RM PETRUS (YANG ‘MENG(GEGE)RKAN’
(Eulogi Rm Petrus Gege Lewar, Pr)
Di pagi hari, Kamis, 5 Maret 2015, saat mata masih tertutup antara sadar dan tidak, isteri saya memberi informasi yang bersumber dari Facebook: “Rm Piet Gege Lewar meninggal”.
Berita sekilas itu awalnya tidak membuat saya percaya. Sejauh yang saya tahu, umurnya masih 55 tahun. Tetapi ternyata kehendak “Dia” lain dari yang kita inginkan. Romo berbadan pendek yang oleh orang Lerek disapa: “Rompit”, meninggal di Poliklinik St. Theresia Tabali Larantuka, Rabu 4 Maret 2015, pukul 22.15.
Rm Pit, 25 tahun sebagai imam, seluruhnya diabdikan untuk Lembata. 10 tahun di Lerek dan 15 tahun di Lewoleba, Waipukang, dan Hadakewa.
Apa sebenarnya yang khas dan menarik dari ‘romo pendek’ asal Lewokung Heras (Paroki Bama) yang ditahbiskan imam 29 Juni 1990 itu?
Membaur
Bagi yang mengenal “Rompit”, sebenarnya tidak mudah melupakannya bukan karena hal-hal ‘luar biasa’ tetapi lebih pada kesaksian sederhana hidupnya. Di antara banyak hal yang dimiliki, hidup sederhana dan membaur merupakan hal yang tidak bisa disangkal oleh siapa pun.
Kesan itu pula yang saya rasakan dan alami saat Piet menjadi pastor paroki Lerek (1995-2004). Hidupnya apa adanya. Suatu saat, ia membagi roti yang dibawanya dari Kalikasa. “Rompi” lalu menawarkan kepada orang yang datang ke paroki: “ini roti yang dibuat para suster PRR di Kalikasa dan mari kita nikmati”.
Tertawanya ikhlas-lepas, tak ada kesan menyembunyikan sesuatu. Tak ada kesan mengada-ada. Kalau pun ada sesuatu yang tak beres, ia selalu menatap tulus, kadang dengan kerutan dahi disertai senyum, menunggu yang ingin ditanyakan menjawabnya sendiri apa yang terjadi.
Ia juga sangat membaur. Sebuah hal khas saya saksikan. Saat berdiri bersama, ia membiarkan kepalanya ikut ‘ditonjokkin’ oleh seorang bapa. Bisa jadi karena sebelumnya ia melakukan hal yang sama kepada orang lain. Itu hanya tanda kekraban, tidak lebih dari itu.Rm Piet bak lilin, yang demi membawa terang, ia harus mengorbankan diri dan waktu.
Juga saat bermain ‘kartu’ dengan umat, ia pun rela menerima hukuman-berdiri, digantungkan batu di telinga sebagai konsekuensi menerima kekalahan.
Sebuah pemandangan yang ‘aneh’. Biasanya para imam menjaga jarak. Yang dibuat Piet Gege, justeru sebaliknya. Ia tetap manusia. Sebagaimana ia bisa ‘main dengan orang’, ia juga rela ‘dipermainkan’.
Di penghujung tugasnya di Paroki Lerek (2004), saat memintanya menulis tentang Paroki Lerek, berkenaan dengan buku “Darah Emas Bumi Tanahku, Pastor Henricus Beeker, SVD” yang ditulis P. Ande Mua, SVD, dengan bangga, Romo Piet mengklaim diri sebagai pastor paroki terlama kedua di Paroki Lerek. Ia hanya ‘dikalahkan’ P. Nicholas Strawn, SVD yang mengabdi 22 tahun.
Romo Piet mengabdi setengah darinya: 10 tahun. Sebuah kebanggan yang bukan kebetulan. Mengapa? Bagi banyak orang, berkarya di Lerek sama seperti berada di neraka. Umatnya yang polos, blak-blakan, juga emosional dan ada kesan (yang memang benar) umatnya ‘kepala batu’. Dengan siapa saja mereka bisa ‘kontan’ menyampaikan sesuatu hal mana tidak mudah untuk orang yang cepat terrsinggung.
Sikap emosional orang dari Paroki Lerek pun tidak boleh dianggap hal kecil. Tahun 1956, seorang misionaris: P. Conrard Becker, SVD dibunuh oleh seorang warganya yang merasa tersinggung karena dianggap pencuri. Pada dekade delapan puluhan, mereka tak segan memukul seorang imam karena kesaksian hidup tak wajar dari imam yang sangat mereka hargai itu.
Tak heran, tidak mudah berada di paroki di Selatan Lembata itu. Tetapi Piet yang sederhana itu tidak punya kiat selain kehadirannya. Ia hadir apa adanya. Berbaur dengan umat dan menampilkan diri apa adanya. Ia ada, makan dan minum, bercanda. “Itu saja yang dilakukan”. Tetapi justeru hal itulah yang membuatnya bisa lewatkan 10 tahun di paroki ‘neraka’ itu.
Menggegerkan
Apa sebenarnya yang khas yang bisa lahir hingga ‘menggegerkan’ dari seorang imam yang rencananya pada 29 Juni 2015 ini akan merayakan Perak Imamat di tanah kelahirannya Lewokung-Heras?Hal kecil dan sederhana yang dilakukan oleh Rompi, justeru kini menggegerkan. Itulah seperti namanya yang setelah wafat, justeru kini menggegerkan.
Memahami kategori ‘menggegerkan’ dari sisi sesuatu yang ‘booming’, ‘heboh’, ‘glamour’, ‘indah memikat mata’, maka sesungguhnya tidak akan ditemukan pada salah satu imam senior di Keuskupan Larantuka ini.
Hidupnya seakan jauh dari pantauan karena melakukan hal yang teramat biasa. Namun sejak kena ‘stroke’ pada Oktober 2014 hingga akhirnya meninggal dan kini telah tiada, secara perlahan rasa kehilangan itu mulai terasa. Orang mulai sadar, sebenarnya hal-hal kecil yang dilakukan Rompi itu kini terasa luar biasa dan menggegerkan
Pertama, Piet jadi contoh tentang kesederhanaan sejati. Sebuah contoh sekaligus kritik yang teramat kuat tidak saja bagi umat tetapi juga bagi para imam. Godaan hidup ‘mewah’, hingga ‘korupsi’ yang bisa saja terjadi dalam Gereja terutama dalam pembangunan Gereja justeru jauh untuk dialami dalam diri Piet.
Pada bulan Februari 2015, saat pertama kali melihat profilenya di Facebook, saya agak heran. Sejak ‘diterima’ jadi teman, tetapi ia tidak pernah ‘balas’ salam dari siapa pun. Semuanya kini jelas. Facebooknya pasti ‘dibuatkan’ teman di saat dia sudah istirahat baik di Larantuka maupun saat ke Semarang berobat.
Hal itu hanyalah contoh kesederhanaan hidup. Ia tidak tenggelam dalam pengaruh dunia. Baginya, kesederhanaan adalah sebuah nilai yang tidak sekedar dibicarakan tetapi dihidupi dan dipertahankan.
Kedua, Piet adalah pribadi penuh pengorbanan. Seorang rekan imamnya, Amben Praja, menulis: Piet adalah seorang bapak, sahabat, dan teman seperjuangan. Sebuah ungkapan sederhana, sesederhana Piet, tetapi penuh makna. Ia tahu bahwa hidupnya bak lilin yang harus dikorbankan untuk orang lain.
Dengan siapa pun, ia berusaha ‘membakar’ dirinya, agar orang lain bahagia. Ia merendahkan diri sehingga bisa jadi teman bagi yang masih muda dan dengan yang tua ia tahu menempatkan diri. Sebuah contoh teramat luhur hal mana membuatnya dikenang.
Pengorbanan diri juga terlihat dari cara hidupnya yang tidak ingin jadi beban bagi orang lain. Sebagai pastor, ia berusaha membuat apa yang bisa dilakukan. Bahkan hal itu juga terlihat saat sakit. Dengan sakit gula, jantung, dan hal lainnya yang perlu ‘diet ketat’, tetapi ia tidak mau menjadi beban bagi orang lain. Ia lebih memilih ‘makan apa adanya’ karena tahu, apa pun yang terjadi, itu tidakpenting.Yang terpenting, tugasnya sebagai imam sudah dilakukan dan itu lebih dari cukup.Rm Piet adalah seorang sahabat, saudara, bapak. Semua mersaka kehilangan kini
Ketiga, Piet jadi dikenang oleh ‘stabilitasnya’. Kehidupan dan kesaksian menjadi kuat karena Piet punya komitmen pada tempat tugasnya. Saat menjadi pastor paroki baik di Lewoleba, Lerek-Kalikasa, Waipukang, dan terakhir di Hadakewa, ia selalu cinta pada tempat pengabdian (yang semuanya di Lembata).
Stabilitas loci seperti ini menjadi sebuah contoh mengugah. Demi nama ‘Gereja’, dengan mudah para pastor ‘mondar-mandir’ ke kota dengan alasan mencari dana untuk membangun parokinya. Dana jutaan malah miliaran pun kerap mengalir begitu cepat, karena tahu, mustahil terjadi korupsi dalam Gereja.
Yang dibuat Piet justeru ada di tempat dan mengoptimalkan kekuatan umat. Baginya, Gereja bukan pertama-tama bangunan tetapi umat. Karena itu yang terpenting adalah ada bersama umat. Saksemen untuk pembangunan lebih dilihat sebagai konsekuensi dan seruan akibat sakramen yang sudah dilayani dengan baik dan sepenuh hati.Ia pergi dan kini hal sederhana tinggal sebagai hal luar biasa yang menggegerkan
Singkatnya, sebagai ‘manusia’ tentu saja rindu juga agar bisa berkarya di paroki ‘basah’. Di sana ia bisa punya banyak hal yang juga begitu mudah dimiliki pastor lain. Tetapi tidak itu untuk Piet. Ia mencintai umatnya dan ada untuk mereka. Ia bisa abdikan waktu untuk berada, ngobrol, dan mengalami dari dekat hidup orang, itulah yang penting.
Hal sederhana seperti ini teramat kecil, tak bermakna, dan nyaris diketahui. Tetapi kini Setelah Petrus Gege Lewar tidak ada, hal-hal itu menjadi bermakna dan malah menggegerkan karena justeru itulah yang penting, bermakna dan dinantikan umat.
Gracias amigo, terimakasih teman. Selamat jalan. “Wage dihare” (Jalan baik-baik) sampai bertemu “di sana”.
Robert Bala. Asal Paroki Lerek-Lembata.
Foto-Foto: Martin Kapitan dan Facebookers.
Sumber: https://bertoamigo.wordpress.com/kisah-kasih/memoar-dan-elogi/rm-petrus-yang-menggegerkan/
No comments:
Post a Comment