PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

06 January 2015

SALJU UNTUK BUNDA

SALJU UNTUK BUNDA

Ibu,
Ketika salju pertama musim ini jatuh menyengat kulitku,
aku terkenang wajahmu yang penuh ingin tahu di beranda rumah.
Wajah yang bertanya, tentang apa itu salju, menga
pa bisa ada,
bagaimana bentuk dan rasanya (hehehe, aku hanya tertawa dan bingung saat itu, karena aku sendiri belum mengecap butir-butir salju itu).
Banyak orang katakan, musim dingin dengan salju itu indah dan romantis,
tapi aku sendiri tidak begitu mencintai musim yang satu ini, aku tidak begitu suka yang namanya dingin. Ketika memandang anak-anak bermain di halaman sekolah, saling lempar dengan butiran salju, aku hanya diam di balik kaca jendela dan berharap agar cahaya mentari segera membias, lelehkan butiran salju dan lemaskan urat-urat yang mungkin sudah membeku. Ya, mungkin aku terlalu ego dalam hal ini. Tapi bukan berarti bahwa aku tidak mau melihat anak-anak itu bahagia. Aku mungkin belajar lagi untuk berdamai dengan setiap fenomena alam.

Ibu,
Impresi jiwa tentang alam, terkhusus jalan-jalan yang biasanya gelap di antara malam yang makin panjang, kelihatan menjadi terang pada hamparan salju membentang. Tapi tidak mudah lagi untuk melihat ruas dan batas jalan. Kendaraan hanya bisa melaju pelan. Pada ranting-ranting yang sudah kehilangan dedaunan tergantung butiran salju, bergayut-menari seperti gumpalan kapas. Butiran-butiran salju itu hanya membutuhkan sedikit ruang buat bertengger di atas ranting dan bergayut pada dahan-dahan kering. Helai-helai musim gugur yang berwarna-warni terkubur di bawah gundukan salju. Ruang kosong juga seakan tidak ada lagi, semuanya terisi penuh dengan butiran salju. Dataran tanah pun tak kelihatan lagi, semuanya ditudung timbunan salju; juga atap-atap rumah dan menara gereja. Semuanya seperti harus memanggul salju: tumbuhan, kendaraan, dan juga manusia yang terus bergerak di jejak-jejak petualangannya. Aku begitu terkesan dengan pesona alam ini. Tak ada lagi noda-noda atau bercak kotor yang ada di luar gedung, rumah, atau terowongan. Hutan, tanah garapan, gunung, kota dan desa, semuanya dihujani salju. Hanya danau dan aliran sungai yang tidak bisa lama mendulang tumpukan salju karena airnya begitu cepat menyerap dan mengurai kristal-kristal salju. Tapi endapan kotoran dan sampah serta batu di tepian begitu mudah dilekat salju. Hewan piaraan seperti anjing, kucing, merpati, burung gereja, sapi dan kuda, semuanya mengusung butir-butir salju pada punggung dan sayap mereka; begitu pula mantel, rok, celana, sepatu dan hidung yang membeku. Pada urai rambut gadis-gadis manis, jatuh bergulir kristal-kristal salju, menggelinding pada wajah dan tangan mereka; juga pada alis dan kelopak mata anak-anak yang baru kembali dari sekolah. Ya, sejauh mata memandang, hanyalah hamparan salju.

Ibu,
Butiran-butiran salju tidak hanya menyulap alam menjadi putih bagai kapas, tapi juga mencipta tenang-teduh , mengalir di setiap rumah dan bahkan di kedalaman jiwa. Dan sesungguhnya butir-butir salju itu sudah ketemukan, jauh sebelum aku merantau ke tempat ini. Di matamu kutemukan salju, di matamu kutemukan keteduhan dan ketenangan, di matamu kutemukan keindahan, di matamu kutemukan cinta.

Lalu, ibu, apakah engkau pernah temukan salju di mataku, saat kita bercerita di beranda rumah itu? 

Vianney Leyn

No comments:

Post a Comment