DUNIA MAYA DAN VIKTIMISASI KORBAN*
(Vianey Lein)
Media sosial internet berperan sangat
penting di panggung dunia komunikasi dan memikat perhatian jutaan publik. Jaringan
media sosial akibat jasa internet
seperti E-Mail, Facebook dan Twitter tidak hanya menyebar di antara masyarakat
perkotaan, melainkan juga menjalar ke pelosok. Hanya dalam hitungan detik orang
bisa mengakses aneka informasi dari berbagai situs internet, meng-update status dan mem-posting apa saja yang diinginkan. Setiap momen penting yang
dialami, baik personal maupun komunal, tampil secara lugas dan diabadikan dalam kata dan foto
bahkan video.
Mungkin agak berlebihan jika dikatakan
bahwa Facebook dan media sosial lainnya telah menjadi kebutuhan primer
masyarakat kita. Meskipun begitu, informasi sesungguhnya tidak kalah penting
dibandingkan dengan makan dan minum. Di tengah kesibukan karir di kantor-kantor
dan rumah sakit, belanja, memasak dan menyediakan makanan, orang masih sempat
meng‑update status: „Makan apa ya
hari ini?“„Kapan yach makan siangnya?“, „Lagi nunggu jam makan“, dan masih
banyak formulasi status menarik lainnya.
Lazimnya, apa yang di-posting pada dinding dunia maya dimaksud
lahir dari emosi yang dialami seseorang: eufori bahagia, sedih dan duka akibat sebuah
tragedi, atau kegalauan yang melanda. Posting singkat berbentuk frase, gambar dan
video dapat membahasakan isi hati seseorang dan menyiratkan pesan informatif
bagi publik. Mungkinkah inilah modus baru dari kebutuhan untuk „berbagi“ (?).
Orang merasa puas ketika ia bisa berbagi pengalaman dan apa yang dirasakannya
kepada orang lain di jaringan sosial online sekaligus bangga lantaran postingnya mendapat komentar dan like dari banyak orang. Dalam konteks berbagi,
Facebook atau Twitter menjadi ruang yang beresonansi besar dan luas, bagaikan
kamar yang memantul echo nan tajam.
Kita tidak bisa melarang
orang-orang yang memiliki kebiasaan dan gemar menulis statusnya media sosial
online, karena hal itu termasuk urusan pribadi setiap orang. Namun kegemaran itu
akan problematis jika posting pada
dinding dunia maya merambah masuk dan
melukai privasi pihak lain.
Sering kita jumpai posting foto-foto atau video para korban
kecelakaan atau kasus pembunuhan. Sekedar
contoh: Pasca tragedi jatuhnya pesawat Hercules C-130 milik TNI di Jalan Jamin
Ginting - Medan, tersebar di Facebook dan situs lainnya foto-foto para korban
yang membikin terenyuh. Rasa manusiawi menyentuh kita, ketika kita memandang
hasil jepretan atau rekaman kamera.
Foto dan tayangan video dengan caranya
sendiri bisa membantu kita mengenang para korban, tetapi serentak menyebabkan schock bagi yang memandangnya, terkhusus
keluarga para korban. Di sini, foto dan video tampil sebagai „kekuatan“ yang mampu
menggetarkan emosi manusia, karena dianggap sebagai „saksi“ sebuah peristiwa. Foto
atau video bukan sekedar medium transparansi sebuah pesan atau berita,
melainkan sesuatu yang „hidup“, yang
memiliki „jiwa“ dan perasaan. Orang lantas masuk dalam sebuah dialog dengan apa
yang diindrainya.
Karena itu, satu pertanyaan
esensial yang harus diperhatikan sebelum meng-upload sebuah foto atau video di jaringan sosial online seperti
Facebook adalah: tujuan apa yang hendak dicapai dan konsekuensi atau dampak
sosial apa yang mungkin terjadi. Pertanyaan mendasar ini tidak terlepas dari
apa yang kita sebut dengan „kode etik media (jurnalistik)“, bahwa segala objek yang
dipublikasi dalam media (komunikasi) tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
etis dan human yang berlaku.
Tak mengherankan, jika di Jerman
tidak diperbolehkan memotret atau mengambil video orang-orang yang sedang tidak
sadar diri (seperti mabuk) dan para
korban kecelakaan dan mempublikasikannya di media sosial. Menyebarluaskan foto
orang lain di media sosial (kecuali foto pada momen yang dihadiri publik) tanpa
izin yang bersangkutan akan dikenakan sanksi berdasarkan hukum yang berlaku. Foto
anak-anak di bawah umur harus mendapat persetujuan dari orang tua mereka sebelum
dipublikasikan.
Konsep etika media mensinyalir,
bahwa posting foto atau video pada
dinding media sosial tidak boleh melanggar ruang privasi dan melecehkan
martabat orang lain sebagai manusia. Patokan etik sebuah posting tidak boleh
diabaikan begitu saja hanya demi „memasarkan“ sensasi pribadi. Dalam artian
ini, sesungguhnya tidak dibenarkan dipublikasikan foto-foto para korban yang
meninggal (termasuk anggota keluarga sendiri) pada dinding media sosial. Respek
terhadap korban dan rasa solider dengan keluarga tidak bisa diekspresikan lewat
meng-upload foto-foto mereka. Justru
sebaliknya, hal ini bisa mengarah kepada model baru viktimisasi korban dan
menambah sakit dan luka di atas balutan duka dan kesedihan keluarga. Dunia maya
seperti Facebook bekerja seolah-olah
tanpa sensor, atau tidak dihalang-halangi mempublikasikan „penderitaan korban
dan keluarga“. Mungkin dunia maya menjadi ruang baru untuk „berbagi“ cerita.
Tetapi „kebutuhan“ dan „kemampuan“ kita untuk berkomunikasi harus disalurkan
secara human dan etis.***
No comments:
Post a Comment