PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

29 March 2016

AHOK DAN PENDIDIKAN POLITIK DI NTT

AHOK DAN PENDIDIKAN POLITIK DI NTT
Vianey Lein
Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi St. Augustin – Jerman
Tinggal di Bonn - Jerman

Beberapa bulan semenjak Basuki Tjahaja Purnama – atau yang akrab disapa Ahok – menjabat gubernur DKI Jakarta, muncul aneka perlawanan yang mengusung bendera agama dan berbagai simbol kelompokisme untuk menjatuhkan pamor dan melengserkan “si Cina kafir” dari kursi gubernur DKI Jakarta. Namun, seperti menuangkan minyak tanah dalam api, usaha untuk menaklukkan  “sang dikatator“  yang arogan (oleh warga kalijodo) justru semakin membakar nasionalismenya untuk memperjuangkan keadilan bagi banyak orang. Ahok tak ciut nyali dalam menghadapi berbagai tuduhan karena ia yakin akan kebenaran yang diperjuangkannya ketika orang ramai-ramai menyerang karakternya dan lupa akan hal substansial dari setiap permasalahan yang ada di ibu kota. Bukan hanya untuk pertarungan politik semata tetapi perjuangannya juga dilandasi iman kekristenannya: “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat” (Mat. 5:37) - ayat yang menjadi prinsip hidupnya untuk berani berbicara lantang dan tidak berkompromi untuk hal-hal yang menyimpang.

Tapi ini sama sekali tidak mengimplikasikan bahwa Ahok sedang dalam fase mengejar popularitas dan prestise jabatan demi memenangkan Pilgub DKI 2017 nanti. Tampilnya organisasi spontan dan sporadis “Teman Ahok” yang tidak terikat oleh ideologi atau fanatisme politik tertentu turut  mengafirmasi, bahwa Ahok bukanlah figur yang “nafsu jabatan”. Perkumpulan relawan yang dimotori sekelompok anak muda ini tentu lahir dari rahim “kepercayaan rakyat” yang ditenun lewat pengalaman “perjumpaan” dengan pribadi Ahok dan sepak-terjangnya di ibu kota. Orang-orang yang tergabung dalam komunitas “Teman Ahok” tentu tidak hanya mengenal sosok Ahok dan perubahan-perubahan yang telah dibuat, tetapi juga telah mengenal karut-marut perpolitikan di negara ini. Rakyat semakin cerdas dan rasional. Perlahan-lahan rakyat sudah mulai mengerti “rekam jejak” perpolitikan yang selama ini tidak berpihak pada rakyat.

Mungkin ini tesis yang masih prematur atau bahkan ada yang keberatan dan menilai berlebihan bila saya mengatakan bahwa figur dan gaya kepemimpinan Ahok serta perjuangan komunitas „Teman Ahok“ untuk „menemani“ (mengusung) pasangan Ahok-Heru maju dalam pertarungan Pilgub 2017 lewat jalur independen menjadi „pendidikan politik“ buat kita di NTT. Itu syah-syah saja selama kebebasan berpendapat merupakan salah satu HAM yang juga dijamin oleh UUD 1945.

Berbagai posting di media sosial memperlihatkan bahwa dukungan mengusung Ahok untuk menjadi Gubernur DKI tidak hanya datang dari orang-orang yang ber-KTP DKI tetapi juga dari masyarakat luar DKI. Sempat ada yang berkomentar: “ Kok orang-orang dari NTT sibuk amat sama pencalonan Ahok jadi Gubernur DKI. Nanti kalau dia jadi Gubernur, apakah daerahmu juga diperhatikan?” Hal ini tentu menjadi eksperimen politik yang menarik untuk dikaji bagi propinsi-propinsi atau kabupaten-kabupaten lain di Indonesia (NTT misalnya), mengapa orang-orang dari luar DKI juga “heboh” mendukung seorang (calon) pemimpin seperti Ahok. Bahkan ada yang menulis: “Jika Jakarta tidak mendukung Ahok, biar dia jadi Gubernur di NTT”, atau ada terbersit kerinduan: “Kapan ya NTT punya pemimpin seperti Ahok?”                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           Gebrakan-gebrakan kepemimpinan yang dibuat Ahok seperti keberanian dan ketegasan dalam memberantas berbagai bentuk korupsi dan kepemimpinan yang berorientasi rakyat tentu menjadi pendidikan politik bagi para pemimpin dan calon pemimpin (Gubernur dan Bupati) di daerah NTT. Berbagai penyelewengan dalam sistem birokrasi yang diungkap dan ditentang Ahok (mungkin) hanyalah merupakan riak-riak kecil dari gelombang mafia dan barbarisme politik yang selama ini ditutup rapat dan nyaris tak ditangkap publik. Gerakan ini jelas mencerminkan adanya pergeseran dalam perjuangan politik seorang pemimpin dari orientasi kepentingan partai, pribadi dan keluarga, kepada demokrasi yang berkiblat rakyat. Sistem birokrasi  semestinya tidak bikin “ribet” dan menjadi prosedur untuk membuat yang rumit jadi sederhana sehingga hidup yang sulit juga jadi mudah. Pertanyaan yang amat krusial dan mendesak buat kita adalah: adakah pemimpin di daerah NTT yang siap berjuang memberantas berbagai praktik korupsi yang selama ini terpelihara, pemimpin yang menghargai transparansi? Artinya, premis-premis nilai yang dirumuskan sebagai tujuan tindakan politik dalam bingkai visi dan misi tidak hanya sebatas verbalisme belaka di atas panggung kampanye untuk menarik simpati rakyat.

Perjuangan politik memang merupakan pengembaraan mencari persinggungan antara ide-ide baru (visi-misi kampanye) dan realitas aktual di masyarakat. Menjelang Pilgub atau Pilkada masing-masing calon merumuskan janji-janji politik yang dikemas secara persuasif, efektif dan ambisius dalam visi dan misi untuk bisa diperkenalkan kepada publik. Secara langsung rakyat bebas menentukan sendiri, siapa yang akan memimpin NTT atau siapa yang akan memimpin daerah kabupaten. Pemimpin yang dipilih diharapkan mampu membawa NTT keluar dari perbagai macam karut-marut krisis yang melanda. Perubahan yang diwacanakan dalam kampanye harus menjadi nyata di mata masyarakat. Jika tidak, figur itu akan kehilangan kepercayaan publik. Orientasi pembangunan harus mampu melahirkan kepercayaan di tengah masyarakat akan adanya perubahan yang lebih baik dan bukannya menghancur masa depan rakyat. Jika rasa percaya pada pemimpin sudah hilang maka kita akan hidup dalam sebuah negara anomali. Kita hidup di negara yang mengaku berlandaskan hukum (rechstaat) tetapi berpraktek kekuasaan (machstaat), hidup di negara yang mengaku menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan tetapi bertindak sebagai penjual keadilan dan memperdagangkan manusia; hidup di pemerintahan yang mengaku menghargai demokrasi tetapi selalu menodai kerakyatan, hidup di propinsi yang katanya membangun demi kesejahteraan, tetapi justru menghancurkan rakyat.

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya, dalam sebuah Talk Show di salah satu stasiun Televisi Indonesia tidak meragukan lagi rasionalitas pemilih Indonesia; bahwa suguhan positif dalam sebuah kampanye dan trade record yang diraih seorang calon belum cukup memberi garansi sebuah kemenangan pertarungan politik. Masyarakat tidak hanya sekedar melihat ketokohan tapi mereka ingin bukti konkret dalam kaitannya dengan program kerja ke depan dan perubahan apa yang pernah dilakukan.

 „Pilkada DKI 2017 bukan hanya untuk memenangkan Ahok dan Heru. Pilkada ini juga untuk menegaskan hak kita yang tidak berpartai – kita yang percaya kepada demokrasi“, demikian komentar Goenawan Mohammad, sastrawan terkemuka dan pengasuh kolom „Catatan Pinggir“ majalah Tempo. Singkatnya, Pilgub DKI 2017 (bisa) menjadi „pendidikan politik“ buat kita di NTT – dan bukan sebaliknya „politisasi pendidikan“. Menjadikan persoalan pendidikan di NTT sebagai „tunggangan“ politik adalah skandal besar dalam berdemokrasi. ***


Tulisan ini dimuat di Media Cetak Pos Kupang, 22 Maret 2016

FRANS AMANUE: IMAM PARA KORBAN

FRANS AMANUE: IMAM PARA KORBAN
Mengenang Almahrum Rm. Frans Amanue, Pr
Vian Lein
Umat Stasi Lewokung, Paroki Bama.
Tinggal di Jerman.

Postingan beberapa teman Facebook pada hari Sabtu, 26 Maret 2016 sungguh mengagetkan saya: „Romo Frans Amanue, Pr, imam projo Keuskupan Larantuka, telah berpulang ke rumah abadi“. Hanya dalam hitungan detik, pesan duka itu tersebar di dinding media sosial sebelum diberitakan koran lokal atau portal berita online. Banyak orang, khususnya umat Keuskupan Larantuka, sungguh merasa kehilangan sosok seorang gembala yang dekat dengan umat dan terkenal berani menyuarakan kebenaran dan keadilan.


Sosok Romo Frans Amanue dengan rambutnya yang telah memutih tidak asing lagi bagi saya. Hampir sering saya berjumpa dengan Romo Frans ketika Almharum masih bertugas melayani umat di Paroki Bama. Perjumpaan itu tidak hanya dalam perayaan ekaristi tetapi juga di pastoran Paroki Bama. Romo Frans terkenal sebagai orang yang betah duduk  dan bertahan di depan buku, koran dan layar TV. Ia tekun mendalami nilai-nilai kebenaran dan menyelami nilai-nilai spiritual yang adalah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya. Perjumpaannya dengan realitas dunia, baik secara langsung maupun lewat koran dan televisi, menghantarnya kepada sebuah refleksi filosofis teologis tentang dunia dan segala persoalan kemanusiaan. Namun semua refleksi kritis itu tidak hanya menjadi milik sendiri, terpenjara dalam kamar sempit pastoran, dan menutup mata dan telinga terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan yang dialami umat gembalaannya. Nilai-nilai kebenaran yang lahir dari refleksi filosofis-teologis itu tidak hanya sebatas wacana di mimbar khotbah. Lebih dari itu, dia berani tampil berpihak pada kaum kecil dan tertindas dalam memperjuangkan hak mereka dan menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran dan keadilan yang telah lama dibungkam.

Perjuangan Sang Gembala Umat kelahiran Adonara ini mengingatkan saya pada teologi pembebasan di Amerika Latin dan negara-negara dunia ketiga lainnya yang berangkat dari praksis pembebasan atas penindasan dan pemiskinan. “Teologi pembebasan adalah teologi yang mencucukan jarinya pada luka itu (luka korban)”, sebagaimana dirumuskan Dom Luciano Mendes de Almeida, salah satu pemikirnya. Atau seperti kata Paus Fransikus: “saya lebih suka Gereja yang lecet, terluka dan kotor karena telah turun ke jalan-jalan, dibandingkan dengan sebuah gereja yang tidak sehat karena dikurung dan menggantungkan diri pada keamanan diri”. Saya yakin, ungkapan Latin Vox populi, vox dei, suara rakyat adalah suara Allah, menginspirasi seluruh perjuangan Alamahrum dalam menyuarakan kebenaran dan keadilan. Almahrum senantiasa menempatkan para korban pada pusat penghayatan iman dan refleksi teologisnya. Imannya akan Kristus diintepretasi secara baru dari perspektif para korban. Vox victimarum vox Dei, jeritan para korban menggemakan suara Allah yang memanggil.

Romo Frans menutup usia pada pekan suci Semana Santa, di mana umat keuskupan bersama Bunda Maria yang berduka merenungkan kisah sengsara Sang Putra hingga wafat di palang salib. Misteri penderitaan, wafat dan kebangkitan Yesus memperlihatkan bahwa Allah yang telah mengingkarnasi menjadi manusia adalah Allah yang membebaskan para korban. Kepedulian Romo Frans mewujud-nyata dalam keberpihakannya pada para korban dan berjuang untuk membela kebenaran dan keadilan. Di tengah kebijakan-kebijakan politik di Kabupaten Flores Timur dan Lembata yang mengeksploitasi dan mengorbankan kaum lemah, ia tampil sebagai nabi untuk berpihak pada korban. Solidaritas dengan para korban ini lahir dari rasa tanggung jawab terhadap umat gembalaannya yang dililit kekerasan oleh konspirasi politik dan kapitalisme. Romo Frans merasa diri tidak „nyaman“ dan terus „diganggu-gugat“ ketika hukum diperjualbelikan  dan kebenaran mulai direkayasa dalam kolaborasi penguasa politik dan ekonomi. Rasa „ketidaknyamanan“ ini menggerakan nuraninya untuk berani bangkit berjuang dan menegaskan, bahwa bukan penguasa politik dan pemilik modal menjadi prinsip demokrasi melainkan rakyat kecil yang hampir selalu menjadi korban kebijakan politik. Romo Frans merasa terpanggil untuk berjuang bersama rekan-rekan imam lainnya dan para pejuang HAM untuk melawan hegemoni politik dan ekonomi di Flores Timur dan Lembata. Dalam semangat tugas keimaman dan kenabian, Romo Frans tampil untuk menguduskan politik yang „kotor“ oleh praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.

Komitmen dan pilihan keberpihakan pada korban bukanlah sebuah pilihan tanpa risiko. Berbagai perlawanan untuk menggagalkan perjuangan kemanusiaannya dan kebencian terhadap pribadi Romo Frans muncul dari para penguasa politik dan umat gembalaan yang dilayaninya. Beberapa kali Almahrum digiring ke kursi pesakitan dan hampir dibekap dalam jeruji besi. Tapi hal itu sama sekali tidak mengharuskan dia untuk membenci umatnya. Dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan, Romo Frans tetap memandang mereka sebagai saudari dan saudara dalam iman akan Allah – Sang Kebenaran Abadi. Ia sungguh menyadari tugas kegembalaannya untuk mencari dan menemukan domba-domba yang tersesat. Mereka harus dibimbing kepada jalan (yang) ke(benar)an.

Kini, imam para korban itu telah berpulang untuk abadi. Di ranjung maut ia seakan berseru: „sudah selesai“, bahwa perjuangannya sampai di sini. Kematian Romo Frans Amanue, Pr tentu merupakan kehilangan besar buat masyarakat Flores Timur dan Lembata serta meninggalkan duka dan penyesalan yang mendalam, sebagaimana yang diungkapkan oleh juragan KM Sinar Mutiara 3 asal Lamahala: "Bapa Romo bolak-balik Larantuka-Lewoleba selalu naik Sinar 3 dan  selalu bersama saya di ruang jurumudi ini. Saya tidak hanya kenal dia baik, tapi saya juga mengaguminya. Dia pejuang kebenaran dan keadilan. Di mana ada masalah dengan soal kebenaran dan keadilan, di situ dia ada. Saya ikuti betul riwayat perjalanan hidup dan perjuangannya. Saya kagum dengan apa yang dilakukannya dulu di Larantuka. Saya pernah secara tulus bilang dia, Bapa Romo, Bapa buka "baju" pastor saja dan calonkan diri jadi pemimpin kami. Bupati atau DPRD juga baik. Saya Dullah, teman-teman dan keluarga "turun" lapangan bantu Romo kampanye dan mendapatkan dukungan. Biar Bapa Romo pimpin kami" (dari dinding FB seorang teman).

Semua kita mungkin sedih dan ingin berontak, mengapa Sang Gembala itu pergi, ketika suara dan kesaksian profetisnya masih sangat dibutuhkan. Tapi hal ini bukan berarti, bahwa perjuangan kemanusiaan untuk kebenaran dan keadilan juga berakhir dalam peristiwa kematian. Dalam peristiwa kematian dan iman kita akan kebangkitannya bersama Kristus, semangat juang kita justru semakin dikobarkan untuk senantiasa menyuarakan kebenaran dan keadilan. Intensitas kebersamaan dan keberpihakan dengan para korban yang telah Almahrum tunjukkan, semestinya menjadi semangat pastoral – bukan hanya untuk para imam di Keuskupan Larantuka, melainkan juga bagi kaum awam.

Romo Frans, terima kasih untuk perjumpaan dan perjuangan kemanusiaanmu untuk masyarakat Flotim dan Lembata. Semoga bahagia di surga bersama Tuhan – Sang Kebenaran Abadi, yang senantiasai kau rindu.***RIP

Vianney Lein




03 March 2016

SURAT UNTUK IBU

SURAT UNTUK IBU

Ibu tersayang….
Pada semilir angin yang membelai bulir-bulir salju
kuucapkan selamat pagi, siang, sore, malam atau situasi apa saja ketika ibu membaca suratku ini.
Mungkin ibu merasa terkejut akan ucapan selamat
yang mengatasnamai setiap putaran waktu;
tapi itulah kekuatan cinta yang menembus batas ruang dan waktu, yang hadir pada setiap waktu dan tempat meski terdakang
manusia tak menghendakinya.
Aku tahu perasaan ibu, tentang rindu yang terus mengalir di nadi untuk berjumpa, untuk berkumpul kembali dalam rumah
di dusun kecil itu sambil menyanyikan „dolo-dolo“ di tepian tungku yang mungkin telah lama sepi.
Tetaplah yakin pada Sang Waktu dan jangan mempersalahkannya. Ia punya andil buat kita, dialah yang memisahkan kita, dan dia juga kelak akan mempertemukan kita.
Aku juga mengerti tentang kekhwatiran ibu yang begitu kuat akan keadaanku disini. Pesanmu untuk selalu „jaga diri dan jaga agama“ masih tetap kuingat.
Memang betul bahwa sudah begitu banyak orang disini yang meninggalkan gereja atau tidak lagi percaya pada Dia, Sang Pencipta. Jangan khawatir bu, karena aku tidak akan memunggung dari kiblatku untuk percaya pada Dia Sang Pemberi Hidup,
yang selalu kudengar dari guru agama di Sekolah Dasar dan juga dari ibu sendiri.
Ibu tersayang,
rasanya malam-malamku kian berat untuk kutimang di pelupuk mata jika mengingat segala gelisah dan kecemasanmu; dan hari-hari terlalu lama untuk kujengkali matahari sambil memanggul cahyanya. Cukup kirimkan aku doamu agar malam yang indah dan akhir yang sempurna tetap menjadi milik kita.
Dan gunduk rindumu, rindu kita akan kujadikan alas kepalaku
untuk bermimpi di relung rembulan malam ini,
bukannya mengganjal mata kita untuk berjejak.
Dan aku juga masih punya harap dan idealisme yang kental untuk tunjukan kepada dunia, bahwa matahari bukan hanya terbit di timur, tetapi juga di barat. Itu mimpiku bersama malam yang jatuh di ujung hari.
Tapi kini aku harus bangun mengejar matahari.
Vianney Lein
Read more: http://baltyra.com/2013/02/24/surat-untuk-ibu/comment-page-1/#comments#ixzz41rkJUyTH

AKU, DIA, DAN GEREJA TUA

AKU, DIA, DAN GEREJA TUA
(Pada ceruk kathedral tua, kutabur cerita ini,
Cerita tentang namamu
Dan seperti gereja tua ini yang menyimpan ribuan cerita di balik decak kagum, bangga dan rasa cinta para pengunjung atas keanggunan, kemegahannya dan estetika gotik-nya, biarlah nama ini juga menjadi cerita untukku.)

Engkau yang kujumpa di beranda musim yang membakar
Lembut menyapa di keagungan Kathedral berabad usia
Vin, begitu pahatan namamu terukir di bibir
Ingatanku, yang entah berapa kali aku mengeja- mengenang di antara
Nafas dan rasa bertabur cinta

Sesaat kita bersua, berkali kita terjatuh sepi
Enggan berkaca pada bola mata
Pancaran jiwa hati sebening embun
Tiada yang mampu mengetuk sunyi
Itu pandangan pertama di pelataran Gereja tua
Apa yang bisa kau kenang, kenanglah….aku pun demikian
Nanti kelak kita membikinnya abadi
Ini awal cerita tentang kita, kutulis di ceruk Kathedral

Senja kian merapat di menara Gereja tua
Aku memandang salib cinta-Nya yang paling sakral
“Genggam asa dan rasa cintaku di tangan kasih-Mu”
Aku bermunajat pada Dia yang tergantung dan larik doaku melengking di bias
Limousin senja paling anggun menudung
Aku, dia dan Gereja tua…

Vianney Lein
2013


Read more: http://baltyra.com/2013/01/28/aku-dia-dan-gereja-tua/#ixzz41rjYxYVy

LILIN ADVENT

LILIN ADVENT


Hanya dengan cahya lilin kita menanti

Di pijarnya kita membakar


malam-malam kita yang berkeluh kesah


Hanya dengan cahya lilin

kita berdiang di pijarnya


pada lidah apinya kita berkata-kata


dan kata pun melebur dalamnya


Biarkan kita pun turut terbakar bersamanya


juga rindu kita yang kian menggigil


Kau lilin kecilku

Di keremangan aku sembahyang



Adventsfeier
PTH Sankt Augustin
18 Dezember 2012


Read more: http://baltyra.com/2012/12/22/lilin-advent/#ixzz41rjBeeM7

SEBUAH SENJA DI BULAN MEI

SEBUAH SENJA DI BULAN MEI

Depan taman balik jendela kamar, kulihat hanyalah tembok berabad usia memagari tempat, dimana aku belajar dan terus belajar untuk memahami eksistensi Yang Transendens (Allah) yang terus dipertanyakan dan digugat, serta kehadiran manusia dan segala ciptaan yang lain di planet bumi ini. Hanya tumpukan dedaunan, gugur di antara bias cahya. Di halaman dekat kapela kecil itu, juga dibentangi dedaunan sejak musim kemarin. Dan sebelah atas palang salib, ada mentari memancar.


Di antara deru udara bersorak ria membelai, antara kegembiraan yang tercurah ke atas bumi aku menatap hanya bayangan keteduhan dedaunan yang bermain pada gorden putih; juga bias-bias cahaya yang membakar ranting-ranting kering lalu menebarkan aroma di sudut-sudut kamarku, seperti dupa mewangi membubung naik pada perayaan ekaristi Minggu kemarin. Kurasakan hembusan angin yang begitu lembut dan bayangan-bayangan pada tirai itu menjadi lebih hidup. Ketika segumpal awan di balik mentari berarak muncul, seberkas cahya keemasan terlihat, terpantul di antara puteri malu yang menjalar di taman.
Seperti seorang yang terperangkap dalam gua aku terpaku sendirian di hadapan bayang-bayang dunia. Sebuah senja di bulan Mei. Udara dingin tak mengalir. Berkas cahya mentari terpantul pada tiap dinding dan sisi „rumahku“, mendandani setiap objek dalam sebuah senyum yang abadi. Siapakah aku ini dan apa yang dapat kulakukan jika tidak melangkah dan menjejaki dedaunan dan bermain pada cahaya merambah kota?
Ketika aku mencoba untuk meraih diriku sendiri, aku hanya bisa meraihnya di kedalaman terang cahyanya. Dan ketika aku berusaha menjamah  setiap keindahan serta menikmati kelembutan yang menyajikan rahasia alam, aku menemukan diriku sendiri terbujur pada dasar segala yang ada. Ya, diriku sendiri, termasuk segala rasa yang menghempaskan aku dari dunia sekitarku, dan segala yang ada, juga manusia, akan segera menjeratku. Tapi biarlah aku pada  detik-detik ini bebas keluar dari tenunan waktu seperti kembang yang tergeletak di antara halaman-halaman buku setelah mengakhiri sebuah perjalanan menggores cinta. Dan aku juga berjalan pada jalanNya, Dia, Sang Empunya Cinta, yang telah lebih dahulu menulis cinta pada diriku, pada awal mula adanya aku. Hidup itu singkat, dan kehilangan waktu yang dianugerahkanNya adalah sebuah  dosa? Hampir saja aku kehilangan banyak waktu dalam sehari, tetapi para sahabat memujiku: „kamu begitu aktif!“ Bagiku, hari ini adalah sebuah permenungan, dan hatiku terbuka untuk sebuah perjumpaan dengan diriku sendiri.
Satu-satunya ketakutan yang terus menghantuiku adalah perasaan bahwa pengalaman kekinian yang tak mampu kupahami dengan akal manusiawiku, mengalir seperti mutiara di antara jemari tangan. Aku tak lagi mengeluh, tak lagi menggerutu karena aku merasa seperti di rumahku sendiri, di mana pecah tangis pertamaku terdengar. Ini kisahku, ini rasaku, yang semuanya tertulis pada jendela kamar, dan pada tirainya membelah, langit biru curahkan kepenuhannya. Aku bisa katakan dan akan segera mengatakan itu, bahwa ini semua amat manusiawi, sederhana saja. Kemanusiawian dan kesederhanaan.
Keabadian ada di sana. Mungkin jauh… dan amat jauh dari diriku. Atau mungkin juga dekat, melekat erat pada eksistensi diriku. Dan aku tidak tahu, apa yang bisa aku inginkan untuk diriku selain daripada situasi kekinianku. Yang aku inginkan saat ini adalah bukan untuk sebuah kebahagiaan melainkan agar aku sadar. Yang aku inginkan adalah sebuah kesadaran diri. Aku ingin sadar akan kemungkinan-kemungkinan yang dengannya aku belajar bertanggung jawab. Tiap menit kehidupan mengusung nilai dan makna dalam dirinya sebagai keajaiban/mujizat luar biasa dan yang akan mengubah wajah kehidupan menjadi lebih hidup.***VL
Sankt Augustin, 21 Mai 2013


Read more: http://baltyra.com/2013/06/03/sebuah-senja-di-bulan-mei-goresan-pada-halaman-sebuah-diary/#ixzz41riuTvQb
Read more: http://baltyra.com/2013/06/03/sebuah-senja-di-bulan-mei-goresan-pada-halaman-sebuah-diary/#ixzz41ri5rEQ1