Berujung dan
Berawal di Selat Gonsalu
Oleh : Paul Budi Kleden, SVD*
Selat itu sebenarnya sangat sempit. Orang
bertutur, kokok ayam di pantai seberang, di Adonara, dapat didengar dari
pesisir selatan di ujung Flores itu. Karena dekatnya, pernah terdengar ada
mimpi seorang bupati untuk membangun jembatan penyeberangan. Namun, selat itu
sudah selalu dikenal karena arusnya yang kencang. Para pelaut pesisir itu sudah
terbiasa untuk dengan cermat memperhitungkan dengan cara tradisional, kapan
boleh menyeberang dan kapan harus bersabar menanti. Dulu sering terdengar kapal
yang harus putar haluan kembali ke pelabuhan di Larantuka karena tidak berani
mengambil risiko menyeberangi arus yang kencang itu.
Di selat Gonsalu di perairan Kota Sau itu
hidup sebelas anak manusia menemukan akhirnya pada tanggal 18 April yang lalu.
Mereka hendak mengikuti ziarah bersama Tuan Menino, Yesus. Sebelum ziarah Bunda
yang berduka dan Yesus yang wafat dimulai, ziarah hidup mereka sudah mesti
berakhir di selat yang sempit itu. Mereka meninggal dalam usia yang masih
terlalu muda. Dengan kematian mereka, banyak impian dan mimpi keluarga dan
kongregasi, banyak harapan dan rencana orangtua dan pimpinan, pun berantakan.
Yang berujung di Gonsalu adalah nyawa manusia dan sepotong masa depan dari
keluarga dan kongregasi.
Mereka meninggal, karena perahu motor yang
mereka tumpangi tak kuat menahan arus saat mereka berujud menghormati Tuhan,
yang karena berani melawan arus para pemimpin zaman-Nya, akhirnya mati dihukum
di tiang gantung. Perahu itu kehilangan keseimbangan dan terbalik, ketika para
penumpangnya berintensi mengiringi Tuhan yang menjadi pegangan dalam hidup.
Kecelakaan pada hari Jumad, 18 April 2014 itu tampaknya merupakan sebuah ironi
yang menyedihkan.
Namun, bencana atau kecelakaan dapat selalu
terjadi. Ziarah atau ibadat tidak mampu menghadirkan alasan untuk dikecualikan
dari kemungkinan terjadinya bencana atau kecelakaan yang tidak direncanakan.
Bukan baru selat Gonsalu ziarah para peziarah mesti berakhir saat hendak
menghormati Tuhan mereka. Bencana dan kecelakaan tidak dapat dikaitkan dengan
intensi batin seseorang, juga tidak pernah menjadi alasan untuk menakar
kesalehannya. Pertanyaan tentang dosa para korban tidak tepat dilontarkan
ketika berhadapan dengan bencana atau kecelakaan. Apa dosa si Andreas Kleden
yang berusia dua tahun, atau Merlina Wangge yang baru berumur tiga tahun dalam
kecelakaan di Larantuka? Bencana dan kecelakaan dapat terjadi di tempat dan
pada kesempatan ziarah dan ibadat. Sebab itu, bencana atau kecelakaan pun tidak
perlu menjadi alasan untuk mempertanyakan nilai sebuah ritual atau kesakralan
sebuah tempat ibadat.
Saat mendengar berita tentang kecelakaan
terjadi pada hari Jumad Agung di Larantuka, dorongan spontan boleh jadi mengatakan:
hari itu akan menjadi sungguh agung apabila nyawa semua penumpang perahu motor
dapat diselamatkan. Tuhan akan sungguh menampakkan keagungan-Nya apabila Dia
berkenan campur tangan secara istimewa untuk menolong mereka yang berjuang
dengan seluruh daya melawan derasnya arus. Bukan mustahil ada yang bermain
dengan imaginasi, bagaimana iman Paskah akan sungguh dikuatkan kalau terjadi
penyelamatan yang ajaib dalam peristiwa itu. Boleh jadi ada orang merasa, kita
akan sungguh dapat merayakan kemenangan iman kita, kehebatan Tuhan yang kita
yakini, dan membuktikannya kepada saudara-saudari beriman lain, seandainya pada
hari Jumad Agung itu Tuhan yang sudah menenangkan laut di tasik Genasaret dan
Dia yang sudah menyorongkan tangan-Nya menolong Petrus yang terancam tenggelam,
datang dan meniupkan kembali nafas kehidupan kepada saudara-saudari kita yang
menjadi korban kecelakaan itu.
Namun, Tuhan yang diwartakan Yesus yang
tersalib dan yang kita percaya, bukanlah Allah yang menghendaki kita membangun
iman di atas peristiwa-peristiwa aneh dan ajaib. Berkali-kali dalam Injil
Markus Yesus melarang orang-orang yang menceritakan penyembuhan yang mereka
alami. Iman tidak dapat hidup hanya dari kisah-kisah sensasional, melainkan
dari pengalaman bahwa Tuhan bersama kita, juga ketika harus mengalami
kehilangan yang sama sekali tidak diperhitungkan. Tuhan yang kita imani adalah
Dia yang tersalib. Walau sudah dibangkitkan, kita tetap hormati Dia sebagai
Tuhan yang tersalib. Kemenangan-Nya tidak membuat salib dilupakan. Kehidupan-Nya
tidak menjadi sebab untuk memalingkan wajah dari kematian. Selama penderitaan
masih merupakan kenyataan yang dialami manusia, salib tetap menjadi bagian utuh
dari kehadiran Tuhan bersama kita dalam ziarah di bumi. Tuhan yang dibangkitkan
adalah Dia yang disalibkan. Sebagaimana tanpa kebangkitan salib akan kehilangan
maknanya sebagai solidaritas Allah dalam penderitaan kita, demikian pun
kebangkitan tidak akan memiliki pesan sebagai pembuka harapan jika salib
dilupakan. Bagi orang yang mengimani Kristus, dalam pekik kemenangan Paskah
mesti turut terdengar ratapan duka Jumad Agung.
Tuhan yang tersalib dan bangkit menunjukkan
bahwa juga di dalam kematian yang mengerikan seperti penyaliban Tuhan sendiri
hadir. Mengimani Tuhan berarti menerima kehadiran-Nya juga di tengah
penderitaan yang dialami. Tuhan tidak menjadi sebab dari bencana dan
kecelakaan, namun ketika hal itu terjadi dan menimbulkan korban, Dia tidak
meninggalkan kita. Dia tidak menimpakan salib untuk kita, tetapi pada saat kita
memikulnya karena hal-hal yang tidak berjalan sesuai rencana dan harapan kita,
Dia turut menapaki jalan salib itu bersama kita. Dan karena Dia yang menangis
dan menderita bersama kita adalah Tuhan, maka di dalam kematian ada kehidupan
baru, di tengah kebuntuan ada fajar harapan baru. Hanya karena itu kematian
saudara-saudari kita di Gonsalu tidak merupakan ujung dari segalanya. Di
perairan Kota Sau ada awal baru, untuk mereka yang meninggal dunia dan bagi
semua yang terlibat dalam ziarah.
Tuhan yang sudah selalu bersama mereka dalam
hidup, membangkitkan mereka dalam kematian untuk berbagi hidup yang sempurna
bersama Dia. Itu awal bagi para korban yang meninggal. Bagi semua yang terlibat
dalam ziarah Jumad Agung di Larantuka, kecelakaan itu pun menjadi awal baru
dalam memahami dan menjalankan ziarah.
Pertama, kecelakaan tersebut tidak harus
menjadi sebab untuk menghentikan ziarah. Ziarah perlu dilanjutkan, dan kini
dengan kematian mereka sebuah makna ziarah yang sering terabaikan perlu
diangkat kembali. Ziarah bersama Tuhan yang menderita dan bunda-Nya yang
berduka tidak bermaksud membuat orang hanya menangisi penderitaannya sendiri.
Walau hidup kita tidak pernah luput dari kesulitan, namun intensi ziarah adalah
agar mata orang beriman dibuka dan terbuka untuk menyadari penderitaan orang
lain. Ziarah Semana Santa selanjutnya perlu membawa wajah dan menyebut nama
mereka, dan bersama mereka diingat para korban bencana dan kecelakaan, tetapi
juga warga dan umat yang tega dikorbankan para pejabat dan penguasa. Ziarah
mestinya menjadi momentum pembelajaran solidaritas dengan para korban dan
keluarga mereka. Di banyak tempat, tak terkecuali di Larantuka, masih terlampau
banyak korban yang menderita, atau karena tak adanya perlindungan saat
menghadapi bencana alam, karena kegagalan manusia dalam memperhitungkan
ancaman, atau juga karena keserakahan sejumlah orang yang hanya mau mengejar
keuntungan bisnis dan keberhasilan politik. Biasanya, yang menjadi korban
adalah orang-orang sederhana yang tidak memiliki pengamanan istimewa.
Kedua, kematian mereka dalam kecelakaan
mengingatkan bahwa inti dari ritual ziarah di Larantuka adalah menghormati
Tuhan yang menderita dan berbagi penderitaan dengan umat-Nya. Ziarah bukanlah
semacam investasi untuk keberhasilan bisnis atau kesuksesan di kancah politik.
Memanfaatkan ziarah sebagai panggung politik adalah bentuk satu penyalahgunaan
yang perlu dihindari.
Ketiga, kematian para korban pun menjadi awal
untuk semua yang bertanggungjawab agar memastikan keamanan. Tuhan memang hadir
dalam penderitaan dan kematian, di dalam bencana dan kecelakaan yang tak
terelakkan. Namun, itu tidak berarti kita membiarkan saja semuanya berjalan
tanpa upaya perbaikan. Dari iman akan Tuhan sebagai pemilik kehidupan mesti
lahir kesadaran bahwa tugas orang-orang beriman adalah mengupayakan kondisi
yang semakin baik agar bencana tidak harus menelan korban dan kecelakaan tidak
mesti terulang.
Mengenang mestinya membawa konsekuensi
tanggungjawab. Kiranya kenangan akan saudara-saudari yang meninggal pada Jumad
Agung 2014 di Larantuka melahirkan tanggungjawab untuk menciptakan kondisi yang
semakin baik warga dan umat, teristimewa mereka yang sering terlalu gampang
dikorbankan.
*Misionaris SVD, tinggal dan bekerja di Roma (Anggota Dewan General SVD)
(Artikel diambil dari Surat Kabar "Flores Bangkit", 23. April 2014)
http://www.floresbangkit.com/2014/04/berujung-dan-berawal-di-selat-gonsalu/
(Artikel diambil dari Surat Kabar "Flores Bangkit", 23. April 2014)
http://www.floresbangkit.com/2014/04/berujung-dan-berawal-di-selat-gonsalu/
sangat suka tulisan ini...sangat memberkati..Iman tidak dapat hidup hanya dari kisah-kisah sensasional, melainkan dari pengalaman bahwa Tuhan bersama kita, juga ketika harus mengalami kehilangan yang sama sekali tidak diperhitungkan...terpujilah nama-Nya dlm setiap peristiwa hidup kita...
ReplyDelete