa melarang orang-orang yang memiliki kebiasaan dan gemar menulis statusnya media sosial online, karena hal itu termasuk urusan pribadi setiap orang. Namun kegemaran itu akan problematis jika posting pada dinding dunia maya merambah masuk  dan melukai privasi pihak lain.  

Sering kita jumpai posting foto-foto atau video para korban kecelakaan atau kasus pembunuhan.  Sekedar contoh: Pasca tragedi jatuhnya pesawat Hercules C-130 milik TNI di Jalan Jamin Ginting - Medan, tersebar di Facebook dan situs lainnya foto-foto para korban yang membikin terenyuh. Rasa manusiawi menyentuh kita, ketika kita memandang hasil jepretan atau rekaman kamera.

Foto dan tayangan video dengan caranya sendiri bisa membantu kita mengenang para korban, tetapi serentak menyebabkan schock bagi yang memandangnya, terkhusus keluarga para korban. Di sini, foto dan video tampil sebagai „kekuatan“ yang mampu menggetarkan emosi manusia, karena dianggap sebagai „saksi“ sebuah peristiwa. Foto atau video bukan sekedar medium transparansi sebuah pesan atau berita, melainkan sesuatu yang „hidup“,  yang memiliki „jiwa“ dan perasaan. Orang lantas masuk dalam sebuah dialog dengan apa yang diindrainya.

Karena itu, satu pertanyaan esensial yang harus diperhatikan sebelum meng-upload sebuah foto atau video di jaringan sosial online seperti Facebook adalah: tujuan apa yang hendak dicapai dan konsekuensi atau dampak sosial apa yang mungkin terjadi. Pertanyaan mendasar ini tidak terlepas dari apa yang kita sebut dengan „kode etik media (jurnalistik)“, bahwa segala objek yang dipublikasi dalam media (komunikasi) tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip etis dan human yang berlaku.

Tak mengherankan, jika di Jerman tidak diperbolehkan memotret atau mengambil video orang-orang yang sedang tidak sadar diri (seperti mabuk) dan  para korban kecelakaan dan mempublikasikannya di media sosial. Menyebarluaskan foto orang lain di media sosial (kecuali foto pada momen yang dihadiri publik) tanpa izin yang bersangkutan akan dikenakan sanksi berdasarkan hukum yang berlaku. Foto anak-anak di bawah umur harus mendapat persetujuan dari orang tua mereka sebelum dipublikasikan.  

Konsep etika media mensinyalir, bahwa posting  foto atau video pada dinding media sosial tidak boleh melanggar ruang privasi dan melecehkan martabat orang lain sebagai manusia. Patokan etik sebuah posting tidak boleh diabaikan begitu saja hanya demi „memasarkan“ sensasi pribadi. Dalam artian ini, sesungguhnya tidak dibenarkan dipublikasikan foto-foto para korban yang meninggal (termasuk anggota keluarga sendiri) pada dinding media sosial. Respek terhadap korban dan rasa solider dengan keluarga tidak bisa diekspresikan lewat meng-upload foto-foto mereka. Justru sebaliknya, hal ini bisa mengarah kepada model baru viktimisasi korban dan menambah sakit dan luka di atas balutan duka dan kesedihan keluarga. Dunia maya seperti Facebook bekerja seolah-olah tanpa sensor, atau tidak dihalang-halangi mempublikasikan „penderitaan korban dan keluarga“. Mungkin dunia maya menjadi ruang baru untuk „berbagi“ cerita. Tetapi „kebutuhan“ dan „kemampuan“ kita untuk berkomunikasi harus disalurkan secara human dan etis.***
 
*Artikel ini pernah dimuat pada Majalah Online Flores Bangkit 25 Juli 2015:

15 July 2015

An Julia

Dieses Ende ist auch mein Anfang

Julia,
Nach meinem langen Schweigen schrieb ich am Anfang dieses Monats wieder einen Brief, den du vielleicht nicht verstehen kannst.
Es ist ein Brief über eine Reise - ja die Reise meines Lebens. Um diesen Brief zu schreiben, schaue ich auch meine Erfahrung mit dieser Reise, vielleicht die längste Reise meines Lebens, die jetzt zu Ende ist.
Aber dieses Ende ist auch mein Anfang,
der bestimmt kein leichter sein wird, vielleicht wird er steinig und schwer.

Julia,
es tut mir leid,
dass ich diesen Brief schreiben musste.
Irgendwann wirst es dir klar,
und du wirst alles verstehen
vor allem mich verstehen...


Sankt Augustin, Anfang Juni 2015

09 July 2015

KORUPSI DAN KAPITALISME: POLUTAN BARU PENCEMAR PLANET BUMI

KORUPSI DAN KAPITALISME: POLUTAN BARU PENCEMAR PLANET BUMI*

(Catatan Hari Bumi 22 April)


Setiap tanggal 22 April dirayakan hari bumi (Earth Day). Kampanye global Hari Bumi sejak tahun 1990 ini bukanlah sekadar ritual ulangan, melainkan seruan dan gerakan mondial untuk menyelamatkan bumi yang sakit dan terluka oleh aksi „konsumtif“ manusia. Momentum ini mengajak kita untuk menelusuri kembali jejak-jejak interaksi kita dengan alam.

Industrialisasi modern menghilangkan harmoni kosmos, menghadirkan „chaos“ dan momok kematian ekologi. Pencemaran dan pengrusakan lingkungan lewat sistem ekonomi perindustrian sangat membahayakan keberlangsungan hayati. Sampah karbondioksida dan metan merusak lapisan Ozon. Penggunaan pupuk kimia dan pestisida menghancurkan fertilasi dan pori-pori tanah. Manusia, hewan dan tumbuhan terancam oleh akibat pembabatan hutan secara liar dan pemanasan global (global warming) seperti hujan asam, banjir, kekeringan berkepanjangan dan meningkatnya suhu.

Krisis lingkungan tersebut lahir akibat ulah manusia yang mengekploitasi alam secara serakah dan tanpa tanggung jawab ekologis-generatif. Kebanyakan rakyat kecil yang menjadi korban. Krisis ekonomi dan sosial akan terus memperparah bencana ekologi. Para investor dan kaum kapitalis menyerempet masuk ke banyak wilayah dengan proyek raksasa pertambangan yang menggiurkan, namun pada akhirnya yang ditinggalkan hanyalah sampah beracun.

Politik yang bobrok berandil terhadap kekisruan ekologi. Politik mencemarkan diri misalnya ketika izin tambang bagi investor diberi tanpa menghargai suara dan hak penduduk setempat. Protes dijawab dengan kekerasan. Jika mantan Perdana Menteri India, Indira Gandhi mengatakan „kemiskinan adalah polusi lingkungan yang paling buruk“ (poverty ist the worst pollution)“; teolog Jerman, Juergen Moltmann, menandaskan bahwa „sesungguhnya bukan kemiskinan yang merupakan bentuk polusi paling buruk, melainkan korupsi yang menyebabkan kemiskinan itu sendiri.“ Korupsi adalah bentuk polusi yang sangat berbahaya.

Berhadapan dengan krisis ekologi Leonardo Boff, pakar teologi pembebasan dari Brasil memperkenalkan konsep „budaya ekologi“ dengan cakupan berikut.

Pertama, eko-teknologi. Masyarakat modern terstrukturisasi atas prinsip-prinsip ekonomi yang menekankan pertumbuhan tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan. Banyak tenaga kerja diperas demi kebutuhan produksi. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang menjanjikan kemajuan sosial, malah menyisakan sampah dan polusi. Eko-teknologi menggariskan bahwa segala bentuk penerapan teknik industri harus mempertimbangkan aspek lingkungan dan membantu menyembuhkan alam yang telah „dilukai“.

Kedua, eko-politik. Politik sering dikaitkan dengan otoritas untuk menentukan kebijakan. Sistem politik dan birokrasi yang korup, kolusif dan nepotif akan melahirkan bencana ekonomi dan krisis moral yang mengancam iklim kehidupan berbangsa. Format kepemimpinan yang menempatkan interese pribadi, keluarga dan golongan di atas kepentingan bersama akan mengurung para elite politik dalam zona kenyamanan hidup, sementara rakyat miskin dan periferal terus menderita dalam lilitan persoalan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan.

Eko-politik harus mendahului eko-teknologi; artinya proses pengambilan kebijakan untuk penerapan teknologi industri terdahulunya mesti mempertimbangkan faktor kehidupan manusia dan ekosistem. Rasa solider dengan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan alam sekitar harus menjiwai setiap kebijakan politik, juga soal mega projek pertambangan.

Ketiga, ekologi sosial. Berbagai modus pencemaran dan pengrusakan lingkungan mulai dari membuang sampah sembarangan dan exploitasi perut bumi secara tidak bertanggung jawab merupakan gambaran relasi yang tidak harmonis antara manusia dan alam. Manusia menempatkan dirinya sebagai tuan atas alam dan pusat universum. Paradigma ini menciptakan model „perang“ baru yang permanen antara manusia dan alam, dimana manusialah pemenangnya dan alam terus terlukai. Penyembuhan luka alam membutuhkan waktu yang lama, bahkan tak ada harapan penyembuhan. Ritme pertumbuhan alam membutuhkan proses yang panjang, jika dibandingkan dengan buldoser atau mesin yang mengaruk alam hitungan menit bahkan detik.



Manusia adalah makhluk individu sekaligus sosial (sosialitas human dan infrahuman). Alam adalah kepunyaan manusia dan manusia kepunyaan alam. Dalam interaksinya dengan alam, manusia harus mengintegrasikan dirinya dengan alam dan melindungi dan melestarikannya. Di sini perlu dipikirkan, model penerapan teknologi industri dan pertambangan yang tidak mendatangkan bencana baik bagi manusia maupun alam.

Keempat, ekologi etik. Etika masyarakat dan politik yang otoriter adalah utilitaris dan antroposentris. Manusia menempatkan diri sebagai tuan atas sumber daya alam dan memanfaatkannya demi pemuasan diri dan pemenuhan segala keinginannya. Berseberangan dengan itu, ekologi etik menempatkan alam sebagai pusat dalam „komunitas bumi“ (ekosentris).

Prinsip dasar etika ekologi adalah penjagaan dan pemeliharaan segala ciptaan, terutama makhluk yang lemah dan tak berdaya. Segala aksi yang melukai dan menghancurkannya adalah keburukan. Etika ekologi menyiratkan tanggung jawab terhadap segala yang ada dan hidup dalam bingkai koeksistensi (ada bersama). Kosmos dan moral merupakan kesatuan yang tak terpisahkan bagaikan Yin dan Yang dalam filosofi Cina.

Kelima, spiritualitas kosmis-mistik. Spiritualitas ini memaksudkan suatu cara hidup yang menempatkan kehidupan sebagai titik pusat dan secara tegas melawan segala mekanisme pematian. Hidup mesti dijaga dan bukannya dimusnahkan.

Pelbagai demonstrasi damai dan aksi kreatif (film animasi, kartun dan foto selfie) yang menolak tambang di wilayah Nusa Tenggara Timur tak lain dari upaya penyelamatan bumi yang sedang sakit. Perjuangan ini bukan saja diapresiasi, melainkan harus didukung dan terus dikobarkan. Lebih jauh aksi dimaksud hendak membasmi polutan korupsi dan kapitalisme yang mencemarkan pertiwi.

Di tengah arus globalisasi, momen peringatan Hari Bumi harus menjadi seruan global untuk pelestarian lingkungan, menentang segala bentuk pencemaran, khususnya korupsi dan kapitalisme yang menjadi akar keserakahan yang mengeksploitasi alam. Arus globalisasi dengan teknologi industri yang canggih menawarkan pelbagai kemudahan untuk memanfaatkan alam demi memenuhi kebutuhan manusia. Dalam jargon Uskup Emeritus Limburg Franz Kamphaus, globalisasi industi dan teknologi „tanpa globalisasi religius dan moral menjadikan dunia kita tanpa masa depan“ (Ohne eine religiöse und moralische Globalisierung hat die „Eine Welt“ keine Zukunft).

Selamat Hari Bumi 22 April 2015!***

 
*Dalam revisi ulang pernah dimuat di Majalah Online Flores Bangkit dengan judul:
  POLITIK YANG BOBROK, ANDIL KEKISRUHAN EKOLOGI (22 May 2015)
 
 
 
Bild:
 

 

29 April 2015

ANTOLOGI PUISI 2010


Untuk ANTOLOGI PUISI 2010 silakan klik Di sini

STEYLER MUSIKAPOSTEL

Musik verbindet die Kulturen

Ohnehin spielt am Morgen zu Christi Himmelfahrt auf der Katholikentags-Meile die Musik eine bedeutende Rolle. Wo Gesang oder Instrumente zu hören sind, bildet sich sofort eine Menschentraube. Im Zelt der Steyler Missionare aus St. Augustin bei Bonn spielen Studenten aus aller Welt internationale kirchliche Musik.

Simon Mputu aus der Demokratischen Republik Kongo schlägt auf die Trommel und singt meditative Lieder. „Die Musik ist wichtig für den Glauben und macht mich glücklich“, sagt der 25 Jahre alte Sprachstudent. Vian Lein, Theologiestudent aus Indonesien, leitet die Musikapostel der Steyler Ordensbrüder. „Mit Hilfe der Musik locken wir die Besucher an, und so knüpfen wir Beziehungen zwischen den Kulturen.“

Am zweiten Tag des großen Laientreffens sind zahlreiche Veranstaltungen geplant, darunter Diskussionsrunden zu kirchlichen und politischen Themen. Bis Sonntag werden beim Katholikentag bis zu 80 000 Besucher erwartet.

Bis dahin wollen die Gläubigen über ihre Kirche sprechen, die kränkelt, der die Leute davonlaufen. Was muss sich ändern, was kann sich ändern? Die verstaubte Sexualethik? Oder kommt das Diakonat der Frau? Soziale Gerechtigkeit, der Hunger in der Welt und die Zukunft Europas, darum geht es auch. Kanzlerin Angela Merkel (CDU) kommt am Freitag. (dpa)


Online-Adventskalender zu Sinneseindrücken

Online-Adventskalender zu Sinneseindrücken

Am kommenden Montag lässt sich auf der Webseite der Steyler Missionsprokur per Mausklick das erste Türchen öffnen: Der "Steyler Adventskalender" geht wieder online – zum zehnten Mal.

26. November 2014

Von: Markus Frädrich

„In diesem Jahr verbergen sich hinter den Türchen Anregungen für unsere Sinne aus der vorweihnachtlichen Zeit“, erklärt Frater Vianney Lein SVD, der den Adventskalender in diesem Jahr gemeinsam mit anderen Steyler Missionaren vorbereitet hat.

„Denken wir an den Advent, dann steigt uns der Duft von Christstollen und Tannengrün in die Nase, dann haben wir bestimmte Lieder im Ohr und Lichterglanz vor Augen. Der Advent ist ein Fest für die Sinne!“

In täglichen Türchen stellen Steyler Missionare ihren ganz persönlichen Zugang zu jenen Dingen vor, die es im Advent zu sehen und zu hören, zu riechen und zu schmecken gibt. Manchmal, indem sie Kindheitserinnerungen Revue passieren lassen. Manchmal, indem sie die vorweihnachtliche Sinnesflut kritisch betrachten.

„Wir möchten die Leserinnen und Leser mit unseren Kurztexten anregen, darüber nachzudenken, worauf es im Advent wirklich ankommt“, sagt Frater Vianney Lein. „Wie können wir uns mit allen Sinnen auf die Ankunft des Herrn vorbereiten? Welche Eindrücke weisen uns den Weg nach Bethlehem und helfen uns, dem Weihnachtsfest bewusst entgegenzutreten? Welche Zwänge und Massenphänomene hindern uns andererseits daran?“
Hier gehts ab dem 1. Dezember zum Steyler Adventskalender - ein Klick auf das Banner "Steyler Adventskalender" ruft die bunte Oberfläche mit den 24 Türchen auf.  

„Möge Ihnen der Steyler Adventskalender ein guter Wegweiser in den Wochen vor Weihnachten sein“, sagt Missionsprokurator Pater Konrad Liebscher. „Wir wünschen Ihnen und Ihren Familien eine besinnliche, eindrückliche Zeit.“

09 March 2015

RM PETRUS (YANG ‘MENG(GEGE)RKAN’

RM PETRUS (YANG ‘MENG(GEGE)RKAN’

 (Eulogi Rm Petrus Gege Lewar, Pr)
Di pagi hari, Kamis, 5 Maret 2015, saat mata masih tertutup antara sadar dan tidak, isteri saya memberi informasi yang bersumber dari Facebook“Rm Piet Gege Lewar meninggal”.
Berita sekilas itu awalnya tidak membuat saya percaya. Sejauh yang saya tahu, umurnya masih 55 tahun. Tetapi ternyata kehendak “Dia” lain dari yang kita inginkan. Romo berbadan pendek yang oleh orang Lerek disapa: “Rompit”, meninggal di Poliklinik St. Theresia Tabali Larantuka, Rabu 4 Maret 2015, pukul 22.15.PETRUS GEGE LEWAR(1)
Rm Pit, 25 tahun sebagai imam, seluruhnya diabdikan untuk Lembata. 10 tahun di Lerek dan 15 tahun di Lewoleba, Waipukang, dan Hadakewa.
Apa sebenarnya yang khas dan menarik dari ‘romo pendek’ asal Lewokung Heras (Paroki Bama) yang ditahbiskan imam 29 Juni 1990 itu?
Membaur
Bagi yang mengenal “Rompit”, sebenarnya tidak mudah melupakannya bukan karena hal-hal ‘luar biasa’ tetapi lebih pada kesaksian sederhana hidupnya. Di antara banyak hal yang dimiliki, hidup sederhana dan membaur merupakan hal yang tidak bisa disangkal oleh siapa pun.
Kesan itu pula yang saya rasakan dan alami saat Piet menjadi pastor paroki Lerek (1995-2004). Hidupnya apa adanya. Suatu saat, ia membagi roti yang dibawanya dari Kalikasa. “Rompi” lalu menawarkan kepada orang yang datang ke paroki: “ini roti yang dibuat para suster PRR di Kalikasa dan mari kita nikmati”.
Tertawanya ikhlas-lepas, tak ada kesan menyembunyikan sesuatu. Tak ada kesan mengada-ada. Kalau pun ada sesuatu yang tak beres, ia selalu menatap tulus, kadang dengan kerutan dahi disertai senyum, menunggu yang ingin ditanyakan menjawabnya sendiri apa yang terjadi.
Ia juga sangat membaur. Sebuah hal khas saya saksikan. Saat berdiri bersama, ia membiarkan kepalanya ikut ‘ditonjokkin’ oleh seorang bapa. Bisa jadi karena sebelumnya ia melakukan hal yang sama kepada orang lain. Itu hanya tanda kekraban, tidak lebih dari itu.ROMO PETRUSRm Piet bak lilin, yang demi membawa terang, ia harus mengorbankan diri dan waktu.
Juga saat bermain ‘kartu’ dengan umat, ia pun rela menerima hukuman-berdiri, digantungkan batu di telinga sebagai konsekuensi menerima kekalahan.
Sebuah pemandangan yang ‘aneh’. Biasanya para imam menjaga jarak. Yang dibuat Piet Gege, justeru sebaliknya. Ia tetap manusia. Sebagaimana ia bisa ‘main dengan orang’, ia juga rela ‘dipermainkan’.
Di penghujung tugasnya di Paroki Lerek (2004), saat memintanya menulis tentang Paroki Lerek, berkenaan dengan buku “Darah Emas Bumi Tanahku, Pastor Henricus Beeker, SVD” yang ditulis P. Ande Mua, SVD, dengan bangga, Romo Piet mengklaim diri sebagai pastor paroki terlama kedua di Paroki Lerek. Ia hanya ‘dikalahkan’ P. Nicholas Strawn, SVD yang mengabdi 22 tahun.
Romo Piet mengabdi setengah darinya: 10 tahun. Sebuah kebanggan yang bukan kebetulan. Mengapa? Bagi banyak orang, berkarya di Lerek sama seperti berada di neraka. Umatnya yang polos, blak-blakan, juga emosional dan ada kesan (yang memang benar) umatnya ‘kepala batu’. Dengan siapa saja mereka bisa ‘kontan’ menyampaikan sesuatu hal mana tidak mudah untuk orang yang cepat terrsinggung.
Sikap emosional orang dari Paroki Lerek pun tidak boleh dianggap hal kecil. Tahun 1956, seorang misionaris: P. Conrard Becker, SVD dibunuh oleh seorang warganya yang merasa tersinggung karena dianggap pencuri. Pada dekade delapan puluhan, mereka tak segan memukul seorang imam karena kesaksian hidup tak wajar dari imam yang sangat mereka hargai itu.
Tak heran, tidak mudah berada di paroki di Selatan Lembata itu. Tetapi Piet yang sederhana itu tidak punya kiat selain kehadirannya. Ia hadir apa adanya. Berbaur dengan umat dan menampilkan diri apa adanya. Ia ada, makan dan minum, bercanda. “Itu saja yang dilakukan”. Tetapi justeru hal itulah yang membuatnya bisa lewatkan 10 tahun di paroki ‘neraka’ itu.
Menggegerkan
Apa sebenarnya yang khas yang bisa lahir hingga ‘menggegerkan’ dari seorang imam yang rencananya pada 29 Juni 2015 ini akan merayakan Perak Imamat di tanah kelahirannya Lewokung-Heras?RM PIET GEGE LEWARHal kecil  dan sederhana yang dilakukan oleh Rompi, justeru kini menggegerkan. Itulah seperti namanya yang setelah wafat, justeru kini menggegerkan.
Memahami kategori ‘menggegerkan’ dari sisi sesuatu yang ‘booming’, ‘heboh’, ‘glamour’, ‘indah memikat mata’, maka sesungguhnya tidak akan ditemukan pada salah satu imam senior di Keuskupan Larantuka ini.
Hidupnya seakan jauh dari pantauan karena melakukan hal yang teramat biasa. Namun sejak kena ‘stroke’ pada Oktober 2014 hingga akhirnya meninggal dan kini telah tiada, secara perlahan rasa kehilangan itu mulai terasa. Orang mulai sadar, sebenarnya hal-hal kecil yang dilakukan Rompi itu kini terasa luar biasa dan menggegerkan
Pertama, Piet jadi contoh tentang kesederhanaan sejati. Sebuah contoh sekaligus kritik yang teramat kuat tidak saja bagi umat tetapi juga bagi para imam. Godaan hidup ‘mewah’, hingga ‘korupsi’ yang bisa saja terjadi dalam Gereja terutama dalam pembangunan Gereja justeru jauh untuk dialami dalam diri Piet.
Pada bulan Februari 2015, saat pertama kali melihat profilenya di Facebook, saya agak heran. Sejak ‘diterima’ jadi teman, tetapi ia tidak pernah ‘balas’ salam dari siapa pun. Semuanya kini jelas. Facebooknya pasti ‘dibuatkan’ teman di saat dia sudah istirahat baik di Larantuka maupun saat ke Semarang berobat.
Hal itu hanyalah contoh kesederhanaan hidup. Ia tidak tenggelam dalam pengaruh dunia. Baginya, kesederhanaan adalah sebuah nilai yang tidak sekedar dibicarakan tetapi dihidupi dan dipertahankan.
Kedua, Piet adalah pribadi penuh pengorbanan. Seorang rekan imamnya, Amben Praja, menulis: Piet adalah seorang bapak, sahabat, dan teman seperjuangan. Sebuah ungkapan sederhana, sesederhana Piet, tetapi penuh makna. Ia tahu bahwa hidupnya bak lilin yang harus dikorbankan untuk orang lain.
Dengan siapa pun, ia berusaha ‘membakar’ dirinya, agar orang lain bahagia. Ia merendahkan diri sehingga bisa jadi teman bagi yang masih muda dan dengan yang tua ia tahu menempatkan diri. Sebuah contoh teramat luhur hal mana membuatnya dikenang.
Pengorbanan diri juga terlihat dari cara hidupnya yang tidak ingin jadi beban bagi orang lain. Sebagai pastor, ia berusaha membuat apa yang bisa dilakukan. Bahkan hal itu juga terlihat saat sakit. Dengan sakit gula, jantung, dan hal lainnya yang perlu ‘diet ketat’, tetapi ia tidak mau menjadi beban bagi orang lain. Ia lebih memilih ‘makan apa adanya’ karena tahu, apa pun yang terjadi, itu tidakpenting.Yang terpenting, tugasnya sebagai imam sudah dilakukan dan itu lebih dari cukup.ROMPIRm Piet adalah seorang sahabat, saudara, bapak. Semua mersaka kehilangan kini
Ketiga, Piet jadi dikenang oleh ‘stabilitasnya’. Kehidupan dan kesaksian menjadi kuat karena Piet punya komitmen pada tempat tugasnya. Saat menjadi pastor paroki baik di Lewoleba, Lerek-Kalikasa, Waipukang, dan terakhir di Hadakewa, ia selalu cinta pada tempat pengabdian (yang semuanya di Lembata).
Stabilitas loci seperti ini menjadi sebuah contoh mengugah. Demi nama ‘Gereja’, dengan mudah para pastor ‘mondar-mandir’ ke kota dengan alasan mencari dana untuk membangun parokinya. Dana jutaan malah miliaran pun kerap mengalir begitu cepat, karena tahu, mustahil terjadi korupsi dalam Gereja.
Yang dibuat Piet justeru ada di tempat dan mengoptimalkan kekuatan umat. Baginya, Gereja bukan pertama-tama bangunan tetapi umat. Karena itu yang terpenting adalah ada bersama umat. Saksemen untuk pembangunan lebih dilihat sebagai konsekuensi dan seruan akibat sakramen yang sudah dilayani dengan baik dan sepenuh hati.ROMO PITTIa pergi dan kini hal sederhana tinggal sebagai hal luar biasa yang menggegerkan
Singkatnya, sebagai ‘manusia’ tentu saja rindu juga agar bisa berkarya di paroki ‘basah’. Di sana ia bisa punya banyak hal yang juga begitu mudah dimiliki pastor lain. Tetapi tidak itu untuk Piet. Ia mencintai umatnya dan ada untuk mereka. Ia bisa abdikan waktu untuk berada, ngobrol, dan mengalami dari dekat hidup orang, itulah yang penting.
Hal sederhana seperti ini teramat kecil, tak bermakna, dan nyaris diketahui. Tetapi kini Setelah Petrus Gege Lewar tidak ada, hal-hal itu menjadi bermakna dan malah menggegerkan karena justeru itulah yang penting, bermakna dan dinantikan umat.
Gracias amigo, terimakasih teman. Selamat jalan. “Wage dihare” (Jalan baik-baik) sampai bertemu “di sana”.
Robert Bala. Asal Paroki Lerek-Lembata.
Foto-Foto: Martin Kapitan dan Facebookers.
Sumber: https://bertoamigo.wordpress.com/kisah-kasih/memoar-dan-elogi/rm-petrus-yang-menggegerkan/

06 January 2015

SALJU UNTUK BUNDA

SALJU UNTUK BUNDA

Ibu,
Ketika salju pertama musim ini jatuh menyengat kulitku,
aku terkenang wajahmu yang penuh ingin tahu di beranda rumah.
Wajah yang bertanya, tentang apa itu salju, menga
pa bisa ada,
bagaimana bentuk dan rasanya (hehehe, aku hanya tertawa dan bingung saat itu, karena aku sendiri belum mengecap butir-butir salju itu).
Banyak orang katakan, musim dingin dengan salju itu indah dan romantis,
tapi aku sendiri tidak begitu mencintai musim yang satu ini, aku tidak begitu suka yang namanya dingin. Ketika memandang anak-anak bermain di halaman sekolah, saling lempar dengan butiran salju, aku hanya diam di balik kaca jendela dan berharap agar cahaya mentari segera membias, lelehkan butiran salju dan lemaskan urat-urat yang mungkin sudah membeku. Ya, mungkin aku terlalu ego dalam hal ini. Tapi bukan berarti bahwa aku tidak mau melihat anak-anak itu bahagia. Aku mungkin belajar lagi untuk berdamai dengan setiap fenomena alam.

Ibu,
Impresi jiwa tentang alam, terkhusus jalan-jalan yang biasanya gelap di antara malam yang makin panjang, kelihatan menjadi terang pada hamparan salju membentang. Tapi tidak mudah lagi untuk melihat ruas dan batas jalan. Kendaraan hanya bisa melaju pelan. Pada ranting-ranting yang sudah kehilangan dedaunan tergantung butiran salju, bergayut-menari seperti gumpalan kapas. Butiran-butiran salju itu hanya membutuhkan sedikit ruang buat bertengger di atas ranting dan bergayut pada dahan-dahan kering. Helai-helai musim gugur yang berwarna-warni terkubur di bawah gundukan salju. Ruang kosong juga seakan tidak ada lagi, semuanya terisi penuh dengan butiran salju. Dataran tanah pun tak kelihatan lagi, semuanya ditudung timbunan salju; juga atap-atap rumah dan menara gereja. Semuanya seperti harus memanggul salju: tumbuhan, kendaraan, dan juga manusia yang terus bergerak di jejak-jejak petualangannya. Aku begitu terkesan dengan pesona alam ini. Tak ada lagi noda-noda atau bercak kotor yang ada di luar gedung, rumah, atau terowongan. Hutan, tanah garapan, gunung, kota dan desa, semuanya dihujani salju. Hanya danau dan aliran sungai yang tidak bisa lama mendulang tumpukan salju karena airnya begitu cepat menyerap dan mengurai kristal-kristal salju. Tapi endapan kotoran dan sampah serta batu di tepian begitu mudah dilekat salju. Hewan piaraan seperti anjing, kucing, merpati, burung gereja, sapi dan kuda, semuanya mengusung butir-butir salju pada punggung dan sayap mereka; begitu pula mantel, rok, celana, sepatu dan hidung yang membeku. Pada urai rambut gadis-gadis manis, jatuh bergulir kristal-kristal salju, menggelinding pada wajah dan tangan mereka; juga pada alis dan kelopak mata anak-anak yang baru kembali dari sekolah. Ya, sejauh mata memandang, hanyalah hamparan salju.

Ibu,
Butiran-butiran salju tidak hanya menyulap alam menjadi putih bagai kapas, tapi juga mencipta tenang-teduh , mengalir di setiap rumah dan bahkan di kedalaman jiwa. Dan sesungguhnya butir-butir salju itu sudah ketemukan, jauh sebelum aku merantau ke tempat ini. Di matamu kutemukan salju, di matamu kutemukan keteduhan dan ketenangan, di matamu kutemukan keindahan, di matamu kutemukan cinta.

Lalu, ibu, apakah engkau pernah temukan salju di mataku, saat kita bercerita di beranda rumah itu? 

Vianney Leyn