FRANS
AMANUE: IMAM PARA KORBAN
Mengenang
Almahrum Rm. Frans Amanue, Pr
Vian
Lein
Umat
Stasi Lewokung, Paroki Bama.
Tinggal
di Jerman.
Postingan
beberapa teman Facebook pada hari Sabtu, 26 Maret 2016 sungguh mengagetkan
saya: „Romo Frans Amanue, Pr, imam projo Keuskupan Larantuka, telah berpulang
ke rumah abadi“. Hanya dalam hitungan detik, pesan duka itu tersebar di dinding
media sosial sebelum diberitakan koran lokal atau portal berita online. Banyak
orang, khususnya umat Keuskupan Larantuka, sungguh merasa kehilangan sosok
seorang gembala yang dekat dengan umat dan terkenal berani menyuarakan
kebenaran dan keadilan.
Sosok Romo Frans Amanue dengan rambutnya yang telah
memutih tidak asing lagi bagi saya. Hampir sering saya berjumpa dengan Romo
Frans ketika Almharum masih bertugas melayani umat di Paroki Bama. Perjumpaan
itu tidak hanya dalam perayaan ekaristi tetapi juga di pastoran Paroki Bama. Romo
Frans terkenal sebagai orang yang betah duduk dan bertahan di depan buku, koran dan layar
TV. Ia tekun mendalami nilai-nilai kebenaran dan menyelami nilai-nilai
spiritual yang adalah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya.
Perjumpaannya dengan realitas dunia, baik secara langsung maupun lewat koran
dan televisi, menghantarnya kepada sebuah refleksi filosofis teologis tentang
dunia dan segala persoalan kemanusiaan. Namun semua refleksi kritis itu tidak hanya
menjadi milik sendiri, terpenjara dalam kamar sempit pastoran, dan menutup mata
dan telinga terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan yang dialami umat
gembalaannya. Nilai-nilai kebenaran yang lahir dari refleksi filosofis-teologis
itu tidak hanya sebatas wacana di mimbar khotbah. Lebih dari itu, dia berani
tampil berpihak pada kaum kecil dan tertindas dalam memperjuangkan hak mereka
dan menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran dan keadilan yang telah lama
dibungkam.
Perjuangan Sang Gembala Umat kelahiran Adonara ini
mengingatkan saya pada teologi pembebasan di Amerika Latin dan negara-negara
dunia ketiga lainnya yang berangkat dari praksis pembebasan atas penindasan dan
pemiskinan. “Teologi pembebasan adalah teologi yang mencucukan jarinya pada
luka itu (luka korban)”, sebagaimana dirumuskan Dom Luciano Mendes de Almeida,
salah satu pemikirnya. Atau seperti kata Paus Fransikus: “saya lebih suka Gereja
yang lecet, terluka dan kotor karena telah turun ke jalan-jalan, dibandingkan
dengan sebuah gereja yang tidak sehat karena dikurung dan menggantungkan diri
pada keamanan diri”. Saya yakin, ungkapan Latin Vox populi, vox dei, suara rakyat adalah suara Allah, menginspirasi
seluruh perjuangan Alamahrum dalam menyuarakan kebenaran dan keadilan. Almahrum
senantiasa menempatkan para korban pada pusat penghayatan iman dan refleksi
teologisnya. Imannya akan Kristus diintepretasi secara baru dari perspektif
para korban. Vox victimarum vox Dei,
jeritan para korban menggemakan suara Allah yang memanggil.
Romo Frans menutup usia pada pekan suci Semana Santa,
di mana umat keuskupan bersama Bunda Maria yang berduka merenungkan kisah
sengsara Sang Putra hingga wafat di palang salib. Misteri penderitaan, wafat
dan kebangkitan Yesus memperlihatkan bahwa Allah yang telah mengingkarnasi
menjadi manusia adalah Allah yang membebaskan para korban. Kepedulian Romo Frans
mewujud-nyata dalam keberpihakannya pada para korban dan berjuang untuk membela
kebenaran dan keadilan. Di tengah kebijakan-kebijakan politik di Kabupaten
Flores Timur dan Lembata yang mengeksploitasi dan mengorbankan kaum lemah, ia
tampil sebagai nabi untuk berpihak pada korban. Solidaritas dengan para korban
ini lahir dari rasa tanggung jawab terhadap umat gembalaannya yang dililit
kekerasan oleh konspirasi politik dan kapitalisme. Romo Frans merasa diri tidak
„nyaman“ dan terus „diganggu-gugat“ ketika hukum diperjualbelikan dan kebenaran mulai direkayasa dalam
kolaborasi penguasa politik dan ekonomi. Rasa „ketidaknyamanan“ ini menggerakan
nuraninya untuk berani bangkit berjuang dan menegaskan, bahwa bukan penguasa
politik dan pemilik modal menjadi prinsip demokrasi melainkan rakyat kecil yang
hampir selalu menjadi korban kebijakan politik. Romo Frans merasa terpanggil
untuk berjuang bersama rekan-rekan imam lainnya dan para pejuang HAM untuk
melawan hegemoni politik dan ekonomi di Flores Timur dan Lembata. Dalam
semangat tugas keimaman dan kenabian, Romo Frans tampil untuk menguduskan
politik yang „kotor“ oleh praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.
Komitmen
dan pilihan keberpihakan pada korban bukanlah sebuah pilihan tanpa risiko. Berbagai
perlawanan untuk menggagalkan perjuangan kemanusiaannya dan kebencian terhadap
pribadi Romo Frans muncul dari para penguasa politik dan umat gembalaan yang
dilayaninya. Beberapa kali Almahrum digiring ke kursi pesakitan dan hampir
dibekap dalam jeruji besi. Tapi hal itu sama sekali tidak mengharuskan dia
untuk membenci umatnya. Dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan,
Romo Frans tetap memandang mereka sebagai saudari dan saudara dalam iman akan
Allah – Sang Kebenaran Abadi. Ia sungguh menyadari tugas kegembalaannya untuk
mencari dan menemukan domba-domba yang tersesat. Mereka harus dibimbing kepada
jalan (yang) ke(benar)an.
Kini,
imam para korban itu telah berpulang untuk abadi. Di ranjung maut ia seakan
berseru: „sudah selesai“, bahwa perjuangannya sampai di sini. Kematian Romo
Frans Amanue, Pr tentu merupakan kehilangan besar buat masyarakat Flores Timur
dan Lembata serta meninggalkan duka dan penyesalan yang mendalam, sebagaimana
yang diungkapkan oleh juragan KM Sinar Mutiara 3 asal Lamahala: "Bapa Romo
bolak-balik Larantuka-Lewoleba selalu naik Sinar 3 dan selalu bersama saya di ruang jurumudi ini. Saya tidak hanya kenal dia baik, tapi saya juga
mengaguminya. Dia pejuang kebenaran dan keadilan. Di mana ada masalah
dengan soal kebenaran dan keadilan, di situ dia ada. Saya ikuti betul riwayat
perjalanan hidup dan perjuangannya. Saya kagum dengan apa yang dilakukannya
dulu di Larantuka. Saya pernah secara tulus bilang dia, Bapa Romo, Bapa buka
"baju" pastor saja dan calonkan diri jadi pemimpin kami. Bupati atau
DPRD juga baik. Saya Dullah, teman-teman dan keluarga "turun"
lapangan bantu Romo kampanye dan mendapatkan dukungan. Biar Bapa Romo pimpin
kami" (dari dinding FB seorang teman).
Semua
kita mungkin sedih dan ingin berontak, mengapa Sang Gembala itu pergi, ketika suara
dan kesaksian profetisnya masih sangat dibutuhkan. Tapi hal ini bukan berarti,
bahwa perjuangan kemanusiaan untuk kebenaran dan keadilan juga berakhir dalam
peristiwa kematian. Dalam peristiwa kematian dan iman kita akan kebangkitannya
bersama Kristus, semangat juang kita justru semakin dikobarkan untuk senantiasa
menyuarakan kebenaran dan keadilan. Intensitas kebersamaan dan keberpihakan
dengan para korban yang telah Almahrum tunjukkan, semestinya menjadi semangat
pastoral – bukan hanya untuk para imam di Keuskupan Larantuka, melainkan juga
bagi kaum awam.
Romo
Frans, terima kasih untuk perjumpaan dan perjuangan kemanusiaanmu untuk
masyarakat Flotim dan Lembata. Semoga bahagia di surga bersama Tuhan – Sang
Kebenaran Abadi, yang senantiasai kau rindu.***RIP
Vianney Lein
No comments:
Post a Comment