PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

29 March 2016

FRANS AMANUE: IMAM PARA KORBAN

FRANS AMANUE: IMAM PARA KORBAN
Mengenang Almahrum Rm. Frans Amanue, Pr
Vian Lein
Umat Stasi Lewokung, Paroki Bama.
Tinggal di Jerman.

Postingan beberapa teman Facebook pada hari Sabtu, 26 Maret 2016 sungguh mengagetkan saya: „Romo Frans Amanue, Pr, imam projo Keuskupan Larantuka, telah berpulang ke rumah abadi“. Hanya dalam hitungan detik, pesan duka itu tersebar di dinding media sosial sebelum diberitakan koran lokal atau portal berita online. Banyak orang, khususnya umat Keuskupan Larantuka, sungguh merasa kehilangan sosok seorang gembala yang dekat dengan umat dan terkenal berani menyuarakan kebenaran dan keadilan.


Sosok Romo Frans Amanue dengan rambutnya yang telah memutih tidak asing lagi bagi saya. Hampir sering saya berjumpa dengan Romo Frans ketika Almharum masih bertugas melayani umat di Paroki Bama. Perjumpaan itu tidak hanya dalam perayaan ekaristi tetapi juga di pastoran Paroki Bama. Romo Frans terkenal sebagai orang yang betah duduk  dan bertahan di depan buku, koran dan layar TV. Ia tekun mendalami nilai-nilai kebenaran dan menyelami nilai-nilai spiritual yang adalah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya. Perjumpaannya dengan realitas dunia, baik secara langsung maupun lewat koran dan televisi, menghantarnya kepada sebuah refleksi filosofis teologis tentang dunia dan segala persoalan kemanusiaan. Namun semua refleksi kritis itu tidak hanya menjadi milik sendiri, terpenjara dalam kamar sempit pastoran, dan menutup mata dan telinga terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan yang dialami umat gembalaannya. Nilai-nilai kebenaran yang lahir dari refleksi filosofis-teologis itu tidak hanya sebatas wacana di mimbar khotbah. Lebih dari itu, dia berani tampil berpihak pada kaum kecil dan tertindas dalam memperjuangkan hak mereka dan menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran dan keadilan yang telah lama dibungkam.

Perjuangan Sang Gembala Umat kelahiran Adonara ini mengingatkan saya pada teologi pembebasan di Amerika Latin dan negara-negara dunia ketiga lainnya yang berangkat dari praksis pembebasan atas penindasan dan pemiskinan. “Teologi pembebasan adalah teologi yang mencucukan jarinya pada luka itu (luka korban)”, sebagaimana dirumuskan Dom Luciano Mendes de Almeida, salah satu pemikirnya. Atau seperti kata Paus Fransikus: “saya lebih suka Gereja yang lecet, terluka dan kotor karena telah turun ke jalan-jalan, dibandingkan dengan sebuah gereja yang tidak sehat karena dikurung dan menggantungkan diri pada keamanan diri”. Saya yakin, ungkapan Latin Vox populi, vox dei, suara rakyat adalah suara Allah, menginspirasi seluruh perjuangan Alamahrum dalam menyuarakan kebenaran dan keadilan. Almahrum senantiasa menempatkan para korban pada pusat penghayatan iman dan refleksi teologisnya. Imannya akan Kristus diintepretasi secara baru dari perspektif para korban. Vox victimarum vox Dei, jeritan para korban menggemakan suara Allah yang memanggil.

Romo Frans menutup usia pada pekan suci Semana Santa, di mana umat keuskupan bersama Bunda Maria yang berduka merenungkan kisah sengsara Sang Putra hingga wafat di palang salib. Misteri penderitaan, wafat dan kebangkitan Yesus memperlihatkan bahwa Allah yang telah mengingkarnasi menjadi manusia adalah Allah yang membebaskan para korban. Kepedulian Romo Frans mewujud-nyata dalam keberpihakannya pada para korban dan berjuang untuk membela kebenaran dan keadilan. Di tengah kebijakan-kebijakan politik di Kabupaten Flores Timur dan Lembata yang mengeksploitasi dan mengorbankan kaum lemah, ia tampil sebagai nabi untuk berpihak pada korban. Solidaritas dengan para korban ini lahir dari rasa tanggung jawab terhadap umat gembalaannya yang dililit kekerasan oleh konspirasi politik dan kapitalisme. Romo Frans merasa diri tidak „nyaman“ dan terus „diganggu-gugat“ ketika hukum diperjualbelikan  dan kebenaran mulai direkayasa dalam kolaborasi penguasa politik dan ekonomi. Rasa „ketidaknyamanan“ ini menggerakan nuraninya untuk berani bangkit berjuang dan menegaskan, bahwa bukan penguasa politik dan pemilik modal menjadi prinsip demokrasi melainkan rakyat kecil yang hampir selalu menjadi korban kebijakan politik. Romo Frans merasa terpanggil untuk berjuang bersama rekan-rekan imam lainnya dan para pejuang HAM untuk melawan hegemoni politik dan ekonomi di Flores Timur dan Lembata. Dalam semangat tugas keimaman dan kenabian, Romo Frans tampil untuk menguduskan politik yang „kotor“ oleh praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.

Komitmen dan pilihan keberpihakan pada korban bukanlah sebuah pilihan tanpa risiko. Berbagai perlawanan untuk menggagalkan perjuangan kemanusiaannya dan kebencian terhadap pribadi Romo Frans muncul dari para penguasa politik dan umat gembalaan yang dilayaninya. Beberapa kali Almahrum digiring ke kursi pesakitan dan hampir dibekap dalam jeruji besi. Tapi hal itu sama sekali tidak mengharuskan dia untuk membenci umatnya. Dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan, Romo Frans tetap memandang mereka sebagai saudari dan saudara dalam iman akan Allah – Sang Kebenaran Abadi. Ia sungguh menyadari tugas kegembalaannya untuk mencari dan menemukan domba-domba yang tersesat. Mereka harus dibimbing kepada jalan (yang) ke(benar)an.

Kini, imam para korban itu telah berpulang untuk abadi. Di ranjung maut ia seakan berseru: „sudah selesai“, bahwa perjuangannya sampai di sini. Kematian Romo Frans Amanue, Pr tentu merupakan kehilangan besar buat masyarakat Flores Timur dan Lembata serta meninggalkan duka dan penyesalan yang mendalam, sebagaimana yang diungkapkan oleh juragan KM Sinar Mutiara 3 asal Lamahala: "Bapa Romo bolak-balik Larantuka-Lewoleba selalu naik Sinar 3 dan  selalu bersama saya di ruang jurumudi ini. Saya tidak hanya kenal dia baik, tapi saya juga mengaguminya. Dia pejuang kebenaran dan keadilan. Di mana ada masalah dengan soal kebenaran dan keadilan, di situ dia ada. Saya ikuti betul riwayat perjalanan hidup dan perjuangannya. Saya kagum dengan apa yang dilakukannya dulu di Larantuka. Saya pernah secara tulus bilang dia, Bapa Romo, Bapa buka "baju" pastor saja dan calonkan diri jadi pemimpin kami. Bupati atau DPRD juga baik. Saya Dullah, teman-teman dan keluarga "turun" lapangan bantu Romo kampanye dan mendapatkan dukungan. Biar Bapa Romo pimpin kami" (dari dinding FB seorang teman).

Semua kita mungkin sedih dan ingin berontak, mengapa Sang Gembala itu pergi, ketika suara dan kesaksian profetisnya masih sangat dibutuhkan. Tapi hal ini bukan berarti, bahwa perjuangan kemanusiaan untuk kebenaran dan keadilan juga berakhir dalam peristiwa kematian. Dalam peristiwa kematian dan iman kita akan kebangkitannya bersama Kristus, semangat juang kita justru semakin dikobarkan untuk senantiasa menyuarakan kebenaran dan keadilan. Intensitas kebersamaan dan keberpihakan dengan para korban yang telah Almahrum tunjukkan, semestinya menjadi semangat pastoral – bukan hanya untuk para imam di Keuskupan Larantuka, melainkan juga bagi kaum awam.

Romo Frans, terima kasih untuk perjumpaan dan perjuangan kemanusiaanmu untuk masyarakat Flotim dan Lembata. Semoga bahagia di surga bersama Tuhan – Sang Kebenaran Abadi, yang senantiasai kau rindu.***RIP

Vianney Lein




No comments:

Post a Comment