PENULIS - AUTOR

My photo
Gera, Thüringen, Germany
Pernah Belajar Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Sekarang Mahasiswa pada Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St.Augustin - Jerman

SUARA - KODA

KODA

Pana mai tada lewung, gawé mai tiru tana.
Pana éka sépat lewo, gawé éka sigan tana.

Gelekat tuén Lera Wulan, gewayang golén Tana Ékan.
Beta doré doan-doan, bauk tematan léla-léla.
Nubung nala méi menung, barang nala raa loma.

28 February 2016

DOA

DOA
Tuhan,
dengan tangan pucat dan keringat
kudesiskan doa yang telah lama kusut
tentang cemas dan ragu yang kini mengepung batinku
dengan bibir bergemetar
kuceritakan kisahku setahun silam
tentang perjumpaan dan perpisahan
tentang mencari dan menemukan kembali
tentang harap dan putus asa
Tuhan,
Kenapa diam … ???
Sankt Augustin Meindorf,
Awal Januari 2016

ZIARAH

ZIARAH
Permenungan panjang tentang jalan hidup yang terbentang
Antara rumah dan kapela
Merenungi halaman-halaman bertabur debu
Dan ubin beralas karpet
Aku di antara gempuran waktu
Dilindas masa silam dan masa depan
Dan seperti mentari mengarungi langit dari timur ke barat
Kau menantang jiwaku
Merengkuh petualangan baru
Ya, aku harus turun ke jalan-jalan itu memunguti nasib
Di atas gurun salju dan hamparan daun gugur
Di antara bongkahan debu kemarau dan bulir hujan
Di antara rumahku dan rumahMu: itu ziarahku!

KEPADA JULIA

KEPADA JULIA
Julia,
Gita Natal „Malam Kudus“ telah kita nyanyikan
bersama dawai-dawai musim dingin yang hingga kini
belum meninggalkan jejak salju di rahim kota
Tirai Tahun Baru juga telah kita lucuti
di bawah kembang api yang meleleh bersama aliran darah kita
yang teramat dingin hingga ke telaga nurani
Tapi aku merasa, sepertinya tidak ada yang berubah di sungai waktu,
sebagaimana kata Pengkhotbah: „tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.“
Bukan maksud aku menegasi Filosofi panta rhei kai uden menei-nya Herkleitos
yang mendefiniskan perubahan-perubahan di alam semesta:
“semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap.
Dan seseorang tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama“.
Kamu tahu Julia,
Hingga detik ini koran-koran terus mengabarkan kematian
akibat perang dan teror
Gelombang Radio terus memberitakan berbagai krisis yang melanda bumi,
mulai dari krisis ekonomi hingga krisis kemanusiaan
Siaran televisi juga masih menyajikan peradilan sesat atas nama uang dan kuasa
Ratusan anak meregang nyawa karena wabah penyakit dan busung lapar
Di kampung dan dusun-dusun terpencil
Ribuan rakyat kecil berkumur debu dan limbah pabrik
karena kurangnya persediaan air minum bersih
Lalu apa arti „Perubahan“: „adanya sesuatu yang sebelumnya tidak ada – dan
tidak adanya sesuatu yang sebelumnya ada“,
yang kau definisikan di penghujung tahun kemarin?
Kutub kehidupan masih bergerak ke arah yang sama
Dan orang-orang terus melakoni peran lama sebuah drama
Yang bukan ditulis dengan tangan dan ide sendiri
Karena jemari-jemari kebebasan telah dipasung,
nalar berpikir terjebak dalam amnesia kronis dan rekayasa sejarah
Julia,
sisipkan sebentar butir-butir salju di kepalaku
membendung didih gurun – membenam kerontang menantang
dan bantu aku temukan perubahan
Mari kita mengubah dan diubah dalam Dia

Sankt Augustin, Awal Januari 2016

15 February 2016

AIR: SEBUAH TEKA -TEKI


AIR: SEBUAH TEKA-TEKI
Vianey Lein

Putra Flores – Tinggal di Sankt Augustin - Jerman

 

Beberapa waktu lalu air menjadi satu wacana penting yang didiskusikan dan diberitakan dalam beberapa pers lokal NTT baik cetak maupun online. Liputan pers tentang realitas masyarakat yang mengalami kesulitan memperoleh air bersih, kegelisahan akibat penyakit diare sebagai konsekuensi logis dari minimnya persediaan air minum bersih, membangkitkan kesadaran dalam diri, bahwa air saat ini menjadi suatu persoalan yang kompleks. Isu air menjadikan kita semakin paham bahwa alam tidak lagi menyediakan cukup banyak mata air sesuai kebutuhan manusia yang terus meningkat dari waktu ke waktu.

Berapa liter air yang diperlukan seorang  Bupati  atau anggota DPRD setiap hari? Mungkin kurang lebih sama dengan kebutuhan seorang petani desa(?) Tentu kebutuhan akan air setiap orang tergantung pada jenis ruangan atau bangunan yang digunakan untuk beraktivitas, seperti rumah tinggal, rumah sakit, sekolah, perkantoran dan industri. Berdasarkan barometer kesehatan setiap orang dianjurkan untuk mengonsumsi air minum sebanyak 8-12 gelas (±2 liter) setiap hari. Berapa liter air yang dibutuhkan untuk masak, mandi, cuci pakaian, toilet, siram bunga dan cuci mobil? Masing-masing kita bisa membuat kalkulasi dan analisa sendiri atas kebutuhan air domestik atau mikro. Pada tingkat non demestik atau makro, sudah pasti bahwa publik memerlukan lebih banyak lagi air untuk industri, irigasi, perkantoran dan hotel.

Secara kasat mata boleh dikatakan, bahwa total pemakaian air rata-rata sehari untuk kebutuhan domestik jenis gedung rumah biasa adalah 160-250 liter per orang (Noerbambang dan Takeo Morimura: 1993). NTT memiliki jumlah kepadatan penduduk sebesar 5.356.567 jiwa yang tersebar di 3.200 desa dan kelurahan (LKPJ Gubernur NTT 2014). Jadi kira-kira NTT memerlukan 857.050.720 liter air setiap hari. Dari mana masyarakat NTT bisa memperoleh air sebanyak itu untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga? Apakah pegunungan NTT masih memiliki cukup sumber mata air? Fenomena El Nino yang melanda setiap tahun, berbagai kasus kebakaran hutan dan kurangnya persediaan air minum bersih di sebagian besar daerah NTT merupakan indikasi jelas bahwa alam NTT kian kritis dan tidak lagi memiliki potensi menyerap dan menampung air tanah. Mungkin beberapa puluh tahun silam kita masih mandi dan berenang di bawah arus sungai atau mata air yang terus mengalir; atau kita secara gratis dan bahkan berfoya-foya menikmati air yang terus mengalir 24 jam tanpa membayar iuran. Kini sebagian besar masyarakat harus menunggu dalam antrian panjang untuk mendapat kucuran air yang mengalir dua kali seminggu. Itu pun hanya untuk minum dan masak. Untuk kebutuhan mandi akan dipikirkan kemudian jika ada persediaan lebih; sementara ada kelompok yang menghabiskan air untuk menyiram halaman rumah, mencuci mobil dan bahkan mungkin memiliki kolam renang pribadi. Ironis memang!


Satu contoh yang lebih menarik lagi adalah keluhan sejumlah warga di Kabupaten Flores Timur tentang kinerja pelayanan PDAM. Kepada masyarakat ditawarkan pemasangan pipa saluran air di setiap rumah dengan metode pembayaran berangsur yang mempermudah masyarakat. Demi penghematan waktu dan tenaga  dalam usaha memperoleh air – oleh karena jarak tempuh yang lumayan jauh – warga berusaha untuk membayar angsuran pemasang pipa, agar tidak perlu lagi berjalan jauh dan menghabiskan waktu menunggu antrian. Namun usaha dan harapan masyarakat mentok pada program “bergilir”, yang akhir-akhir ini semakin gencar dilaksanakan seperti ada pemadaman bergilir dari PLN. Pada titik ini muncul pertanyaan: apakah petugas PDAM tidak membuat studi terlebih dahulu tentang debit air? Tidaklah mengherankan jika warga berceloteh: “pipa-pipa dipasang hanya untuk alirkan udara”.
 
Kucuran sumber air yang semakin minim dan kebutuhan rumah tangga dan industri yang terus meningkat merupakan sebuah teka-teki bagi pemerintah daerah, swasta, LSM dan seluruh masyarakat. Manajemen sumber daya air mulai dari tingkat propinsi hingga desa/kelurahan harus mencari solusinya secara bijak. Penghematan air dengan kesadaran bahwa debit air semakin berkurang, harus menjadi kultur yang dihidupi. Perusahan Daerah Air Minum (PDAM) mesti menjawab kebutuhan masyarakat sesuai dengan retribusi air yang telah dibayar masyarakat, sehingga tidak ada keluhan yang mempertanyakan kinera kerja PDAM. Pengadaan sumur serapan dan tadah hujan bisa menjadi salah satu alternatif menjawabi kebutuhan masyarakat.

Untuk proyek jangka panjang, semua masyarakat digerakkan untuk menghijaukan kembali lahan yang gundul demi menjaga debit mata air yang ada. Upaya penyelamatan mata air dan lingkungan hari ini mungkin baru dirasakan hasilnya berpuluh-puluh tahun lagi oleh generas-generasi mendatang. Tetapi yang terpenting adalah bangkitnya kesadaran dan tanggung jawab masyarakat untuk pelestarian lingkungan serta pembentukan karakter masyarakat yang ramah lingkungan. Masyarakat berwawasan lingkungan adalah masyarakat yang menggunakan air secara efisien serta menjaga kebersihan semua saluran air, parit-parit, sungai atau kali. Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang “bekerja” untuk lingkungan dan bukan menjadikan wacana krisis ekologi sebagai kendaraan meraih jabatan atau penghargaan. Semua masyarakat terpanggil untuk berjuang mengatasi krisis air yang melanda daerah kita. Secara perlahan kita bergerak dari rumah tinggal, sekolah, kantor, dan pabrik-pabrik atau perusahan, di mana kita bekerja, untuk mencari jawaban atas teka-teki air.***

 

 

 

 

  
 
 

PELABUHAN LAUT LARANTUKA

PELABUHAN LAUT LARANTUKA
Antara Kebanggaan Wajah Baru dan Etika Pemanfaatan
Vianey Lein
Warga Flores Timur, tinggal di Sankt Augustin - Jerman
 
Masyarakat Flores Timur mungkin merasa senang dan bangga dengan wajah pelabuhan lautnya yang telah dibikin indah. Reklamasi pelabuhan laut yang menghabiskan dana sebesar Rp.8 Milyar itu, sebagaimana yang dikemukakan Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas III Larantuka, Rifai, S.Sos., diharapkan bisa mengembangkan rute transportasi laut dan membantu masyarakat dalam mendapatkan kebutuhan pokok secara murah dan mudah terjangkau berkat pelayaran tol kapal-kapal barang dari Surabaya (bdk. Pos Kupang, 26 Januari 2016). Sebagai salah satu kesuksesan dalam pembangunan infrastruktur, kita juga patut memberi apresiasi atas kerjasama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah Flotim. Kepada mereka kita juga berterima kasih.
Di sini pelabuhan laut secara tidak langsung didefiniskan sebagai simbol kekuatan dagang dan perekonomian masyarakat. Kita, masyarakat dan para pemimpin, menebar harap pada wajah baru pelabuhan agar bisa membantu menata tubuh perekonomian masyarakat yang lagi „sakit“ dan memperlancar arus transportasi laut yang mungkin lagi „pincang“. Tetapi, agar semua debar harapan itu tidak mati bersama janji politik yang telah ditabur di atas lahan bisnis dan kapitalisme, dari kita dituntut aksi. Kita mesti berbuat!
Ramah Lingkungan
Tidak pelak lagi, bahwa di tengah arus globalisasi dan industri isu lingkungan hampir selalu menjadi topik yang juga turut diperdebatkan. Itu tidak mustahil karena industri dalam model apapun bersinggungan langsung dengan lingkungan. Fasilitas pelabuhan laut yang telah dibenah menjadi „baru“ bukanlah menjadi skala atau modal „keindahan“ wajah pelabuhan Kota Reinha yang terkenal dengan prosesi baharinya itu. Modal terpenting untuk menjaga keindahan pelabuhan adalah hati setiap yang memandang dan cita rasa untuk  memiliki (sense of belonging). Di sini setiap orang ditantang untuk menggunakan segala fasilitas yang ada bukan hanya dengan dengan kerja otak dan anggota badan, melainkan juga dengan hati. Artinya, kesadaran untuk menjaga kebersihan lingkungan di sekitar pelabuhan harus ditanam dalam diri setiap orang. Jika dalam diri setiap orang yang keluar masuk pelabuhan memiliki kesadaran “cinta akan lingkungan pelabuhan”, maka kita tidak lagi melihat sampah-sampah plastik, kertas, kain bekas, pecahan botol, sisa makanan atau pun kotoran manusia yang berserakan di darat maupun di laut. Pola konsumsi dan produksi mesti diperhatikan agar sisa-sisa sampah dan limbah buangan tidak ditinggalkan begitu saja di lokasi pelabuhan. Karena itu perlu diadakan kotak-kotak sampah dan toilet umum di lokasi pelabuhan. Setiap orang mesti memberi per-HATI-an kepada wajah baru pelabuhan, dengan membuang sampah pada tempatnya. Mungkin ini butuh waktu dan proses belajar karena kebiasaan dan sistem pembuangan sampah belum menjadi kebudayaan yang mentradisi dari generasi ke generasi. Proses ini juga menjadi revolusi mental yang perlu mendapat perhatian serius.
Ramah dalam Pelayanan
Di samping lingkungan alam sekitar, sistem pengoperasian dan pemanfaatan sebuah hasil pembangunan harus memperhatikan juga masyarakat yang adalah tujuan dari pembangunan itu sendiri. Spiritualitas pelayanan  semestinya menjadi karakter yang menjiwai seluruh sistem manajemen di lokasi pelabuhan laut Larantuka. Masyarakat, baik penawar jasa seperti porter pelabuhan, juragan dan anak buah kapal, sopir angkot dan kondektur, serta ojek dan pemungut pajak dan karcis masuk pelabuhan, maupun pengguna jasa, dituntut untuk tidak hanya ramah terhadap lingkungan alam tetapi juga menaruh respek satu sama lain.
Sering kita mendengar berbagai aksi premanisme yang menggangu rasa nyaman setiap penumpang yang datang dan pergi dan pungutan yang melambung tinggi. Ada begitu banyak keluhan masyarakat tentang biaya porter dan tarif angkutan umum atau ojek untuk penumpang kapal. Sebuah pertanyaan: apakah ada klasifikasi tarif berdasarkan jenis penumpang dan waktu? Praktek ini (bisa jadi digolongkan dalam pengutan liar) terjadi juga di beberapa lokasi bandar udara di Flores. Tarif pembayaran transportasi untuk penumpang dari pelabuhan laut atau bandar udara (khususnya waktu malam) ditagih jauh lebih tinggi daripada penumpang biasa, padahal jarak tempuh hampir sama atau bahkan lebih kurang. Untuk menghindari aksi premanisme dan pungutan yang melambung tinggi serta untuk mengantisipasi terjadinya konflik atau perkelahian antara penumpang dan penawar jasa, Pemda Flotim perlu segera menyikapi hal ini. Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Perhubungan dan Lalu Lintas Angkutan Jalan, Dinas Perpajakan Daerah dan Pihak Keamanan, secara bersama perlu menetapkan ketentuan yang “adil” dan “tegas”  untuk mengatur aktivitas “pasar” dan arus lalu lintas di pelabuhan.
Keluhan dan kerasahan masyarakat tentang seluruh persoalan di atas mesti ditanggapi secara serius, agar wajah baru pelabuhan kota Larantuka tidak hanya memancarkan keindahan fisik bangunan atau fasilitas, melainkan juga menjadi “dermaga” yang tenang dan damai bagi siapa saja yang berlayar di tengah ombak kapitalisme dan arus globalisasi. Selamat “berlabuh” di dermaga Larantuka!!!
 
Pelabuhan Laut Larantuka
 
 
 
 
 

PUASA


PUASA


Pulang ke dalam diri yang ditandai abu

Ubah gurun jiwa jadi oase

Atau gaduh jadi hening sembahyang

Seperti Sang Guru yang mengungsi empat puluh hari empat puluh malam

Antara kekayaan, kuasa, dan jabatan

 

Sankt Augustin – Jerman, 09. Februari 2016



Gambar: Bing.com

MUJIZAT

 MUJIZAT


Pagi-pagi benar seorang ibu berlari ke gerbang istana


Ia mencari Sang Tabib

Untuk gadisnya yang sedang sakit di rumah gadai

Tak ada mobil, kereta atau pesawat terbang

Hanya harap yang masih melayang-layang



„Putriku sakit keras. Datanglah sebentar menjamah

Atau cukup berkata-kata dari jauh

Karena hari masih terlalu subuh

Maka dia akan segera sembuh“


„Maaf Ibu, saatku belum tiba.

Apalagi anggur semalam masih mendidih di ubun-ubun“

Dengan bergusar hati sang ibu kembali

Menjumpai putri tidur abadi



Sankt Augustin – Jerman, 09. Februari 2016

 



Gambar: http://sepsurabaya.com/2015/02/menjamah-jumbai-jubah-nya-saja-maka-ia-akan-sembuh/


PERKAWINAN DI KANA


PERKAWINAN DI KANA


Para Yang Mulia,

datanglah besok ke pesta pernikahan kami

karena tempayan-tempayan sudah penuh terisi

anggur yang kalian teguk dalam ekaristi setiap pagi


„Inilah saat yang kami nanti-nantikan

Tapi jangan wartakan kedatangan kami kepada tetanggamu“

Namun misteri perjamuan  kawin itu
Segera tersebar luas di seluruh wilayah negeri

Dan para penduduk kampung bersungut-sungut

„kami kehabisan air“

 

Sankt Augustin – Jerman, 09. Februari 2016


Foto:
 Kapela Biara Trappist di Lamanabi - Larantuka - Flores Timur (by Simon Nany)

DI GERBANG BIARA


DI GERBANG BIARA

Kutinggal jejak-jejak rindu

Di ubin tua dan lantai kayu

Ijinkan kaki menjengukmu lagi

Membaca separuh puisi

Di kerah jubah dan ensyklopedi

Kubawa debumu pada alas sepatu

Dan sandal jepit

Biar membatu di serat jiwa berbelit

Melangkah lagi tak terbirit-birit

Hidup ini mencari selalu

 

Sankt Augustin, 01 November 2015

 

Terima Kasih untuk lembaga formasi calon imam, yang adalah rumah bagi saya untuk dibentuk dan membentuk diri, rumah untuk belajar memahami arti siang dan malam, menerima masalalu-menyadari masa kini-menangkap mimpi masa depan:


Seminari San Dominggo Hokeng - Flores - NTT
Seminari San Dominggo Hokeng, lembah subur di kaki gunung Lewotobi. Empat tahun aku menghirup udara dinginnya dan bersetebuh dengan harum kembang kopi, hingga “benih-benih” 5S-nya yang telah disemaikan dalam diriku bisa berkecambah-bertunas: Sanctitas (kesalehan), Scientia (kecerdasan intelektual), Sanitas (kesehatan), Sapientia (kebijaksanaan), Solidaritas (kesetiakawanan).  Hokeng, terima kasih untuk cintamu.


Novisiat SVD Sang Sabda Kuwu - Ruteng - Flores - NTT
Novisiat SVD Sang Sabda Kuwu – Ruteng dengan gema Areopagus-nya yang terus menantang aku dalam pijar-pijar spiritualitasnya: „Sesungguhnya Tuhan ada di tempat ini, dan aku tidak mengetahuinya, alangkah dashyatnya tempat ini”. Kuwu, engkau memang sungguh dasyat, tapi bukan karena aku tidak mengetahui, bahwa Tuhan ada disitu, tetapi karena aku menjumpai Tuhan di sana.


Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero - Maumere - Flores, NTT
Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, Bukit Sandar Matahari, yang menggugat eksistensi sebagai manusia untuk terus bertanya, karena itulah hakekat berfilsafat: bertanya dan terus bertanya. Dan seorang filsuf tidak boleh pernah merasa puas dengan setiap jawaban. Ledalero menjadi bukit pergulatan dan pergumulan dengan gugusan-gugusan pemikiran filosofis mulai dari Filsuf Yunani Kuno Thales dan Miletos hingga Frederich Nietzsche, Derida, Habermas, dan deretan nama besar filsuf lainnya.  Di atasnya terbentang horison filosofis mahaluas. Cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Ledalero, terima kasih karena aku boleh mencintai kebijaksanaanmu (Filsafat: Phillia: Cinta Sophia: kebijaksanaan). Tiga setengah tahun lamanya kita menjalin cinta di bukit sandar matahari.


Missionspriesterseminar SVD Sankt Augustin - Jerman
Missionspriesterseminar SVD Sank Augustin - Jerman: lebih lama aku menghuni rumah ini, di tanah kelahiran Sang Pendiri Tarekat SVD, Santo Arnoldus Janssen. Di rumah yang berpelindungkan Santo Agustinus, sang uskup dan pujangga gereja, lima tahun lamanya aku terbakar rindu akan Tuhan: “Unruhig ist unser Herz, bis es ruht in Dir”, hatiku tidak tenang sebelum ia beristrahat dalam Engkau, ya Tuhan. Kampung kecil Sankt Augustin menjadi “Stadt Gottes”, Kota Allah, tempat aku membakar rindu pada sumber cahaya maha cahaya.

Untukmu semua, terima kasih.

15 tahun dalam lembaga formasi ini bukanlah rentang waktu yang singkat. Separuh puisi hidup kutulis pada dinding-dinding indah rumah-rumah ini karena usiaku saat meninggalkan biara adalah 30 tahun. Karena itu, ijinkan aku merindumu, terlebih ketika doa-doaku terasa kian sepi. Meski cinta ini tak selesai, tapi biarlah rindu ini tetap tertambat di gerbangmu.

Dari yang pernah jatuh cinta pada kalian semua

Vianey Lein