SALJU
UNTUK BUNDA
Ibu,
Ketika salju pertama musim ini jatuh menyengat
kulitku,
aku terkenang wajahmu yang penuh ingin tahu di
beranda rumah.
Wajah yang bertanya, tentang apa itu salju,
menga
pa bisa ada,
bagaimana bentuk dan rasanya (hehehe, aku hanya tertawa dan bingung saat itu, karena aku sendiri
belum mengecap butir-butir salju itu).
Banyak orang katakan, musim dingin dengan salju
itu indah dan romantis,
tapi aku sendiri tidak begitu mencintai musim yang
satu ini, aku tidak begitu suka yang namanya dingin. Ketika memandang anak-anak
bermain di halaman sekolah, saling lempar dengan butiran salju, aku hanya diam
di balik kaca jendela dan berharap agar cahaya mentari segera membias, lelehkan
butiran salju dan lemaskan urat-urat yang mungkin sudah membeku. Ya, mungkin
aku terlalu ego dalam hal ini. Tapi bukan berarti bahwa aku tidak mau melihat
anak-anak itu bahagia. Aku mungkin belajar lagi untuk berdamai dengan setiap
fenomena alam.
Ibu,
Impresi jiwa tentang alam, terkhusus jalan-jalan
yang biasanya gelap di antara malam yang makin panjang, kelihatan menjadi
terang pada hamparan salju membentang. Tapi tidak mudah lagi untuk melihat ruas
dan batas jalan. Kendaraan hanya bisa melaju pelan. Pada ranting-ranting yang
sudah kehilangan dedaunan tergantung butiran salju, bergayut-menari seperti
gumpalan kapas. Butiran-butiran salju itu hanya membutuhkan sedikit ruang buat
bertengger di atas ranting dan bergayut pada dahan-dahan kering. Helai-helai
musim gugur yang berwarna-warni terkubur di bawah gundukan salju. Ruang kosong
juga seakan tidak ada lagi, semuanya terisi penuh dengan butiran salju. Dataran
tanah pun tak kelihatan lagi, semuanya ditudung timbunan salju; juga atap-atap
rumah dan menara gereja. Semuanya seperti harus memanggul salju: tumbuhan,
kendaraan, dan juga manusia yang terus bergerak di jejak-jejak petualangannya. Aku
begitu terkesan dengan pesona alam ini. Tak ada lagi noda-noda atau bercak
kotor yang ada di luar gedung, rumah, atau terowongan. Hutan, tanah garapan, gunung,
kota dan desa, semuanya dihujani salju. Hanya danau dan aliran sungai yang
tidak bisa lama mendulang tumpukan salju karena airnya begitu cepat menyerap
dan mengurai kristal-kristal salju. Tapi endapan kotoran dan sampah serta batu
di tepian begitu mudah dilekat salju. Hewan piaraan seperti anjing, kucing,
merpati, burung gereja, sapi dan kuda, semuanya mengusung butir-butir salju
pada punggung dan sayap mereka; begitu pula mantel, rok, celana, sepatu dan
hidung yang membeku. Pada urai rambut gadis-gadis manis, jatuh bergulir
kristal-kristal salju, menggelinding pada wajah dan tangan mereka; juga pada
alis dan kelopak mata anak-anak yang baru kembali dari sekolah. Ya, sejauh mata
memandang, hanyalah hamparan salju.
Ibu,
Butiran-butiran salju tidak hanya menyulap alam
menjadi putih bagai kapas, tapi juga mencipta tenang-teduh , mengalir di setiap
rumah dan bahkan di kedalaman jiwa. Dan sesungguhnya butir-butir salju itu
sudah ketemukan, jauh sebelum aku merantau ke tempat ini. Di matamu kutemukan
salju, di matamu kutemukan keteduhan dan ketenangan, di matamu kutemukan
keindahan, di matamu kutemukan cinta.
Lalu, ibu, apakah engkau pernah temukan salju di
mataku, saat kita bercerita di beranda rumah itu?
Vianney Leyn
No comments:
Post a Comment