AHOK
DAN PENDIDIKAN POLITIK DI NTT
Vianey
Lein
Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi St.
Augustin – Jerman
Tinggal di Bonn - Jerman
Beberapa
bulan semenjak Basuki
Tjahaja Purnama – atau yang akrab disapa Ahok – menjabat gubernur DKI
Jakarta, muncul aneka perlawanan yang mengusung bendera agama dan berbagai simbol
kelompokisme untuk menjatuhkan pamor dan melengserkan “si Cina kafir” dari
kursi gubernur DKI Jakarta. Namun,
seperti menuangkan minyak tanah dalam api, usaha untuk menaklukkan “sang dikatator“ yang arogan (oleh warga kalijodo) justru
semakin membakar nasionalismenya untuk memperjuangkan keadilan bagi banyak
orang. Ahok tak ciut nyali dalam menghadapi berbagai tuduhan karena ia yakin
akan kebenaran yang diperjuangkannya ketika orang ramai-ramai menyerang
karakternya dan lupa akan hal substansial dari setiap permasalahan yang ada di
ibu kota. Bukan hanya untuk pertarungan politik semata tetapi perjuangannya
juga dilandasi iman kekristenannya: “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika
tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari
si jahat” (Mat. 5:37) - ayat yang menjadi prinsip hidupnya untuk berani
berbicara lantang dan tidak berkompromi untuk hal-hal yang menyimpang.
Tapi ini sama sekali tidak mengimplikasikan bahwa Ahok
sedang dalam fase mengejar popularitas dan prestise jabatan demi memenangkan
Pilgub DKI 2017 nanti. Tampilnya organisasi spontan dan sporadis “Teman Ahok”
yang tidak terikat oleh ideologi atau fanatisme politik tertentu turut mengafirmasi, bahwa Ahok bukanlah figur yang
“nafsu jabatan”. Perkumpulan relawan yang dimotori sekelompok anak muda ini
tentu lahir dari rahim “kepercayaan rakyat” yang ditenun lewat pengalaman “perjumpaan”
dengan pribadi Ahok dan sepak-terjangnya di ibu kota. Orang-orang yang
tergabung dalam komunitas “Teman Ahok” tentu tidak hanya mengenal sosok Ahok
dan perubahan-perubahan yang telah dibuat, tetapi juga telah mengenal karut-marut
perpolitikan di negara ini. Rakyat semakin cerdas dan rasional. Perlahan-lahan
rakyat sudah mulai mengerti “rekam jejak” perpolitikan yang selama ini tidak
berpihak pada rakyat.
Mungkin ini tesis yang masih prematur atau bahkan ada
yang keberatan dan menilai berlebihan bila saya mengatakan bahwa figur dan gaya
kepemimpinan Ahok serta perjuangan komunitas „Teman Ahok“ untuk „menemani“
(mengusung) pasangan Ahok-Heru maju dalam pertarungan Pilgub 2017 lewat jalur
independen menjadi „pendidikan politik“ buat kita di NTT. Itu syah-syah saja selama
kebebasan berpendapat merupakan salah satu HAM yang juga dijamin oleh UUD 1945.
Berbagai posting di media sosial memperlihatkan bahwa
dukungan mengusung Ahok untuk menjadi Gubernur DKI tidak hanya datang dari
orang-orang yang ber-KTP DKI tetapi juga dari masyarakat luar DKI. Sempat ada
yang berkomentar: “ Kok orang-orang dari NTT sibuk amat sama pencalonan Ahok
jadi Gubernur DKI. Nanti kalau dia jadi Gubernur, apakah daerahmu juga
diperhatikan?” Hal ini tentu menjadi eksperimen politik yang menarik untuk
dikaji bagi propinsi-propinsi atau kabupaten-kabupaten lain di Indonesia (NTT
misalnya), mengapa orang-orang dari luar DKI juga “heboh” mendukung seorang
(calon) pemimpin seperti Ahok. Bahkan ada yang menulis: “Jika Jakarta tidak
mendukung Ahok, biar dia jadi Gubernur di NTT”, atau ada terbersit kerinduan: “Kapan
ya NTT punya pemimpin seperti Ahok?” Gebrakan-gebrakan kepemimpinan yang dibuat Ahok
seperti keberanian dan ketegasan dalam memberantas berbagai bentuk korupsi dan
kepemimpinan yang berorientasi rakyat tentu menjadi pendidikan politik bagi
para pemimpin dan calon pemimpin (Gubernur dan Bupati) di daerah NTT. Berbagai
penyelewengan dalam sistem birokrasi yang diungkap dan ditentang Ahok (mungkin)
hanyalah merupakan riak-riak kecil dari gelombang mafia dan barbarisme politik yang
selama ini ditutup rapat dan nyaris tak ditangkap publik. Gerakan ini jelas
mencerminkan adanya pergeseran dalam perjuangan politik seorang pemimpin dari orientasi
kepentingan partai, pribadi dan keluarga, kepada demokrasi yang berkiblat rakyat.
Sistem birokrasi semestinya tidak bikin
“ribet” dan menjadi prosedur untuk membuat yang rumit jadi sederhana sehingga
hidup yang sulit juga jadi mudah. Pertanyaan yang amat krusial dan mendesak
buat kita adalah: adakah pemimpin di daerah NTT yang siap berjuang memberantas
berbagai praktik korupsi yang selama ini terpelihara, pemimpin yang menghargai
transparansi? Artinya, premis-premis nilai yang dirumuskan sebagai tujuan
tindakan politik dalam bingkai visi dan misi tidak hanya sebatas verbalisme
belaka di atas panggung kampanye untuk menarik simpati rakyat.
Perjuangan politik memang merupakan pengembaraan
mencari persinggungan antara ide-ide baru (visi-misi kampanye) dan realitas
aktual di masyarakat. Menjelang Pilgub atau Pilkada masing-masing
calon merumuskan janji-janji politik yang dikemas secara persuasif, efektif dan
ambisius dalam visi dan misi untuk bisa diperkenalkan kepada publik. Secara
langsung rakyat bebas menentukan sendiri, siapa yang akan memimpin NTT atau
siapa yang akan memimpin daerah kabupaten. Pemimpin yang dipilih diharapkan
mampu membawa NTT keluar dari perbagai macam karut-marut krisis yang melanda. Perubahan
yang diwacanakan dalam kampanye harus menjadi nyata di mata masyarakat. Jika
tidak, figur itu akan kehilangan kepercayaan publik. Orientasi pembangunan
harus mampu melahirkan kepercayaan di tengah masyarakat akan adanya perubahan
yang lebih baik dan bukannya menghancur masa depan rakyat. Jika rasa percaya pada pemimpin sudah hilang maka kita
akan hidup dalam sebuah negara anomali. Kita hidup di negara yang mengaku
berlandaskan hukum (rechstaat) tetapi
berpraktek kekuasaan (machstaat),
hidup di negara yang mengaku menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan
kemanusiaan tetapi bertindak sebagai penjual keadilan dan memperdagangkan
manusia; hidup di pemerintahan yang mengaku menghargai demokrasi tetapi selalu
menodai kerakyatan, hidup di propinsi yang katanya membangun demi
kesejahteraan, tetapi justru menghancurkan rakyat.
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia,
Yunarto Wijaya, dalam sebuah Talk Show di salah satu stasiun Televisi Indonesia
tidak meragukan lagi rasionalitas pemilih Indonesia; bahwa suguhan positif dalam
sebuah kampanye dan trade record yang diraih seorang calon belum cukup memberi
garansi sebuah kemenangan pertarungan politik. Masyarakat tidak hanya
sekedar melihat ketokohan tapi mereka ingin bukti konkret dalam kaitannya
dengan program kerja ke depan dan perubahan apa yang pernah dilakukan.
„Pilkada DKI 2017 bukan hanya untuk
memenangkan Ahok dan Heru. Pilkada ini juga untuk menegaskan hak kita yang
tidak berpartai – kita yang percaya kepada demokrasi“, demikian komentar
Goenawan Mohammad, sastrawan terkemuka dan pengasuh kolom „Catatan Pinggir“
majalah Tempo. Singkatnya, Pilgub DKI 2017 (bisa) menjadi „pendidikan politik“
buat kita di NTT – dan bukan sebaliknya „politisasi pendidikan“. Menjadikan
persoalan pendidikan di NTT sebagai „tunggangan“ politik adalah skandal besar
dalam berdemokrasi. ***
Tulisan ini dimuat di Media Cetak Pos Kupang, 22 Maret 2016