"Mandait" (bahasa batak) berarti: memungut, mengumpulkan. "Morit" (bahasa Lamaholot-Flores Timur) yang berarti: Hidup, Kehidupan. "Mandait Morit" merupakan sebuah narasi kehidupan yang dipungut-dikumpulkan di jalan waktu, yang tercecer di ruang-ruang kehidupan untuk dibagi, dikisahkan, baik dalam bentuk teks, audio maupun audio-visual, sebagaimana moto Mandait Morit: Berbagi KISAH, Berbagi KASIH. Gedankensplitter | Yang Tercecer | Mandait Morit
Labels
- ANTOLOGI PUISI 2010 (3)
- CATATAN LEPAS (40)
- Chord (1)
- Galeri LenSA (10)
- GEDICHTE (16)
- Goodnes of God (1)
- Güte von Gott (1)
- LAGU/LIEDER (6)
- Link Sastra (4)
- Lirik (1)
- OPINI (61)
- PRESSE (7)
- PUSTAKA LAMAHOLOT (9)
- RENUNGAN (19)
- Ruang Puisi (191)
- SERAMBI PARA PAKAR (11)
- WISSENSCHAFT (8)
PENULIS - AUTOR
- Gedankensplitter | Yang Tercecer | Mandait Morit
- Gera, Thüringen, Germany
- Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman
SUARA - KODA
KODAPana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.
30 April 2014
Goresan pada Halaman Sebuah Diary
Sebuah Senja di Bulan Mei – Goresan pada Halaman Sebuah Diary
Depan taman balik jendela kamar, kulihat hanyalah tembok berabad usia memagari tempat, dimana aku belajar dan terus belajar untuk memahami eksistensi Yang Transendens (Allah) yang terus dipertanyakan dan digugat, serta kehadiran manusia dan segala ciptaan yang lain di planet bumi ini. Hanya tumpukan dedaunan, gugur di antara bias cahya. Di halaman dekat kapela kecil itu, juga dibentangi dedaunan sejak musim kemarin. Dan sebelah atas palang salib, ada mentari memancar.
Di antara deru udara bersorak ria membelai, antara kegembiraan yang tercurah ke atas bumi aku menatap hanya bayangan keteduhan dedaunan yang bermain pada gorden putih; juga bias-bias cahaya yang membakar ranting-ranting kering lalu menebarkan aroma di sudut-sudut kamarku, seperti dupa mewangi membubung naik pada perayaan ekaristi Minggu kemarin. Kurasakan hembusan angin yang begitu lembut dan bayangan-bayangan pada tirai itu menjadi lebih hidup. Ketika segumpal awan di balik mentari berarak muncul, seberkas cahya keemasan terlihat, terpantul di antara puteri malu yang menjalar di taman.
Seperti seorang yang terperangkap dalam gua aku terpaku sendirian di hadapan bayang-bayang dunia. Sebuah senja di bulan Mei. Udara dingin tak mengalir. Berkas cahya mentari terpantul pada tiap dinding dan sisi „rumahku“, mendandani setiap objek dalam sebuah senyum yang abadi. Siapakah aku ini dan apa yang dapat kulakukan jika tidak melangkah dan menjejaki dedaunan dan bermain pada cahaya merambah kota?
Ketika aku mencoba untuk meraih diriku sendiri, aku hanya bisa meraihnya di kedalaman terang cahyanya. Dan ketika aku berusaha menjamah setiap keindahan serta menikmati kelembutan yang menyajikan rahasia alam, aku menemukan diriku sendiri terbujur pada dasar segala yang ada. Ya, diriku sendiri, termasuk segala rasa yang menghempaskan aku dari dunia sekitarku, dan segala yang ada, juga manusia, akan segera menjeratku. Tapi biarlah aku pada detik-detik ini bebas keluar dari tenunan waktu seperti kembang yang tergeletak di antara halaman-halaman buku setelah mengakhiri sebuah perjalanan menggores cinta. Dan aku juga berjalan pada jalanNya, Dia, Sang Empunya Cinta, yang telah lebih dahulu menulis cinta pada diriku, pada awal mula adanya aku. Hidup itu singkat, dan kehilangan waktu yang dianugerahkanNya adalah sebuah dosa? Hampir saja aku kehilangan banyak waktu dalam sehari, tetapi para sahabat memujiku: „kamu begitu aktif!“ Bagiku, hari ini adalah sebuah permenungan, dan hatiku terbuka untuk sebuah perjumpaan dengan diriku sendiri.
Satu-satunya ketakutan yang terus menghantuiku adalah perasaan bahwa pengalaman kekinian yang tak mampu kupahami dengan akal manusiawiku, mengalir seperti mutiara di antara jemari tangan. Aku tak lagi mengeluh, tak lagi menggerutu karena aku merasa seperti di rumahku sendiri, di mana pecah tangis pertamaku terdengar. Ini kisahku, ini rasaku, yang semuanya tertulis pada jendela kamar, dan pada tirainya membelah, langit biru curahkan kepenuhannya. Aku bisa katakan dan akan segera mengatakan itu, bahwa ini semua amat manusiawi, sederhana saja. Kemanusiawian dan kesederhanaan.
Keabadian ada di sana. Mungkin jauh… dan amat jauh dari diriku. Atau mungkin juga dekat, melekat erat pada eksistensi diriku. Dan aku tidak tahu, apa yang bisa aku inginkan untuk diriku selain daripada situasi kekinianku. Yang aku inginkan saat ini adalah bukan untuk sebuah kebahagiaan melainkan agar aku sadar. Yang aku inginkan adalah sebuah kesadaran diri. Aku ingin sadar akan kemungkinan-kemungkinan yang dengannya aku belajar bertanggung jawab. Tiap menit kehidupan mengusung nilai dan makna dalam dirinya sebagai keajaiban/mujizat luar biasa dan yang akan mengubah wajah kehidupan menjadi lebih hidup.***
Vianney Leyn
Sankt Augustin, 21 Mai 2013
23 April 2014
Berujung dan Berawal di Selat Gonsalu (Mengenang Peristiwa Tenggelamnya Perahu Motor pada Proses Laut - Semanta Santa di Larantuka)
Berujung dan
Berawal di Selat Gonsalu
Oleh : Paul Budi Kleden, SVD*
Selat itu sebenarnya sangat sempit. Orang
bertutur, kokok ayam di pantai seberang, di Adonara, dapat didengar dari
pesisir selatan di ujung Flores itu. Karena dekatnya, pernah terdengar ada
mimpi seorang bupati untuk membangun jembatan penyeberangan. Namun, selat itu
sudah selalu dikenal karena arusnya yang kencang. Para pelaut pesisir itu sudah
terbiasa untuk dengan cermat memperhitungkan dengan cara tradisional, kapan
boleh menyeberang dan kapan harus bersabar menanti. Dulu sering terdengar kapal
yang harus putar haluan kembali ke pelabuhan di Larantuka karena tidak berani
mengambil risiko menyeberangi arus yang kencang itu.
Di selat Gonsalu di perairan Kota Sau itu
hidup sebelas anak manusia menemukan akhirnya pada tanggal 18 April yang lalu.
Mereka hendak mengikuti ziarah bersama Tuan Menino, Yesus. Sebelum ziarah Bunda
yang berduka dan Yesus yang wafat dimulai, ziarah hidup mereka sudah mesti
berakhir di selat yang sempit itu. Mereka meninggal dalam usia yang masih
terlalu muda. Dengan kematian mereka, banyak impian dan mimpi keluarga dan
kongregasi, banyak harapan dan rencana orangtua dan pimpinan, pun berantakan.
Yang berujung di Gonsalu adalah nyawa manusia dan sepotong masa depan dari
keluarga dan kongregasi.
Mereka meninggal, karena perahu motor yang
mereka tumpangi tak kuat menahan arus saat mereka berujud menghormati Tuhan,
yang karena berani melawan arus para pemimpin zaman-Nya, akhirnya mati dihukum
di tiang gantung. Perahu itu kehilangan keseimbangan dan terbalik, ketika para
penumpangnya berintensi mengiringi Tuhan yang menjadi pegangan dalam hidup.
Kecelakaan pada hari Jumad, 18 April 2014 itu tampaknya merupakan sebuah ironi
yang menyedihkan.
Namun, bencana atau kecelakaan dapat selalu
terjadi. Ziarah atau ibadat tidak mampu menghadirkan alasan untuk dikecualikan
dari kemungkinan terjadinya bencana atau kecelakaan yang tidak direncanakan.
Bukan baru selat Gonsalu ziarah para peziarah mesti berakhir saat hendak
menghormati Tuhan mereka. Bencana dan kecelakaan tidak dapat dikaitkan dengan
intensi batin seseorang, juga tidak pernah menjadi alasan untuk menakar
kesalehannya. Pertanyaan tentang dosa para korban tidak tepat dilontarkan
ketika berhadapan dengan bencana atau kecelakaan. Apa dosa si Andreas Kleden
yang berusia dua tahun, atau Merlina Wangge yang baru berumur tiga tahun dalam
kecelakaan di Larantuka? Bencana dan kecelakaan dapat terjadi di tempat dan
pada kesempatan ziarah dan ibadat. Sebab itu, bencana atau kecelakaan pun tidak
perlu menjadi alasan untuk mempertanyakan nilai sebuah ritual atau kesakralan
sebuah tempat ibadat.
Saat mendengar berita tentang kecelakaan
terjadi pada hari Jumad Agung di Larantuka, dorongan spontan boleh jadi mengatakan:
hari itu akan menjadi sungguh agung apabila nyawa semua penumpang perahu motor
dapat diselamatkan. Tuhan akan sungguh menampakkan keagungan-Nya apabila Dia
berkenan campur tangan secara istimewa untuk menolong mereka yang berjuang
dengan seluruh daya melawan derasnya arus. Bukan mustahil ada yang bermain
dengan imaginasi, bagaimana iman Paskah akan sungguh dikuatkan kalau terjadi
penyelamatan yang ajaib dalam peristiwa itu. Boleh jadi ada orang merasa, kita
akan sungguh dapat merayakan kemenangan iman kita, kehebatan Tuhan yang kita
yakini, dan membuktikannya kepada saudara-saudari beriman lain, seandainya pada
hari Jumad Agung itu Tuhan yang sudah menenangkan laut di tasik Genasaret dan
Dia yang sudah menyorongkan tangan-Nya menolong Petrus yang terancam tenggelam,
datang dan meniupkan kembali nafas kehidupan kepada saudara-saudari kita yang
menjadi korban kecelakaan itu.
Namun, Tuhan yang diwartakan Yesus yang
tersalib dan yang kita percaya, bukanlah Allah yang menghendaki kita membangun
iman di atas peristiwa-peristiwa aneh dan ajaib. Berkali-kali dalam Injil
Markus Yesus melarang orang-orang yang menceritakan penyembuhan yang mereka
alami. Iman tidak dapat hidup hanya dari kisah-kisah sensasional, melainkan
dari pengalaman bahwa Tuhan bersama kita, juga ketika harus mengalami
kehilangan yang sama sekali tidak diperhitungkan. Tuhan yang kita imani adalah
Dia yang tersalib. Walau sudah dibangkitkan, kita tetap hormati Dia sebagai
Tuhan yang tersalib. Kemenangan-Nya tidak membuat salib dilupakan. Kehidupan-Nya
tidak menjadi sebab untuk memalingkan wajah dari kematian. Selama penderitaan
masih merupakan kenyataan yang dialami manusia, salib tetap menjadi bagian utuh
dari kehadiran Tuhan bersama kita dalam ziarah di bumi. Tuhan yang dibangkitkan
adalah Dia yang disalibkan. Sebagaimana tanpa kebangkitan salib akan kehilangan
maknanya sebagai solidaritas Allah dalam penderitaan kita, demikian pun
kebangkitan tidak akan memiliki pesan sebagai pembuka harapan jika salib
dilupakan. Bagi orang yang mengimani Kristus, dalam pekik kemenangan Paskah
mesti turut terdengar ratapan duka Jumad Agung.
Tuhan yang tersalib dan bangkit menunjukkan
bahwa juga di dalam kematian yang mengerikan seperti penyaliban Tuhan sendiri
hadir. Mengimani Tuhan berarti menerima kehadiran-Nya juga di tengah
penderitaan yang dialami. Tuhan tidak menjadi sebab dari bencana dan
kecelakaan, namun ketika hal itu terjadi dan menimbulkan korban, Dia tidak
meninggalkan kita. Dia tidak menimpakan salib untuk kita, tetapi pada saat kita
memikulnya karena hal-hal yang tidak berjalan sesuai rencana dan harapan kita,
Dia turut menapaki jalan salib itu bersama kita. Dan karena Dia yang menangis
dan menderita bersama kita adalah Tuhan, maka di dalam kematian ada kehidupan
baru, di tengah kebuntuan ada fajar harapan baru. Hanya karena itu kematian
saudara-saudari kita di Gonsalu tidak merupakan ujung dari segalanya. Di
perairan Kota Sau ada awal baru, untuk mereka yang meninggal dunia dan bagi
semua yang terlibat dalam ziarah.
Tuhan yang sudah selalu bersama mereka dalam
hidup, membangkitkan mereka dalam kematian untuk berbagi hidup yang sempurna
bersama Dia. Itu awal bagi para korban yang meninggal. Bagi semua yang terlibat
dalam ziarah Jumad Agung di Larantuka, kecelakaan itu pun menjadi awal baru
dalam memahami dan menjalankan ziarah.
Pertama, kecelakaan tersebut tidak harus
menjadi sebab untuk menghentikan ziarah. Ziarah perlu dilanjutkan, dan kini
dengan kematian mereka sebuah makna ziarah yang sering terabaikan perlu
diangkat kembali. Ziarah bersama Tuhan yang menderita dan bunda-Nya yang
berduka tidak bermaksud membuat orang hanya menangisi penderitaannya sendiri.
Walau hidup kita tidak pernah luput dari kesulitan, namun intensi ziarah adalah
agar mata orang beriman dibuka dan terbuka untuk menyadari penderitaan orang
lain. Ziarah Semana Santa selanjutnya perlu membawa wajah dan menyebut nama
mereka, dan bersama mereka diingat para korban bencana dan kecelakaan, tetapi
juga warga dan umat yang tega dikorbankan para pejabat dan penguasa. Ziarah
mestinya menjadi momentum pembelajaran solidaritas dengan para korban dan
keluarga mereka. Di banyak tempat, tak terkecuali di Larantuka, masih terlampau
banyak korban yang menderita, atau karena tak adanya perlindungan saat
menghadapi bencana alam, karena kegagalan manusia dalam memperhitungkan
ancaman, atau juga karena keserakahan sejumlah orang yang hanya mau mengejar
keuntungan bisnis dan keberhasilan politik. Biasanya, yang menjadi korban
adalah orang-orang sederhana yang tidak memiliki pengamanan istimewa.
Kedua, kematian mereka dalam kecelakaan
mengingatkan bahwa inti dari ritual ziarah di Larantuka adalah menghormati
Tuhan yang menderita dan berbagi penderitaan dengan umat-Nya. Ziarah bukanlah
semacam investasi untuk keberhasilan bisnis atau kesuksesan di kancah politik.
Memanfaatkan ziarah sebagai panggung politik adalah bentuk satu penyalahgunaan
yang perlu dihindari.
Ketiga, kematian para korban pun menjadi awal
untuk semua yang bertanggungjawab agar memastikan keamanan. Tuhan memang hadir
dalam penderitaan dan kematian, di dalam bencana dan kecelakaan yang tak
terelakkan. Namun, itu tidak berarti kita membiarkan saja semuanya berjalan
tanpa upaya perbaikan. Dari iman akan Tuhan sebagai pemilik kehidupan mesti
lahir kesadaran bahwa tugas orang-orang beriman adalah mengupayakan kondisi
yang semakin baik agar bencana tidak harus menelan korban dan kecelakaan tidak
mesti terulang.
Mengenang mestinya membawa konsekuensi
tanggungjawab. Kiranya kenangan akan saudara-saudari yang meninggal pada Jumad
Agung 2014 di Larantuka melahirkan tanggungjawab untuk menciptakan kondisi yang
semakin baik warga dan umat, teristimewa mereka yang sering terlalu gampang
dikorbankan.
*Misionaris SVD, tinggal dan bekerja di Roma (Anggota Dewan General SVD)
(Artikel diambil dari Surat Kabar "Flores Bangkit", 23. April 2014)
http://www.floresbangkit.com/2014/04/berujung-dan-berawal-di-selat-gonsalu/
(Artikel diambil dari Surat Kabar "Flores Bangkit", 23. April 2014)
http://www.floresbangkit.com/2014/04/berujung-dan-berawal-di-selat-gonsalu/
15 April 2014
das „Du“ in deinen Gedichten – es
das „Du“ in
deinen Gedichten – es
du sprichst es
immer wieder an
du wendest
dich immer neu an es
das, das
dich in allen Lagen deines Lebens begleitet,
das, das da
ist wenn es läuft,
das, an das
du dich wendest wenn es schlecht geht...
es ist mit
dir in der kalten Nacht im Sommer,
es führt
dich in die schwarzen Stunden im geschlossenen Zimmer,
es, das dir
den reinen Tag, den klaren Abend geben kann
es hilft dir,
dich zu erkennen, das Geheimnis zu verstehen
es, an
dessen Tür du mit deinen Wunden klopfst,
es, von dem
du dich weit entfernt hast
es, das du
trotz der Mauer ansprichst
es, das
deine Träume kennt
es, das
nicht mehr weit war als die Mauer einstürzte
es, das ein
Stück von dir ist?
es, das in
Wirklichkeit ein du ist
ein
Gegenüber, mit dem du kommunizierst
ein du,
dessen Gegenwart du fühlst
oder nach
dem du dich wenigstens sehnst
ein du, das
dich nicht allein lässt
ein du dem
du vertraust,
du wendest
dich an dieses du
in der
Nacht, im Sommer, in allen Lagen deines Lebens
in Gesundheit
und Krankheit
ein du, das
dich kennt, um dich weiß,
um deine
Wunden und um dein Heil
um dein
Lachen und um dein Weinen
ein du, das
hinter dir steht, und unter dir
vor dir,
neben dir und über dir
Sehnsucht
nach Klarheit und Licht
nach
Gesundheit und Heil
nach Freude
und Sinn
nach
Zuwendung und Nähe
Sehnsucht
danach, dich selbst zu finden und du selbst zu sein
immer neu
ausgedrückt in deinen Worten – auch an das du
im Wachen
und in deinen Träumen
im Leben das
ein Spiel ist und das du lebst
nein, nicht
allein, nie allein
es, dein
Gegenüber, das du ist dabei... immer...
von Jemandem, der mit mir Unterwegs zum DU ist.
Gespräch hinter einer Mauer
Gespräch
hinter einer Mauer
Es
war um 00:00 Uhr
Die
schwarze Nacht ging langsam zu Ende
Der
neue Tag kam still durch die Mauer
Da
wagte ich zu sprechen
Und
das Schweigen der Natur war gebrochen:
Warum
bin ich hier, hinter dieser Mauer?
Nach
was suche ich?
Das
war an einem Abend
In
einer Jahreszeit, die ich schon vergessen hatte
Unter
strahlendem Vollmond trug ich alle meine Träume
Und
vergrub sie unter dieser Mauer
Niemand
wusste davon
Das
war in einer Nacht,
die
der Himmel behängte mit schummerigen Sternen
Die
Mauer stürzte ein!
Und
du warst nicht mehr so weit
Ich
aber verliere meine Träume
Alles
unter den Trümmern begraben
Nur
die Stücke fand ich
Ein
Ganzes hatte ich nicht mehr
Manche
sind mit dem Wind geflogen
Mein
Traum ist ein Puzzle im Himmel
Auch
mein Leben ist ein Spiel
Und
ich wagte noch einmal zu sagen:
„Du
bist ein Stück von mir!“
Vianney Leyn,
Sankt Augustin,
14.04.14TÜR
TÜR
Der
Raum, in dem ich wohne, hat eine Tür
Einmal
ging ich hindurch, hinein in diesen Raum
Und
ich darf nicht mehr hinausgehen
Ich
hatte nicht mehr den Wunsch, diese Tür irgendwann zu öffnen
selbst
wenn ich einige Male vorbei ging und an ihr klopfte
Manchmal
schrie ich hinter dieser Tür
Lass
mich selbst über meinen Raum entscheiden
Den
Raum, in dem ich meine Spuren zählen kann,
wieweit
sie schon deiner Stimme folgten,
brachten
die Strahlen der Sonne zum Ausdruck
Nun
habe ich nur die gleichen Spuren,
Die
Spuren der Wunden, die meinen Körper bedecken
Mit
ihnen klopfe ich an seine Tür
Und
ich werde mich nie wieder so weit von ihm entfernen
Krankenstock
Vianney Leyn, Montag, 31. März 2014
REISE 2
REISE 2
Nun
bin ich in den schwarzen Stunden,
kalt
und einsam im geschossenem Zimmer
ich
beschwer mich und klage nur:
warum hast du mich in diese Stunde geführt?
Ist
das deine Antwort?
Ich
verstehe immer noch nicht
Aber
ich will doch so sehr alles verstehen
was
mir gerade passiert
Gib
mir den reinen Tag und den klaren Abend
Damit
ich mein ganzen ICH erkenne
Und
dieses Geheimnis verstehe
Ich
bin nur ein schwacher Mensch
Weiter
bleibt Schweigen …… …. ….
Krankenstock,
30. März 2014
Viannney L.
10 April 2014
Sepotong kisah dari Ukraine
Malam gugur di atas gundukan dingin memadat
Dentang lonceng kematian melengking jauh
Dari kutub yang satu ke lkutub yang lain
Ini malam para korban
Angin kian melebar sayap
Dikepak-kepak pada debu bongkahan dan asap mesiu
Menghembus darah yang telah mengering
Dia berjalan menyusuri lorong-lorong tak dikenal
Di bawah cahaya lampu jalanan
Yang baginya terlau getir untuk diinderai
Memanggil-manggil kehidupan:
Berbicara kepada semua yang menjadikannya bisu
Ya, berbicara dalam isak tangis
Oleh darah yang membasuh bibir
Katanya, dia menginginkan sebuah hati,
lengan yang merangkul horizon malam
dan tawa yang tak dapat diukur
bagi yang meratap
menumpah air mata
atas kafan para korban
Rembulan kian pucat
Angin kian pekat
Ini malam para korban
Vianney Leyn
Sankt Augustin, 04,. März 2014
Eine kalte Nacht im Sommer
Eine kalte Nacht im Sommer
I Die Straße war leer, nur Du, nur Ich, nur WirEs war eine stille Nacht, unsere Geschichte war zu kalt
Am leuchtenden Vollmond wärmten wir uns
Durch die lange Nacht wanderten wir
baten den Himmel, uns zu zeigen
wie man den Mond mit verletzter Schulter tragen soll
baten die Erde, uns zu lehren
wie man die Sonne mit verbrannten Händen festhält
Das war eine vergangene Sommernacht
Mond und Sonne begegneten sich
Uns war aber noch kalt, wir wanderten zu Mond und Sonne
Ein „Gute Nacht“ sagten wir noch nicht
II
Die Straße war leer, nur Du, nur Ich, nur Wir,
Es war eine stille Nacht, unsere Geschichte war zu kalt
Am leuchtenden Vollmond wärmten wir uns...
Die Sehnsucht war groß,
Wärme mit- und aneinander zu finden
Doch wir hielten die Distanz
Der andere so nah und doch in weiter Ferne...
Der Mond am Himmel, in der kalten Sommernacht
Auf dem Weg zur Sonne, zur Berührung würde es nie kommen
Der andere Wunsch, im Widerstreit mit der versuchten Treue
Die Nacht war still, unsere Geschichte blieb kalt
Nur der Mond blieb, uns zu wärmen...
Und schließlich das Ziel,
Am Ende der Sommernacht – Kälte, ersehnte Wärme
Der Wunsch noch nicht gestorben,
Wir wandern weiter, verstehen das Drängen des Mondes zur Sonne
Schließlich wieder jeder für sich, am Ziel allein...
Das Zimmer war leer, nur Du, nur Ich, im Traum nur Wir,
Es blieb eine stille Nacht, unsere Geschichte noch kalt
Am Wunsch, an der Erinnerung wärmten wir uns...
Vianney L.
Sonntag, 23. Juni 2013
Unterwegs nach Sankt Augustin
Meine Freundin aus Dachau
Meine Freundin aus Dachau
Ich ging eine Straße entlang und sprach ein kleines Gebet
„Möge ich sie hinter diesem sauren Regen treffen“
Unter dem Regen heute Morgen besuchte ich meine Freundin
Seit Jahren haben wir uns nicht gesehen
Warte auf mich, du
Ich möchte dir begegnen
Dir werd‘ ich die Sonne zeigen
Die Sonne nach diesem Regen – dem Regen deiner Tränen-
die mit gebrochenem Staub fließen
Dich traf ich nicht
Nur das Echo deiner Klage und Schreie hörte ich
Die klingen zwischen zitterndem Staub
Als ob sie mir deine Geschichte erzählten
Vianney Leyn
Dachau, 15. März 2014
REISE
REISE
Eine wunderbare Reise öffnet mein Gedanken
Frühlingswind schleppt mich an die Seite,
hinter den Rhein und hinter die Gebirge,
die immer noch kräftig fließen und frei stehen
Eine erzitternde Reise berührt mich tief in meinem
Herzen
Den Ort und die Menschen aber kenne ich nicht
So viele sind sie und so fremd für mich
Und niemanden kenne ich bei jeder Begegnung
In die weiten Täler ging ich weiter
Unter der Zypresse denke ich zurück
an Spuren, die ich gerade hinterließ
aber ich verstehe keine
Vielleicht frage ich mein Schattenbild
Denn ich weiß, es lügt niemals
Aber es gibt mir keine Antwort
Einfach Schweigen ...
Vianney Leyn
Eine Reise ins Herz
Aulendorf,
23 März 2014
Eine wunderbare Reise öffnet mein Gedanken
Frühlingswind schleppt mich an die Seite,
hinter den Rhein und hinter die Gebirge,
die immer noch kräftig fließen und frei stehen
Eine erzitternde Reise berührt mich tief in meinem
Herzen
Den Ort und die Menschen aber kenne ich nicht
So viele sind sie und so fremd für mich
Und niemanden kenne ich bei jeder Begegnung
In die weiten Täler ging ich weiter
Unter der Zypresse denke ich zurück
an Spuren, die ich gerade hinterließ
aber ich verstehe keine
Vielleicht frage ich mein Schattenbild
Denn ich weiß, es lügt niemals
Aber es gibt mir keine Antwort
Einfach Schweigen ...
Vianney Leyn
Eine Reise ins Herz
Aulendorf,
23 März 2014
Subscribe to:
Posts (Atom)