PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

29 March 2016

AHOK DAN PENDIDIKAN POLITIK DI NTT

AHOK DAN PENDIDIKAN POLITIK DI NTT
Vianey Lein
Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi St. Augustin – Jerman
Tinggal di Bonn - Jerman

Beberapa bulan semenjak Basuki Tjahaja Purnama – atau yang akrab disapa Ahok – menjabat gubernur DKI Jakarta, muncul aneka perlawanan yang mengusung bendera agama dan berbagai simbol kelompokisme untuk menjatuhkan pamor dan melengserkan “si Cina kafir” dari kursi gubernur DKI Jakarta. Namun, seperti menuangkan minyak tanah dalam api, usaha untuk menaklukkan  “sang dikatator“  yang arogan (oleh warga kalijodo) justru semakin membakar nasionalismenya untuk memperjuangkan keadilan bagi banyak orang. Ahok tak ciut nyali dalam menghadapi berbagai tuduhan karena ia yakin akan kebenaran yang diperjuangkannya ketika orang ramai-ramai menyerang karakternya dan lupa akan hal substansial dari setiap permasalahan yang ada di ibu kota. Bukan hanya untuk pertarungan politik semata tetapi perjuangannya juga dilandasi iman kekristenannya: “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat” (Mat. 5:37) - ayat yang menjadi prinsip hidupnya untuk berani berbicara lantang dan tidak berkompromi untuk hal-hal yang menyimpang.

Tapi ini sama sekali tidak mengimplikasikan bahwa Ahok sedang dalam fase mengejar popularitas dan prestise jabatan demi memenangkan Pilgub DKI 2017 nanti. Tampilnya organisasi spontan dan sporadis “Teman Ahok” yang tidak terikat oleh ideologi atau fanatisme politik tertentu turut  mengafirmasi, bahwa Ahok bukanlah figur yang “nafsu jabatan”. Perkumpulan relawan yang dimotori sekelompok anak muda ini tentu lahir dari rahim “kepercayaan rakyat” yang ditenun lewat pengalaman “perjumpaan” dengan pribadi Ahok dan sepak-terjangnya di ibu kota. Orang-orang yang tergabung dalam komunitas “Teman Ahok” tentu tidak hanya mengenal sosok Ahok dan perubahan-perubahan yang telah dibuat, tetapi juga telah mengenal karut-marut perpolitikan di negara ini. Rakyat semakin cerdas dan rasional. Perlahan-lahan rakyat sudah mulai mengerti “rekam jejak” perpolitikan yang selama ini tidak berpihak pada rakyat.

Mungkin ini tesis yang masih prematur atau bahkan ada yang keberatan dan menilai berlebihan bila saya mengatakan bahwa figur dan gaya kepemimpinan Ahok serta perjuangan komunitas „Teman Ahok“ untuk „menemani“ (mengusung) pasangan Ahok-Heru maju dalam pertarungan Pilgub 2017 lewat jalur independen menjadi „pendidikan politik“ buat kita di NTT. Itu syah-syah saja selama kebebasan berpendapat merupakan salah satu HAM yang juga dijamin oleh UUD 1945.

Berbagai posting di media sosial memperlihatkan bahwa dukungan mengusung Ahok untuk menjadi Gubernur DKI tidak hanya datang dari orang-orang yang ber-KTP DKI tetapi juga dari masyarakat luar DKI. Sempat ada yang berkomentar: “ Kok orang-orang dari NTT sibuk amat sama pencalonan Ahok jadi Gubernur DKI. Nanti kalau dia jadi Gubernur, apakah daerahmu juga diperhatikan?” Hal ini tentu menjadi eksperimen politik yang menarik untuk dikaji bagi propinsi-propinsi atau kabupaten-kabupaten lain di Indonesia (NTT misalnya), mengapa orang-orang dari luar DKI juga “heboh” mendukung seorang (calon) pemimpin seperti Ahok. Bahkan ada yang menulis: “Jika Jakarta tidak mendukung Ahok, biar dia jadi Gubernur di NTT”, atau ada terbersit kerinduan: “Kapan ya NTT punya pemimpin seperti Ahok?”                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           Gebrakan-gebrakan kepemimpinan yang dibuat Ahok seperti keberanian dan ketegasan dalam memberantas berbagai bentuk korupsi dan kepemimpinan yang berorientasi rakyat tentu menjadi pendidikan politik bagi para pemimpin dan calon pemimpin (Gubernur dan Bupati) di daerah NTT. Berbagai penyelewengan dalam sistem birokrasi yang diungkap dan ditentang Ahok (mungkin) hanyalah merupakan riak-riak kecil dari gelombang mafia dan barbarisme politik yang selama ini ditutup rapat dan nyaris tak ditangkap publik. Gerakan ini jelas mencerminkan adanya pergeseran dalam perjuangan politik seorang pemimpin dari orientasi kepentingan partai, pribadi dan keluarga, kepada demokrasi yang berkiblat rakyat. Sistem birokrasi  semestinya tidak bikin “ribet” dan menjadi prosedur untuk membuat yang rumit jadi sederhana sehingga hidup yang sulit juga jadi mudah. Pertanyaan yang amat krusial dan mendesak buat kita adalah: adakah pemimpin di daerah NTT yang siap berjuang memberantas berbagai praktik korupsi yang selama ini terpelihara, pemimpin yang menghargai transparansi? Artinya, premis-premis nilai yang dirumuskan sebagai tujuan tindakan politik dalam bingkai visi dan misi tidak hanya sebatas verbalisme belaka di atas panggung kampanye untuk menarik simpati rakyat.

Perjuangan politik memang merupakan pengembaraan mencari persinggungan antara ide-ide baru (visi-misi kampanye) dan realitas aktual di masyarakat. Menjelang Pilgub atau Pilkada masing-masing calon merumuskan janji-janji politik yang dikemas secara persuasif, efektif dan ambisius dalam visi dan misi untuk bisa diperkenalkan kepada publik. Secara langsung rakyat bebas menentukan sendiri, siapa yang akan memimpin NTT atau siapa yang akan memimpin daerah kabupaten. Pemimpin yang dipilih diharapkan mampu membawa NTT keluar dari perbagai macam karut-marut krisis yang melanda. Perubahan yang diwacanakan dalam kampanye harus menjadi nyata di mata masyarakat. Jika tidak, figur itu akan kehilangan kepercayaan publik. Orientasi pembangunan harus mampu melahirkan kepercayaan di tengah masyarakat akan adanya perubahan yang lebih baik dan bukannya menghancur masa depan rakyat. Jika rasa percaya pada pemimpin sudah hilang maka kita akan hidup dalam sebuah negara anomali. Kita hidup di negara yang mengaku berlandaskan hukum (rechstaat) tetapi berpraktek kekuasaan (machstaat), hidup di negara yang mengaku menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan tetapi bertindak sebagai penjual keadilan dan memperdagangkan manusia; hidup di pemerintahan yang mengaku menghargai demokrasi tetapi selalu menodai kerakyatan, hidup di propinsi yang katanya membangun demi kesejahteraan, tetapi justru menghancurkan rakyat.

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya, dalam sebuah Talk Show di salah satu stasiun Televisi Indonesia tidak meragukan lagi rasionalitas pemilih Indonesia; bahwa suguhan positif dalam sebuah kampanye dan trade record yang diraih seorang calon belum cukup memberi garansi sebuah kemenangan pertarungan politik. Masyarakat tidak hanya sekedar melihat ketokohan tapi mereka ingin bukti konkret dalam kaitannya dengan program kerja ke depan dan perubahan apa yang pernah dilakukan.

 „Pilkada DKI 2017 bukan hanya untuk memenangkan Ahok dan Heru. Pilkada ini juga untuk menegaskan hak kita yang tidak berpartai – kita yang percaya kepada demokrasi“, demikian komentar Goenawan Mohammad, sastrawan terkemuka dan pengasuh kolom „Catatan Pinggir“ majalah Tempo. Singkatnya, Pilgub DKI 2017 (bisa) menjadi „pendidikan politik“ buat kita di NTT – dan bukan sebaliknya „politisasi pendidikan“. Menjadikan persoalan pendidikan di NTT sebagai „tunggangan“ politik adalah skandal besar dalam berdemokrasi. ***


Tulisan ini dimuat di Media Cetak Pos Kupang, 22 Maret 2016

No comments:

Post a Comment