PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

30 April 2014

Goresan pada Halaman Sebuah Diary


Sebuah Senja di Bulan Mei – Goresan pada Halaman Sebuah Diary


Depan taman balik jendela kamar, kulihat hanyalah tembok berabad usia memagari tempat, dimana aku belajar dan terus belajar untuk memahami eksistensi Yang Transendens (Allah) yang terus dipertanyakan dan digugat, serta kehadiran manusia dan segala ciptaan yang lain di planet bumi ini. Hanya tumpukan dedaunan, gugur di antara bias cahya. Di halaman dekat kapela kecil itu, juga dibentangi dedaunan sejak musim kemarin. Dan sebelah atas palang salib, ada mentari memancar.


Di antara deru udara bersorak ria membelai, antara kegembiraan yang tercurah ke atas bumi aku menatap hanya bayangan keteduhan dedaunan yang bermain pada gorden putih; juga bias-bias cahaya yang membakar ranting-ranting kering lalu menebarkan aroma di sudut-sudut kamarku, seperti dupa mewangi membubung naik pada perayaan ekaristi Minggu kemarin. Kurasakan hembusan angin yang begitu lembut dan bayangan-bayangan pada tirai itu menjadi lebih hidup. Ketika segumpal awan di balik mentari berarak muncul, seberkas cahya keemasan terlihat, terpantul di antara puteri malu yang menjalar di taman.

Seperti seorang yang terperangkap dalam gua aku terpaku sendirian di hadapan bayang-bayang dunia. Sebuah senja di bulan Mei. Udara dingin tak mengalir. Berkas cahya mentari terpantul pada tiap dinding dan sisi „rumahku“, mendandani setiap objek dalam sebuah senyum yang abadi. Siapakah aku ini dan apa yang dapat kulakukan jika tidak melangkah dan menjejaki dedaunan dan bermain pada cahaya merambah kota?


Ketika aku mencoba untuk meraih diriku sendiri, aku hanya bisa meraihnya di kedalaman terang cahyanya. Dan ketika aku berusaha menjamah setiap keindahan serta menikmati kelembutan yang menyajikan rahasia alam, aku menemukan diriku sendiri terbujur pada dasar segala yang ada. Ya, diriku sendiri, termasuk segala rasa yang menghempaskan aku dari dunia sekitarku, dan segala yang ada, juga manusia, akan segera menjeratku. Tapi biarlah aku pada detik-detik ini bebas keluar dari tenunan waktu seperti kembang yang tergeletak di antara halaman-halaman buku setelah mengakhiri sebuah perjalanan menggores cinta. Dan aku juga berjalan pada jalanNya, Dia, Sang Empunya Cinta, yang telah lebih dahulu menulis cinta pada diriku, pada awal mula adanya aku. Hidup itu singkat, dan kehilangan waktu yang dianugerahkanNya adalah sebuah dosa? Hampir saja aku kehilangan banyak waktu dalam sehari, tetapi para sahabat memujiku: „kamu begitu aktif!“ Bagiku, hari ini adalah sebuah permenungan, dan hatiku terbuka untuk sebuah perjumpaan dengan diriku sendiri.


Satu-satunya ketakutan yang terus menghantuiku adalah perasaan bahwa pengalaman kekinian yang tak mampu kupahami dengan akal manusiawiku, mengalir seperti mutiara di antara jemari tangan. Aku tak lagi mengeluh, tak lagi menggerutu karena aku merasa seperti di rumahku sendiri, di mana pecah tangis pertamaku terdengar. Ini kisahku, ini rasaku, yang semuanya tertulis pada jendela kamar, dan pada tirainya membelah, langit biru curahkan kepenuhannya. Aku bisa katakan dan akan segera mengatakan itu, bahwa ini semua amat manusiawi, sederhana saja. Kemanusiawian dan kesederhanaan.


Keabadian ada di sana. Mungkin jauh… dan amat jauh dari diriku. Atau mungkin juga dekat, melekat erat pada eksistensi diriku. Dan aku tidak tahu, apa yang bisa aku inginkan untuk diriku selain daripada situasi kekinianku. Yang aku inginkan saat ini adalah bukan untuk sebuah kebahagiaan melainkan agar aku sadar. Yang aku inginkan adalah sebuah kesadaran diri. Aku ingin sadar akan kemungkinan-kemungkinan yang dengannya aku belajar bertanggung jawab. Tiap menit kehidupan mengusung nilai dan makna dalam dirinya sebagai keajaiban/mujizat luar biasa dan yang akan mengubah wajah kehidupan menjadi lebih hidup.***


Vianney Leyn

Sankt Augustin, 21 Mai 2013

23 April 2014

Berujung dan Berawal di Selat Gonsalu (Mengenang Peristiwa Tenggelamnya Perahu Motor pada Proses Laut - Semanta Santa di Larantuka)


Berujung dan Berawal di Selat Gonsalu

Oleh : Paul Budi Kleden, SVD*


Selat itu sebenarnya sangat sempit. Orang bertutur, kokok ayam di pantai seberang, di Adonara, dapat didengar dari pesisir selatan di ujung Flores itu. Karena dekatnya, pernah terdengar ada mimpi seorang bupati untuk membangun jembatan penyeberangan. Namun, selat itu sudah selalu dikenal karena arusnya yang kencang. Para pelaut pesisir itu sudah terbiasa untuk dengan cermat memperhitungkan dengan cara tradisional, kapan boleh menyeberang dan kapan harus bersabar menanti. Dulu sering terdengar kapal yang harus putar haluan kembali ke pelabuhan di Larantuka karena tidak berani mengambil risiko menyeberangi arus yang kencang itu.


Di selat Gonsalu di perairan Kota Sau itu hidup sebelas anak manusia menemukan akhirnya pada tanggal 18 April yang lalu. Mereka hendak mengikuti ziarah bersama Tuan Menino, Yesus. Sebelum ziarah Bunda yang berduka dan Yesus yang wafat dimulai, ziarah hidup mereka sudah mesti berakhir di selat yang sempit itu. Mereka meninggal dalam usia yang masih terlalu muda. Dengan kematian mereka, banyak impian dan mimpi keluarga dan kongregasi, banyak harapan dan rencana orangtua dan pimpinan, pun berantakan. Yang berujung di Gonsalu adalah nyawa manusia dan sepotong masa depan dari keluarga dan kongregasi.
Mereka meninggal, karena perahu motor yang mereka tumpangi tak kuat menahan arus saat mereka berujud menghormati Tuhan, yang karena berani melawan arus para pemimpin zaman-Nya, akhirnya mati dihukum di tiang gantung. Perahu itu kehilangan keseimbangan dan terbalik, ketika para penumpangnya berintensi mengiringi Tuhan yang menjadi pegangan dalam hidup. Kecelakaan pada hari Jumad, 18 April 2014 itu tampaknya merupakan sebuah ironi yang menyedihkan.
Namun, bencana atau kecelakaan dapat selalu terjadi. Ziarah atau ibadat tidak mampu menghadirkan alasan untuk dikecualikan dari kemungkinan terjadinya bencana atau kecelakaan yang tidak direncanakan. Bukan baru selat Gonsalu ziarah para peziarah mesti berakhir saat hendak menghormati Tuhan mereka. Bencana dan kecelakaan tidak dapat dikaitkan dengan intensi batin seseorang, juga tidak pernah menjadi alasan untuk menakar kesalehannya. Pertanyaan tentang dosa para korban tidak tepat dilontarkan ketika berhadapan dengan bencana atau kecelakaan. Apa dosa si Andreas Kleden yang berusia dua tahun, atau Merlina Wangge yang baru berumur tiga tahun dalam kecelakaan di Larantuka? Bencana dan kecelakaan dapat terjadi di tempat dan pada kesempatan ziarah dan ibadat. Sebab itu, bencana atau kecelakaan pun tidak perlu menjadi alasan untuk mempertanyakan nilai sebuah ritual atau kesakralan sebuah tempat ibadat.
Saat mendengar berita tentang kecelakaan terjadi pada hari Jumad Agung di Larantuka, dorongan spontan boleh jadi mengatakan: hari itu akan menjadi sungguh agung apabila nyawa semua penumpang perahu motor dapat diselamatkan. Tuhan akan sungguh menampakkan keagungan-Nya apabila Dia berkenan campur tangan secara istimewa untuk menolong mereka yang berjuang dengan seluruh daya melawan derasnya arus. Bukan mustahil ada yang bermain dengan imaginasi, bagaimana iman Paskah akan sungguh dikuatkan kalau terjadi penyelamatan yang ajaib dalam peristiwa itu. Boleh jadi ada orang merasa, kita akan sungguh dapat merayakan kemenangan iman kita, kehebatan Tuhan yang kita yakini, dan membuktikannya kepada saudara-saudari beriman lain, seandainya pada hari Jumad Agung itu Tuhan yang sudah menenangkan laut di tasik Genasaret dan Dia yang sudah menyorongkan tangan-Nya menolong Petrus yang terancam tenggelam, datang dan meniupkan kembali nafas kehidupan kepada saudara-saudari kita yang menjadi korban kecelakaan itu.
Namun, Tuhan yang diwartakan Yesus yang tersalib dan yang kita percaya, bukanlah Allah yang menghendaki kita membangun iman di atas peristiwa-peristiwa aneh dan ajaib. Berkali-kali dalam Injil Markus Yesus melarang orang-orang yang menceritakan penyembuhan yang mereka alami. Iman tidak dapat hidup hanya dari kisah-kisah sensasional, melainkan dari pengalaman bahwa Tuhan bersama kita, juga ketika harus mengalami kehilangan yang sama sekali tidak diperhitungkan. Tuhan yang kita imani adalah Dia yang tersalib. Walau sudah dibangkitkan, kita tetap hormati Dia sebagai Tuhan yang tersalib. Kemenangan-Nya tidak membuat salib dilupakan. Kehidupan-Nya tidak menjadi sebab untuk memalingkan wajah dari kematian. Selama penderitaan masih merupakan kenyataan yang dialami manusia, salib tetap menjadi bagian utuh dari kehadiran Tuhan bersama kita dalam ziarah di bumi. Tuhan yang dibangkitkan adalah Dia yang disalibkan. Sebagaimana tanpa kebangkitan salib akan kehilangan maknanya sebagai solidaritas Allah dalam penderitaan kita, demikian pun kebangkitan tidak akan memiliki pesan sebagai pembuka harapan jika salib dilupakan. Bagi orang yang mengimani Kristus, dalam pekik kemenangan Paskah mesti turut terdengar ratapan duka Jumad Agung.
Tuhan yang tersalib dan bangkit menunjukkan bahwa juga di dalam kematian yang mengerikan seperti penyaliban Tuhan sendiri hadir. Mengimani Tuhan berarti menerima kehadiran-Nya juga di tengah penderitaan yang dialami. Tuhan tidak menjadi sebab dari bencana dan kecelakaan, namun ketika hal itu terjadi dan menimbulkan korban, Dia tidak meninggalkan kita. Dia tidak menimpakan salib untuk kita, tetapi pada saat kita memikulnya karena hal-hal yang tidak berjalan sesuai rencana dan harapan kita, Dia turut menapaki jalan salib itu bersama kita. Dan karena Dia yang menangis dan menderita bersama kita adalah Tuhan, maka di dalam kematian ada kehidupan baru, di tengah kebuntuan ada fajar harapan baru. Hanya karena itu kematian saudara-saudari kita di Gonsalu tidak merupakan ujung dari segalanya. Di perairan Kota Sau ada awal baru, untuk mereka yang meninggal dunia dan bagi semua yang terlibat dalam ziarah.
Tuhan yang sudah selalu bersama mereka dalam hidup, membangkitkan mereka dalam kematian untuk berbagi hidup yang sempurna bersama Dia. Itu awal bagi para korban yang meninggal. Bagi semua yang terlibat dalam ziarah Jumad Agung di Larantuka, kecelakaan itu pun menjadi awal baru dalam memahami dan menjalankan ziarah.
Pertama, kecelakaan tersebut tidak harus menjadi sebab untuk menghentikan ziarah. Ziarah perlu dilanjutkan, dan kini dengan kematian mereka sebuah makna ziarah yang sering terabaikan perlu diangkat kembali. Ziarah bersama Tuhan yang menderita dan bunda-Nya yang berduka tidak bermaksud membuat orang hanya menangisi penderitaannya sendiri. Walau hidup kita tidak pernah luput dari kesulitan, namun intensi ziarah adalah agar mata orang beriman dibuka dan terbuka untuk menyadari penderitaan orang lain. Ziarah Semana Santa selanjutnya perlu membawa wajah dan menyebut nama mereka, dan bersama mereka diingat para korban bencana dan kecelakaan, tetapi juga warga dan umat yang tega dikorbankan para pejabat dan penguasa. Ziarah mestinya menjadi momentum pembelajaran solidaritas dengan para korban dan keluarga mereka. Di banyak tempat, tak terkecuali di Larantuka, masih terlampau banyak korban yang menderita, atau karena tak adanya perlindungan saat menghadapi bencana alam, karena kegagalan manusia dalam memperhitungkan ancaman, atau juga karena keserakahan sejumlah orang yang hanya mau mengejar keuntungan bisnis dan keberhasilan politik. Biasanya, yang menjadi korban adalah orang-orang sederhana yang tidak memiliki pengamanan istimewa.
Kedua, kematian mereka dalam kecelakaan mengingatkan bahwa inti dari ritual ziarah di Larantuka adalah menghormati Tuhan yang menderita dan berbagi penderitaan dengan umat-Nya. Ziarah bukanlah semacam investasi untuk keberhasilan bisnis atau kesuksesan di kancah politik. Memanfaatkan ziarah sebagai panggung politik adalah bentuk satu penyalahgunaan yang perlu dihindari.
Ketiga, kematian para korban pun menjadi awal untuk semua yang bertanggungjawab agar memastikan keamanan. Tuhan memang hadir dalam penderitaan dan kematian, di dalam bencana dan kecelakaan yang tak terelakkan. Namun, itu tidak berarti kita membiarkan saja semuanya berjalan tanpa upaya perbaikan. Dari iman akan Tuhan sebagai pemilik kehidupan mesti lahir kesadaran bahwa tugas orang-orang beriman adalah mengupayakan kondisi yang semakin baik agar bencana tidak harus menelan korban dan kecelakaan tidak mesti terulang.
Mengenang mestinya membawa konsekuensi tanggungjawab. Kiranya kenangan akan saudara-saudari yang meninggal pada Jumad Agung 2014 di Larantuka melahirkan tanggungjawab untuk menciptakan kondisi yang semakin baik warga dan umat, teristimewa mereka yang sering terlalu gampang dikorbankan.



*Misionaris SVD, tinggal dan bekerja di Roma (Anggota Dewan General SVD)

(Artikel diambil dari Surat Kabar "Flores Bangkit", 23. April 2014)
http://www.floresbangkit.com/2014/04/berujung-dan-berawal-di-selat-gonsalu/







15 April 2014

das „Du“ in deinen Gedichten – es


das „Du“ in deinen Gedichten – es


du sprichst es immer wieder an
du wendest dich immer neu an es
das, das dich in allen Lagen deines Lebens begleitet,
das, das da ist wenn es läuft,
das, an das du dich wendest wenn es schlecht geht...

es ist mit dir in der kalten Nacht im Sommer,
es führt dich in die schwarzen Stunden im geschlossenen Zimmer,
es, das dir den reinen Tag, den klaren Abend geben kann
es hilft dir, dich zu erkennen, das Geheimnis zu verstehen
es, an dessen Tür du mit deinen Wunden klopfst,
es, von dem du dich weit entfernt hast

es, das du trotz der Mauer ansprichst
es, das deine Träume kennt
es, das nicht mehr weit war als die Mauer einstürzte
es, das ein Stück von dir ist?

es, das in Wirklichkeit ein du ist
ein Gegenüber, mit dem du kommunizierst
ein du, dessen Gegenwart du fühlst
oder nach dem du dich wenigstens sehnst

ein du, das dich nicht allein lässt
ein du dem du vertraust,
du wendest dich an dieses du
in der Nacht, im Sommer, in allen Lagen deines Lebens
in Gesundheit und Krankheit

ein du, das dich kennt, um dich weiß,
um deine Wunden und um dein Heil
um dein Lachen und um dein Weinen
ein du, das hinter dir steht, und unter dir
vor dir, neben dir und über dir

Sehnsucht nach Klarheit und Licht
nach Gesundheit und Heil
nach Freude und Sinn
nach Zuwendung und Nähe
Sehnsucht danach, dich selbst zu finden und du selbst zu sein

immer neu ausgedrückt in deinen Worten – auch an das du
im Wachen und in deinen Träumen
im Leben das ein Spiel ist und das du lebst
nein, nicht allein, nie allein
es, dein Gegenüber, das du ist dabei... immer...


von Jemandem, der mit mir Unterwegs zum DU ist. 




Gespräch hinter einer Mauer


Gespräch hinter einer Mauer

Es war um 00:00 Uhr
Die schwarze Nacht ging langsam zu Ende
Der neue Tag kam still durch die Mauer
Da wagte ich zu sprechen
Und das Schweigen der Natur war gebrochen:
Warum bin ich hier, hinter dieser Mauer?
Nach was suche ich?

Das war an einem Abend
In einer Jahreszeit, die ich schon vergessen hatte
Unter strahlendem Vollmond trug ich alle meine Träume
Und vergrub sie unter dieser Mauer
Niemand wusste davon

Das war in einer Nacht,
die der Himmel behängte mit schummerigen Sternen
Die Mauer stürzte ein!
Und du warst nicht mehr so weit

Ich aber verliere meine Träume
Alles unter  den Trümmern begraben
Nur die Stücke fand ich
Ein Ganzes hatte ich nicht mehr
Manche sind mit dem Wind geflogen

Mein Traum ist ein Puzzle im Himmel
Auch mein Leben ist ein Spiel
Und ich wagte noch einmal zu sagen:
„Du bist ein Stück von mir!“


Vianney Leyn,
Sankt Augustin,
 14.04.14

TÜR


TÜR

Der Raum, in dem ich wohne, hat eine Tür
Einmal ging ich hindurch, hinein in diesen Raum
Und ich darf nicht mehr hinausgehen
Ich hatte nicht mehr den Wunsch, diese Tür irgendwann zu öffnen
selbst wenn ich einige Male vorbei ging und an ihr klopfte

Manchmal schrie ich hinter dieser Tür
Lass mich selbst über meinen Raum entscheiden

Den Raum, in dem ich meine Spuren zählen kann,
wieweit sie schon deiner Stimme folgten,
brachten die Strahlen der Sonne zum Ausdruck

Nun habe ich nur die gleichen Spuren,
Die Spuren der Wunden, die meinen Körper bedecken
Mit ihnen klopfe ich an seine Tür
Und ich werde mich nie wieder so weit von ihm entfernen



Krankenstock
Vianney Leyn,  Montag, 31. März 2014

REISE 2


REISE 2


Nun bin ich in den schwarzen Stunden,
kalt und einsam im geschossenem  Zimmer
ich beschwer mich und klage nur:
 warum hast du mich in diese Stunde geführt?
Ist das deine Antwort?
Ich verstehe immer noch nicht
Aber ich will doch so sehr alles verstehen
was mir gerade passiert

Gib mir den reinen Tag und den klaren Abend
Damit ich mein ganzen ICH erkenne
Und dieses Geheimnis verstehe
Ich bin nur ein schwacher Mensch
Weiter bleibt Schweigen …… …. ….


Krankenstock, 30. März 2014
Viannney L. 

10 April 2014

Sepotong kisah dari Ukraine


Angin kian pekat, rembulan muram - pucat
Malam gugur di atas gundukan dingin memadat
Dentang lonceng kematian melengking jauh
Dari kutub yang satu ke lkutub yang lain
Ini malam para korban

Angin kian melebar sayap
Dikepak-kepak pada debu bongkahan dan asap mesiu
Menghembus darah yang telah mengering
Dia berjalan menyusuri lorong-lorong tak dikenal
Di bawah cahaya lampu jalanan
Yang baginya terlau getir untuk diinderai
Memanggil-manggil kehidupan:
Berbicara kepada semua yang menjadikannya bisu
Ya, berbicara dalam isak tangis
Oleh darah yang membasuh bibir


Katanya, dia menginginkan sebuah hati,
lengan yang merangkul horizon malam
dan tawa yang tak dapat diukur
bagi yang meratap
menumpah air mata
atas kafan para korban

Rembulan kian pucat
Angin kian pekat
Ini malam para korban


Vianney Leyn
Sankt Augustin, 04,. März 2014

Eine kalte Nacht im Sommer

Eine kalte Nacht im Sommer

I
Die Straße war leer, nur Du, nur Ich, nur Wir
Es war eine stille Nacht, unsere Geschichte war zu kalt
Am leuchtenden Vollmond wärmten wir uns

Durch die lange Nacht wanderten wir
baten den Himmel, uns zu zeigen
wie man den Mond mit verletzter Schulter tragen soll
baten die Erde, uns zu lehren
wie man die Sonne mit verbrannten Händen festhält

Das war eine vergangene Sommernacht
Mond und Sonne begegneten sich
Uns war aber noch kalt, wir wanderten zu Mond und Sonne
Ein „Gute Nacht“ sagten wir noch nicht

II

Die Straße war leer, nur Du, nur Ich, nur Wir,
Es war eine stille Nacht, unsere Geschichte war zu kalt
Am leuchtenden Vollmond wärmten wir uns...

Die Sehnsucht war groß,
Wärme mit- und aneinander zu finden
Doch wir hielten die Distanz
Der andere so nah und doch in weiter Ferne...

Der Mond am Himmel, in der kalten Sommernacht
Auf dem Weg zur Sonne, zur Berührung würde es nie kommen
Der andere Wunsch, im Widerstreit mit der versuchten Treue
Die Nacht war still, unsere Geschichte blieb kalt
Nur der Mond blieb, uns zu wärmen...

Und schließlich das Ziel,
Am Ende der Sommernacht – Kälte, ersehnte Wärme
Der Wunsch noch nicht gestorben,
Wir wandern weiter, verstehen das Drängen des Mondes zur Sonne
Schließlich wieder jeder für sich, am Ziel allein...

Das Zimmer war leer, nur Du, nur Ich, im Traum nur Wir,
Es blieb eine stille Nacht, unsere Geschichte noch kalt
Am Wunsch, an der Erinnerung wärmten wir uns...

Vianney L.
Sonntag, 23. Juni 2013
Unterwegs nach Sankt Augustin

Meine Freundin aus Dachau


Meine Freundin aus Dachau


Ich ging eine Straße entlang und sprach ein kleines Gebet
„Möge ich sie hinter diesem sauren Regen treffen“
Unter dem Regen heute Morgen besuchte ich meine Freundin
Seit Jahren haben wir uns nicht gesehen


Warte auf mich, du
Ich möchte dir begegnen
Dir werd‘ ich die Sonne zeigen
Die Sonne nach diesem Regen – dem Regen deiner Tränen-
die mit gebrochenem Staub fließen

Dich traf ich nicht
Nur das Echo deiner Klage und Schreie hörte ich
Die klingen zwischen zitterndem Staub
Als ob sie mir deine Geschichte erzählten


Vianney Leyn
Dachau, 15. März 2014

REISE

REISE

Eine wunderbare Reise öffnet mein Gedanken
Frühlingswind schleppt mich an die Seite,
hinter den Rhein und hinter die Gebirge,
die immer noch kräftig fließen und frei stehen

Eine erzitternde Reise berührt mich tief in meinem
Herzen
Den Ort und die Menschen aber kenne ich nicht
So viele sind sie und so fremd für mich
Und niemanden kenne ich bei jeder Begegnung

In die weiten Täler ging ich weiter
Unter der Zypresse denke ich zurück
an Spuren, die ich gerade hinterließ
aber ich verstehe keine

Vielleicht frage ich mein Schattenbild
Denn ich weiß, es lügt niemals
Aber es gibt mir keine Antwort
Einfach Schweigen ...


Vianney Leyn
Eine Reise ins Herz
Aulendorf,
23 März 2014